Thursday 28 March 2013

DARAH KRISTUS TELAH MENGHIDUPKAN UMAT-NYA



Oleh: Sugiman

Keberanian Yesus yang disebut Kristus mengecam kekeliruan hidup dan pengajaran orang-orang Farisi, Imam-imam kepala, tua-tua dan para pemimpin agama Yahudi lainnya membuat orang-orang Yahudi dari golongan marginal merasa terbela dan terlindungi. Seiring berjalannya waktu, orang-orang yang mengikuti Yesus pun semakin banyak dan kelompok mereka semakin besar. Perasaan takjub dan heran yang dirasakan oleh orang banyak terhadap pengajaran dan perbuatan Yesus yang ajaib atas berbagai penyakit menjadikan mereka semakin yakin akan kemesiasan Yesus. Karena itulah, orang banyak yang mengikuti-Nya menyanjung tinggi dan mengelu-elukan Yesus dengan semangat yang berapi-api sembari meneriakan: “Hosana bagi anak Daud!”, “Hosana di tempat yang mahatinggi!” (Mat.21:9, “Inilah nabi Yesus dari Nazaret di Galilea” (Mat.21:11); “Hosana bagi anak Daud!” (Mat.21:15).

Seruan-seruan di atas diteriakan secara lantang mulai dari Yerikho menuju ke Yerusalem. Secara tidak langsung sebenarnya seruan-seruan itu mengacu kepada penerimaan yang sah orang banyak akan kehadiran Yesus, dan pengakuan yang penuh harapan, serta sekaligus sebagai pentahbisan atas kedudukan Yesus sebagai Mesias. Tidak sedikit dari orang Yahudi yang tertindas pada masa itu menyandarkan hidup, harapan dan masa depan mereka kepada Yesus sebagai pembela. Namun sayang, harapan mereka kandas setelah kehadiran Yesus ternyata tidak mencerminkan otoritas seorang Mesias sebagai mana yang mereka harapkan dan pahami.

Di dalam pemahaman orang banyak dan para murid-Nya, Mesias adalah pemimpin perang yang tangguh, memiliki semangat perang yang membara, pemberani dan harus memegang senjata perang yang tanpa belas-kasihan terhadap musuh. Sedangkan kehadiran Yesus sangat kontras dan bertolak belakang dengan pemahaman yang selama ini tertanam di dalam benak para murid dan orang banyak. Itulah alasan yang paling mendasar mengapa orang-orang Yahudi kecewa dengan kepemimpinan Yesus saat itu. Karena itu juga, satu-persatu dari para pengikut-Nya mulai meninggalkan dan melupakan jasa-jasa-Nya. Bahkan salah satu murid-Nya, yakni Yudas rela menjual-Nya seharga 30 keping perak.

Bahkan Petrus, salah seorang murid yang sangat dekat dan dikasihi oleh Yesus, yang pernah menyatakan dirinya siap mengikut Yesus ke manapun Ia pergi, dan apapun resiko atau konsekwensinya (Mat.26:30-34). Tetapi tatkala Yesus ditangkap, Petrus menyangkal-Nya ketika dirinya dinyatakan sebagai salah satu pengikut Yesus oleh orang-orang yang mengenalinya. Puncak penyangkalan Petrus terhadap Yesus adalah ketika ia dengan berani bersumpah, bahwa dirinya sama sekali tidak pernah mengenal Yesus (Mat.26:69-75).

Kekecewaan orang banyak dan para murid-Nya meruncing tatkala Yesus diserahkan kepada Pilatus. Teriakan dan seruan “hosana, hosana, hosana” berubah secara drastis menjadi “salibkan Dia! Salibkan Dia!, Salibkan Dia!”. Bahkan yang lebih memilukan lagi adalah orang banyak lebih memilih Barabas yang terkenal kejahatannya supaya dibebaskan. Sedangkan Kristus harus disalibkan karena kedengkian para imam, tua-tua dan orang-orang Farisi atas kehadiran Kristus (Mat.27:11-26). Itulah alasan utama mereka menghasut orang banyak supaya meneriakkan penyaliban-Nya. Penyaliban Kristus merupakan puncak dari kedengkian para pemimpin agama Yahudi terhadap kehadiran Kristus.

