Thursday, 23 April 2015

"SELALU ADA RISIKO DI BALIK KEBERANIAN"



Oleh: Sugiman

Walt Disney pernah mengatakan demikian: "Semua mimpi kita dapat menjadi kenyataan, jika kita punya keberanian untuk mewujudkannya."

Harapan semua orang di dunia ini adalah ingin mengapai hidup sukses, namun hanya sedikit orang yang berani mengambil risiko untuk mengambilnya. Sebagai mana hukum alam yang telah kita ketahui, bahwa perjalanan hidup seseorang tidak pernah lebas dari berbagai rintangan dan masalah, melalui semuanya itulah kita dapat mengetahui dan mengukur sejauh mana kemampuan kita. Setiap orang itu punya ukuran masing-masing, entah itu ukuran kesuksesan, kepintaran, kecerdasan emosional dan sebagainya.

Larry Osborne pernah mengatakan bahwa, "Hal paling mencengangkan dari
para pemimpin yang paling efektif adalah betapa sedikitnya persamaan dalam diri mereka. Tetapi ada satu sifat menonjol yang mudah dikenali yaitu kesediaan mereka menempuh
risiko." Maksud tulisan Larry Osborne adalah bahwa rasa takut akan membatasi seseorang untuk mengeskpresikan segala talenta dan kemampuannya untuk mengapai kesuksesan.

Tacitus, salah seorang sejarahwan Romawi mengatakan bahwa: "Hasrat untuk merasa aman menghambat setiap usaha yang besar dan mulia, sedangkan keberanian memberi pengaruh sebaliknya,". Pernyataan di atas menyiratkan pesan, bahwa betapa seringnya kita merasa aman dan nyaman karena tidak adanya teguran, tidak ada angin yang mengoyang-goyang tempat duduk kita, tapi tanpa disadari bahwa itu adalah rasa nyaman dan aman yang palsu.

Di dunia ini, begitu banyak orang yang merasa tidak siap dengan segala hambatan, tantangan dan kabut tebal di depannya. Perasaan takut yang tidak beraturan telah memberikan tekanan yang tak henti-hentinya di dalam batinnya. Sebagai akibatnya, ia merasa bahwa semua itu adalah bencana mematikan, yang memutus jembatan penyeberangan dan melonggarkan sendi-sendi yang sebelumnya kuat di dalam kenyamanan yang palsu.

Para pembaca yang budiman dan bijaksana, di dalam menyikapi hidup yang dirasa “aman dan nyaman” sangat dibutuhkan sedikit keberanian untuk membuka pintu pada hal yang paling bermanfaat. Keberanian bukan saja memberikan semangat baru bagi orang-orang yang memipikan sebuah kesuksesan, tapi juga sebagai permulaan yang baik dalam mempersiapkan masa depan yang lebih baik juga.

Namun demikian, harus diakui secara jujur, bahwa tidak semua orang memiliki keberanian untuk mengambil risiko. Padahal itu adalah harga yang harus dibayar untuk mendapatkan kesuksesan. Orang yang memiliki keberanian sebenarnya juga mengalami ketakutan yang sama besarnya dalam hidup mereka. Tapi satu-satunya perbedaan dari mereka adalah orang yang berani tidak memberikan peluang untuk mengkhawatirkan hal-hal yang remeh.

Dalam konteks itulah Eleanor Roosevelt menegaskan, bahwa "Anda mendapatkan kekuatan, keberanian dan keyakinan dalam setiap pengalaman, ketika Anda mulai benar-benar berhenti merasa takut." Jika demikian, apakah kita tidak boleh merasa takut? Bukan demikian maksudnya, justru ketakutan itu harus ada, misalnya takut melakukan kecurangan, takut mencuri, takut membunuh dan segala jenis perbuatan yang dapat merugikan orang lain, kita harus takut untuk melakukannya.

Ketakutan seharusnya dapat dikelola dengan baik, yakni dalam hal apa sebenarnya kita merasa takut? Jika untuk sebuah kebenaran, mengapai kesuksesan dan untuk mewujudkan mimpi-mimpi mulia lewat visi dan misi yang diberikan Tuhan, maka kenapa kita harus merasa takut dan gentar? Seharusnya kita berani, karena kita sedang memperjuangkan visi dan misi dari Tuhan untuk tujuan mulia bagi dunia.

