Saturday 1 June 2013

HATI YANG TERGERAK OLEH BELAS KASIHAN



Oleh: Sugiman

“Melihat orang banyak itu, tergeraklah hati Yesus oleh belas kasihan kepada mereka, karena mereka lelah dan terlantar seperti domba yang tidak bergembala.” (Matius 9:35)


Dari sekian banyak mata manusia yang melihat dan menyaksikan orang lain yang sedang tertimpa musibah, hanya sedikit orang saja yang hatinya tergerak oleh belas kasihan untuk memberikan pertolongan. Mengapa demikian? Karena mereka tidak mengerti makna kehidupan. Dengan kata lain mereka telah kehilangnya makna kehidupan. Hal ini jugalah yang terjadi pada masa Yesus saat itu. Sebelum Yesus menyembuhkan orang yang menderita buta dan orang bisu yang kerasukan setan, kehidupan mereka dipandang seperti sampah dan tak masuk hitungan sebagai manusia.

Selain itu, mereka yang dikatakan lelah dan terlantar seperti domba yang tidak bergembala dalam teks di atas sebenarnya bukan karena mereka kelelahan dan terlantar mengikut Yesus semata. Tetapi sebagian besar dari mereka adalah buruh-buruh kasar yang tidak memiliki masa depan hidup, karena upah rendah dan bahkan tidak digaji oleh majikannya. Karena itu, ketika mereka bertemu dengan Yesus, dan berharap Yesus dapat mengubah jalan hidup mereka. Hak-hak mereka yang selama ini diabaikan, nasib yang terlantar dan harapan yang hampir sirna seolah dihidupkan kembali oleh sosok Yesus yang tampil sebagai pemimpin baru yang diharapkan.

Tidak hanya itu, bahkan mereka sangat berharap supaya Yesus menjadi pemimpin tunggal atau gembala yang dapat menuntun dan membimbing mereka menuju masa depan yang lebih baik dan cerah. Perhatian, pengakuan dan belas kasihan dari pihak lain sangat mereka harapkan dan butuhkan. Karena selama ini mereka sudah jemu, lelah, letih dan lesu setelah diabaikan dan tidak diperhitungkan atau tidak diakui oleh para pemimpin politik, negara dan agama saat itu. Entah dari pihak Yahudi maupun dari pihak Romawi, dan itulah hal yang membuat hati Yesus tergerak oleh belas kasihan ketika melihat mereka semua.

Bukankah hal serupa pada masa Yesus juga telah terjadi dan sedang kita alami saat ini? Tidak sedikit dari kita yang merasa engan, malu, menganggap rendah, memandang sebelah mata mereka yang miskin secara harta benda, terlantar, melarat dan terabaikan. Betapa sering kita menutup mata terhadap penderitaan dan kesusahan yang dialami oleh orang lain. Bahkan kerap kita menutup telinga terhadap teriakan dan rintihan minta tolong mereka. Jika hal itu yang kita lakukan saat ini terhadap mereka yang menderita, maka kita adalah salah satu dari mereka yang kehilangan makna hidup ini.

