Thursday 31 January 2013

“BELAJAR MENGAMPUNI”



Oleh: Sugiman

Sejujurnya, mengampuni orang yang telah melakukan kesalahan atau pun kejahatan dalam hidup kita bukanlah perbuatan yang sangat mudah untuk dilakukan. Apalagi mereka yang berulang kali melakukannya. Bahkan tidak menutup kemungkinan orang itu telah merenggut kebahagiaan kita dengan berbagai cara yang sedemikian menyakitkan. Sehingga hati dan perasaan kita menjadi terluka secara mendalam.

Mungkin, untuk dalam jangka waktu tertentu menaruh rasa dendam menjadi pilihan yang sangat tepat dilakukan. Betapa tidak? Secara tidak langsung, dengan sikap dendam yang kita tanamkan seolah-oleh sedikit mengobati perasaan kita yang terluka. Oleh sebab itu, tidak heran jika banyak menggunakan cara atau alternatif ini untuk mengatasi tekanan batinnya.

Namun demikian, sebenarnya itu adalah kesalahan yang sangat fatal. Mengapa? Karena semakin seseorang menyimpan rasa dendam, sakit hati dan tekanan batin itu, maka sebenarnya semakin ia menyiksa batinnya. Perasaan itu akan terus menggerogoti dan menjadi racun yang mematikan sifat-sifat ilahi yang Tuhan berikan kepadanya. Misalnya, tidak dapat mengasihi secara maksimal dan sungguh-sungguh atau dengan segenap hati.

Justru yang ada hanyalah hati nurani kita semakin menderita, tertekan dan menyiksa diri sendiri. Maka jangan heran, bahwa orang yang paling banyak menderita kanker hati, darah dan sebagainya adalah mereka yang menyimpan dengan rapat kesalahan-kesalahan orang lain yang seolah-oleh tidak sanggup untuk melupakan dan mengampuninya. Inilah realita kehidupan yang terus-menerus ada dan menjadi pergumulan manusia sepanjang hidupnya.

Seorang penulis buku hikmat kuno terkenal pernah mengatakan demikian: “Hati yang bahagia membuat wajah berseri-seri, tetapi hati yang terluka mematahkan semangat” (Proverbs 15:13). Pada bab selanjutnya ia mengatakan kalimat yang mirip bunyinya, tetapi dengan makna yang lebih dalam, yaitu “Hati yang bahagia adalah obat yang manjur, tetapi semangat yang patah mengeringkan tulang” (Proverbs 17:22).

Dua pernyataan luar biasa di atas menyiratkan makna yang sangat dalam tentang rahasia kebahagiaan hidup yang seharusnya didapatkan oleh manusia. Namun demikian, tidak semua orang dapat mendapatkannya. Dengan kata lain, hanya hati mereka yang dipenuhi rasa bahagialah yang memiliki semangat juang untuk hidup di dalam kedamaian, keharmonisan dan tanpa kebenciaan.

Salah satu cara untuk mendapatkan kebahagiaan yang Tuhan tawarkan kepada setiap orang adalah dengan cara “Belajar Mengampuni”. Orang-orang yang hidup di dalam pengampunanlah yang melihat “musuh” sebagai sahabat yang belum jadi. Karena itu, satu-satunya cara untuk menyembuhkan hati kita yang terluka atau dilukai oleh orang lain adalah dengan cara mengampuninya. Sekali lagi, mengampuni orang yang bersalah kepada kita bukanlah hal yang mudah. Tetapi setidaknya kita telah belajar untuk mengampuninya walaupun belum bisa dengan sepenuh hati.

Belajar mengampuni adalah awal perjuangngan seseorang untuk membebaskan dirinya dari tawanan luka batin. Belajar mengampuni juga adalah sebuah usaha terapi yang sangat efektif dan obat yang sangat manjur untuk menyembuhkan luka-luka yang ada di hati kita. Tidak mudah memang, tetapi jika seseorang berani dan bersedia untuk belajar mengampuni sesamanya, maka itu adalah awal dari kesembuhan dan kebahagiaan hidupnya.

Seorang pemenang bukanlah mereka yang tidak pernah kalah dan gagal, tetapi mereka yang selalu berjuang tanpa henti untuk menaklukan banyak hal yang menghambat perjalanannya saat menuju kebahagiaan hidup di depan sana. Oleh sebab itu, jika sakit hati dan perasaan dendam terhadap mereka yang melakukannya pada kita menjadi penghalang dan penghambat untuk merasakan kebahagiaan hidup ini, maka mengapa kita harus berat hati untuk mengampuninya? Hanya mereka yang sanggup dan mau belajar mengampunilah yang dapat menikmati hidup ini di dalam cinta kasih dan kedamaian.