Para pembaca yang bidiman, bijaksana dan rendah hati, katakanlah pada diri Anda bahwa, "Saya telah berhasil mengatasi ketakutan ini. Karena itu, saya pasti mampu menghadapi ketakutan berikutnya." Oleh sebab itu, mulailah mengerjakan hal-hal yang selama ini kita takuti, yang selama ini sebenarnya menjadi tugas dan tanggung jawab kita, serta yang selama ini juga menindas dan membebani pikir kita saat akan mengerjakan, maka mulailah hari ini untuk melakukannya dan mengerjakan sesuai akal sehat dan kemampuan yang telah Tuhan berikan dalam hidup kita.


Semoga bermanfaat
Selamat mencoba, salam & doa dari orang-orang yang mengasihi Anda dan saya kiranya selalu menyertai.

Saturday, 18 April 2015

SIAPAKAH MANUSIA?



Oleh Sugiman

Di Jakarta Timur, tanggal 13 Oktober 2014 seorang ayah tega memperkosa anak kandungnya sebanyak 35 kali.[1] Di kota Malang, Jawa Timur warga Jalan Lowokdoro, Gang III, RT 06 RW 04 Kelurahan Kebonsari, Kecamatan Sukun tega membunuh anak kandungnya hanya karena korban bertengkar dengan kakaknya rebutan baju yang didapat dari tantenya.[2] Jawa Timur tepatnya di Kabupaten Malang, kasus serupa juga dialami oleh Kasih Ramadhani, bocah perempuan berusia tujuh tahun tewas dianiaya ayah kandungnya sendiri hanya lantaran korban merengek meminta dibelikan es krim.[3]

Selanjutnya, kasus serupa juga terjadi di Wandama tepatnya di Kampung Kaibi Distrik Wondiboi, Kabupaten Teluk Bintuni, yakni seorang ayah dilaporkan ke polisi karena telah memerkosa 2 anak kandungnya sendiri hingga hamil dan melahirkan 7 anak.[4] Kasus yang lain adalah Suryadharma, Mantan Menteri Agama di tetapkan sebagai tersangka kasus korupsi penyelenggaraan haji periode 2012-2013 pada 22 Mei 2014. Suryadharma diduga telah menyelewengkan akomodasi haji yang anggaran totalnya lebih dari Rp 1 triliun tersebut.[5]

Maraknya terjadi berbagai tindakan kejahatan telah merampas rasa tentram, rasa damai, aman, nyaman dan kebahagiaan yang serausnya kita dapatkan. Tingginya tingkat kriminalitas, rendahnya tingkat keamanan, minimnya kepedulian, dan miskinnya nilai-nilai kebenaran dalam segala sisi kehidupan telah memperlihatkan bahwa terkikisnya identitas peradaban manusia dan rendahnya tingkat pengenalan manusia terhadap dirinya, sesamanya dan penciptanya. Dalam terang itulah kita seharusnya bertanya tentang siapakah manusia?

Hakekat Manusia
Beberapa kasus kejahatan di atas hanyalah sedikit dari sekian banyak kasus kejahatan yang kian hari kian meningkat. Hampir setiap informasi yang kita dengar, lihat dan saksikan di media-media sosial, media cetak dan elektronik telah menyayat nurani kita. Betapa tidak? Kita sering disuguhkan dengan berbagai jenis kasus kejahatan yang kian hari kian meningkat dewasa ini. Kasus-kasus seperti pembunuhan, pemerkosaan, pencurian/perampokan, kekerasan terhadap anak, narkoba, suap, korupsi dan kasus jenis kejahatan lainnya telah merusak tatanan kehidupan manusia sebagai makhluk mulia, berakhlak, bermoral, beretika dan bermartabat. Bahkan serentak dengan itu, kita telah diseret dengan cara paksa untuk berpikir keras dalam upaya menemukan solusi dan sekaligus mempertanyakan tentang eksistensi manusia sebagai ciptaan Tuhan yang mulia yang menempati posisi tertinggi dari segala jenis binatang yang ada.

