Saturday 15 September 2012

KISAH SEORANG JANDA YANG BERHATI MULIA (1 RAJA 17:7-16)


Oleh: Sugiman

Alkisah, di sebuah desa kecil yang bernama Sarfat, yang terletak di pelabuhan kapal di pantai laut Fenisia di Timur Tengah. Dalam kisah itu diceritakan mengenai kehidupan seorang janda miskin bersama anak perempuannya, satu-satunya yang masih berusia sangat muda. Namun tidak disebutkan berapa usia dari anaknya itu. Mungkin usia anak itu sekitar 12 tahunan.

Yang jelas dalam kisah tersebut, diceritakan, bahwa anaknya itu belum bisa bekerja atau melakukan pekerjaan berat untuk menghidupi ibunya yang sudah hidup sekian lama menjanda. Karena itu, sang anak hanya disuruh menunggu di sebuah gubuk sederhana yang terletak di sebuah desa di Sarfat.

Dalam kesehariannya diceritakan bahwa seorang  janda ini bekerja sebagai petani gandum dan mengumpulkan kayu api. Panasnya terik sinar matahari tidak pernah membuatnya menyerah dan mengeluh dalam menjalani kehidupannya bersama anak sebatang karanya.

Seperti yang kita ketahui, bahwa di daerah Timur Tengah adalah daerah yang sangat gersang, tandus, kering kerontang dan berbatu-batu. Karena itu tidak banyak tumbuhan yang bisa hidup bertahan lama di sana, kecuali tumbuhan-tumbuhan tertentu, seperti tumbuhan kurma, kaktus dan sejenisnya.

Pada suatu ketika terjadilah kemarau yang sangat hebat sehingga menyebabkan kekeringan di mana-mana. Selama beberapa bulan di tahun itu tidak pernah turun hujan di negeri itu. Akibatnya, tumbuh-tumbuhan banyak yang menjadi layu dan mati karena tidak ada air. Bahkan dikatakan embun pagi pun tidak turun di tahun-tahun itu.

Salah seorang petani gandum yang gagal panen akibat kemarau yang berkepanjangan itu adalah seorang janda yang disebutkan di atas. Sang janda menyadari bahwa persediaan gandum yang dimilikinya sudah semakin menipis, dan bahkan banyak orang yang hidup pada masa itu menjadi melarat dan meninggal dunia akibat kelaparan.

Selanjutnya, dalam kisah kehidupan seorang janda di atas juga diceritakan, bahwa ia hanya tinggal memiliki segenggam tepung gandum dan sedikit minyak yang akan digunakan untuk membuat roti bundar. Maka dapat dibayangkan, yakni sebesar apa roti yang akan dihasilkan dari segengam tepung itu. Tetapi itulah kenyataan hidup yang sangat sulit, menyedihkan dan menyakitkan, yang dihadapi sang janda itu bersama anak sebatang karanya.

Pada saat sang janda sedang mencari beberapa potong kayu api untuk memasak segenggam tepung menjadi sebuah roti bundar, yaitu demi menyambung hidup bersama anaknya. Beberapa saat kemudian datanglah seorang laki-laki bernama Elia dari daerah Tisbe – Gilead, yaitu daerah yang terletak di pegunungan di sebelah timur Sungai Yordan.

Ketika Elia melihat janda itu sedang mengumpulkan kayu api, ia berseru kepadanya dan berkata: “Cobalah ambil bagiku sedikit air dalam kendi supaya aku minum.” Ketika janda itu pergi mengambilnya, Elia berseru lagi katanya: “Cobalah ambil juga bagiku sepotong roti.”

Kemudian janda itu menoleh ke arahnya dan berkata: “Demi Tuhan Allahmu, yang hidup, sesungguhnya tidak ada roti padaku sedikitpun, kecuali segenggam tepung dalam tempayan dan sedikit minyak dalam buli-bili. Dan sekarang aku mengumpulkan dua tiga potong kayu api, kemudian aku mau pulang dan mengolahnya bagiku dan bagi anakku, dan setelah kami memakannya, maka kami akan mati”.

