Friday 18 May 2012

AJARAN ETIS PAULUS TENTANG PEREMPUAN DALAM 1 TIMOTIUS 2:8-15


Oleh: Sugiman

Surat 1 Timotius 2:8-15 adalah salah satu perikop Alkitab yang sering digunakan atau dikutip oleh gereja-gereja tertentu yang dijadikan dasar sebagai pembatas antara laki-laki dan perempuan, khususnya dalam kepemimpinan gereja itu sendiri. Memang harus diakui, tidak semua gereja demikian. Namun hingga saat ini pun hal itu masih menjadi perdebatan, misalnya perempuan tidak boleh naik mimbar, tidak boleh menjadi pemimpin atau “mengatur” laki-laki. Alasannya adalah, kedudukan perempuan lebih rendah dari laki-laki, oleh sebab itu muncullah “teori feminisme”.[1] Maka dalam paper ini kita akan melihat mengenai ajaran etis Paulus tentang perempuan dalam 1 Tim 2:8-15.

Pembahasan
a)      Latar belakang historis
Siapa penulisnya 1 Timotius dan kapan ditulis, ternyata masih menjadi perdebatan hingga saat ini. Ada pendapat, surat ini ditulis oleh Paulus di Makedonia (1 Tim 1:3) sekitar tahun 63 M, yaitu setelah dia dibebaskan dari tahanan di Roma atau antara tahun 60 dan 64[2]. Dilihat dari strukturnya, tema-tema yang dibahas, gaya bahasanya dan pemikiran dalam isi surat juga tidak berurutan secara teratur seperti surat-surat Paulus yang otentik, kecuali surat pastoral. Misalnya ada frasa “pistos o logos (1 Tim 1:15; 3:1; 4:9; 2 Tim 2:11; Tit. 3:8). Selain itu, jika dilihat dari segi ungkapan teologis, yaitu penggunaan kata epiphaneia” dari kata kerja epiphane artinya “penyataan”, adalah menunjuk kepada kedatangan Yesus kembali dan kehadiran-Nya di dunia. KJV, NIV dan RSV menterjemahkannya dengan appearing, appearance, epiphany” (1 Ti 6:14; 2 Tim 1:10; 4:1, 8; Tit 2:13).

Untuk menjelaskan perbedaan di atas paling tidak ada tiga pendapat yang patut dipertimbangkan: (a). Surat 1 Timotius tidak ditulis oleh Paulus, melainkan oleh sekertarisnya (amanuensis). Itulah sebabnya gaya penulisannya sedikit bebas dan berbeda dengan tulisan-tulisan Paulus terdahulu; (b). Pendapat mayoritas mengatakan, bahwa surat ini hanya menggunakan nama Paulus sebagai nama samaran (pseudonim), dengan maksud untuk menyembunyikan identitas penulis yang sebenarnya.[3]; (c). Pendapat minoritas, (misalnya: Howard Marshall) mengatakan surat ini bersifat allonium, yaitu bukan Paulus yang menulisnya melainkan oleh orang lain. Jika demikian, apakah penulis bertujuan “mengelabui” pembacanya? Tentu saja tidak! Karena yang penulis sampaikan adalah ajaran Paulus yang telah diadaptasikan oleh “kelompok Paulus” sesudah kematiannya. Dengan kata lain, penulis surat 1 Timotius ingin jemaat-jemaat Kristen saat itu tetap mengingat ajaran Paulus dalam menghadapi bahaya ajaran sesat, sekalipun Paulus telah tiada.

Tidak hanya itu, tetapi surat ini juga ditujukan pekada Timotius, yaitu dalam rangka memberi tanggung jawab untuk menggembalakan jemaat dan mengangkat gembala-gembala jemaat, terutama untuk menghadapi ancaman ajaran sesat yang telah mempengaruhi kehidupan jemaat. Tujuan adalah untuk menguatkan para pemimpin jemaat dalam menghadapi guru-guru palsu dengan ajaran sesatnya yang menyusup ke dalam jemaat dan menganggu ketenangan. Oleh sebab itu, jemaat membutuhkan tuntunan dan harus ditolong untuk:  mengajarkan ajaran yang benar, hidup dalam kekudusan dan tata gereja yang kokoh. Ini mengindikasikan, kemungkinan yang terpengaruh ajaran sesat yang menyusup di dalam jemaat itu adalah sebagian dari para pemimpin. Jadi, surat 1 Timotius bukan ditulis Paulus, melainkan oleh sebuah kelompok (murid-murid) yang tetap setia memelihara ajaran Paulus, dan serentak dengan itu, mereka meneguhkan para pemimpin jemaat dan jemaat dalam menghadapi bahaya ajaran sesat orang Yahudi[4].