Refleksi
 Sebagai umat Kristen, orang yang mengaku percaya kepada Kristus. Mungkin kita adalah salah satu dari orang memahami kehadiran Kristus secara keliru. Di saat keadaan terasa tenang, nyaman, aman, damai, sesuai harapan, tak ada penderitaan dan kejahatan lainnya adalah situasi yang sangat tepat untuk mengucap syukur kepada Tuhan. Dalam kehidupan sehari-hari kita selalu mengatasnamakan Kristus sebagai Tuhan yang tak ada duanya. Tetapi, tatkala situasi mencekam, mengecewakan, tak sesuai, adanya berbagai penderitaan yang terjadi dalam hidup kita, dan pada saat yang sama kita menyangkal keberadaan Kristus sebagai Tuhan.

Mungkin juga, kita adalah salah satu orang yang berapi-api menyerukan puji-pujian, menyanjung-nyanjung nama Yesus sebagai juruselamat kita. Secara lantang kita meneriakkan “hosana bagi Allah”, “hosana bagi Yesus di tempat yang Mahatinggi”. Tetapi serentak dengan itu, mungkin kita juga adalah salah seorang yang meneriakkan penyaliban-Nya di atas bukit Golgota.

Kekecewaan kita terhadap Kristus Yesus bukan karena kita tidak tahu siapa Dia. Tetapi karena kita berusaha mengatur Kristus sesuai dengan harapan dan kemauan kita. Itu adalah ciri-ciri orang yang memahami kehadiran Kristus dalam hidupnya secara keliru. Kekeliruan itulah yang membuat seseorang jatuh pada lumpur kekecewaan yang mungkin sulit untuk dipulihkan oleh akal sehat kita.

Hal itu membuktikan, bahwa dengan kekuatan rasio saja tidak cukup untuk memahami keberadaan Kristus dalam kehidupan kita. Hanya imam yang mampu memahami apa yang tak terjangkau oleh rasio. Namun demikian, tidak berarti iman mengabaikan rasio, karena rasio anugerah Allah. Rasio yang berjalan di bawah kendali-Nya pasti menghasilkan iman yang kritis, yang tak mudah tertipu dan tak mudah terombang-ambingkan. Karena ia didasarkan pada kebenaran-Nya.

Iman tidak datang dengan sendirinya, tetapi ia lahir dari berbagai pengalaman hidup kita, yang tak terjangkau oleh kekuatan rasio atau akal budi kita. Karena pada dasarnya, rasio atau akal budi selalu melihat apa yang terlihat oleh mata kita dan menjawab segala sesuatu yang dapat dijelaskan dengan kata-kata. Sedangkan iman melihat yang tak terlihat oleh mata manusia. Itulah sebabnya, tidak semua kebenaran dapat dijelaskan dengan kata-kata. Itulah bagian yang dapat dijelaskan oleh iman. Dengan kata lain, hanya iman yang sanggup menjangkau-Nya. Dalam konteks itulah penulis kitab Ibrani mengatakan, bahwa iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat (Ibrani 11:1).

Yesus yang disebut Kristus telah menggantikan posisi Barabas untuk dihukum mati. Seharusnya Barabas yang dihukum mati di atas kayu salib di Golgota, tetapi orang banyak secara serentak meneriakkan, “biarlah darah-Nya ditanggungkan atas kami dan anak-anak kami” (Mat.27:25). Ini memperlihatkan, bahwa Barabas telah dibebaskan oleh darah Kristus. Pembebasan Barabas telah mewakili pembebasan kita dari belenggu kuasa dosa. Seharusnya kitalah yang mati, tetapi karena kasih dan anugerah-Nya kita diselamatkan oleh darah-Nya yang kudus dan mahal itu. Dan hanya darah Kristus-lah yang dapat membayar lunas utang kita kepada maut. Artinya, hanya karena darah-Nyalah kita telah dihidupkan kembali. Darah-Nya terus mengalir di dalam kehidupan kita untuk selama-lamanya.

Friday 8 March 2013

JALAN YANG SEPI ITU MENUJU KE GOLGOTA

Oleh: Sugiman

Jalan untuk mewujudkan sebuah cita-cita mulia bukanlah jalan yang mudah. Perjuangan dan pergumulan tak pernah menyerahkan tubuhnya secara gratis untuk didekap. Air mata seolah-oleh menjadi syarat utamanya.  Bahkan penulis Mazmur pernah mengatakan bahwa air mata sering menjadi makanannya sehari-hari (Mazmur 42:3). Ini memperlihatkan bahwa betapa seringnya air mata turut serta membasahi jalan yang terjal dan sungsang itu, dengan segala kerikilnya yang tajam yang siap menghadang kita. Jatuh bangun perjuangan telah menjadi suatu harga yang harus dibayar lunas untuk mengapai mahkota kehidupan yang mulia.

Selain itu, bahkan tidak jarang hal-hal yang paling kita lindungi, sayangi dan kasihi di dalam dunia ini dirampas secara paksa dari dalam lubuk hati kita. Seiring berjalannya waktu dalam proses pemulihan, luka hati nurani yang baru mengering kembali dikoyakkan oleh duri dan onak dunia yang ganas bak harimau dan singa yang sedang kelaparan. Lutut yang masih gemetar berusaha bangkit dengan bantuan tongkat kayu yang rapuh. Itulah sebabnya ia tak mampu menahan beratnya pergumulan hidup anak manusia yang ditindih beban berat.

Ketika kaki tergelincir, seolah tak seorang pun yang menoleh dan berusaha mengulurkan tangan untuk membangunkannya. Yang ada hanyalah sebuah cercaan, cacian, makian, cemoohan dan dibenci oleh mereka yang menolak-Nya. Bahkan tidak jarang nyawa menjadi taruhan yang harus dibayarkan secara cuma-cuma. Begitulah potret anak manusia yang sedang mengumuli dan berjuang dalam mengeluti panggilan Tuhan yang tersalib di Golgota itu. Itulah sebabnya jalan itu menjadi jalan yang sepi karena menuju ke kalvari di Golgota.

Kehadiran Kristus di dalam dunia yang cemar adalah sebagai pribadi selanjutnya setelah para nabi yang membiarkan hidupnya dinodai, dilecehkan, direndahkan, dikhianati oleh pribadi yang lainnya, yaitu pribadi yang menolak kebenaran-Nya. Keteladanan Kristus yang telah meninggalkan keagungan surga, yang telah menjadikan diri-Nya sama dengan manusia, dan bahkan sampai mati di Golgota hanya untuk sebuah tujuan, yaitu mendamaikan manusia dengan Allah.

Kenyataan atau realita tersebut tidak berarti Kristus menyukai hidup yang penuh dengan penderitaan. Melainkan, untuk menghadirkan nilai-nilai kebaikan, kebenaran, kehidupan di tengah-tengah dunia yang cemar, dengan karut-marutnya memang dibutukan daya juang seorang martir. Meskipun harus diakui, bahwa tidak sedikit orang yang memandang dan menganggap-Nya sebagai suatu kebodohan. Tetapi justru karena alasan itulah, pengorbanan-Nya perlu dimaknai kembali dengan nalar atau akal budi yang sehat oleh para pengikut-Nya, yang sekaligus penuh penyerahan diri pada tuntunan Roh-Nya.

Keteladanan dan pengorbanan Kristus telah memberi makna hidup yang sesungguhnya pada eksistensi seutuhnya pada hidup manusia di tengah-tengah dunia yang cemar. Keteladanan dan pengorbanan-Nya sama maknanya bahwa Ia telah memberikan diri-Nya pada manusia supaya mereka hidup. Bersamaan dengan itu, kehadiran Kristus memperlihatkan bahwa peranan akal budi dalam kesalehan hidup orang beriman tidaklah identik dengan hidup bebas dari segala bentuk kejahatan, penderitaan dan pengorbanan. Melainkan, meninggalkan hal-hal yang dianggap berharga lebih dari kehadiran-Nya, serta fokus pada pekerjaan Tuhan dan kasih kepada sesama.

Sungguh, pengorbanan memerlukan suatu kerelaan, kesadaran dan kasih yang benar-benar tulus untuk menghadapi berbagai risiko demi sebuah tujuan hidup yang mulia bersama Kristus yang tersalib di Golgota. Jalan yang dirintis Kristus adalah jalan yang amat sepi dilalui orang-orang. Bahkan hanya segelintir orang yang bersedia melewatinya secara sengaja dengan meminta dituntun dari tangan Kristus yang kuat.