Dari kalimat di atas dengan jelas memperlihatkan, bahwa setelah mereka habis memakan roti itu, maka tinggal menunggu hari kematian datang menjemput mereka. Karena sudah tidak ada persediaan tepung, yang dapat dioleh menjadi roti. Sungguh ini adalah situasi yang sangat mengerikan bagi kehidupan orang-orang saat itu, termasuk keluarga si janda itu.

Selanjutnya, yang lebih teragis lagi adalah, bahwa di dalam situasi yang sangat sulit itu, Elia yang datang sebagai orang asing bagi seorang janda itu dengan enaknya meminta sepotong roti kepadanya. Sudah sedikit, untuk dimakan berdua dengan anaknya, kini diminta lagi oleh orang yang tidak mereka kenal sebelumnya. Bahkan Elia meminta dibuatkan roti yang paling pertama, setelah itu baru anak dan dirinya.

Akan tetapi, si janda itu melakukan seperti yang dikatakan oleh Elia. Dikatakan, bahwa janda itu mengolah segenggam gandum yang dimilikinya itu menjadi sebuah roti bundar kecil. Kemudian tanpa merasa berat hati dan bersungut-sungut, melainkan dengan hati yang tulus ikhlas, serta sukacita, janda itu memberikan sepotong dari rotinya kepada Elia. Dan seketika itu juga tepung dalam tempayan simpanannya itu tidak habis-habis dan minyak dalam buli-buli itu juga tidak berkurang dalam jangka waktu tertentu hingga kebunnya menghasilkan gandum. Ini menandakan bahwa ia dan bersama anak perempuannya satu-satunya terbebas dari bencana kelaparan.

Kemudian, janda beserta anaknya itu tertunduk diam seribu bahasa dan berlutut dengan muka sampai ke tanah. Beberapa saat kemudian, dari lubuk hatinya yang terdalam ia berkata lirih dan lembut: “Sungguh, Tuhan sanggup melakukan banyak hal penting, yang dianggap mustahil bagi manusia, tetapi bagi Dia tidak ada satupun yang mustahil”.

Refleksi:

Para pembaca yang budiman, kisah di atas mengajarkan kepada bahwa jalani dan nikmatilah kebahagiaan hidup ini dengan sesama, terlebih dengan orang-orang membutuhkan pertolongan kita di dalam setiap situasi apapun. Cinta dan kasih sayang yang tulus ikhalas harus menjadi kunci utama dalam menjalaninya.

Karena itu, jangan pernah memandang sesama kita dengan sebelah mata, dan jangan pernah menutup pintu hati nurani kita sampai mereka mati. Tetapi pandanglah mereka dengan kedua bola mata kita, dan tataplah mereka dengan kasih yang tulus ikhlas, serta sambut dan terimalah keberadaan mereka sebagai saluran berkat dari Tuhan untuk kita.

Selanjutnya, jangan pernah meragukan kemampuan Tuhan dalam setiap hidup kita! Karena Tuhan sanggup melakukan banyak hal penting, yang daat mendatangkan kebaikan dalam setiap hidup kita.

Ingat!!! Tuhan tidak pernah menuntut dan memaksa kita untuk melakukan segala pekerjaan yang tidak mungkin atau mustahil bagi kita, melainkan melakukan apa yang di depan mata, yang mungkin dan dapat kita lakukan. Selebihnya, biarkanlah Tuhan yang melakukan segala sesuatu yang kita anggap mustahil. Karena sebenarnya Tuhan sangat peduli dengan setiap kehidupan orang yang selalu mengandalkan Dia dalam hidupnya.

Oleh sebab itu, mulai sekarang, lakukanlah banyak hal penting, yang mendatangkan kebaikan bagi sesama dengan cara-cara hebat yang telah Tuhan berikan dan tanamkan dalam setiap kehidupan manusia untuk kemuliaan-Nya.


Salam, semoga tulisan ini bermanfaat!

Monday 10 September 2012

JANGAN BIARKAN KEKECEWAAN MERUSAK KEBAHAGIAAN HIDUP INI!