c). Perempuan dalam kebudayaan Yahudi

Di dalam keluarga Israel sebagai penganut budaya patriakal dan pokok utama adalah berpusat pada suku sangat kental dan terasa.[5] Itulah sebabnya, setiap individu mengidentifikasikan dirinya sebagai “rumah ayahnya” yang secara fungsional sepadan dengan “keluarga”. Padanan ini menggambarkan otoritas patriakal. Dalam keluarga Israel, ayah dan suami merupakan kepala yang dilihat sebagai pemilik atas kehidupan saudara-saudara perempuannya. Dengan kata lain, seluruh hidupnya ditempatkan pada posisi di bawah perhatian dan perlindungan pihak laki-laki. Bahkan menurut budaya Israel, perempuan yang berstatus janda juga berada di bawah perlindungan sanak laki-lakinya atau keluarganya yang laki-laki.

Kaum perempuan dipandang sebagai pribadi yang lemah dan yang tidak akan pernah mandiri.[6] Berbeda halnya dalam kultus dan hukum, yaitu di mana kaum perempuan ditempatkan di bawah laki-laki, yaitu tunduk kepada kaum laki-laki. Dengan kata lain, ketergantungan kepada laki-laki merupakan hal yang lazim pada saat itu. Betapa tidak? Seorang perempuan/ istri adalah milik atau kepunyaan sang suami sepenuhnya, dan ia diperlakukan sama dengan barang atau harta kepunyaan yang lainnya (seperti Ladang, harta, budak dan sebagainya). Itulah sebabnya, dalam budaya Israel laki-laki atau suaminya harus dipanggil sebagai Ba’al, yaitu pemilik istri atau Adon, yang berarti tuan istri.

Valerie Abraham mengatakan, bahkan dalam praktik religius, kaum perempuan sangat dibatasi aktifitasnya karena dianggap tidak layak.[7] Bahkan, para rabi Yahudi memandang rendah dan hina kedudukan perempuan dalam praktik kultus atau keagamaan. Perhatikan ungkapan Georgia Harkness mengenai sikap seorang rabi Yahudi terhadap perempuan:

“One should not converse with a women, not even with one’s own wife; women are greedy eaters, curious listeners, indolent, jealous, and frivolous; “many women, many witchcraft”, ten cabs of garrulousness descended upon the world, nine come down upon the women, one upon the rest of the world”. “Blessed is he whose children are male and woe to him whose children are female” – in the light of the attitude toward women expressed in these quotation this outcry of ben kiddushin is understandable”.[8]

William Barclay mengatakan:

“Dalam kebudayaan Yahudi wanita tidak dianggap sebagai pribadi, melainkan sebagai sebuah barang”. Dia juga mengutip perkataan Rabi Josc ben Johanan yang mengatakan: “Biarkan rumahmu terbuka lebar-lebar dan orang-orang miskin menjadi anggota keluargamu, serta janganlah terlalu banyak bercakap dengan wanita.” Dikatakan lagi, bahwa “seorang rabi yang keras tidak pernah memberi salam kepada wanita, bahkan kepada isteri dan saudara-saudaranya yang perempuan” (William Barclay, 106).


d). Perempuan dalam kebudayaan Yunani

Berbeda dengan kebudayaan Yahudi, kedudukan perempuan dalam kebudayaan Yunani adalah beragam atau berpariasi, yaitu sesuai dengan statusnya dalam masyarakat. Perempuan dalam kelas menengah ke bawah pada umumnya melakukan tugas-tugas rumah tangga. Mereka sibuk dengan semua urusan rumah tangga, sehingga tidak memiliki kesempatan untuk bersenang-senang dengan orang banyak yang ada di luar sana. Bahkan jarang tampil di depan umum karena kesibukan-kesibukannya.[9] Sedangkan perempuan yang berada pada kelas atas dan berpendidikan lebih memiliki kesempatan untuk tampil di muka atau di depan umum. Mereka dapat belajar dan mengeluti berbagai pendidikan formal dan meliputi bidang pekerjaan publik, seperti bidan, dokter, pengacara, guru, pedagang, artis dan sampai kepada pelacuran.[10]

e). Pembahasan teks 1 Timotius 2:8-15 dan pejelasannya

Jika kita membaca 1 Timotius pasal 2:1-7, di sana Paulus bericara mengenai doa yang ditujukan kepada suatu kelompok (jemaat), sedangkan pada ayat 8-15 Paulus berbicara dan membahas mengenai kehidupan dalam rumah tangga atau keluarga. Mari kita mulai bagian ini dari ayat 8 yang berbunyi:
“Oleh karena itu aku ingin, supaya di mana-mana orang laki-laki berdoa dengan menadahkan tangan yang suci, tanpa marah dan tanpa perselisihan” (2:8).