Tindakan-tindakan kejahatan, perbuatan-perbuatan yang tidak manusiawi telah meruntuhkan nilai-nilai kemanusiaan yang Tuhan tanamkan di dalam nurani mereka. Ini memperlihatkan secara gamblang, bahwa mulai memudar dan hilangnya jati diri manusia sebagai ciptaan Tuhan dan sebagai makhluk sosial. Sikap apatis yang kian mencuat semakin memperlihatkan ketidakjelasan kedudukan manusia sebagai makhluk tertinggi dari semua ciptaan yang ada. Apabila dikaitkan dengan tujuan dan maksud kehadirannya dalam dunia, maka realita itu jauh dari yang diharapkan. Norma-norma sosial, hukum, agama yang mengatur tatanan hidup manusia untuk menuju sebuah peradaban telah kehilangan otoritasnya karena kelalaian yang disengaja. Akibatnya, tindakan-tindakan yang tidak berkeperi-kemanusiaan seolah menjadi kebanggaan, yang di mana setiap orang seolah berlomba-lomba untuk melakukannya. Itulah bukti dari bobroknya moral di Indonesia. Bahkan mungkin jika harus diukur dengan ukuran dunia binatang, maka peri-kebinatangan pun masih lebih tinggi dari manusia.

Teologi Iman Kristen
Iman Kristen memahami bahwa manusia adalah makhluk yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah (pencipta). Bahkan mereka diciptakan menurut kehendak Allah di dalam kebenaran dan kekudusan yang sesungguhnya (Baca Kej. 1:26, 5:1; Efesus 4:24; Yakobus 3:9). Bahkan secara gambling penulis kitab Kejadian menjelaskan bahwa manusia dibuat dari debu tanah (Kej 2:7). Kemudian Allah memberkati manusia dan juga memberinya perintah supaya bertambah banyak memenuhi bumi dan berkuasa atas ciptaan yang lain (Kej 1:28). Kemudian Allah menempatkan manusia di taman Eden untuk mengusahakan taman itu (Kej 2:15).

Namun demikian, pada bagian Kitab yang lain dalam Alkitab, penulis kitab Pengkhotbah mengatakan bahwa eksistensi manusia sama dengan binatang ketika ia tidak memiliki relasi dengan Tuhan yang menciptakannya (Pkh. 3:18-19). Kedua gambaran Alkitab di atas sangat jelas memperlihatkan kepada kita, bahwa eksistensi manusia telah kehilangan maknanya. Berbagai tindakan kejahatan telah memutuskan relasi manusia dengan Tuhannya. Itulah yang menjadikan dirinya sama seperti binatang. Dengan kata lain, relasi manusia dengan Tuhan sangat menentukan eksistensi dari manusia itu sendiri. Itulah sebabnya, Allah yang berkarya sedemikian rupa dengan harapan supaya manusia menjadi makhluk yang berkarya/ bekerja di sepanjang hidupnya.

Ilmu Sosiologi
Ilmu sosiologi memandang eksistensi manusia sebagai makhluk sosial yang cerdas dari segala makhluk yang lainnya. Itulah sebabnya secara kedudukan dan identitas, manusia memiliki perbedaan yang sangat tajam atau tidaklah sama dengan binatang. Dengan kata lain, bahwa nilai-nilai estetik dan hakekat yang ada pada manusia merupakan pembatas yang dalam yang membedakan manusia dengan binatang, termasuk secara hakekat bebas dan universal. Gambaran ilmu sosiologi di atas memperlihatkan dengan sangat jelas, bahwa segala kelebihan yang dimiliki manusia adalah pemberian spesial dan khusus dari Tuhan. Hal itulah yang tidak Tuhan berikan terhadap segala makhluk, kecuali manusia.

