Thursday 31 May 2012

BERDAMAI DENGAN SETIAP KEGAGALAN ADALAH PILIHAN


Oleh: Sugiman

Mungkin Anda sepakat dengan saya, bahwa memilih adalah pekerjaan yang tidak mudah, terutama memilih segala sesuatu yang benar-benar mendatangkan kebaikan atau manfaat bagi diri kita maupun orang lain. Itulah sebabnya sebagian besar orang tidak jarang menyesali atau sangat menyesal dengan pilihannya. Seiring berjalannya waktu, mereka berusaha menggantinya dengan pilihan yang baru, yang dianggap tepat dan baik untuk masadepan hidupnya, tetapi kenyataannya tetap saja mengecewakan. Akibatnya, banyak orang yang merasa bersalah dengan dirinya sendiri, merasa dirinya sebagai orang yang tergagal dalam menentukan pilihan yang tepat.

Kekecewaan yang mendalam atas setiap kegagalan telah menyebabkan yang bersangkutan lebih bersikap pasif, yaitu melihat segala kesuksesan dan kebahagiaan yang terjadi pada orang lain, tetapi serentak dengan itu ia juga mengharapkan hal yang sama terjadi dalam hidupnya, namun tetap merasa engan untuk bergerak sedikitpun dari tempat duduknya. Itulah sebabnya, banyak dari kita hanya menjadi pemimpi. Jika demikian apakah salah seseorang bermimpi untuk segala sesuatu yang membahagiakan hidupnya? Tidak. Bermimpi untuk segala sesuatu yang membahagiakan hidup sama sekali tidak salah, justru kita harus berani bermimpi untuk itu. Tetapi yang harus digarisbawahi adalah bahwa bermimpi tanpa kerja keras hanyalah menjadikan kita sebagai pemimpi. Ini kesalahan yang selalu dilakukan oleh banyak orang, terutama mereka yang memandang baik sikap pasif.

Sebaliknya, mereka yang bersikap aktif adalah orang-orang yang selalu memandang bahwa di balik sebuah kegagalan tersimpan kebahagiaan hidup yang benar-benar mulia. Itulah sebabnya, mereka tidak pernah merasa takut dan malu dengan segala kegagalan yang sudah terjadi di masa lalu. Mereka tidak pernah merasa bosan mencoba sekalipun mengalami kegagalan pada bagian yang lain, tetapi mereka benar-benar merasakan bahwa semua itu merupakan guru kebahagiaan hidup yang benar-benar jujur sekalipun menyakitkan, mengecewakan dan bahkan merasa putus asa dalam sekejap. Namun semua itu tidak sedikitpun mengurangi semangat perjuangan hidup yang terus-menerus berkobar, mereka terus mencoba dan membuat terobosan-terobosan baru untuk menciptakan kemenangan atas segala kegagalan dan kesalahan yang telah dialami.

Mereka yang bersikap aktif adalah orang-orang yang bekerja sekeras mungkin untuk mencari titik temu atau langkah-langkah atau sarana-sarana yang benar-benar dapat mendamaikan mereka dengan segala kegagalan, yang selama ini menjadi musuh sepanjang jaman kehidupan manusia. Mengapa bisa demikian? Salah satu penyebabnya adalah karena ketakutan yang berlebihan bahwa mereka akan terus membuat kesalahan atau kegagalan yang telah mengecewakan seperti sebelumnya.

Elbert Hubbard pernah mengatakan demikian: “Kesalahan terbesar yang bisa dibuat oleh manusia di dalam kehidupannya adalah terus-menerus mempunyai rasa takut bahwa mereka akan membuat kesalahan.” Betapa tidak? Perasaan takut akan membuat kesalahan atau kegagalan adalah musuh bebuyutan yang tak mudah didamaikan dengan pribadi yang bersangkutan. Itulah sebabnya sikap pasif dianggap sebagai pilihan terbaik untuk menghindari semua kesalahan atau kegagalan yang ada.

Perlu disadari, bahwa sikp pasif adalah erat kaitannya dengan sikap pasrah yang hambar dan tidak membawa makna setikitpun atas kehidupan setiap orang. Karena pada dasarnya, sikap pasif adalah sangat rapuh ketika diperhadapkan dengan segala penderitaan, keluh kesah, tantangan hidup, kekecewaan, penderitaan dan sejenisnya. Karena itu, tidak jarang orang yang suka bersikap pasif, menghindari sikap aktif karena takut akan melakukan sebuah kesalahan atau kegagalan dalam hidupnya. Selain itu, mereka juga cenderung merasa dirinya tidak berharga atau merasa orang yang paling malang di dalam dunia ini ketika diperhadapkan dengan tekanan hidup. Padahal ia lupa bahwa orang-orang yang telah sukses dan bahagia pada masanya telah merasa puas dengan semua kegagalan yang menurutnya sumber penderitaan tunggal dalam hidup ini. Mengapa bisa demikian? Jawabannya, karena ia tidak terbiasa dan belum berdamai dengan setiap kegagalan yang telah ia alami, atau yang akan dialaminya di kemudian hari.

Sungguh, memilih sikap pasif dalam hidup ini telah menorehkan penyesalan yang mendalam bagi orang-orang yang sebelumnya takut akan melakukan sebuah kegagalan atau kesalahan. Padahal semua itu sangat bermanfaat atau berguna untuk kelangsungan hidup setiap orang dalam menapaki anak tangga kesuksesan untuk mencapai kebahagiaan hidup yang sesungguhnya. Orang yang memiliki semangat untuk mencapai kesuksesan tetapi menghindari kerja keras adalah sama dengan seorang petani yang mengharapkan panen besar tanpa menanam benih padi sebelumnya.

Sebaliknya, mereka yang bersikap aktif adalah orang-orang gigih, dan yang berani menaklukan atau menundukan setiap kegagalan yang telah mereka alami. Menundukan setiap kegagalan adalah sama halnya dengan berdiri di ambang pintu kesuksesan. Mereka melihat sejauh mungkin, bahwa di balik setiap kegagalan tersimpan makna kehidupan yang mulia dan agung. Mereka melihat bahwa kerja keras merupakan harga yang harus dibayar lunas untuk mencapai sebuah keberhasilan hidup dan kesuksesan yang benar-benar membahagiakan hidup seseorang dengan sesamanya.