Semoga bermanfaat! Terima kasih.

Wednesday 16 January 2013

HIDUP YANG TIDAK MUDAH MENUNTUT SEMANGAT PERJUANGAN



Oleh: Sugiman

Tidak seorang pun yang menyukai adanya kesulitan, apalagi mengharapkannya. Meski pun demikian, ia pasti datang dan hidup bersama kita. Saat semakin kita menganggapnya sebagai musuh, maka semakin ia menekan hidup kita dengan berat. Maka tidak heran jika banyak orang mengatakan: kalau dapat, semoga tidak ada kesulitan dalam hidup selanjutnya. Itulah harapan banyak orang.

Namun demikian, harapan itu hanyalah sebatas mimpi belaka. Betapa tidak? Karena kesulitan pasti akan tetap dan terus ada sepanjang perjalanan hidup kita. Dengan kata lain, kesulitan adalah “sahabat” kedua setelah Tuhan, yang senantiasa setia menemani, mengiringi, menuntun, mendidik dan mengajar kita. Tetapi sering kita memandangnya sebagai musuh raksasa yang menghalangi dan menakutkan hidup kita.

Bahkan tidak jarang kita beranggapan, bahwa “kesulitan” yang ada telah merampas kebahagiaan sepanjang hidup kita. Tetapi pertanyaannya adalah, apakah benar kita pasti akan bahagia jika tanpa kesulitan? Dengan kata lain, seharusnya kesulitan tidak dijadikan alasan untuk mengukur makna sebuah kebahagiaan. Karena pada dasarnya ketika seseorang mendapatkan kebahagiaan, maka sesulit apa pun situasi yang dialaminya seharusnya tidak mengurangi nilai atau makna dari sebuah kebahagiaan itu sendiri.

Orang yang bahagia adalah mereka yang selalu bersyukur atas setiap kesulitan yang dialami sepanjang hidupnya. Karena tanpa kesulitan, maka seseorang tidak akan pernah menjadi pribadi yang lebih dewasa, lebih bijaksana, lebih sabar, lebih kuat dan lebih teguh dari pribadi yang lainnya. Itulah sebabnya, kita dilarang untuk tidak berdoa meminta hidup ini menjadi sangat mudah, sebab pasti kita tidak akan mendapatkan apa-apa darinya. Tetap belajarlah berdoa supaya kita menjadi pribadi yang lebih kuat saat menghadapi berbagai kesulitan yang ada. Itulah kerinduan yang benar.

Kesulitan yang ada mengajarkan kepada kita untuk terus mengandalkan Tuhan sepanjang kehidupan kita. Karena Tuhan pasti menjadi pihak penolong pertama bagi mereka yang selalu berharap pada-Nya. Di dalam hati kecil setiap orang Tuhan menanamkan semangat juang untuk menaklukkan kesulitan dan rintangan hidupnya.

Percayalah, bahwa seseorang tidak dengan sendirinya bisa mengendarai sebuah sepeda. Tetapi di balik semuanya itu ada banyak kesulitan yang telah ia taklukkan sehingga bisa bersepeda. Kegagalan demi kegagalan terus ia alami. Bahkan lututnya sampai berdarah sering terjatuh. Tetapi itulah awal yang membuatnya bisa dan ahli mengendarai sebuah sepeda.

Seorang pemenang dikatakan sebagai pemenang bukan karena ia tidak pernah gagal saat menghadapi berbagai kesulitan, melainkan karena ia tidak pernah menyerah atas kesulitan. Itulah juga yang diajarkan oleh hukum alam, bahwa untuk menjadi pribadi yang lebih dewasa, kuat, tangguh, bijaksana dan sabar, maka hadirnya kesulitan sangat dibutuhkan.

Tuhan dapat saja mengangkat beban yang ada di pundak kita dengan mudah. Tuhan juga dapat saja membebaskan Anda dan saya dari semua kesulitan yang ada. Tetapi ingat, Anda dan saya pasti tidak akan pernah mendapatkan apa pun dari hidup itu sendiri. Tuhan bukanlah pribadi yang mengajarkan supaya kita menjadi seorang pecundang, pengecut dan penakut. Tetapi Ia adalah pribadi yang selalu mendidik kita dengan banyak cara supaya kita menjadi pribadi yang dewasa, bijaksana dan kuat.