Kelebihan yang dimilikinya itu juga tercermin dengan sangat jelas dari kemampuannya untuk berpikir dan bertanya tentang siapa dirinya. Itulah sifat alami yang diwariskan Tuhan kepada manusia, yang sangat menentukan hakekat sebagai manusia. Maka dari itu, tidak heran atau wajar jika manusia juga disebut sebagai makhluk sosial yang brilian, makhluk intelektual, yang sanggup keluar dari dirinya dan mempertanyakan tentang keberadaan dan siapa dirinya serta apa tugasnya dan tanggung jawabnya dalam dunia sebagai makhluk ciptaan yang unik dan spesial. Kecerdasannya sebagai makhluk yang bertanya telah terbukti melalui berbagai karya yang telah dihasilkan oleh pemikiran manusia. Sungguh, kemampuan yang tidak dimiliki oleh binatang. Kecerdasan intelektual dan emosional yang dimilikinya telah menuntunnya untuk mencari dan menemukan keberadaan yang transenden dan imanen dalam hidupnya. Itulah kebutuhannya yang fundamental. Dalam konteks itulah Platonik mengatakan, bahwa manusia dapat menerima impresi-imperesi indrawi, tetapi pada waktu yang sama ia mempunyai budi rohani yang memampukannya untuk mengetahui kebenaran-kebenaran abadi yang mengatasi dunia.[6] Itulah yang membuatnya mengungguli mahluk yang lainnya.

Ilmu Antropologi
Ilmu antropologis memandang bahwa keberadaan manusia harus dilihat secara utuh, yaitu di mana keberadaan manusia itu terdiri dari dua unsur yang tak dapat dipisahkan, yaitu jasmani dan rohani. Keterkaitan yang erat dari keduanya dapat dilihat dengan sangat jelas dari pola-pola tingkah laku atau tindakannya dalam hidup bermasyarakat, melalui tuntunan naluri. Sehingga, dorongan dan refleks dalam tingkah lakunya, manusia sudah tidak lagi dipengaruhi oleh akal dan jiwanya. Maka dari itu, jelaslah bahwa antropologi melihat pola tingkah laku sebagai manusia kepribadian individu yang tercermin pada unsur-unsurnya, yaitu pengetahuan, perasaan dan dorongan naluri. dengan demikian jelaslah, bahwa unsur-unsur kepribadian tersebut, melalui proses yang dilakukan oleh panca indra dan reseptor organisme yang lain, yang diproyeksikan oleh individu dengan penggambaran lingkungan, serta menjalankan budayanya dalam masyarakat, baik sebagai individu maupun sosial. Hal demikian pun tidak ada pada binatang.

Psikologi
Pandangan Ilmu psikologi tentang eksistensi manusia diawali dengan mempelajari dan menyelidiki keadaan batin manusia dengan menggunakan metode ilmiah. Wilhelm Wundt (1832-1930) misalnya menggunakan metode evaluasi penafsiran subjektif yang disebut dengan “introspeksi”. Namun demikian metodenya tidak bertahan lama karena dikecam oleh para psikolog hewani dari Charles Darwin dan seterusnya, karena introspeksi tidak diperlukan dalam mempelajari tingkah laku manusia. Dalam perkembangan selanjutnya, maka muncullah teori baru yang terdiri dari tiga upaya utama yang harus dilakukan untuk menolong psikologi dalam mempelajari kodrat manusia, yaitu behaviorisme, psikoanalisis dan personalisme. Namun teori yang paling terkenal dan populer dalam menyelidiki tentang siapakah manusia adalah teori behaviorisme.

Psikologi behavioris dimulai oleh Jhon Brodus Watson (1878-1958) dan Byrrhus Frederic Skinner (1904-1990). Dalam teorinya, J.B. Watson berpendapat bahwa semua psikologi berkaitan erat dengan tingkah laku hewani dan manusiawi. Bahkan dalam klaimnya mengatakan, bahwa tingkah laku manusia dapat dikontrol secara ilmiah. Selanjutnya, tidak jauh berbeda dengan Watson, teori Skinner mengenai pengontrolan tingkah laku manusia, namun ia lebih menitikberatkan teorinya pada konsep penguatan positif. Pemahaman itulah yang mengantarkan Sknner pada dua kesimpulan, yaitu: pertama, bahwa manusia adalah hewan yang lebih tinggi: “Manusia jauh melebihi seekor anjing, tetapi seperti anjing ia berada dalam jangkauan analisis ilmiah.” Kedua, manusia adalah mesin: “Manusia adalah mesin dalam pengertian bahwa ia merupakan sistem kompleks tingkah laku secara teratur, tetapi kompleksitasnya luar biasa.”[7] Dari pemahaman di atas jelas memperlihatkan, bahwa jika manusia tidak mampu mengontrol tingkah lakunya, maka tingkah laku hewanilah yang dihasilkan.

