Oleh
Sugiman
Di Jakarta Timur, tanggal 13 Oktober 2014 seorang
ayah tega memperkosa anak kandungnya sebanyak 35 kali.
Di kota Malang, Jawa Timur warga Jalan Lowokdoro, Gang III, RT 06 RW 04
Kelurahan Kebonsari, Kecamatan Sukun tega membunuh anak kandungnya hanya karena
korban bertengkar dengan kakaknya rebutan baju yang didapat dari tantenya.
Jawa Timur tepatnya di Kabupaten Malang, kasus serupa juga dialami oleh Kasih
Ramadhani, bocah perempuan berusia tujuh tahun tewas dianiaya ayah kandungnya
sendiri hanya lantaran korban merengek meminta dibelikan es krim.
Selanjutnya, kasus serupa juga terjadi di Wandama
tepatnya di Kampung Kaibi Distrik Wondiboi, Kabupaten
Teluk Bintuni, yakni seorang ayah dilaporkan ke polisi karena telah memerkosa 2
anak kandungnya sendiri hingga hamil dan melahirkan 7 anak. Kasus yang lain adalah Suryadharma, Mantan Menteri
Agama di tetapkan sebagai tersangka kasus korupsi penyelenggaraan haji periode
2012-2013 pada 22 Mei 2014. Suryadharma diduga telah menyelewengkan akomodasi
haji yang anggaran totalnya lebih dari Rp 1 triliun tersebut.
Maraknya terjadi berbagai tindakan kejahatan telah
merampas rasa tentram, rasa damai, aman, nyaman dan kebahagiaan yang serausnya kita
dapatkan. Tingginya tingkat kriminalitas, rendahnya tingkat keamanan, minimnya
kepedulian, dan miskinnya nilai-nilai kebenaran dalam segala sisi kehidupan telah
memperlihatkan bahwa terkikisnya identitas peradaban manusia dan rendahnya
tingkat pengenalan manusia terhadap dirinya, sesamanya dan penciptanya. Dalam terang
itulah kita seharusnya bertanya tentang siapakah manusia?
Hakekat
Manusia
Beberapa kasus kejahatan di atas hanyalah sedikit
dari sekian banyak kasus kejahatan yang kian hari kian meningkat. Hampir setiap
informasi yang kita dengar, lihat dan saksikan di media-media sosial, media
cetak dan elektronik telah menyayat nurani kita. Betapa tidak? Kita sering
disuguhkan dengan berbagai jenis kasus kejahatan yang kian hari kian meningkat
dewasa ini. Kasus-kasus seperti pembunuhan, pemerkosaan, pencurian/perampokan,
kekerasan terhadap anak, narkoba, suap, korupsi dan kasus jenis kejahatan
lainnya telah merusak tatanan kehidupan manusia sebagai makhluk mulia,
berakhlak, bermoral, beretika dan bermartabat. Bahkan serentak dengan itu, kita
telah diseret dengan cara paksa untuk berpikir keras dalam upaya menemukan
solusi dan sekaligus mempertanyakan tentang eksistensi manusia sebagai ciptaan
Tuhan yang mulia yang menempati posisi tertinggi dari segala jenis binatang
yang ada.
Tindakan-tindakan kejahatan, perbuatan-perbuatan yang
tidak manusiawi telah meruntuhkan nilai-nilai kemanusiaan yang Tuhan tanamkan
di dalam nurani mereka. Ini memperlihatkan secara gamblang, bahwa mulai memudar
dan hilangnya jati diri manusia sebagai ciptaan Tuhan dan sebagai makhluk
sosial. Sikap apatis yang kian mencuat semakin memperlihatkan ketidakjelasan
kedudukan manusia sebagai makhluk tertinggi dari semua ciptaan yang ada. Apabila
dikaitkan dengan tujuan dan maksud kehadirannya dalam dunia, maka realita itu
jauh dari yang diharapkan. Norma-norma sosial, hukum, agama yang mengatur tatanan
hidup manusia untuk menuju sebuah peradaban telah kehilangan otoritasnya karena
kelalaian yang disengaja. Akibatnya, tindakan-tindakan yang tidak berkeperi-kemanusiaan
seolah menjadi kebanggaan, yang di mana setiap orang seolah berlomba-lomba
untuk melakukannya. Itulah bukti dari bobroknya moral di Indonesia. Bahkan
mungkin jika harus diukur dengan ukuran dunia binatang, maka peri-kebinatangan
pun masih lebih tinggi dari manusia.
