Wednesday 7 March 2012

MEMINTA: SANGAT MEMBUTUHKAN HUBUNGAN BAIK (Matius 7:7-11)


Oleh: Sugiman

Dalam kehidupan rumah tangga atau keluarga, hubungan baik itu sangat dibutuhkan, suami dan isteri, orangtua dan anak ataupun dengan para kerabat dan saudara lainnya. Dalam mencari pekerjaan, hubungan baik dibutuhkan. Dalam usaha mencari pacar, hubungan baik juga dibutuhkan. Dalam kehidupan bermasyarakat, hubungan yang baik juga sangat dibutuhkan. Dalam beragama, hubungan baik juga sangat dibutuhkan, baik itu toleransi, saling menghargai, menghormati dan saling mengasihi. Bahkan dalam cakupan yang lebih luas, yaitu hubungan yang baik antar negara (hubungan Internasional) juga sangat dibutuhkan, yaitu demi terselengaranya sebuah perdamaian dan ketertiban dunia, saling memenuhi kebutuhan, baik di bidang sosial politik maupun ekonomi. Semuanya bergantung hubungan baik. Hubungan baik sangat menentukan apa yang kita dapatkan. Misalnya, mengapa ada dana bantuan Internasional kepada korban tsunami di Aceh, Nias, Mentawai dan sebagainya? Karena ada hubungan baik. Hubungan baik hanya mungkin terjadi jika kedua belah pihak memiliki etiket yang baik.

Dalam Injil Matius 7:7-11 juga memperlihatkan bahwa hubungan baik itu sangatlah penting (vital). Tetapi justru itu yang sering diabaikan oleh sebagian besar umat Kristen. Bahkan hampir setiap kali saya mendengar khotbah para pendeta, dan dengan enteng dia mengatakan “saudara-saudara, jika kita meminta maka pasti menerima, jika kita mencari pasti mendapatkan, dan jika kita mengetok pasti dibukakan” (ayat 7-8). Apakah itu salah? Tentu tidak, karena memang jelas isi ayat 7-8 demikian. Tetapi akan menjadi sangat keliru jika ayat 7-8 dipahami secara sederhana dan terpisah dari ayat 9-11. Ayat-ayat itu tidak sesederhana mengatakan “Mintalah, maka akan diberikan kepadamu; carilah, maka kamu akan mendapat; ketoklah, maka pintu akan dibukakan bagimu”. Tetapi realitanya itulah yang sering dilakukan oleh sebagian besar para pengkhotbah di Gereja. Sangat menyedihkan. Banyak jemaat atau orang Kristen yang merasa sinis dan dikecewakan oleh para pengkhotbah di Gereja karena mengabaikan esensi dari teks di atas. Mereka merasa tidak menerima walaupun sudah meminta, tidak mendapatkan walaupun sudah mencari, dan tidak dibukakan walaupun sudah mengedor-gedor. Mungkin Anda juga pernah mengalaminya. Apakah itu salah? Menurut saya tidak. Itu adalah kewajaran kita sebagai manusia. Hanya cara kita meresponsnyalah yang perlu diperbaiki.

Coba perhatikan ayat 7, yaitu kata Mintalah (Yunani = aiteo), carilah (Yunani = zeteo), ketoklah (Yunani = krouo). Ketiga kata itu adalah bentuk kata kerja imperatif present aktif orang ke-2 jamak, yang menunjukan kepada sebuah proses yang tidak pernah berhenti (terus menerus). Artinya, kita harus terus meminta, mencari dan mengetok sampai sampai mendapatkan apa yang sebenarnya kita butuhkan, bukan apa yang kita inginkan. Membutuhkan dan menginginkan memang dua kata yang cenderung disamakan maknanya, padahal keduanya sangat berbeda. Membutuhkan berarti menyadari secara totalitas atas hidup ini sebagai manusia yang tidak bisa hidup tanpa makanan, minuman, pertolongan, kasih sayang Tuhan selama kita hidup. Sedangkan menginginkan adalah menyangkut hasrat dan mengandung unsure paksaan untuk memiliki sesuatu yang lebih dari kebutuhan yang ukurannya ditentukan sendiri. Karena itulah setiap orang percaya harus meminta sesuai kebutuhan dan bukan keinginan.

Kata kerja “Mintalah” menyiratkan makna bahwa kita hidup sebenarnya tidak memiliki apa. Artinya semuanya adalah milik Tuhan dan apapun yang ada pada diri kita hanya sebagai titipan dari-Nya untuk syukuri. Logikanya: coba perhatikan orang yang sudah meninggal, apakah mereka masih dapat menikmati dunia ini seperti waktu masih hidup? Harta benda yang mereka miliki apakah tetap miliknya? Istri dan anak-anaknya apakah masih bisa berkomunikasi dengannya? Tidak. Karena semuanya hanya titipan dan tidak lebih dari itu.