Filsafat
Ilmu filsafat memandang eksistensi manusia berkaitan dengan pribadi yang merupakan bagian dari dunia fisik atau tubuh, dan melalui tubuh itulah manusia dapat menerima impresi-impresi indrawi. Tetapi serentak dengan itu, manusia juga mempunyai budi rohani yang sanggup membawanya pada pengetahuan akan kebenaran-kebenaran abadi yang mengatasi dunia. Budi dan badan manusia mempunyai daya yang sanggup mengarahkan jiwanya untuk mencapai kawasan surgawi melalui ide-ide.[8] Sedangkan badan ingin terlihat dalam masalah-masalah duniawi yang berkaitan dengan indra. Dalam konteks itulah manusia dipandang sebagai hewan rasional (animal rasional).

Pandangan selanjutnya menyatakan dan menilai, bahwa manusia sebagai animal simbolik, maksudnya adalah pernyatakan tersebut dikarenakan manusia mengkomunikasikan bahasa melalui simbol-simbol dan manusia menafsirkan simbol-simbol tersebut. Pendapat yang lain mengatakan, bahwa manusia adalah homo feber, yakni hewan yang dapat bekerja. Di sisi yang lain, manusia juga dapat dikatakan sebagai homo sapiens, yaitu manusia arif yang memiliki akal budi dan pengetahuan yang membuatnya mengungguli mahluk yang lain. Selain itu, manusia juga disebut sebagai homo ludens, yaitu mahluk yang senang bermain.

Kesimpulan
Bertolak dari berbagai pandangan di atas, maka kita dapat menarik kesimpulan bahwa eksistensi manusia jelas berbeda dengan makhluk ciptaan yang lainnya. Kecerdasan intelektual dan emosional serta kemampuannya berpikir sebagai makhluk yang bertanya menjadikannya untik dan spesial. Kelebihan dan keunikannya itulah yang membuatnya tidak hanya berbeda, tetapi juga telah membuatnya unggul dari binatang.

Namun demikian, manusia akan kehilangan identitasnya sebagai manusia bila ia mengabaikan relasi dengan penciptanya. Dengan kata lain, relasinya dengan Tuhan sangat menentukan akan eksistensi sebagai manusia, yang unik dan lebih tinggi dari semua makhluk. Kemampuan berpikir yang dimilikinya seharusnya dapat dijadikan penuntun dalam berbicara dan bertindak. Sebab, jika kecerdasan yang dimiliki manusia tidak dapat menjadi kontrol atas tingkah lakunya, maka kemungkinan untuk pelakukan perbuatan-perbuatan yang serupa dengan apa yang sering dilakukan oleh hewan atau binatang itu ada padanya.

Relevansi
Sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang paling unik, yang memiliki kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional seharuanya menjadi kontrol untuk tidak meninggalkan jati diri dan nilai-nilai kemanusia di dalam diri kita. Selanjutnya, kemampuan berpikir dan naluri yang Tuhan berikan kepada kita juga seharusnya menjadi saringan atau tembok pembatas yang kokoh sebelum bertindak. Karena bagai mana pun, hal itulah yang tidak dimiliki oleh binatang. Artinya, hanya manusialah yang sanggup berpikir atas segala sesuatu yang akan dilakukannya. Sehingga apa yang dilakukan itu benar-benar adalah hasil dari akal budi atau pemikiran yang diterangi oleh nurani dan pemahaman yang benar akan keberadaan kita sebagai manusia seutuhnya. Jika kecerdasan dan kemampuan berpikir itu diabaikan dalam tindakan, maka kecenderungan kita untuk bertindak seperti binatang itu sangat besar dan ada. Karena itu, manfaatkan kelebihan-kelebihan yang telah Tuhan berikan kepada kita untuk tujuan mulia sebagaimana yang Tuhan harapkan dalam kehidupan kita. Sehingga eksistensi kita sebagai manusia menjadi berarti bagi banyak orang di mana pun kita berada. Teruslah berkarya dan bertanggungjawablah atas segala sesuatu yang kita lakukan dalam hidup ini, baik kepada diri sendiri, kepada sesama dan terlebih kepada Tuhan, yang adalah pemilik tunggal atas kehidupan ini.