Oleh: Sugiman

Mungkin Anda sepakat jika saya mengatakan bahwa sebagian besar manusia yang hidup di muka bumi ini sangat merindukan yang namanya kebahagiaan. Betapa tidak? Karena hampir segala aspek atau sudut kehidupan manusia adalah bermuara pada kebahagiaan. Sekalipun sebenarnya ada juga orang tidak ingin menikmati kebahagiaan hidup itu bersama sesamanya.

Akan tetapi, tampaknya kekecewaan yang dialami oleh banyak orang adalah masalah serius yang menghambat mereka untuk menikmati kebahagiaan hidup ini. Kekecewaan adalah virus yang sangat ganas, mematikan dan dapat merusak kebahagiaan hidup setiap orang yang memberi makan dan memeliharanya. Dengan kata lain, bahwa kekecewaan adalah ibu yang melahirkan sifat dendam, kebenciaan, mencari-cari kesalahan orang lain, emosional yang berlebihan dan sifat-sifat jahat yang lainnya.

Jika kekecewaan itu tetap dipertahankan, dipelihara dan diberi makan secara rutin, maka ia akan mengkristal di dalam hati tuannya, sehingga kebahagiaan hidup yang telah Tuhan berikan atau tanamkan di dalam hati setiap orang itu pergi menjauh, dan bahkan meninggalkannya. Artinya, tidak ada satu hal pun yang berharga dan bermanfaat yang dapat dihasilkan oleh kekecewaan, kecuali kekecewaan itu sendiri.

Kekecewaan tidak akan pernah melahirkan keberhasilan, kesuksesan dan kebahagiaan hidup bagi mereka yang memeliharanya. Selain itu, kekecewaan juga dapat mendatangkan berbagai kepahitan hidup yang luar biasa beserta luka batin yang mendalam. Cepat atau lambat ia pasti akan mengerogoti dan merusak syaraf-syaraf atau organ-organ penting dalam hidup kita. Tidak hanya itu, bahkan hasil penelitian para dokter di California membuktikan, bahwa sebagian besar pasien yang mengidap penyakit borok usus besar, kanker hati, tumor ganas dan penyakit ganas lainnya disebabkan oleh kekecewaan yang sudah mengkristal dan mendalam.

Sungguh, kekecewaan yang mendalam telah merusak kebahagiaan hidup banyak orang. Kekecewaan membuat hidup ini menjadi sangat berat untuk dipikul menuju masa depan yang lebih baik. Bahkan kekecewaan juga merupakan tembok yang menghalangi kita untuk merasakan sukacita, kebahagiaan dan cinta kasih yang telah Tuhan berikan pada setiap orang. Akibat lain dari kekecewaan adalah kita tidak dapat menerima dan mengakui secara jujur akan kebaikan Tuhan melalui orang-orang yang ada di sekeliling kita.

So, jika kita terus-menerus mempertahankan dan membiarkan kekecewaan mengerogoti hidup kita, maka lambat laun kita akan menjadi manusia yang tidak lagi hidup normal. Pikiran, perasaan dan tindakan kita dihantui, diracuni dan dirusak olehnya. Oleh sebab itu, tidak heran jika banyak orang telah kehilangan harapan dalam menikmati hidupnya di dalam dunia ciptaan-Nya, yang adalah sebagai tempat satu-satunya yang diberikan Tuhan pada kita.

Karena itu, mulailah dari sekarang untuk membuang rasa kecewa yang selama ini kita pelihara, kemudian serentak dengan itu, kita juga harus memberikan ruangan yang luas dalam hati kita untuk pertumbuhan dan perkembangan kebahagiaan hidup ini. Selanjutnya, bersyukurlah untuk segala sesuatu yang terjadi dalam hidup ini, karena dengan demikianlah Anda dan saya telah berusaha untuk tidak memberikan tempat pada kekecewaan.