Di dunia ini, ada banyak orang pandai, orang genius dan orang kaya, tetapi mereka sering tidak mengerti makna kepandaian, kegeniusan dan kekayaan yang dimiliki. Yang lebih teragis lagi adalah seringnya mereka menganggap, bahwa kalau mereka kaya, punya kedudukan atau jabatan dan ketenaran baru ia merasa hidupnya bermakna. Padahal, kata makna menyiratkan suatu makna yang sangat mendasar dan sangat dalam pada kehidupan seseorang. Hidup yang bermakna atau yang memberi makna bagi sesama untuk kemuliaan  Tuhan. Selanjutnya, hidup yang memberi makna juga berarti kita telah mengisi hidup kita dan mengisi kehidupan sesama kita melalui hal-hal penting yang telah kita lakukan dan berikan bagi mereka.
Dalam sejarah kehidupan manusia dan realita memperlihatkan, bahwa betapa seringnya kita mengalami kehilangan makna hidup ini. Mengapa demikian? Karena memang kita tidak mengerti dan memahami mengapa kita dipertemukan Tuhan untuk hidup berdampingan bersama banyak manusia lainnya di dunia ini. Mungkin banyak orang berpikir bahwa dengan harta benda dan kekayaan yang dimilikinya, mereka dapat membeli banyak hal yang menyangkut kebutuhan jasmaninya. Tetapi ingat, bahwa ada banyak hal penting juga yang tidak dapat dibeli dan dihargai dengan harta benda dan kekayaan! Kedamaian, ketentraman, kenyamanan, keamanan dan kebahagiaan adalah hal-hal yang tak dapat dibeli. Semuanya itu hanya dapat dirasakan oleh orang-orang yang merasa bahwa hidup ini adalah anugerah terbesar dari Tuhan yang harus dijalani dengan penuh kasih dan ucapan syukur.

Alfred Adler pernah mengatakan demikian, “Makna tidak ditentukan oleh situasi, namun kita menetapkan diri kita sendiri dengan makna yang kita berikan kepada situasi itu”. Kosong dan berisinya makna hidup kita sangat tergantung pada titik pandang seseorang atas kehidupannya. Kehilangan makna dapat terjadi bila kita cepat merasa puas dengan apa yang kita peroleh atau dapatkan untuk kepentingan diri sendiri. Sedangkan hidup yang penuh makna adalah di mana kita merasa puas kalau hidup kita sungguh-sungguh berguna, mengisi kebutuhan diri sendiri, orang yang ada di sekitar kita dan untuk kemuliaan Tuhan. Artinya, tiga pribadi penting itu (diri sendiri, orang lain dan Tuhan) tak dapat dipisahkan dalam hidup yang penuh makna.

Maka dari itu, milikilah kasih terhadap diri kita sendiri, terhadap sesama dan terlebih terhadap Tuhan sebagai sumber napas kehidupan setiap makhluk ciptaan-Nya. Jika kita memiliki kasih, itu berarti kita telah memberi rasa terhadap kehidupan yang hambar dan tawar itu. Karena kasih adalah suatu kualitas hidup terbaik yang telah Tuhan tanamkan di dalam hati nurani setiap orang, tanpa terkecuali. Hanya saja tidak semua dari mereka menyadarinya. Berikanlah rasa kasih itu kepada banyak orang, karena kasih adalah keabadian dan pemberian tertinggi dari Tuhan untuk manusia.

Peter Elbow mengatakan, bahwa “Makna hidup bukanlah dengan apa Anda mulai, tetapi apa yang Anda akhiri.” Kalimat tersebut menyiratkan makna, bahwa tidak selamanya kita hidup bersama-sama dengan orang-orang yang Tuhan tempatkan di sekeliling kita, tetapi ada saatnya di mana setiap orang akan kehilangan kesempatan untuk memberikan kasih itu kepada mereka. Karena itu, selagi ada waktu atau kesempatan, berikanlah itu dan lakukanlah banyak hal penting untuk mereka dengan kasih yang tulus seperti Tuhan telah mengasihi kita selama hidup ini. Mari kita belajar melembutkan hati kita yang selama ini dikeraskan oleh keegoisan dan keserakahan kita. Dengan demikian hati kita benar-benar dapat digerakan oleh belas kasihan yang tulus, murni dan tanpa syarat.

DIPERSIAPKAN UNTUK MEMPERSIAPKAN



Oleh: Sugiman

Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya barang siapa percaya kepada-Ku, ia akan melakukan juga pekerjaan-pekerjaan yang Aku lakukan, bahkan pekerjaan-pekerjaan yang lebih besar dari pada itu” (Yohanes 14:12).