Ayat 8 menunjuk kepada kebiasaan-kebiasaan orang Yahudi ketika berdoa, yaitu mengadahkan tangannya tetapi Allah memalingkan muka-Nya dan tidak mau mendengarkan doanya karena tangan mereka penuh dengan darah (Yes 1:15). Kemungkinan besar mereka yang mengajarkan ajaran yang tidak sehat, adalah suka berdoa dengan mengadahkan tangan yang sia-sia dan hanya bersifat formalitas belaka karena tujuan mereka adalah untuk menyesatkan. Maka dari itu Paulus menambahkan “berdoa dengan tangan yang suci”. Di sini kita melihat ada hal-hal tertentu yang dituntut, yaitu kesungguh-sungguhan dalam berdoa. Frasa “tangan yang suci”[11] menunjuk kepada perbuatan yang seharusnya, yang berkenan dan menjadi berkat bagi semua orang. Nasihat ini terutama ditujukan kepada semua laki-laki yang menjadi pemimpin dalam jemaat pada masa itu.[12] Tujuannya supaya mereka berbeda dengan cara atau kebiasaan berdoa yang kosong.

Sedangkan frasa “tanpa marah dan tanpa perselisihan”. Dalam bahasa Yunaninya kata “perselisihan” adalah terjemahan dari kata “dialogismou” dengan kata dasar “dialogismos”, yang berarti “pertengkaran atau keraguan”. Ini menunjuk kepada sikap hati yang harus benar-benar tenang, hening, bersih dan fokus saat berdoa. Dalam konteks itulah Yesus mengatakan bahwa: “apabila engkau mempersembahkan persembahan, terlebih dahulu berdamailah dahulu dengan saudaramu” (Mat 5:23, 24). Artinya, adalah percuma dan sia-sia persembahan dan ibadah seseorang kepada Tuhan jika ia tidak berdamai dengan orang-orang yang pernah dia sakiti dan lukai. Betapa tidak? Tuhan sangat mencintai kedamaian hidup dan bukan permusuhan.

Dalam bagian selanjutnya, yaitu ayat 9-15 yang berkaitan dengan kedudukan perempuan dalam jemaat. Untuk memahami teks ini tidak bisa terlepas dari konteksnya, karena erat kaitannya dengan situasi / konteks saat itu. Teks ini ditulis dan disampaikan oleh kelompok Paulus untuk melawan kebiasaan-kebiasaan orang Yahudi yang keliru memahami Taurat. Hukum Taurat dijadikan alat untuk mendukung argumentasi bahwa kedudukan wanita itu lebih rendah dari laki-laki. Itulah sebabnya kebudayaan Yahudi memandang rendah kedudukan seorang perempuan, dan bahkan tidak dianggap sebagai pribadi, melainkan sebagai sebuah barang (lih. William Barclay, 106). Bahkan, dalam Saying of the Fothers, Rabi Josc ben Johanan mengutip sebuah perkataan: “Biarkan rumahmu terbuka lebar-lebar dan orang-orang miskin menjadi anggota keluargamu, serta janganlah terlalu banyak bercakap dengan wanita.” Dikatakan lagi, bahwa “seorang rabi yang keras tidak pernah memberi salam kepada wanita, bahkan kepada isteri dan saudara-saudaranya yang perempuan”.

Jika kita perhatikan ayat 9-10 dimulai dengan kata “Hosautos”, RSV: “also”, KJV: manner”: “cara, gaya atau sikap” tapi juga bisa dengan “Likewise” LAI: “demikian juga”. Kata “Hosautos” tidak hanya menujuk pada sebuah cara dan sikap yang seharusnya bagi kaum wanita, tetapi lebih jauh lagi, yaitu menurut Paulus bahwa kedudukan perempuan dan laki-laki adalah sederajat. Hanya cara mengekpresikannya yang berbeda, yakni laki-laki melalui aktivitas dan wanita melalui penampilannya. Kesederhanan merupakan perilaku, cara atau sikap yang sangat umum pada masa itu. Oleh sebab itu, nasihat ini dilontarkan penulis surat 1 Timotius supaya jangan memakai perhiasan emas dan pakaian yang mahal. Kemungkinan ini ditujukan kepada wanita-wanita kaya yang menggunakan berbagai perhiasan dan mengenakan pakaian yang mahal-mahal, kemudian berusaha terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang tidak bermanfaat. Dalam hal ini, tidak berarti wanita dilarang menggunakan busana yang indah, perhiasan-perhiasan yang mahal, tetapi yang terpenting adalah keindahan batin atau “berdandan dengan perbuatan baik, seperti layaknya perempuan yang beribadah” (2:10).