Ada banyak hal yang menjadi penyebab atas kekecewaan seseorang, tetapi tidak ada cara lain yang dapat kita lakukan untuk menghilangkannya, kecuali membuangnya secara paksa. Dengan kata lain, adalah sangat menyakitkan saat kita berusaha membuangnya, tetapi sebenarnya itulah awal dari kebahagiaan yang sesungguhnya.

Karena itu, nikmatilah awal dari kebahagiaan hidup Anda yang sesungguhnya itu bersama orang-orang yang kita kasihi, dan semua orang yang ada disekitar kita. Karena mereka itulah bagian yang tak terpisahkan dan para sahabat terbaik yang telah Tuhan anugerahkan kepada kita. Oleh sebab itu, saya ucapkan selamat mencoba.


Salam kebahagiaan dan semoga bermanfaat.

BELAJAR DARI KISAH KESETIAAN SEEKOR ANJING


Oleh: Sugiman


Dalam sebuah film yang berjudul, “Hachiko: A Dog’s Story” menceritakan tentang seekor anjing yang tidak hanya taat pada tuan atau majikannya, tetapi juga setia pada sang majikannya. Ternyata pembuatan film ini terinspirasi dari kisah nyata seekor anjing bernama Hachiko yang hidup dalam rentang waktu tahun 1923-1935  di Jepang.

Kisah ini berawal ketika Profesor Parker Wilson (Richard Gere) bertemu dengan seekor anak anjing praremaja di Stasiun Kereta Api Bedridge, Wonsocked, Amerika Serikat, tempat dimana ia biasa pergi dan pulang dari bekerja. Karena merasa kasihan, maka seekor anak anjing itu diajaknya pulang ke rumahnya dan diberi nama Hachiko.

Parker beserta istrinya Cate (Joan Allen) memelihara dan merawatnya hingga Hachiko bertumbuh dewasa, besar dan tiada hari yang dilewatkan Parker tanpa bermain bersama Hachiko.

Pada suatu hari, Hachiko secara diam-diam dan tanpa disangka oleh Parker bahwa Hachiko mengikutinya dari belakang hingga ke stasiun saat Parker berangkat kerja. Secara tidak sengaja Parker menoleh ke belakangnya setelah ia masuk ke gerbong kereta dan melihat Hachiko sedang duduk akan menyaksikan keberangkatannya. Namun, Parker terpaksa keluar dari kereta untuk memulangkan Hachico ke rumah.

Ketika pulang dari bekerja dan keluar dari gerbong kereta, ternyata Hachico menjemputnya di stasiun pada pukul 17.00. Maka sejak saat itulah Parker membiarkan atau mengizinkan Hachico mengantar-jemputnya di stasiun.

Setiap hari Hachiko mengantar-jemput tuannya (Parker) ke stasiun. Para pedagang yang ada di sekitar stasiun, serta para penumpang lainnya yang berjalan kaki terkagum-kagum serta tercengang menyaksikan apa yang kelakuan Hachiko, itulah yang membedakannya berbeda dengan anjing pada umumnya.

Semua orang yang tinggal di sekitar Stasiun Bedridge menyayangi Hachiko dan selalu menyapanya dengan ramah dan senyuman hangat seperti layaknya sapaan kepada manusia. Dengan wajah ceria Hachiko menatap setiap orang yang menyapanya dan sambil menggoyangkan ekornya sebagai tanda keceriaannya.

Hari berganti hari dan sampai pada satu ketika, Hachiko tak menemukan kedatangan tuannya di stasiun pada pukul 17.00. Namun begitu, ia tetap menunggu sang tuannya pulang dari pekerjaannya.

Terdengar kabar, ternyata tuannya, Parker Wilson meninggal dunia karena serangan jantung ketika ia sedang mengajar. Sementara Hachiko sepertinya tidak pernah mengetahui dan mengerti bahwa tuannya yang selalu diantar jemputnya telah tiada.

Tidak lama setelah kematian Parker, Cate (istrinya) menjual rumah mereka dan pindah meninggalkan Bedridge. Sementara Hachiko dipelihara oleh anak perempuan Parker, Andy Wilson (Sarah Roemer).