Itulah sebabnya, mereka yang memilih sikap aktif adalah orang-orang yang layak kita sebut sebagai manusia yang menyandarkan secara penuh harapan hidupnya ke dalam pemeliharaan Tuhan. Mereka sangat sadar bahwa kekuatan yang mereka miliki adalah kekuatan tunggal yang telah Tuhan berikan kepada setiap orang yang mempergunakannya secara konsisten dan bertanggung jawab. Mereka telah menaklukan setiap rintangan hidup di bawah pimpinan dan pemeliharaan-Nya.

Selain itu, mereka yang memilih sikap aktif adalah orang-orang yang telah diperdamaikan oleh Tuhan dengan segala kegagalannya dan mereka telah membuka hati untuk sebuah perdamaian yang benar-benar membahagiakan hidupnya bersama Sang Khalik. Lebih jauh dari itu, mereka telah hidup bersahabat, menjadi teman seperjuangan, kemudian hidup berdampingan dan bergandengan tangan dengan segala kegagalannya, kemudian secara serentak ia melangkahkan kakinya menuju puncak kebahagiaan yang telah Tuhan tetapkan bagi setiap orang. Namun, tidak semua orang menemukannya karena takut akan melakukan kesalahan dan kegagalan.

Sekarang mana yang Anda pilih? Berdamai dengan segala kegagalan (selalu bersikap aktif) atau tetap ingin bermusuhan dengan kegagalan (bersikap pasif)? Semua itu adalah pilihan, dan pilihan Anda sangat menentukan seperti apa Anda. Selamat mencoba!

Monday 21 May 2012

JANGAN RAKUS, INGAT MASADEPAN MEREKA JUGA!

Oleh: Sugiman

Hampir semua orang tahu bahwa Kalimantan adalah salah satu pulah penghasil kayu. Mungkin sebelum saya lahir tahun 1985, praktik illegal logging telah menjadi kebiasaan yang tak terhentikan. Sebab pada usia sekitar lima atau enam tahun, saya ingat betul bahwa banyak kapal besar bermuatan kayu berkeliaran hilir-mudik di perairan desa Sasak, Kab. Sambas – Kalimantan Barat. Selanjutnya, di pelabuhan Balipat juga banyak tumpukan kayu-kayu besar maupun yang sedang ditarik menggunakan mobil traktor dan alat berat lainnya.

Tidak berhenti sampai di situ, tetapi terus berlanjut hingga tahun 2006 sebelum saya merantau ke pulau Jawa Barat. Tahun 2011 saya pulang ke kampung halaman, ke desa Batu Hitam, Kec. Sajingan Besar – kabupaten Sambas – Kalimantan Barat untuk yang pertama kalinya. Saya melihat keadaan atau suasana sudah sangat jauh berbeda. Kayu-kayu besar yang tumbuh di hutan dan di daerah pegunungan telah sangat langka dan menjadi kebun kelapa Sawit.

Suhu dan udara pagi yang segar dan sejuk dari hutan telah berubah menjadi seperti suhu dan udara di padang pasir. Bahkan tidak jarang sebagian masyarakat atau desa yang dekat dengan aliran sungai mengeluh akibat sering terjadi banjir. Sepeda motor yang seharusnya dinaiki, tetapi karena banjir maka digotong secara beramai-ramai jika keadaan aliran air masih memungkinkan untuk dilewati. Atau bisa juga dinaikan ke atas pelampung rakitan yang terbuat dari bambu-bambu atau kayu-kayu terapung lainnya, yaitu disusun dan buat menyerupai lantai perahu tongkang untuk mengangkut sepeda motor. Keluhan tanpa tindakan untuk memperbaiki atau memelihara, yaitu supaya alam ini tetap bersahabat dengan manusia adalah kesia-siaan belaka.

Selain itu, banyak kebun karet yang telah menghidupi selama ini harus dikorbankan dan ditebang habis kemudian diganti dengan kebun kelapa Sawit. Jika Anda pernah dan akan pergi ke kecamatan Sajingan Besar – Kalimantan Barat, maka di sepanjang perjalanan ada banyak kebun kelapa Sawit yang masih sangat muda, yang ditanam sebagai penganti hutan lindung dan kebun karet. Mungkin Anda akan mengira orang di sana hebat-hebat karena banyak kebun kelapa Sawit. Tetapi sayang, sebagian besar dari kebun itu bukan milik mereka, melainkan milik orang-orang luar pulau Kalimantan Barat, seperti pengusaha dari Jakarta yang memiliki relasi dengan personalia pembisnis tanah. Itulah sebabnya, beribu-ribu hektar tanah milik masyarakat setempat telah berpindah tangan atau tuan.

Pemikiran yang sempit dan pendek atas tanah pusaka yang diwariskan oleh para leluhur atau nenek moyang telah dimanfaatkan oleh para pengusaha dan mereka yang memiliki banyak uang. Bahkan ada yang rela menukar tanah pusakanya dengan sebuah motor hanya untuk pamer dengan tetangga. Sebagai penduduk asli setempat, saya sangat sedih mendengar berita itu, tetapi apa daya sudah terlanjur. Lemah dan rendahnya pendidikan menjadi alasan utama atas tumpulnya pemikiran untuk melihat masadepan anak-anak dan cucu mereka. Bahkan saya sering membayangkan, jika hal itu terus berlanjut maka bukan tidak mungkin mereka akan menjadi orang asing dan diusir dari kampung kelahirannya. Betapa tidak? Jika tanah pusaka sudah berpindah tangan, itu berarti nasib mereka tergantung oleh pemilik kedua. Artinya, statusnya bukan lagi penduduk setempat, tetapi sebagai “pendatang”.

Tanah pusakah adalah ibu kehidupan yang menyusui, menyuapi dan menghidupi setiap orang yang tetap setia mengusahakan dan memeliharanya sebagai pemberiaan dari Tuhan. Jika ingin menikmati hasilnya, maka usahakanlah dengan tekun dan rajin, bukan menjualnya hanya untuk kepenmtingan sesaat dan sekali makan. Menjual tanah pusaka, pemberian dari nenek moyang atau para leluhur adalah sama artinya dengan tahap awal mengikatkan tali pada leher dan orang lain yang memegang kendalinya. Jangan rakus, ingat masadepan anak-anak dan cucu selanjutnya! Jangan sampai mereka menjadi pendatang di daerah dan di kampungnya sendiri.

Ada banyak cara orangtua mencintai anak-anaknya, demikian pula dengan kakek-kakek atau nenek-nenek yang mencintai cucu-cucunya, salah satunya adalah tetap setia memelihara, menjaga dan mengusahakan tanah pusaka yang telah menjadi ibu kehidupan bagi setiap pemiliknya. Menjual tanah pusaka adalah juga sama maknanya dengan seseorang yang meminum racun secara berlahan-lahan. Tetapi lama-kelamaan ia pasti membunuh, karena satu persatu saraf-saraf penting dalam tubuh kita.