Jalan yang sepi, yang menuju ke Golgota itu dibenarkan Yesus, dengan sebuah pernyataan: “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku” (Matius 16:24; Lukas 9:23). Frasa “setiap orang” ditujukan kepada orang-orang yang merasa rela, sungguh-sungguh, serius dan bertekat penuh untuk mengikut Yesus ke mana pun ia diutus oleh-Nya. Sedangkan frasa “yang mau” menunjuk kepada makna kesadaran dan tak ada paksaan bagi setiap orang untuk menderita bersama Kristus. Selanjutnya frasa “ia harus menyangkal dirinya” mengacu kepada makna bahwa seorang pengikut Kristus harus berani mengorbankan hal-hal yang ia lindungi atau sayangi dan kepentingannya demi kepentingan Kristus. Ini adalah persoalan yang tidak mudah dilakukan dan tidak mudah diterima oleh akal sehat. Tetapi sekali lagi, di sini Kristus memperlihatkan bahwa jalan yang sunyi itu adalah jalan yang tidak mudah. Hal itu ditegaskan melalui frasa “memikul salibnya” dan “mengikut Aku”. Memikul salib dan mengikut Kristus adalah dua hal yang tak dapat dipisahkan. Artinya, mengikut jejak Kristus tidak berarti bebas dari segala penderitaan yang ada, melainkan menjadi pribadi yang kuat dalam menghadapinya.

Meskipun demikian, pernyataan Kristus di atas tidak serta merta membiarkan manusia mengalaminya seorang diri, karena walau pun Ia telah mengalami semua penderitaan yang ditakuti oleh manusia, tetapi Ia sendiri akan terus mendampingi, memberikan kekuatan, menopang, menuntun dan memampukan setiap pengikut-Nya untuk tetap hidup di bawah pengamatan-Nya. Karena itu, relasi yang harmonis dan persekutuan yang erat dengan Tuhan adalah kunci utama untuk dapat menjalani jalan yang sepi itu. Karena hanya mereka yang menjalin relasi harmonis dengan Tuhan lah yang sanggup melihat nilai kekal di penghujung jalan yang sepi itu. Tantangan demi tantangan berani mereka hadapi karena anugerah dan harapan akan sesuatu yang bernilai mulia dan kekal. Bahkan tidak jarang dipertontonkan di muka umum, bahwa para pengikut Kristus, yang melewati jalan yang sepi itu menyatakan imannya secara gamblang kepada dunia meski diperlakukan secara diskriminatif.

Melalui dukungan doa-doa dari pengikut Kristus lainnya, Yesus selalu menyapa para pengikut-Nya dengan penuh kasih, memberikan kekuatan, topangan, menjadi rekan kerja yang penuh kasih seorang terhadap yang lainnya. Sehingga pada saat yang sama juga kita melihat, bahwa kekuatan, keberanian dan kerelaan mereka untuk menempuh perjalanan yang panjang melalui jalan yang sepi, yang penuh dengan kesulitan demi menjadi berkat bagi sesama selalu bersinar. Dalam konteks itulah Bonhoeffer menyatakan, bahwa pengorbanan adalah lencana pemuridan. Pengorbanan demi sebuah tujuan mulia telah menjadi jati diri, atau simbol dan kebanggaan bagi setiap murid Kristus. Kristus yang tersalib, yang mati di kalvari di Golgota telah hidup menyatu di dalam diri para pengikut-Nya. Dengan kata lain, Kristus lah yang memampukan setiap pengikut-Nya sanggup menjalani jalan yang sepi, yang dihindari oleh banyak orang yang menolak-Nya. Sehingga, di balik jalan sepi itu mereka menemukan pribadi Kristus yang mengucapkan selamat datang kepada para pengikut-Nya yang setia hingga maut menjemputnya.

Semangat Kristus telah menghidupkan semangat hidup manusia yang telah memudar. Kasih, teladan, karya dan pengorbanan Kristus di kalvari di Golgota telah menjadi lencana kehormatan yang meneduhkan hati yang gelisah, jiwa yang haus dan dahaga. Wajah-Nya semasa di atas kayu salib telah terpampang di hati setiap para pengikut setia-Nya untuk terus menghadirkan kedamaian di dunia, walaupun jalannya penuh dengan rintangan, ranjau, duri, dan bahkan maut. Namun tak ada yang perlu ditakutkan demi sebuah kebaikan dan kebenaran yang harus diberikan kepada sesama. Karena di wajah setiap orang terpancar kemuliaan Kristus yang tersalib di Golgota pada dua ribu tahun yang lalu.