Ketidakmengertian Hachiko atas kematian tuannya membuatnya terus berharap dan menantikan akan kepulangan tuannya. Berulang kali Hachiko kabur dari rumah Andy untuk pergi ke stasiun dengan harapan ia akan menemukan tuannya kembali.

Andy sangat menyayangi Hachiko, karena itu ia selalu menjemput Hachiko di stasiun, dan hingga pada akhirnya Andy merelakan Hachiko pergi. Selama itu juga Hachiko tinggal di stasiun menunggu waktu hingga pukul 17.00. Ia terus menunggu dan duduk di bundaran di depan stasiun Kereta Api, menantikan kedatangan tuannya.

Melihat keunikan tingkah laku Hachiko ternyata menarik perhatian banyak orang yang ada di sekitar stasiun, dan bahkan tulisan mengenainya juga dimuat dan disiarkan di berbagai media, seperti televisi dan di koran-koran sehingga kisahnya benar-benar menjadi legenda. Bahkan orang-orang memberinya makan Hachiko secara bergantian.

Kesetiaan Hachiko bertahan hingga tahun kesepuluh meninggalnya Parker, tuannya. Sampai akhirnya musim dingin tiba di tahun ke sepuluh, Hachiko meninggal di bundaran stasiun pada tengah malam yang sunyi dan dingin.

Kisah yang disajikan dalam film Hachiko: A Dog’s Story persis sama dengan kisah aslinya. Di Jepang, sebuah monumen berupa patung seekor anjing untuk mengenang kesetiaan Hachiko. Patung itu tepat didirikan di depan Stasiun Kereta Api Shibuya. Sungguh  kesetiaan Hachiko melebihi batasan kesetiaan anjing pada umumnya.

Refleksi

Para pembaca yang budiman, kisah nyata mengenai seekor anjing bernama Hachiko di atas mengajarkan kepada kita, bahwa kesetiaan adalah dilahirkan dari kasih tulus. Kesetiaan Hachiko dibentuk, yaitu ketika Profesor Parker memberikan kasih yang tulus padanya. Artinya, di dalam kasih yang tulus (sesungguhnya) tidak ada nilai kepura-puraan atau kepalsuan. Karena sesungguhnya, di dalam kepura-puraan hanya ada penghianatan.

Jika sesekor anjing saja sanggup setia sampai mati pada tuannya, bukankah manusia diciptakan Tuhan jauh melebihi kesetiaan seekor anjing? Bukankah manusia diberikan akal budi atau kecerdasan oleh Tuhan supaya dapat membedakan bahwa dirinya tidak sama dengan binatang? Tetapi sayang, realita kehidupan memperlihatkan, bahwa terkadang manusia lebih senang memelihara sikap, tindakan dan kasih yang penuh dengan kepura-puraan. Itulah sebabnya, di dalam dirinya benih-benih kebencian, dendam, iri hati, dengki dan penghianatan pada sesamanya dan terlebih pada Tuhan tumbuh dengan subur.

Sebagai akibatnya, kekerasan, ketidakadilan, dendam, kebenciaan dan pembunuhan atas sesamanya menjadi kecenderungan yang sangat sulit dihapuskan. Karena di dalam hatinya sudah tidak ada lagi tempat atau lahan untuk menumbuhkan benih-benih kehidupan seperti yang dikehendaki oleh Tuhan dari manusia.

Tuhan telah menciptakan manusia sedemikian rupa supaya mereka dapat hidup saling mengasihi seorang akan yang lainnya. Itulah sebabnya Tuhan sangat peduli terhadap orang-orang yang dengan setia mengasihi sesamanya dengan sepenuh hati, dan bukan dengan setengah hati atau kepura-puraan. Karena sesungguhnya, kesetiaan kita terhadap sesama, kasih kita terhadap sesama seharusnya menjadi bukti nyata kasih dan kesetiaan kita kepada Tuhan. Maka, adalah tidak mungkin seseorang mengatakan bahwa dia sangat mengasihi Tuhan dengan sepenuh hati sementara ia tidak mengasihi sesamanya dengan sepenuh hati.