Salam, semoga bermanfaat!

INDONESIA ITU NEGARA PENAKUT


Oleh: Sugiman

Mungkin hanya sebagian yang sependapat dan sepakat bila saya mengatakan kalau Indonesia itu adalah negara penakut. Meskipun demikian, sebagai orang Indonesia saya harus belajar berani untuk mengatakan atau berbicara apa adanya. Bukan tanpa tujuan dan makna saya mengungkapkan pernyataan ini, tetapi itu berdasarkan realita atau fakta atas apa yang telah saya dengar, lihat, rasakan atau apa yang telah saya alami sebagai warga negara Indonesia. Ada banyak bukti yang memperlihatkan Indonesia itu sebagai negara penakut, yang hingga saat ini mungkin sudah disadari tetapi tidak berani untuk menyentuhnya. Mengapa? Alasannya juga banyak, tetapi terkumpul dalam satu kata, yaitu TAKUT. Berikut adalah beberapa ketakutan yang diperlihatkan di negara Indonesia:

1.      Takut untuk maju ke tahap yang lebih baik (berkembang).

Ketakutan Indonesia untuk menjadi negara maju atau berkembang terlihat sikapnya yang plin-plan atau ragu-ragu dalam menyikapi masalah perekonomian, nelayan, perkebunan dan pertanian rakyatnya. Betapa tidak? Perhatikan saja hasil produk yang lebih banyak di perjual-belikan di Indonesia adalah hasil produk luar. Mulai dari keperluan primer hingga keperluan sekunder. Sepatu, pakaian, sendal dan hingga keperluan pokok rumah tangga, sebagian besar adalah hasil import. Padahal apa yang tidak bisa dihasilkan di negara Indonesia? Hasil tanah yang berlimpah yang sebenarnya dapat mendatangkan kekayaan bagi negara Indonesia, tetapi pemerintah tidak berani mempasilitasi rakyatnya untuk mengusahakannya. Contoh: batik buatan Indonesia adalah lebih mahal harganya dibandingkan batik keluaran Cina. Mengapa? Karena di Indonesia cara mengolah dan mengerjakannya masih sangat manual di bandingkan di negara Cina. Mengapa manual? Karena lagi-lagi pemerintah tidak berani untuk mengeluarkan modal untuk menciptakan daya saing yang berstandar modern.

Selanjutnya, hasil panen para petani, pekebun dan nelayan yang sering diabaikan oleh pemerintah juga sangat mempengaruhi dan merupakan faktor penting dalam kemajuan dan kesejahteraan rakyat Indonesia. Tetapi peluang ini diabaikan begutu saja, yaitu tidak berani membeli hasil rakyatnya dengan harga yang tinggi, tetapi giliran menjual pupuk meskipun harganya menekan rakyatnya, terutama dari golongan para petani atau pekebun tak dihiraukan, meskipun sebenarnya hati mereka tidak semuanya ikhlas membelinya. Artinya, mau tidak mau, dan dari pada tidak ada, ya beli saja meskipun mahal (tidak ada pilihan). Pemerintah hanya berani menjual hasil import dengan harga tinggi dibanding membeli hasil kerja keras dan keringat rakyatnya. Sehingga yang ada hutang semakin bertambah dan membengkak. Seharusnya Indonesia memperbesar daya eksport hasil negaranya ke negara-negara-negara kerja samanya.

Pemerintah Indonesia seharusnya berani mempasilitasidan menciptakan lapangan pekerjaan untuk rakyatnya, demi kesejahteraan bangsa dan rakyat Indonesia itu sendiri dan bukan untuk kepentingan pribadi. Seperti yang telah dipraktikkan oleh para politikus di Indonesia yang tidak bertanggung jawab dan tidak berkeprikemanusiaan dan prikeadilan. Saya sangat yakin, jika orang-orang seperti mereka tetap dilindungi dan tidak dibuang ke laut, maka lambat-laun Indonesia pasti akan kehilangan identitas, nama baik Indonesia akan terus dinodai oleh mereka.

2.      Takut untuk mengeluarkan modal atau mengambil risiko.

Jika saja pemerintah Indonesia berani mengeluarkan modal akan ada risiko, yaitu mungkin Indonesia akan mengalami defisit untuk sementara waktu, karena sebagian besar kas negara digunakan untuk mengembangkan usaha rakyatnya, yang nantinya akan mendatangkan keuntungan berlipat ganta pada negara Indonesia itu sendiri, maka Indonesia pasti bisa bangkit setahap demi setahap dari keterpurukannya. Jadi uangnya bukan digunakan untuk kunjungan ke negara-negara dan bersenang-senang atau jalan dengan berbagai alasan yang tak jelas. Umumnya, negara yang maju dan berkembang adalah negara yang berani mengambil risiko atau miskin untuk sementara waktu, tetapi melihat fit back yang jauh lebih besar dari modal yang dikeluarkan di masa mendatang. Jika Indonesia tidak berani mengambil risiko ini, maka jangan terlalu berharap bahwa negara Indonesia akan menjadi negara yang makmur dan sejahtera, sebaliknya mungkin.

3.      Takut untuk membayar mahal anak-anaknya yang pintar. Indonesia menjadi salah satu negara yang terpuruk perekonomiannya di dunia adalah bukan karena tanpa orang pintar atau jenius. Banyak sekali orang-orang Indonesia yang pintar di bidang-bidang tertentu, entah itu di bidang politik dan ekonomi yang dapat memajukan kesejahteraan bangsa dan secara bertahap membangkitkan dapat Indonesia dari keterpurukan perekonomiannya. Salah satunya atalah Sri Mulyani yang sangat berbakat di bidang perekonomian, yang sudah jelas-jelas kualitasnya saat menyelamatkan perekonomian Indonesia sebelumnya. Tetapi negara Indonesia justru menyia-nyiakannya sewaktu di Indonesia, dan yang lebih parahnya lagi adalah ia hampir dijadikan korban politik binatang oleh para politikus Indonesia dalam kasus Bank Century.

Banyak orang yang berusaha menjadikan beliau (Sri Muliani) sebagai kambing hitam dalam kasus Bank Century, tetapi saya sendiri tidak yakin bahwa beliau terlibat dalam kasus itu. Ada banyak kejanggalan yang tidak dapat dibuktikan oleh tim pansus dan KPK dalam menangani kasus Century. Justru yang saya lihat adalah sebaliknya, yaitu mungkin mereka-mereka itu yang telah menyembunyikan uang yang dituduhkan kepada Sri Mulyani. Padahal tinggal bilang sejujurnya kalau Indonesia tidak berani membajar beliau dengan mahal berdasarkan kualitas dan kinerjanya. Itulah lah anehnya para politikus Indonesia. Jadi jangan heran jika Indonesia ini semakin terpuruk, jauh dari keadilan, kemakmuran dan kesejahteraan, karena semuanya penakut.