Kehebatan seorang pemimpin tidak terletak pada bagaimana ia dapat mengerjakan tugas dan tanggung jawabnya, serta mempertahankan posisinya sebagai pemimpin tunggal selama mungkin dan sedapat mungkin. Melainkan, bagaimana ia dapat memilih, melatih, membina dan mempersiapkan generasi penerus sebaik mungkin semasa kepemimpinannya. Dengan demikian, segala yang baik dan benar itu tidak berhenti sampai pada dirinya, melainkan terus berlanjut dan berkembang seiring perubahan zaman. Itulah roda kepemimpinan yang dijalankan Yesus selama hidup-Nya di dunia bersama murid-murid-Nya pada saat itu.

Peristiwa kenaikan Yesus ke surga sebenarnya mengingatkan kita akan suatu fase yang baru, tahap yang baru dan dengan pemimpin yang baru pula, yang sudah dimulai, yang harus terus dijalankan, tidak boleh berhenti dan harus dikembangkan secara terus-menerus. Dengan kata lain, bahwa pemilihan Yesus atas murid-murid-Nya, kemudian Ia hidup bersama-sama dengan mereka, melatih, membina dan mempersiapkan mereka untuk menjadi seorang pemimpin yang handal untuk meneruskan tongkat estafet kepemimpinan-Nya.

Jika kita perhatikan secara saksama, yaitu di mana seluruh kepemimpinan Yesus tidaklah ditandai bagaimana Ia harus mempertahankan posisi kepemimpinannya selama mungkin dan sedapat mungkin. Melainkan Ia telah mempersiapkan para murid-Nya untuk menjadi seorang pemimpin yang besar, yang handal, yang hebat, yang berhasil dan melakukan hal-hal yang lebih besar dari apa yang Yesus lakukan sebelumnya. Ini memperlihatkan kepada kita, bahwa kerinduan Yesus dalam kepemimpinan-Nya bukanlah supaya diri-Nya dapat dikenang sebagai pemimpin yang besar, yang hebat dan yang tidak ada duanya. Sebaliknya, Yesus menginginkan atau merindukan supaya para murid-Nya menjadi pemimpin yang melakukan hal-hal yang jauh lebih besar dari apa yang telah Ia lakukan bersama mereka.

Bukankah hal yang serupa juga yang telah diwariskan Yesus kepada kita sebagai umat pilihan-Nya? Yesus menginginkan kita, yang percaya kepada-Nya dan sebagai gereja-Nya supaya terus menerus berkarya, melanjutkan, mengembangkan dan mengerjakan tugas-tugas yang dipercayakan-Nya kepada kita. Kenaikan Yesus ke surga tidak hanya melambangkan kemenangan-Nya terhadap kuasa maut atau dosa manusia. Melainkan juga, melalui para murid-Nya, orang-orang yang telah dipilih-Nya dan telah menyaksikan hidup, pengajaran dan karya-Nya semasa di bumi adalah orang-orang yang sebenarnya telah dipersiapkan untuk menjadi generasi penerus tongkat estafet dari-Nya. Dengan kata lain, para murid dipilih adalah untuk dipersiapkan menjadi pemimpin besar dalam mengerjakan visi dan misi Tuhan.

Di samping mereka dipersiapkan untuk menjadi pemimpin besar, mereka juga harus senantiasa mempersiapkan generasi selanjutnya, yang nantinya dapat melanjutkannya kembali secara dinamis. Itulah sebabnya mereka (para murid-Nya) dipilih untuk dipersiapkan dan untuk mempersiapkan kembali generasi-generasi selanjutnya. Seorang pemimpin boleh saja berganti dan harus diganti, tetapi pekerjaan dalam tugas menghadirkan suasana surga, yang damai, adil, sejahtera, tak ada tangis bagi kehidupan umat manusia yang tidak boleh berhenti. Melainkan harus terus dilakukan, dikerjakan dan harus terus dikembangkan sesuai dan seturut dengan kehendak-Nya.