Selanjutnya, ayat 11-14, dalam bagian ini terlihat sangat tegas, keras dan tajam, bahwa wanita harus berdiam diri, patuh, tidak boleh mengajar, tidak boleh memerintah laki-laki pokoknya harus tunduk, karena wanita yang terlebih dahulu berdosa. Inilah paham yang dianut oleh tradisi Yahudi dan Yunani. Untuk memahami pernyataan yang terkesan merendahkan kaum perempuan di atas, maka ada baiknya kita melihat ke kota Korintus dan Efesus! Di kota Korintus terdapat kuil Aphrodite yang didiami atau dihuni oleh ribuan imam wanita yang menjadi pelacur suci dan menjajakan dirinya di lorong-lorong pada malam hari. Selanjutnya, di Efesus juga terdapat kuil Diana yang memiliki ratusan imam wanita yang disebut Melissae, yang artinya “kawanan lebah” yang berfungsi dan berprofesi sama dengan wanita-wanita di kota Korintus, yaitu wanita-wanita itu menjajakan dirinya dan melakoni dunia pelacur. Inilah alasan yang utama mengapa kaum wanita terkesan direndahkan. Oleh sebab itu, jika teks ini dilepaskan dari konteksnya maka itulah yang terjadi, yaitu cenderung menganggap wanita lebih rendah dari wanita.

Orang-orang Yahudi melihat, bahwa wanita yang layak dalam ibadah jemaat adalah wanita yang harus menundukan diri kepada hukum Taurat, yaitu: penurut, tidak memerintah, berdiam diri dan menerima ajaran dengan patuh, maka itulah wanita yang beribadah. Sedangkan bagi orang-orang Yunani, wanita terhormat hidup dengan sangat membatasi diri, bahkan ia tinggal ditempat yang tidak seorang pun bisa datang, kecuali suaminya. Sedangkan wanita Kristen saat itu aktif dalam pertemuan umum dan ikut dalam percakapan-percakapan. Maka tidak heran jika gereja saat itu dianggap sebagai tempat perlindungan bagi wanita-wanita nakal. Itulah sebabnya kata “seharusnya” pada ayat 11 dibenarkan dalam konteks saat itu, namun tidak pernah dijadikan alasan untuk merendahkan kedudukan perempuan seperti yang tertulis dalam ayat 13-14.

Kembali kita melihat kata “authenteo dalam ayat 12, yang diterjemahkan “to govern, exercise authority” KJV menterjemahkan “to usurp authority”, namun George W. Knight segera membantah bahwa terjemahan KJV keliru (evidently erroneous), menurut dia yang benar adalah “to have authority”[13]. Tahun 1979 Cathrine C. Kroeger menegaskan bahwa kata authenteo” berkaitan dengan erotic.[14] Selain itu, Osburn menterjemahkannya dengan “to dominate or domineer”. Maka dapat kita katakana bahwa kata authenteo berarti memerintah yang melebihi batas normal atau yang tidak sewajarnya, yaitu untuk memerintah dan menguasainya. Sebenarnya ayat 11-14 adalah untuk menentang ajaran-ajaran dan tradisi Yahudi dan Yunani yang berusaha merendahkan kedudukan perempuan. Perhatikan ayat 14 “bukan Adam yang tergoda dan yang pertama jatuh dalam dosa, melainkan Hawa”. Tradisi ini sering dipakai sebagai penguat argument-argumen yang ingin menyatakan bahwa wanita lebih rendah dari laki-laki. Ayat ini pun sering disalahpahami oleh orang-orang Kristen atau oleh sebagian besar para pemimpin gereja dewasa ini, terutama gereja-gereja yang melarang dan membatasi aktifitas wanita dalam berjemaat. Bisa dikatakan bahwa ini adalah kekeliruan yang terulang kembali atau kesalahan yang dibenarkan karena kesombongan dan kegengsian dari pihak laki-laki. Pertanyaannya di mana letak kesombongannya? Jika diperhatikan baik-baik ayat 14 ini, maka kita akan menemukan kesombongan yang dilakukan oleh mereka yang menganggap dirinya tidak berdosa dan menghakimi kaum perempuan sebagai pemula dosa.