4.      Takut untuk memberantas kasus korupsi.

Mendarah dagingnya kasus korupsi di tubuh para politikus Indonesia adalah virus yang sangat mematikan, yang lambat-laun Indonesia akan menjadi negara yang terus terpuruk dalam segala keadaan, padahal penyebabnya hanya satu, yaitu KORUPSI. Ketidakmampuan dan kegagalan yang diperlihatkan oleh para pemimpin negara Indonesia untuk menyelesaikan dan meminimalisir kasus korupsi yang ada di Indonesia adalah bahwa Indonesia itu takut untuk memberantas virus mematikan itu. Jadi bukan karena tidak mampu, tetapi karena TAKUT. Mengapa? Karena semuanya sudah terinfeksi dan tertular atau dihinggapi oleh virus KORUPSI itu. Jadi, nanti kalau dibongkar, maka si pembongkar pun bisa ketahuan kebusukannya oleh publik. Inilah yang disembunyikan oleh sebagian besar pemimpin negara Indonesia. Sungguh para koruptor adalah sama dengan binatang buas, dan bahkan lebih ganas dari itu.

Jika negara Indonesia tetap melindungi, memelihara dan memakai orang-orang seperti mereka untuk memajukan negara Indonesia ini, maka saya yakin 100% itu adalah hal yang jauh dari kemungkinan, jika kebohongan maka itu jelas. Lihat saja dari drama dan sandiwara-sandiwara yang mereka perankan di gedung DPR. Mereka mengatasnamakan diri sebagai wakil rakyat, tetapi nyatanya mereka tak ubanya sebagai WAKIL RAMPOK. Seharusnya orang-orang atau manusia seperti mereka harus dihukum gantung atau hukum mati seperti yang dilakukan oleh negara-negara berkembang, seperti Cina, Malaysia dan seterusnya. Karena jika terus-terus dilindungi orang seperti itu, maka Indonesia akan jadi negara sambah di mata dunia.

Indonesia seharusnya mempraktikkan simbolnya yang adalah burung Garuda atau burung raja Wali, yang sanggup terbang tinggi membawa Indonesia mengatasi masalah-masalah yang terjadi di dalamnya, dan bukan malah bergaul dengan ayam Kalkun, yang tidak berdaya, lemah dan bodoh. Jika itu dilanjutkan, maka Indonesia akan seperti burung Garuda yang patah sayapnya karena terkena suatu jerat. Dengan kata lain, tidak ada jalan lain selain menikmati hidupnya di bawah ancaman dan tekanan-tekanan dari negara tetangganya. 

Friday 18 May 2012

AJARAN ETIS PAULUS TENTANG PEREMPUAN DALAM 1 TIMOTIUS 2:8-15


Oleh: Sugiman

Surat 1 Timotius 2:8-15 adalah salah satu perikop Alkitab yang sering digunakan atau dikutip oleh gereja-gereja tertentu yang dijadikan dasar sebagai pembatas antara laki-laki dan perempuan, khususnya dalam kepemimpinan gereja itu sendiri. Memang harus diakui, tidak semua gereja demikian. Namun hingga saat ini pun hal itu masih menjadi perdebatan, misalnya perempuan tidak boleh naik mimbar, tidak boleh menjadi pemimpin atau “mengatur” laki-laki. Alasannya adalah, kedudukan perempuan lebih rendah dari laki-laki, oleh sebab itu muncullah “teori feminisme”.[1] Maka dalam paper ini kita akan melihat mengenai ajaran etis Paulus tentang perempuan dalam 1 Tim 2:8-15.

Pembahasan
a)      Latar belakang historis
Siapa penulisnya 1 Timotius dan kapan ditulis, ternyata masih menjadi perdebatan hingga saat ini. Ada pendapat, surat ini ditulis oleh Paulus di Makedonia (1 Tim 1:3) sekitar tahun 63 M, yaitu setelah dia dibebaskan dari tahanan di Roma atau antara tahun 60 dan 64[2]. Dilihat dari strukturnya, tema-tema yang dibahas, gaya bahasanya dan pemikiran dalam isi surat juga tidak berurutan secara teratur seperti surat-surat Paulus yang otentik, kecuali surat pastoral. Misalnya ada frasa “pistos o logos (1 Tim 1:15; 3:1; 4:9; 2 Tim 2:11; Tit. 3:8). Selain itu, jika dilihat dari segi ungkapan teologis, yaitu penggunaan kata epiphaneia” dari kata kerja epiphane artinya “penyataan”, adalah menunjuk kepada kedatangan Yesus kembali dan kehadiran-Nya di dunia. KJV, NIV dan RSV menterjemahkannya dengan appearing, appearance, epiphany” (1 Ti 6:14; 2 Tim 1:10; 4:1, 8; Tit 2:13).

Untuk menjelaskan perbedaan di atas paling tidak ada tiga pendapat yang patut dipertimbangkan: (a). Surat 1 Timotius tidak ditulis oleh Paulus, melainkan oleh sekertarisnya (amanuensis). Itulah sebabnya gaya penulisannya sedikit bebas dan berbeda dengan tulisan-tulisan Paulus terdahulu; (b). Pendapat mayoritas mengatakan, bahwa surat ini hanya menggunakan nama Paulus sebagai nama samaran (pseudonim), dengan maksud untuk menyembunyikan identitas penulis yang sebenarnya.[3]; (c). Pendapat minoritas, (misalnya: Howard Marshall) mengatakan surat ini bersifat allonium, yaitu bukan Paulus yang menulisnya melainkan oleh orang lain. Jika demikian, apakah penulis bertujuan “mengelabui” pembacanya? Tentu saja tidak! Karena yang penulis sampaikan adalah ajaran Paulus yang telah diadaptasikan oleh “kelompok Paulus” sesudah kematiannya. Dengan kata lain, penulis surat 1 Timotius ingin jemaat-jemaat Kristen saat itu tetap mengingat ajaran Paulus dalam menghadapi bahaya ajaran sesat, sekalipun Paulus telah tiada.