Dalam konteks itulah Yesus mengatakan “Sesungguhnya barang siapa percaya kepada-Ku, ia akan melakukan juga pekerjaan-pekerjaan yang Aku lakukan, bahkan pekerjaan-pekerjaan yang lebih besar dari pada itu”. Kata Yunani yang digunakan untuk arti “Sesungguhnya” adalah Amen yang berarti “iya, benar/ kebenaran”. Ini memperlihatkan, bahwa kata “Sesungguhnya” di atas menunjuk kepada kebenaran sejati yang ada di dalam diri Yesus. Artinya, sumber kebenaran sejati itu hanya ada pada Tuhan dan bukan pada manusia. Manusia hanya bisa hidup benar dan melakukan kebenaran jika ia benar-benar hidup percaya dan mengikut Tuhan.

Jika Tuhan adalah sumber utama dari kebenaran sejati itu, maka tak seorangpun yang berhak mengklaim bahwa hidupnya benar sementara ia tidak percaya dan mengikut Tuhan serta menerima segala konsekuensinya. Karena tak satupun kebenaran yang tanpa konsekuensi atau harga. Artinya, segala konsekuensi itulah yang dimaksudkan dengan harga yang mahal yang harus dibayar oleh seorang pengikut jalan Tuhan (kebenaran). Seharusnya dalam arti itulah kata “Amen” atau “Amin” dimaknai umat Kristen (pengikut Kristus). Maka dari itu, ketika seseorang mengatakan kata “Amen” atau “Amin” maka ia harus siap dan bersedia melakukan kebenaran atau hidup benar di hadapan Tuhan apapun konsekuensinya.

Yesus memilih kedua belas murid-Nya adalah untuk mempersiapkan mental dan membentuk karakter mereka menjadi pengikut, pewaris dan generasi penerus kepemimpinan-Nya. Bukankah kita sebagai umat Kristiani juga adalah orang-orang yang telah dipilih oleh Kristus sebagaimana Ia memilih kedua belas murid-Nya. Dalam pilihan itu kita dipersiapkan untuk mengerjakan visi dan misi-Nya, dan mempersiapkan generasi penerus kita sebagai mana Kristus telah mempersiapkan kita. Dalam terang itulah kita dituntut untuk mencerminkan karakter, kepribadian dan kehidupan Kristus di dalam keseharian hidup kita.

Hidup sebagai pengikut Kristus berarti telah siap untuk dipersiapkan dan untuk mempersiapkan. Kedua belas murid yang dipilih-Nya adalah untuk dipersiapkan dan untuk mempersiapkan. Melalui merekalah (murid-murid-Nya) Kristus telah memilih para pengikut-Nya untuk dipersiapkan dan untuk mempersiapkan. Bukankah hal serupa juga berlaku bagi kita sebagai umat Kristiani saat ini? Kita adalah orang-orang yang telah dipilih Kristus untuk dipersiapkan dan untuk mempersiapkan.

Pertanyaannya adalah mempersiapkan apa? Yang jelas kita harus senantiasa mempersiapkan generasi penerus pembawa tongkat estafet yang telah diwariskan-Nya kepada para pengikut-Nya. Di dalam warisan-Nya itu tersirat makna kasih yang abadi, pengampunan, kebenaran, kedamaian, keadilan, dan nilai-nilai kerajaan surga lainnya yang tak boleh diabaikan. Mereka yang melakukan semuanya itulah yang dikatakan Yesus sebagai orang yang percaya kepada-Nya. Bahkan mereka akan melakukan pekerjaan-pekerjaan yang lebih besar dari apa yang pernah dilakukan Yesus semasa Ia hidup sebagai manusia seutuhnya. Salah satu dari mereka itu adalah Anda. Anda dan saya adalah termasuk di antara sekian banyak pribadi yang dipersiapkan Kristus untuk mempersiapkan pribadi yang lainnya menjadi pelaku firman-Nya.