Selanjutnya, kata “carilah” menyiratkan makna bahwa berdoa saja tidak cukup, melainkan harus terus dicari hingga mendapatkan apa yang kita butuhkan. Logikanya: apakah pernah Tuhan melemparkan makanan ke sarang burung supaya mereka tidak perlu bersusah payah, mengadu nasib, melewati berbagai rintangan yang bahkan membahayakan dirinya? Pernahkah Tuhan menjatuhkan uang di depan rumah para pengusaha sukses, supaya mereka tidak perlu menguras pikiran dan bekerja keras? Pernahkah Tuhan memasakan kita nasi supaya ketika bangun pagi kita langsung makan? Atau mencucikan kita pakaian supaya siap pakai? Tidak. Karena Tuhan tidak pernah memberikan berkatnya bagi mereka yang malas, dan Tuhan tidak pernah memanjakan mereka dengan kemahakuasaan-Nya.

Selanjutnya, kata “ketoklah” menyiratkan makna bahwa kita harus selalu meminta persetujuan dari Tuhan serta menyampaikan kebutuhkan kita dengan terus terang, dan tanpa ada yang ditutp-tutupi. Artinya harus ada kejujuran dari pikah pemohon. Logikanya: mana ada orang yang mengetok pintu tanpa suara? Hanya maling atau pencuri yang datang-datang tanpa mengetok pintu. Dalam konteks itulah ayat 8 menjawab: “Karena setiap orang yang meminta, menerima dan setiap orang yang mencari, mendapat dan setiap orang yang mengetok, baginya pintu dibukakan”. Ingat, kita meminta, mencari dan mengetok bukan karena tidak pernah diberi, tetapi karena kita merasa masih belum cukup. Itupun harus sesuai dengan persetujuan Tuhan, yaitu jika ia berkenan maka berikan saat meminta, Dia tunjukan jalan saat mencari, dan dia bukakan pintu saat meminta. Saya kira Tuhan tidak sekejam manusia, yang suka hitung-hitungan kepada sesamanya. Sudah minta berkali-kali juga tidak pernah diberi, sudah mencari pekerjaan demi sesuap nasi, toh tidak ada yang menerima, dan sudah mengetok, tapi tidak pernah dibukakan pintu, boro-boro dibuka, bahkan telinga semakin ditutup rapat. Oleh sebab itu, banyak orang yang menangis, tertindas, minta tolong, tetapi tidak seorang pun yang mau mendengarkan mereka. Itulah salah satu bedanya antara Tuhan dan manusia.

Pertanyaan saya selanjutnya adalah apakah sudah cukup dengan kata mintalah, carilah dan ketoklah? Oh tentu tidak. Kita jangan cepat berpuas diri, karena ada yang lebih penting dari atau yang esensial ketiga kata kerja itu, yaitu RELASI ATAU HUBUNGAN BAIK. Relasi atau hubungan baik kita dengan dengan Tuhan adalah sangat menentukan, yaitu apakah kita pantas menerima apa yang telah kita minta, mendapatkan apa yang telah kita cari, dan masuk ke pintu yang telah kita ketok. Logikanya: saya mendatangi salah seorang pengusaha, kemudian saya mengetok pintu kantornya dan saya meminta sejumlah uang yang saya butuhkan. Menurut Anda apakah saya akan diberi? Saya tidak tahu. Tetapi kemungkinan besar tidak, dan mungkin saya diusir. Mengapa? Karena saya tidak mengenal siapa dia dan dia juga tidak mengenal siapa saya. Seandainya saja saya memiliki hubungan baik, sangat dekat dengannya yang sudah sekian lama kami bangun bersama, mungkin iya, itupun jika dia tidak pelit.

Dikatakan pada ayat 9-11 demikian: “Adakah seorang dari padamu yang memberi batu kepada anaknya, jika ia meminta roti, atau memberi ular, jika ia meminta ikan? Jadi jika kamu yang jahat tahu memberi pemberian yang baik kepada anak-anakmu, apalagi Bapamu yang di sorga! Ia akan memberikan yang baik (agathos) kepada mereka yang meminta kepada-Nya."

Kalimat di atas sebenarnya ingin memperlihatkan betapa pentingnya relasi atau hubungan kita dengan Tuhan. Perhatikan kata anak dan bapa yang disebutkan Tuhan Yesus di atas. Kedua kata itu adalah untuk menggambarkan sebuah relasi atau hubungan yang sangat dekat atau intim, yaitu antara anak dan ayah. Kalau Anda pernah mendengar ungkapan Yesus yang mengatakan “Aku dan Bapa adalah satu” (Yoh. 10:30), adalah sebenarnya untuk mengatakan bahwa hubungan-Nya dengan Bapa itu sangat dekat dan intim. Itulah juga yang mau dikatakan Yesus dalam teks ini, yaitu kita harus memiliki hubungan yang baik dan intim dengan Tuhan. untuk membangun hubungan yang baik itu dibutuhkan kerendahan hati, ketulusan, dan pengabdian secara total. Mengabdi tidak pernah menuntut lebih dari keperluan atau kebutuhan, melainkan selalu mensyukuri apa yang telah Dia berikan. Karena kita tidak mensyukuri apa yang telah Dia berikanlah kita dikatakan yang jahat (ayat 11).

6 comments: