Monday 27 August 2012

BELAJAR DARI KISAH SEORANG TUKANG BANGUNAN


Oleh: Sugiman

Alkisah, seorang tukang kuli bangunan tua yang hendak pensiun dari profesi yang sudah digelutinya selama bertahun-tahun. Mengingat usianya sudah sangat tua, maka ia merasa harus menikmati masa tua bersama istri tercinta, anak-anak, cucu dan orang-orang yang dikasihinya. Namun di sisi yang lain ia tahu bahwa ia akan kehilangan penghasilan rutinnya, tetapi bagaimanapun ia tetap merasa bahwa dirinya butuh akan istirahat.

Pada suatu ketika, yaitu di mana semuanya sudah terpikirkan dan dipertimbangkan dengan matang dan bijaksana, maka ia pun menyampaikan rencana tersebut kepada majikannya. Dengan berat hati, merasa sedih dirasakan oleh sang Majikan, sebab ia akan kehilangan salah satu tukang bangunan terbaiknya, yang tidak diragukan lagi keahlinya di bidang bangunan. Meskipun demikian, sang Majikan juga tidak ingin memaksa supaya ia tetap dan harus mempertahankan profesinya. Karena itu, meskipun berat hati sang Majikan menghargai keputusan salah satu karyawannya.

Dalam masa-masa yang sama, sang Majikan mengajukan sebuah permintaan terakhir sebelum akhirnya salah satu karyawannya ini berhenti dan melepaskan statusnya sebagai salah seorang karyawan terbaik, sang mandor memintanya sekali lagi untuk membangun sebuah rumah mewah, megah dari kayu terpilih atau bahan bangunan lainnya yang terbaik dan tahan untuk seumur hidup, dan ini betul-betul permintahan terakhir kalinya, tegas sang Majikan dengan suara lembut.

Mendengar permintaan terakhir sang Majikannya itu, maka ia pun mengiakannya. Tetapi kali ini dengan rasa terpaksa dan berat hati si tukang bangunan menyanggupi permintaan Majikan. Dalam hati ia berkata, ya tidak apa-apalah, karena ini untuk yang terakhir kalinya sebelum akhirnya ia pensiun. Dengan berat hati, mengerutu atau penuh dengan sungut-sungut si tukang bangunan ini mengerjakannya.

Karena sang Majikan merasa yakin sepenuhnya, maka ia hanya tersenyum kepada salah satu karyawan terbaiknya ini dan mengatakan: "Kerjakanlah dengan cara dan keahlian terbaik yang kamu bisa, dan kamu bebas membangun dengan semua bahan terbaik yang ada." Dengan senyum, si tukang menyembunyikan keterpaksaannya supaya tidak diketahui oleh sang Majikan.

Keesokan harinya si tukang pun memulai pekerjaan terakhirnya itu. Karena sang Majikan sudah percaya sepenuhnya, maka ia tak diawasi oleh seorangpun, termasuk oleh sang Majikannya. Karena itu, ia bermalas-malasan dan asal-asalan saat mengerjakannya. Bahkan ia (si tukang) menggunakan bahan-bahan yang tidak berkualitas, cepat lapuk, bahan-bahan yang seharusnya tidak pantas untuk sebuah bangunan megah, kokoh dan terlihat mewah. Tetapi karena cat-cat dengan kualitas terbaik yang digunakannya, maka semua bahan yang berkualitas rendah, kayu yang mudah lapuk dan bahan-bahan yang mudah membusuk dalam waktu dekat itu tak tampak sedikitpun.

Seiring berjalannya waktu, bangunan atau rumah mewah itu pun selesai. Keesokan harinya, sang Majikan datang untuk memastikan dan memeriksa bangunan mewah yang tidak lain adalah permintaan terakhirnya. Ketika selesai memeriksa luar dalamnya dan sang Majikan pun sembari menutup daun pintu depan, kemudian ia berbalik kepada seorang tukang bangunan yang akan pensiun ini dan berkata, "Ini adalah rumahmu, hadiah dariku untukmu, semoga kamu dan keluargamu hidup bahagia!"

Mendengar kalimat sang Majikan di atas, si tukang bangunan ini sangat terkejut dan merasakan penyesalan yang amat mendalam atas apa yang telah ia lakukan. Dengan hati yang menyesal ia berteriak dalam hatinya: “kalau saja sejak dari awal aku tahu bahwa rumah ini akan menjadi milikku, maka aku pasti membangunnya dengan sungguh-sungguh, menggunakan bahan-bahan terpilih dan menggunakan bahan-bahan terbaik serta berkualitas tingggi.”

Tetapi sayang semuanya sudah terlambat dan terjadi. Sekarang, mau tidak mau ia harus tinggal bersama keluarganya di rumah yang terlihat mewah dan megah dari luar karena kilapan cat-cat terbaik, tapi sayang di dibalik cat-cat mengkilap itu hanyalah selimut atas bahan-bahan yang rapuh, mudah lapuk dan mudah busuk. Itu artinya, ia hanya tinggal menunggu rumah itu rusak dalam jangka waktu dekat dan menyaksikan hasil perbuatannya sendiri.

Sayang sekali, karena ketidaksungguhan, berat hati, ketidakseriusan, asal-asalan dan keterpaksaan ternyata memaksa si tukang bangunan harus memilih cara yang terburuk, yang mengantarkannya pada penyesalan, serta mengakhiri karirnya dengan cara yang menyedihkan.

Refleksi!

Sebagian dari kita saat ini adalah bekerja sebagai salah seorang karyawan pada perusahan atau lembaga tertentu. Bahkan ada yang sudah mengabdi bertahun-tahun hingga harus pensiun karena usia lanjut. Ada begitu banyak pekerjaan yang telah kita lakukan, yang telah kita berikan kepada banyak orang di luar sana untuk melihat dan menikmati hasilnya. Tetapi pertanyaannya adalah, seberapa banyakkah kita sudah mengerjakan semuanya itu dengan cara-cara terbaik yang kita miliki, dengan segenap hati, tanpa sungut-sungut, tanpa berat hati atau keterpaksaan?

Kisah di atas mengajarkan kepada kita, bahwa selama masih ada waktu, kerjakanlah segala sesuatu dengan sungguh-sungguh, yang mendatangkan kebaikan bagi semua orang dengan hati yang tulus, dengan cara-cara hebat yang telah Tuhan berikan kepada setiap orang. Karena ada saatnya di mana setiap orang tidak dapat melakukannya lagi, yaitu ketika maut menjemputnya kelak. Sehingga hidupnya terasa hambar, tidak memberikan dampak positif apapun dan dilupakan di dunia ciptaan-Nya.

Sekali lagi, lakukanlah semua pekerjaan mulia yang dipercayakan Tuhan kepada kita, dan kerjakanlah semuanya dengan hati yang ikhlas, yaitu seolah-olah hari ini adalah hari terakhir Anda dan saya untuk berkarya di dunia ciptaan-Nya. Karena sebenarnya kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi satu detik yang akan datang dalam hidup kita. Dunia ini adalah rumah terbesar yang kita tinggali bersama keluarga besar, yaitu semua orang yang ada di dalamnya, tetapi tidak jarang kita melakukan banyak hal yang sia-sia, tidak maksimal, asal-asalan, bersungut-sungut dan penuh keterpaksaan. Ingat! Jangan sampai Anda dan saya menyesalinya dikemudian hari, yaitu ketika kita ditanya dan diperhadapkan dengan Sang Khalik.