Teologi Iman
Kristen
Iman Kristen memahami bahwa manusia adalah makhluk
yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah (pencipta). Bahkan mereka
diciptakan menurut kehendak Allah di dalam kebenaran dan kekudusan yang
sesungguhnya (Baca Kej. 1:26, 5:1; Efesus 4:24; Yakobus 3:9). Bahkan secara
gambling penulis kitab Kejadian menjelaskan bahwa manusia dibuat dari debu
tanah (Kej 2:7). Kemudian Allah memberkati manusia dan juga memberinya perintah
supaya bertambah banyak memenuhi bumi dan berkuasa atas ciptaan yang lain (Kej
1:28). Kemudian Allah menempatkan manusia di taman Eden untuk mengusahakan
taman itu (Kej 2:15).
Namun demikian, pada bagian Kitab yang lain dalam
Alkitab, penulis kitab Pengkhotbah mengatakan bahwa eksistensi manusia sama
dengan binatang ketika ia tidak memiliki relasi dengan Tuhan yang menciptakannya
(Pkh. 3:18-19). Kedua gambaran Alkitab di atas sangat jelas memperlihatkan
kepada kita, bahwa eksistensi manusia telah kehilangan maknanya. Berbagai tindakan
kejahatan telah memutuskan relasi manusia dengan Tuhannya. Itulah yang
menjadikan dirinya sama seperti binatang. Dengan kata lain, relasi manusia
dengan Tuhan sangat menentukan eksistensi dari manusia itu sendiri. Itulah
sebabnya, Allah yang berkarya sedemikian rupa dengan harapan supaya manusia
menjadi makhluk yang berkarya/ bekerja di sepanjang hidupnya.
Ilmu Sosiologi
Ilmu sosiologi memandang eksistensi manusia
sebagai makhluk sosial yang cerdas dari segala makhluk yang lainnya. Itulah sebabnya
secara kedudukan dan identitas, manusia memiliki perbedaan yang sangat tajam
atau tidaklah sama dengan binatang. Dengan kata lain, bahwa nilai-nilai estetik dan hakekat yang ada pada manusia merupakan pembatas yang dalam yang membedakan manusia dengan binatang, termasuk secara hakekat bebas dan universal. Gambaran ilmu sosiologi di atas memperlihatkan dengan sangat jelas, bahwa
segala kelebihan yang dimiliki manusia adalah pemberian spesial dan khusus dari
Tuhan. Hal itulah yang tidak Tuhan berikan terhadap segala makhluk, kecuali manusia.
Kelebihan yang dimilikinya itu juga tercermin dengan
sangat jelas dari kemampuannya untuk berpikir dan bertanya tentang siapa dirinya. Itulah sifat alami
yang diwariskan Tuhan kepada manusia, yang sangat menentukan
hakekat sebagai manusia. Maka dari itu, tidak heran atau wajar
jika manusia juga disebut sebagai makhluk sosial yang brilian, makhluk intelektual,
yang sanggup keluar dari dirinya dan mempertanyakan tentang keberadaan dan
siapa dirinya serta apa tugasnya dan tanggung jawabnya dalam dunia sebagai
makhluk ciptaan yang unik dan spesial. Kecerdasannya sebagai makhluk yang
bertanya telah terbukti melalui berbagai karya yang telah dihasilkan oleh pemikiran
manusia. Sungguh, kemampuan yang tidak dimiliki oleh binatang. Kecerdasan
intelektual dan emosional yang dimilikinya telah menuntunnya untuk mencari dan
menemukan keberadaan yang transenden dan imanen dalam hidupnya. Itulah kebutuhannya
yang fundamental. Dalam konteks itulah Platonik mengatakan, bahwa manusia dapat
menerima impresi-imperesi indrawi, tetapi pada waktu yang sama ia mempunyai
budi rohani yang memampukannya untuk mengetahui kebenaran-kebenaran abadi yang
mengatasi dunia. Itulah yang membuatnya
mengungguli mahluk
yang lainnya.
Ilmu Antropologi
Ilmu antropologis memandang bahwa keberadaan
manusia harus dilihat secara utuh, yaitu di mana keberadaan manusia itu terdiri
dari dua unsur yang tak dapat dipisahkan, yaitu jasmani dan rohani. Keterkaitan
yang erat dari keduanya dapat dilihat dengan sangat jelas dari pola-pola
tingkah laku atau tindakannya dalam hidup bermasyarakat, melalui tuntunan
naluri. Sehingga, dorongan dan refleks dalam tingkah lakunya, manusia sudah
tidak lagi dipengaruhi oleh akal dan jiwanya. Maka dari itu, jelaslah bahwa antropologi
melihat pola tingkah laku sebagai manusia kepribadian individu yang tercermin
pada unsur-unsurnya, yaitu pengetahuan, perasaan dan dorongan naluri. dengan
demikian jelaslah, bahwa unsur-unsur kepribadian tersebut, melalui proses yang
dilakukan oleh panca indra dan reseptor organisme yang lain, yang diproyeksikan
oleh individu dengan penggambaran lingkungan, serta menjalankan budayanya dalam
masyarakat, baik sebagai individu maupun sosial. Hal demikian pun tidak ada
pada binatang.
Psikologi
Pandangan Ilmu psikologi tentang eksistensi manusia
diawali dengan mempelajari dan menyelidiki keadaan batin manusia dengan
menggunakan metode ilmiah. Wilhelm Wundt (1832-1930) misalnya menggunakan metode
evaluasi penafsiran subjektif yang disebut dengan “introspeksi”. Namun demikian
metodenya tidak bertahan lama karena dikecam oleh para psikolog hewani dari
Charles Darwin dan seterusnya, karena introspeksi tidak diperlukan dalam
mempelajari tingkah laku manusia. Dalam perkembangan selanjutnya, maka muncullah
teori baru yang terdiri dari tiga upaya utama yang harus dilakukan untuk
menolong psikologi dalam mempelajari kodrat manusia, yaitu behaviorisme,
psikoanalisis dan personalisme. Namun teori yang paling terkenal dan populer
dalam menyelidiki tentang siapakah manusia adalah teori behaviorisme.
Psikologi behavioris dimulai oleh Jhon Brodus Watson
(1878-1958) dan Byrrhus Frederic Skinner (1904-1990). Dalam teorinya, J.B.
Watson berpendapat bahwa semua psikologi berkaitan erat dengan tingkah laku
hewani dan manusiawi. Bahkan dalam klaimnya mengatakan, bahwa tingkah laku
manusia dapat dikontrol secara ilmiah. Selanjutnya, tidak jauh berbeda dengan
Watson, teori Skinner mengenai pengontrolan tingkah laku manusia, namun ia
lebih menitikberatkan teorinya pada konsep penguatan positif. Pemahaman itulah
yang mengantarkan Sknner pada dua kesimpulan, yaitu: pertama, bahwa manusia
adalah hewan yang lebih tinggi: “Manusia jauh melebihi seekor anjing, tetapi
seperti anjing ia berada dalam jangkauan analisis ilmiah.” Kedua, manusia
adalah mesin: “Manusia adalah mesin dalam pengertian bahwa ia merupakan sistem
kompleks tingkah laku secara teratur, tetapi kompleksitasnya luar biasa.” Dari
pemahaman di atas jelas memperlihatkan, bahwa jika manusia tidak mampu
mengontrol tingkah lakunya, maka tingkah laku hewanilah yang dihasilkan.
Filsafat
Ilmu filsafat memandang eksistensi manusia berkaitan dengan pribadi yang merupakan bagian dari
dunia fisik atau tubuh, dan melalui tubuh itulah manusia dapat menerima
impresi-impresi indrawi. Tetapi serentak dengan itu, manusia juga mempunyai budi rohani yang sanggup membawanya pada
pengetahuan akan kebenaran-kebenaran abadi yang mengatasi dunia. Budi dan badan
manusia mempunyai daya yang sanggup mengarahkan jiwanya untuk mencapai kawasan
surgawi melalui ide-ide. Sedangkan
badan ingin terlihat dalam masalah-masalah duniawi yang berkaitan dengan indra.
Dalam konteks itulah manusia dipandang sebagai
hewan rasional (animal rasional).
Pandangan selanjutnya menyatakan dan menilai, bahwa manusia sebagai animal simbolik, maksudnya adalah
pernyatakan tersebut dikarenakan manusia mengkomunikasikan bahasa melalui
simbol-simbol dan manusia menafsirkan simbol-simbol tersebut. Pendapat yang lain mengatakan, bahwa manusia adalah
homo feber, yakni hewan yang dapat bekerja. Di sisi yang lain, manusia
juga dapat
dikatakan
sebagai homo sapiens, yaitu manusia
arif yang memiliki
akal budi dan pengetahuan
yang membuatnya mengungguli mahluk
yang lain. Selain itu, manusia juga disebut sebagai homo ludens, yaitu mahluk yang senang bermain.
Kesimpulan
Bertolak dari berbagai pandangan di atas, maka kita dapat
menarik kesimpulan bahwa eksistensi manusia jelas berbeda dengan makhluk
ciptaan yang lainnya. Kecerdasan intelektual dan emosional serta kemampuannya
berpikir sebagai makhluk yang bertanya menjadikannya untik dan spesial. Kelebihan
dan keunikannya itulah yang membuatnya tidak hanya berbeda, tetapi juga telah
membuatnya unggul dari binatang.
Namun demikian, manusia akan kehilangan identitasnya
sebagai manusia bila ia mengabaikan relasi dengan penciptanya. Dengan kata
lain, relasinya dengan Tuhan sangat menentukan akan eksistensi sebagai manusia,
yang unik dan lebih tinggi dari semua makhluk. Kemampuan berpikir yang
dimilikinya seharusnya dapat dijadikan penuntun dalam berbicara dan bertindak. Sebab,
jika kecerdasan yang dimiliki manusia tidak dapat menjadi kontrol atas tingkah
lakunya, maka kemungkinan untuk pelakukan perbuatan-perbuatan yang serupa
dengan apa yang sering dilakukan oleh hewan atau binatang itu ada padanya.
Relevansi
Sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang paling unik, yang
memiliki kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional seharuanya menjadi
kontrol untuk tidak meninggalkan jati diri dan nilai-nilai kemanusia di dalam
diri kita. Selanjutnya, kemampuan berpikir dan naluri yang Tuhan berikan kepada
kita juga seharusnya menjadi saringan atau tembok pembatas yang kokoh sebelum
bertindak. Karena bagai mana pun, hal itulah yang tidak dimiliki oleh binatang.
Artinya, hanya manusialah yang sanggup berpikir atas segala sesuatu yang akan
dilakukannya. Sehingga apa yang dilakukan itu benar-benar adalah hasil dari
akal budi atau pemikiran yang diterangi oleh nurani dan pemahaman yang benar
akan keberadaan kita sebagai manusia seutuhnya. Jika kecerdasan dan kemampuan
berpikir itu diabaikan dalam tindakan, maka kecenderungan kita untuk bertindak
seperti binatang itu sangat besar dan ada. Karena itu, manfaatkan
kelebihan-kelebihan yang telah Tuhan berikan kepada kita untuk tujuan mulia sebagaimana
yang Tuhan harapkan dalam kehidupan kita. Sehingga eksistensi kita sebagai
manusia menjadi berarti bagi banyak orang di mana pun kita berada. Teruslah berkarya
dan bertanggungjawablah atas segala sesuatu yang kita lakukan dalam hidup ini,
baik kepada diri sendiri, kepada sesama dan terlebih kepada Tuhan, yang adalah
pemilik tunggal atas kehidupan ini.
Semoga bermanfaat dan menjadi berkat.
Salam.......