Tidak hanya itu, tetapi surat ini juga ditujukan pekada Timotius, yaitu dalam rangka memberi tanggung jawab untuk menggembalakan jemaat dan mengangkat gembala-gembala jemaat, terutama untuk menghadapi ancaman ajaran sesat yang telah mempengaruhi kehidupan jemaat. Tujuan adalah untuk menguatkan para pemimpin jemaat dalam menghadapi guru-guru palsu dengan ajaran sesatnya yang menyusup ke dalam jemaat dan menganggu ketenangan. Oleh sebab itu, jemaat membutuhkan tuntunan dan harus ditolong untuk:  mengajarkan ajaran yang benar, hidup dalam kekudusan dan tata gereja yang kokoh. Ini mengindikasikan, kemungkinan yang terpengaruh ajaran sesat yang menyusup di dalam jemaat itu adalah sebagian dari para pemimpin. Jadi, surat 1 Timotius bukan ditulis Paulus, melainkan oleh sebuah kelompok (murid-murid) yang tetap setia memelihara ajaran Paulus, dan serentak dengan itu, mereka meneguhkan para pemimpin jemaat dan jemaat dalam menghadapi bahaya ajaran sesat orang Yahudi[4].

c). Perempuan dalam kebudayaan Yahudi

Di dalam keluarga Israel sebagai penganut budaya patriakal dan pokok utama adalah berpusat pada suku sangat kental dan terasa.[5] Itulah sebabnya, setiap individu mengidentifikasikan dirinya sebagai “rumah ayahnya” yang secara fungsional sepadan dengan “keluarga”. Padanan ini menggambarkan otoritas patriakal. Dalam keluarga Israel, ayah dan suami merupakan kepala yang dilihat sebagai pemilik atas kehidupan saudara-saudara perempuannya. Dengan kata lain, seluruh hidupnya ditempatkan pada posisi di bawah perhatian dan perlindungan pihak laki-laki. Bahkan menurut budaya Israel, perempuan yang berstatus janda juga berada di bawah perlindungan sanak laki-lakinya atau keluarganya yang laki-laki.

Kaum perempuan dipandang sebagai pribadi yang lemah dan yang tidak akan pernah mandiri.[6] Berbeda halnya dalam kultus dan hukum, yaitu di mana kaum perempuan ditempatkan di bawah laki-laki, yaitu tunduk kepada kaum laki-laki. Dengan kata lain, ketergantungan kepada laki-laki merupakan hal yang lazim pada saat itu. Betapa tidak? Seorang perempuan/ istri adalah milik atau kepunyaan sang suami sepenuhnya, dan ia diperlakukan sama dengan barang atau harta kepunyaan yang lainnya (seperti Ladang, harta, budak dan sebagainya). Itulah sebabnya, dalam budaya Israel laki-laki atau suaminya harus dipanggil sebagai Ba’al, yaitu pemilik istri atau Adon, yang berarti tuan istri.

Valerie Abraham mengatakan, bahkan dalam praktik religius, kaum perempuan sangat dibatasi aktifitasnya karena dianggap tidak layak.[7] Bahkan, para rabi Yahudi memandang rendah dan hina kedudukan perempuan dalam praktik kultus atau keagamaan. Perhatikan ungkapan Georgia Harkness mengenai sikap seorang rabi Yahudi terhadap perempuan:

“One should not converse with a women, not even with one’s own wife; women are greedy eaters, curious listeners, indolent, jealous, and frivolous; “many women, many witchcraft”, ten cabs of garrulousness descended upon the world, nine come down upon the women, one upon the rest of the world”. “Blessed is he whose children are male and woe to him whose children are female” – in the light of the attitude toward women expressed in these quotation this outcry of ben kiddushin is understandable”.[8]

William Barclay mengatakan:

“Dalam kebudayaan Yahudi wanita tidak dianggap sebagai pribadi, melainkan sebagai sebuah barang”. Dia juga mengutip perkataan Rabi Josc ben Johanan yang mengatakan: “Biarkan rumahmu terbuka lebar-lebar dan orang-orang miskin menjadi anggota keluargamu, serta janganlah terlalu banyak bercakap dengan wanita.” Dikatakan lagi, bahwa “seorang rabi yang keras tidak pernah memberi salam kepada wanita, bahkan kepada isteri dan saudara-saudaranya yang perempuan” (William Barclay, 106).


d). Perempuan dalam kebudayaan Yunani

Berbeda dengan kebudayaan Yahudi, kedudukan perempuan dalam kebudayaan Yunani adalah beragam atau berpariasi, yaitu sesuai dengan statusnya dalam masyarakat. Perempuan dalam kelas menengah ke bawah pada umumnya melakukan tugas-tugas rumah tangga. Mereka sibuk dengan semua urusan rumah tangga, sehingga tidak memiliki kesempatan untuk bersenang-senang dengan orang banyak yang ada di luar sana. Bahkan jarang tampil di depan umum karena kesibukan-kesibukannya.[9] Sedangkan perempuan yang berada pada kelas atas dan berpendidikan lebih memiliki kesempatan untuk tampil di muka atau di depan umum. Mereka dapat belajar dan mengeluti berbagai pendidikan formal dan meliputi bidang pekerjaan publik, seperti bidan, dokter, pengacara, guru, pedagang, artis dan sampai kepada pelacuran.[10]

e). Pembahasan teks 1 Timotius 2:8-15 dan pejelasannya

Jika kita membaca 1 Timotius pasal 2:1-7, di sana Paulus bericara mengenai doa yang ditujukan kepada suatu kelompok (jemaat), sedangkan pada ayat 8-15 Paulus berbicara dan membahas mengenai kehidupan dalam rumah tangga atau keluarga. Mari kita mulai bagian ini dari ayat 8 yang berbunyi:
“Oleh karena itu aku ingin, supaya di mana-mana orang laki-laki berdoa dengan menadahkan tangan yang suci, tanpa marah dan tanpa perselisihan” (2:8).

Ayat 8 menunjuk kepada kebiasaan-kebiasaan orang Yahudi ketika berdoa, yaitu mengadahkan tangannya tetapi Allah memalingkan muka-Nya dan tidak mau mendengarkan doanya karena tangan mereka penuh dengan darah (Yes 1:15). Kemungkinan besar mereka yang mengajarkan ajaran yang tidak sehat, adalah suka berdoa dengan mengadahkan tangan yang sia-sia dan hanya bersifat formalitas belaka karena tujuan mereka adalah untuk menyesatkan. Maka dari itu Paulus menambahkan “berdoa dengan tangan yang suci”. Di sini kita melihat ada hal-hal tertentu yang dituntut, yaitu kesungguh-sungguhan dalam berdoa. Frasa “tangan yang suci”[11] menunjuk kepada perbuatan yang seharusnya, yang berkenan dan menjadi berkat bagi semua orang. Nasihat ini terutama ditujukan kepada semua laki-laki yang menjadi pemimpin dalam jemaat pada masa itu.[12] Tujuannya supaya mereka berbeda dengan cara atau kebiasaan berdoa yang kosong.

Sedangkan frasa “tanpa marah dan tanpa perselisihan”. Dalam bahasa Yunaninya kata “perselisihan” adalah terjemahan dari kata “dialogismou” dengan kata dasar “dialogismos”, yang berarti “pertengkaran atau keraguan”. Ini menunjuk kepada sikap hati yang harus benar-benar tenang, hening, bersih dan fokus saat berdoa. Dalam konteks itulah Yesus mengatakan bahwa: “apabila engkau mempersembahkan persembahan, terlebih dahulu berdamailah dahulu dengan saudaramu” (Mat 5:23, 24). Artinya, adalah percuma dan sia-sia persembahan dan ibadah seseorang kepada Tuhan jika ia tidak berdamai dengan orang-orang yang pernah dia sakiti dan lukai. Betapa tidak? Tuhan sangat mencintai kedamaian hidup dan bukan permusuhan.

Dalam bagian selanjutnya, yaitu ayat 9-15 yang berkaitan dengan kedudukan perempuan dalam jemaat. Untuk memahami teks ini tidak bisa terlepas dari konteksnya, karena erat kaitannya dengan situasi / konteks saat itu. Teks ini ditulis dan disampaikan oleh kelompok Paulus untuk melawan kebiasaan-kebiasaan orang Yahudi yang keliru memahami Taurat. Hukum Taurat dijadikan alat untuk mendukung argumentasi bahwa kedudukan wanita itu lebih rendah dari laki-laki. Itulah sebabnya kebudayaan Yahudi memandang rendah kedudukan seorang perempuan, dan bahkan tidak dianggap sebagai pribadi, melainkan sebagai sebuah barang (lih. William Barclay, 106). Bahkan, dalam Saying of the Fothers, Rabi Josc ben Johanan mengutip sebuah perkataan: “Biarkan rumahmu terbuka lebar-lebar dan orang-orang miskin menjadi anggota keluargamu, serta janganlah terlalu banyak bercakap dengan wanita.” Dikatakan lagi, bahwa “seorang rabi yang keras tidak pernah memberi salam kepada wanita, bahkan kepada isteri dan saudara-saudaranya yang perempuan”.

Jika kita perhatikan ayat 9-10 dimulai dengan kata “Hosautos”, RSV: “also”, KJV: manner”: “cara, gaya atau sikap” tapi juga bisa dengan “Likewise” LAI: “demikian juga”. Kata “Hosautos” tidak hanya menujuk pada sebuah cara dan sikap yang seharusnya bagi kaum wanita, tetapi lebih jauh lagi, yaitu menurut Paulus bahwa kedudukan perempuan dan laki-laki adalah sederajat. Hanya cara mengekpresikannya yang berbeda, yakni laki-laki melalui aktivitas dan wanita melalui penampilannya. Kesederhanan merupakan perilaku, cara atau sikap yang sangat umum pada masa itu. Oleh sebab itu, nasihat ini dilontarkan penulis surat 1 Timotius supaya jangan memakai perhiasan emas dan pakaian yang mahal. Kemungkinan ini ditujukan kepada wanita-wanita kaya yang menggunakan berbagai perhiasan dan mengenakan pakaian yang mahal-mahal, kemudian berusaha terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang tidak bermanfaat. Dalam hal ini, tidak berarti wanita dilarang menggunakan busana yang indah, perhiasan-perhiasan yang mahal, tetapi yang terpenting adalah keindahan batin atau “berdandan dengan perbuatan baik, seperti layaknya perempuan yang beribadah” (2:10).

Selanjutnya, ayat 11-14, dalam bagian ini terlihat sangat tegas, keras dan tajam, bahwa wanita harus berdiam diri, patuh, tidak boleh mengajar, tidak boleh memerintah laki-laki pokoknya harus tunduk, karena wanita yang terlebih dahulu berdosa. Inilah paham yang dianut oleh tradisi Yahudi dan Yunani. Untuk memahami pernyataan yang terkesan merendahkan kaum perempuan di atas, maka ada baiknya kita melihat ke kota Korintus dan Efesus! Di kota Korintus terdapat kuil Aphrodite yang didiami atau dihuni oleh ribuan imam wanita yang menjadi pelacur suci dan menjajakan dirinya di lorong-lorong pada malam hari. Selanjutnya, di Efesus juga terdapat kuil Diana yang memiliki ratusan imam wanita yang disebut Melissae, yang artinya “kawanan lebah” yang berfungsi dan berprofesi sama dengan wanita-wanita di kota Korintus, yaitu wanita-wanita itu menjajakan dirinya dan melakoni dunia pelacur. Inilah alasan yang utama mengapa kaum wanita terkesan direndahkan. Oleh sebab itu, jika teks ini dilepaskan dari konteksnya maka itulah yang terjadi, yaitu cenderung menganggap wanita lebih rendah dari wanita.

Orang-orang Yahudi melihat, bahwa wanita yang layak dalam ibadah jemaat adalah wanita yang harus menundukan diri kepada hukum Taurat, yaitu: penurut, tidak memerintah, berdiam diri dan menerima ajaran dengan patuh, maka itulah wanita yang beribadah. Sedangkan bagi orang-orang Yunani, wanita terhormat hidup dengan sangat membatasi diri, bahkan ia tinggal ditempat yang tidak seorang pun bisa datang, kecuali suaminya. Sedangkan wanita Kristen saat itu aktif dalam pertemuan umum dan ikut dalam percakapan-percakapan. Maka tidak heran jika gereja saat itu dianggap sebagai tempat perlindungan bagi wanita-wanita nakal. Itulah sebabnya kata “seharusnya” pada ayat 11 dibenarkan dalam konteks saat itu, namun tidak pernah dijadikan alasan untuk merendahkan kedudukan perempuan seperti yang tertulis dalam ayat 13-14.

Kembali kita melihat kata “authenteo dalam ayat 12, yang diterjemahkan “to govern, exercise authority” KJV menterjemahkan “to usurp authority”, namun George W. Knight segera membantah bahwa terjemahan KJV keliru (evidently erroneous), menurut dia yang benar adalah “to have authority”[13]. Tahun 1979 Cathrine C. Kroeger menegaskan bahwa kata authenteo” berkaitan dengan erotic.[14] Selain itu, Osburn menterjemahkannya dengan “to dominate or domineer”. Maka dapat kita katakana bahwa kata authenteo berarti memerintah yang melebihi batas normal atau yang tidak sewajarnya, yaitu untuk memerintah dan menguasainya. Sebenarnya ayat 11-14 adalah untuk menentang ajaran-ajaran dan tradisi Yahudi dan Yunani yang berusaha merendahkan kedudukan perempuan. Perhatikan ayat 14 “bukan Adam yang tergoda dan yang pertama jatuh dalam dosa, melainkan Hawa”. Tradisi ini sering dipakai sebagai penguat argument-argumen yang ingin menyatakan bahwa wanita lebih rendah dari laki-laki. Ayat ini pun sering disalahpahami oleh orang-orang Kristen atau oleh sebagian besar para pemimpin gereja dewasa ini, terutama gereja-gereja yang melarang dan membatasi aktifitas wanita dalam berjemaat. Bisa dikatakan bahwa ini adalah kekeliruan yang terulang kembali atau kesalahan yang dibenarkan karena kesombongan dan kegengsian dari pihak laki-laki. Pertanyaannya di mana letak kesombongannya? Jika diperhatikan baik-baik ayat 14 ini, maka kita akan menemukan kesombongan yang dilakukan oleh mereka yang menganggap dirinya tidak berdosa dan menghakimi kaum perempuan sebagai pemula dosa.

Kemudian ayat 15 dengan jelas Paulus mengangkat kedudukan kaum perempuan, bahwa ia akan diselamatkan kerena melahirkan anak-anaknya. Dalam tradisi Yahudi seorang anak adalah pawaris terutama bagi anak laki-laki. Sedangkan dalam kebudayaan Yunani wanita yang tidak mempunyai anak dianggap kena kutukan. Pengangkatan derajat perempuan di atas bukan untuk merendahkan kaum laki-laki, melainkan untuk memperbaiki pemahaman yang keliru yang dianut oleh sebagian orang-orang Kristen saat itu. Lebih jauh dari itu, Paulus juga menantang keras dan melawan ajaran yang melarang orang kawin pada saat itu (1 Tim 4:3). Maka jelaslah bagi kita bahwa Paulus tidak pernah sedikit pun bermaksud untuk merendahkan kedudukan wanita. Karena bagi Paulus, baik laki-laki maupun wanita diciptakan sederajat, yaitu tidak ada yang lebih tinggi dan tidak ada yang lebih rendah, sebab keduanya harus hidup saling menolong, melengkapi dan menyempurnakan.

f). Kesimpulan

Sebelum menyimpulkan pembahasan surat 1 Timotius 2:8-15, maka ada baiknya kita memperhatikan sebuah kalimat yang sarat dengan makna berikmut ini! Dikatakan: “In Paul’s understanding men and women, while equal in value and importance before the Lord, were not regarded as unisex components with swappable function in home and church”.[15]

Dengan demikian kita menyimpulkan bahwa apa yang ada dalam pemahaman atau pikiran Paulus bukanlah untuk memandang kedudukan perempuan lebih rendah dari laki-laki, melainkan untuk melawan ajaran sesat yang menyusup dalam jemaat Kristen saat itu. Apa saja bentuk atau ciri-ciri ajaran sesat itu: (a). “Dongeng dan silsilah yang tiada putus-putusnya” (1:3-4); (b). Ajarannya menyimpang dari “kasih, hati nurani yang murni dan iman yang tulus ikhlas” (1:5); dan (c). Pengajaran hukum Taurat yang tanpa pengertian dan disalahpahami oleh orang-orang Yahudi (1:6-7), serta larangan terhadap perkawinan (3:14-4:10).

Selanjutnya, untuk memahami teks kitab di atas adalah tidak boleh dilepaskan dari konteksnya. Karena jika teks itu dipahami terpisahkan dan terlepas dari konteksnya maka yang ada hanyalah kekeliruan dan kesalahan yang dapat menimpulkan jurang antara kaum laki-laki dan perempuan, seperti yang dipahami oleh gereja-gereja yang menganggap rendah kaum perempuan. Jika gereja sudah demikian maka ia tidak ada bedanya dengan pemahaman orang-orang Yahudi saat itu, yang yaitu wanita harus tunduk terhadap laki-laki, penurut, tidak memerintah, berdiam diri dan menerima ajaran dengan patuh sesuai dengan hukum Taurat. Atau sama dengan pemahaman orang Yunani saat itu, yang memandang, bahwa wanita terhormat harus hidup membatasi diri, dan bahkan tinggal ditempat yang tidak seorang pun bisa datang, kecuali suaminya. Padahal itulsh sjsrsn ysng ditantang oleh Paulus. Di samping itu, surat ini juga ditulis untuk menghindari tuduhan-tuduhan yang tidak benar terhadap orang-orang Kristen saat itum, yakni tuduhan bahwa kekeristenan melindungi dan menampung perempuan-perempuan nakal.

Alasan yang lain lagi adalah untuk membuktikan bahwa orang Kristen juga bisa hidup sebagai warga Negara yang baik: tidak menimbulkan kekacauan, kecurigaan terhadap pemerintah Romawi atau masyarakat yang tidak Kristen (2:1-2). Demikian juga relasinya dengan laki-laki terutama dalam hal cara berpakaian (2:8-15), berdandan dengan pantas, sopan dan sederhana. Artinya, prilaku yang baik, hidup yang harmonis, pergaulan yang sehat adalah pentingnya, terutama prilaku yang berbeda dengan perempuan-perempuan nakal, yang menjajakan harga dirinya kepada laki-laki hidung belang seperti yang terjadi di kota Korintus dan Efesus saat itu. Bahkan saat ini hal serupa juga telah terjadi dan meracuni nilai-nilai mulia yang ada di dalam diri manusia, entah itu laki-laki maupun perempuan. Dan mungkin lebih parah seperti yang terjadi di Korintus dan Efesus saat itu. Karena itu, berlakulah sebagai manusia yang beribadah dan bertuhan!