Semoga bermanfaat dan menjadi berkat.
Salam.......


Tuesday, 20 January 2015

SETIA PADA KEBENARAN BERARTI SETIA KEPADA TUHAN



Oleh: Sugiman

Aku berkata kepadamu, hai sahabat-sahabat-Ku, janganlah kamu takut terhadap mereka yang dapat membunuh tubuh dan kemudian tidak dapat berbuat apa-apa lagi (Lukas 12:1).

Jika Tuhan yang diyakini dalam ajaran agama kita masing-masing itu sumber kebenaran, mengapa kita sering berkhianat, berdusta dan tidak memihak pada kebenaran? Apa sebenarnya yang kita takutkan dalam hidup ini? Apakah segala sesuatu yang temporer itu lebih tangguh dari yang abadi?

Seorang dokter yang mengabdikan hidupnya untuk Tuhannya pernah mencatatkan kata-kata penguatan dari Yesus untuk para pengikutNya demikian, “Aku berkata kepadamu, hai sahabat-sahabat-Ku, janganlah kamu takut terhadap mereka yang dapat membunuh tubuh dan kemudian tidak dapat berbuat apa-apa lagi (Lukas 12:1). Kata-kata itu telah menyihir dan memberikan kekuatan kepada para pengikutNya sehingga mereka berani mati sebagai martir karena kesetiaan mereka pada ajaran Kristus.  

Pengajaran Kristus kepada para murid dan kepada orang-orang yang bersedia merelakan hidupnya untuk memihak pada kebenaran sebagaimana yang diajarkan Kristus. Betapa tidak, yakni di mana pengajaranNya setidaknya telah memberikan insfirasi dan makna kehidupan abadi yang tidak semestinya diabaikan. Hal itu jugalah yang menguatkan dan mengubah pendirian Polikarpus untuk tetap setia pada kebenaran. Sehingga ketika ia dipaksa oleh Gubernur Romawi supaya menyangkal dan mengkhianati Yesus, tapi dengan tegas dan lantang ia mengatakan, “Selama delapan puluh enam tahun aku telah mengabdi kepadaNya dan Ia tidak pernah menyakitiku. Bagaimana mungkin aku dapat mencaci Raja yang telah menyelamatkanku?”.

Jika kita hubungkan frasa “janganlah kamu takut” dari ucapan Yesus yang dicatat oleh Lukas 12:1 dengan pengakuan Polikarpus yang mengatakan bahwa Yesus adalah Raja yang telah menyelamatkannya. Maka di sana tersirat makna kehidupan abadi yang sering diabaikan oleh mereka yang menyandarkan hidupnya kepada segala sesuatu yang sifatnya temporer.

Refleksi

Para pembaca yang budiman dan baik hatinya, bukankah pengkhianatan serupa juga sering kita lakukan demi kenyaman pribadi yang sangat temporer atau sementara? Bahkan tidak jarang kita mengabaikan nilai-nilai kebenaran karena sedikit uang, setingkat jabatan, dank arena takut tidak popular? Jika hal itu tetap kita biarkan terjadi dan terus-menerus dilakukan, maka suatu saat kita akan kehilangan jati diri kita sebagai ciptaan Tuhan yang mulia, yang berbeda dari ciptaanNya yang lain.

Para pembaca yang budiman dan baik hatinya, satu hal yang harus kita ingat dan camkan, bahwa orang yang sering menunda untuk melakukan kebenaran dan bahkan tidak memihak kepadanya adalah orang tidak mungkin setia pada Tuhannya. Mengapa? Karena kebenaran abadi itu hanya berasal dari Tuhan. Oleh sebab itu, adalah tidak mungkin seseorang mengatakan hidupnya atau agamanya bertuhan sementara ia sendiri tidak memihak kepada nilai-nilai kebenaran. Artinya, hanya mereka yang setia kepada kebenaranlah yang telah menemukan arti atau makna kehidupan yang sesungguhnya. Oleh sebab itu, jangan takut untuk berbuat benar dan memihak kepadanya selagi ada kesempatan untuk melakukannya.

Semoga bermanfaat, kiranya Tuhan Yesus selalu memberkati hidup kita dan menjadi berkat bagi banyak orang selama kita hidup di dunia.