Karena itu, bersyukurlah atas setiap kesulitan yang kita alami. Karena kesulitan telah menolong kita dalam banyak hal yang mendatangkan kebaikan bagi kita pribadi maupun bagi orang lain. Orang yang berhasil selalu mengucap syukur atas setiap kesulitan yang dialaminya. Karena kesulitan dapat menjadi sebuah harapan jika seseorang memandangnya dari sudut yang lain. Mendapatkan kesulitan setara dengan kita mendapatkan kesempatan untuk belajar sesuatu yang berharga dan berguna. Jika kita tidak pernah mengucap syukur, maka kesulitan akan menjadi beban yang sangat berat dalam hidup kita.

Selanjutnya, hadapilah setiap kesulitan itu dengan semangat seorang pemenang yang telah Tuhan tanamkan dalam hidup setiap orang percaya. Jika seorang murid sekolah ingin lulus ujian, maka ia harus menghadapinya dan bukan menghindarinya. Demikian juga kita, jika ingin lulus dari ujian kehidupan, maka Anda dan saya harus menghadapinya dengan berani. Karena Tuhan tidak pernah membiarkan kita berjalan dan berjuang seorang diri saja. Tetapi Ia selalu ada bersama-sama dengan kita.

Selamat mencoba!



Wednesday 2 January 2013

PENGANTAR KEPADA INJIL MATIUS

Oleh: Sugiman

Secara umum para ahli tafsir Perjanjian Baru mengatakan, bahwa Injil Matius ditulis sekitar tahun 80-an M (abad pertama) di Antiokhia-Siria. Artinya sesudah Bait Allah di Yerusalem dihancurkan oleh tentara Romawi pada tahun 70 M. Saat itu banyak orang Yahudi yang meninggal akibat peperangan pada masa itu.

Hancurnya Bait Allah di Yerusalem berarti hancurnya pusat kehidupan religius, sosial, politik dan ekonomi orang Yahudi. Jika tahun 80-an, berarti jemaat Kristen telah berdiri sekitar 50 tahun setelah kematian Yesus dan sekitar 10/15 tahun setelah Yerusalem dihancurkan. Berkuasanya kerajaan Yunani-Romawi, menjadikan hidup orang Kristen-Yahudi menderita. Hare dalam bukunya “Jewish Presecution Of Christian” mengatakan bahwa orang Kristen saat itu mengalami penganiayaan dari bangsa-bangsa lain. Mungkin inilah yang menyebabkan penulis Matius mengutip pernyataan Yesus ketika mengecam beberapa kota (lht. 11:20-24).

Kehidupan orang Kristen-Yahudi saat itu membentuk kelompok-kelompok untuk bisa bertahan hidup. Dalam konteks itulah penulis Injil Matius mengutip ungkapan Yesus yang berbunyi, “marilah kepada-Ku semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu” (11:28). Ungkapan ini memperlihatkan betapa menderitanya orang-orang Kristen saat itu. Namun, serentak dengan itu penulis Injil Matius juga memperlihatkan kepedulian, empati, keprihatinan dan belaskasihan Yesus kepada semua orang.

Selanjutnya, masalah lain yang dihadapi orang Kristen-Yahudi saat itu adalah mengenai penganiayan yang tersebar luas dengan memanfaatkan kesempatan ini. Kelompok orang-orang Yahudi yang masih hidup, terutama para pemimpin agama yang berhasil meloloskan diri, seperti ahli-ahli Taurat, yang mulai membedakan secara tajam aliran yang benar dan yang sesat dan termasuk di antaranya adalah orang Farisi atau yang biasa disebut kelompok “Law Observant”. Inilah yang melatarbelakangi penulis Injil Matius mengangkat masalah pertentangan antara Yesus dan orang Farisi atau penolakan orang Farisi terhadap kehadiran Yesus.

Akan tetapi, di sisi yang lebih khusus penulis Injil Matius ingin memperlihatkan bahwa Yesus adalah pelaku kasih yang radikal, yaitu kasih yang melebihi batas status, yang menghancurkan tempok pemisah, yang mempersatukan mereka yang hidup musuh-memusuhi, yang menyembuhkan luka-luka batin orang yang terpinggirkan, yang ditolak, kasih yang memperbaiki kekeliruan, tidak mencari-cari kesalahan dan memberi pengharapan untuk dunia yang kelam dan suram. Hal itu terbukti ketika kita memperhatikan ungkapan berbahagia dalam khotbah di bukit, muzijat-muzijat yang dilakukan Yesus, pengutusan para murid, kecaman atas beberapa kota, ajakan kepada mereka yang letih lesu dan berbeban berat serta perkataan-Nya bahwa “Manusia jauh lebih berharga dari pada domba” (12:12). Semua itu dituliskan oleh penulis Injil Matius supaya pembacanya memahami dan mengenal bahwa Yesus adalah kasih yang abadi bagi semua orang percaya.

Semoga tulisan ini bermanfaat….