KEPUSTAKAAN

Barclay, William. Pemahaman Alkitab Setiap Hari, Surat 1 Dan 2 Timotius, Titus, Filemon (Jakarta: BPK Gunung Mulia), 2001
Budiman, R. Tafsiran Alkitab Surat-Surat Pastoral 1 & 2 Timotius Dan Titus (Jakarta: BPK Gunung Mulia), 1994.
Campbell, K.M. ed., Marriage And Family In The Biblical World (Downers Grove, IL: InterVarsity), 2003.
Drane, John. Memahami Perjanjian Baru – Pengantar Historis – Teologis (Jakarta: BPK Gunung Mulia), 2006
Erdman, Charles R. The Pastoral Episles Of Paul (Philadelphia: The Westminster Press, 1929)
Gorday, Peter. Ancient Christian Commentary On Scriptur – New Testament IX Colossians, 1-2 Thessalonians, 1-2 Timothy, Titus, Fhilemon (Dowrner Grove, Illionis: InterVarsity Press, 2000.
Groenen, C. Pengantar Ke Dalam Perjanjian Baru (Yogyakarta: Kanisius, 2000.
Hess, R.S. and M. D. Carroll., eds., Family In The Bible (Grand Rapids: Baker), 2003.
Houlden, J.L. The Pelican New Testament Commentaries - The Pastoral Epistles, 1 And 2 Thimoty, Titus (Penguin Books), 1976.
Kostenberger, Andreas J. And Thomas R. Schriner, Women In The Church – Analysis And Application Of 1 Timothy 2:9-15 (second Edition), (Grand Rapids, Michig: Baker Academic), 2005.
                  .with D. Jones, God, Marriage, And Family (Wheaton: Crossway), 2004.
Kroeger, C. C. Ancient Heresies And A Strange Greek Verb, Reformed Journal No. 29 1979.
Liefeld, Walter L. 1 & 2 Timothy, Titus, The NIV Application Commentary (Grand Rapids, Michigan: Zondervan Publishing House), 1999.
Lock, Walter. A Critical And Exedetical Commentary On The Pastoral Epistles – I & II Timothy And Titus (Edinburgh: T.& T. Clark, 38 George Street), 1936.
Rolston, Holmes. The Layman’s Bible Commenraty 1-2 Thessalonians, 1-2 Timothy, Titus Philemon (Richmond, Virgina: John Knox Press, 1967.
Torrance, David W., Thomas F. Torrance. Calvin’s Commetaries – The Second Epistle Of Paul The Apostel To The Corinthians And The Epistles To Timothy, Titus And Philemon (Grand Rapids, Michigan: Wm. B. Eerdmans Publishing Company), 1991.




[1] Viktor Silaent, Catatan Kuliah Metode Penelitian (Cipanas, Jumat, 5 Ferbuari 2010).
[2] R. Budiman,Tafsiran Alkitab Surat-Surat Pastoral 1 & 2 Timotius Dan Titus (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1994), 1; bnd. pendapat para ahli yang diperlihatkan Walter Lock dalam bukunya, A Critical And Exedetical Commentary On The Pastoral Epistles – I & II Timothy And Titus (Edinburgh: T.& T. Clark, 38 George Street 1936), xxii; lht. John Drane, Memahami Perjanjian Baru – Pengantar Historis – Teologis (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006), 394.
[3] Menggunakan nama orang lain adalah cara yang lazim saat itu, dan kemungkinan penulisnya pernah ditolak oleh masyarakat atau jemaat, maka supaya pemikirannya bisa diterima, ia mengunakan nama Paulus. Otoritas Paulus dipakai untuk membantu para pemimpin jemaat lokal mengatasi penyusupan bidat-bidat di dalam jemaat itu sendiri
[4] Para ahli menyebutkan bahwa ajaran sesat yang dimaksudkan adalah berasal dari orang-orang Yahudi yang mencampur-adukan unsur-unsur Yahudi dengan unsur asketis dan salah menafsirkan ajaran Paulus. Walter L. Liefeld, 1 & 2 Timothy, Titus, The NIV Application Commentary (Grand Rapids, Michigan: Zondervan Publishing House, 1999), 19; lht. J.L. Houlden, The Pelican New Testament Commentaries - The Pastoral Epistles, 1 And 2 Thimoty, Titus (Penguin Books 1976), 32; Bnd. William Barclay, Pemahaman Alkitab Setiap Hari, Surat 1 Dan 2 Timotius, Titus, Filemon (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001), 9.
[5] Barnabas Ludji, Diss., Aspek-Aspek Sosial-Ekonomi Dalam Pemberitaan Nabi-Nabi Abad ke-8 SM., 231-243; lht. A.D.D. Mayes, Judges: Old Testament Guides, 1985), 46.
[6] Letha Scanzoni & Nancy Hardesty, All We’re Meant To Be: A Biblical Approach To Women’s Liberation (Texas: Word Books Publisher, 1975), 43.
[7] Valerie Abraham, Women. Bruch M. Metzger & Michael D. Coogen (Ed) The Oxford Companion To The Bible (New York: Oxford University Press, 1993), 809-810.
[8] Georgia Harkness, Women In Church & Society (New York: Nishville Abingdon Press, 1972), 157.
[9] Lht. Oepke, Gerhard Kittell (Ed), Theological Dictionary Of The New Testament Vol. 1 (Michigan: Wm. B. Eerdmans Publishing, 1983), 777-779.
[10] Lht. Valerie Abraham, Early Christianty. Metzger & Coogen (Ed). The Oxford, hal 815.
[11] David W. Torrance, 214; bnd. Peter Gorday, Ancient Christian Commentary On Scriptur – New Testament IX Colossians, 1-2 Thessalonians, 1-2 Timothy, Titus, Fhilemon (Dowrner Grove, Illionis: InterVarsity Press, 2000), 163.
[12] Charles R. Erdman, 34-35.
[13] Andreas J. Kostenberger, And Thomas R. Schriner, Women In The Church – Analysis And Application Of 1 Timothy 2:9-15 (second Edition), (Grand Rapids, Michig: Baker Academic, 2005), 39-44.
[14] C. C. Kroeger, Ancient Heresies And A Strange Greek Verb, Reformed Journal 29 (1979), 12-15.
[15] Andreas J. Kostenberger, And Thomas R. Schriner, Women In The Church – Analysis And Application Of 1 Timothy 2:9-15 (second Edition), (Grand Rapids, Michig: Baker Academic, 2005), 122; yang senada dengan itu lht. R.S. Hess and M.D. Carroll., eds., Family In The Bible (Grand Rapids: Baker, 2003); K.M. Campbell, ed., Marriage And Family In The Biblical World (Downers Grove, IL: InterVarsity, 2003); A. Kostenberger with D. Jones, God, Marriage, And Family (Wheaton: Crossway, 2004). Lihat juga D. Blankenhorn, D. Browning, and M.S. Van Leeuwen, eds., Does Charistian Teach Male Headship? The Equal-Regard Marriage and Its Critics (Grand Rapids: Eerdmans, 2004).