Kemudian ayat 15 dengan jelas Paulus mengangkat kedudukan kaum perempuan, bahwa ia akan diselamatkan kerena melahirkan anak-anaknya. Dalam tradisi Yahudi seorang anak adalah pawaris terutama bagi anak laki-laki. Sedangkan dalam kebudayaan Yunani wanita yang tidak mempunyai anak dianggap kena kutukan. Pengangkatan derajat perempuan di atas bukan untuk merendahkan kaum laki-laki, melainkan untuk memperbaiki pemahaman yang keliru yang dianut oleh sebagian orang-orang Kristen saat itu. Lebih jauh dari itu, Paulus juga menantang keras dan melawan ajaran yang melarang orang kawin pada saat itu (1 Tim 4:3). Maka jelaslah bagi kita bahwa Paulus tidak pernah sedikit pun bermaksud untuk merendahkan kedudukan wanita. Karena bagi Paulus, baik laki-laki maupun wanita diciptakan sederajat, yaitu tidak ada yang lebih tinggi dan tidak ada yang lebih rendah, sebab keduanya harus hidup saling menolong, melengkapi dan menyempurnakan.

f). Kesimpulan

Sebelum menyimpulkan pembahasan surat 1 Timotius 2:8-15, maka ada baiknya kita memperhatikan sebuah kalimat yang sarat dengan makna berikmut ini! Dikatakan: “In Paul’s understanding men and women, while equal in value and importance before the Lord, were not regarded as unisex components with swappable function in home and church”.[15]

Dengan demikian kita menyimpulkan bahwa apa yang ada dalam pemahaman atau pikiran Paulus bukanlah untuk memandang kedudukan perempuan lebih rendah dari laki-laki, melainkan untuk melawan ajaran sesat yang menyusup dalam jemaat Kristen saat itu. Apa saja bentuk atau ciri-ciri ajaran sesat itu: (a). “Dongeng dan silsilah yang tiada putus-putusnya” (1:3-4); (b). Ajarannya menyimpang dari “kasih, hati nurani yang murni dan iman yang tulus ikhlas” (1:5); dan (c). Pengajaran hukum Taurat yang tanpa pengertian dan disalahpahami oleh orang-orang Yahudi (1:6-7), serta larangan terhadap perkawinan (3:14-4:10).

Selanjutnya, untuk memahami teks kitab di atas adalah tidak boleh dilepaskan dari konteksnya. Karena jika teks itu dipahami terpisahkan dan terlepas dari konteksnya maka yang ada hanyalah kekeliruan dan kesalahan yang dapat menimpulkan jurang antara kaum laki-laki dan perempuan, seperti yang dipahami oleh gereja-gereja yang menganggap rendah kaum perempuan. Jika gereja sudah demikian maka ia tidak ada bedanya dengan pemahaman orang-orang Yahudi saat itu, yang yaitu wanita harus tunduk terhadap laki-laki, penurut, tidak memerintah, berdiam diri dan menerima ajaran dengan patuh sesuai dengan hukum Taurat. Atau sama dengan pemahaman orang Yunani saat itu, yang memandang, bahwa wanita terhormat harus hidup membatasi diri, dan bahkan tinggal ditempat yang tidak seorang pun bisa datang, kecuali suaminya. Padahal itulsh sjsrsn ysng ditantang oleh Paulus. Di samping itu, surat ini juga ditulis untuk menghindari tuduhan-tuduhan yang tidak benar terhadap orang-orang Kristen saat itum, yakni tuduhan bahwa kekeristenan melindungi dan menampung perempuan-perempuan nakal.

Alasan yang lain lagi adalah untuk membuktikan bahwa orang Kristen juga bisa hidup sebagai warga Negara yang baik: tidak menimbulkan kekacauan, kecurigaan terhadap pemerintah Romawi atau masyarakat yang tidak Kristen (2:1-2). Demikian juga relasinya dengan laki-laki terutama dalam hal cara berpakaian (2:8-15), berdandan dengan pantas, sopan dan sederhana. Artinya, prilaku yang baik, hidup yang harmonis, pergaulan yang sehat adalah pentingnya, terutama prilaku yang berbeda dengan perempuan-perempuan nakal, yang menjajakan harga dirinya kepada laki-laki hidung belang seperti yang terjadi di kota Korintus dan Efesus saat itu. Bahkan saat ini hal serupa juga telah terjadi dan meracuni nilai-nilai mulia yang ada di dalam diri manusia, entah itu laki-laki maupun perempuan. Dan mungkin lebih parah seperti yang terjadi di Korintus dan Efesus saat itu. Karena itu, berlakulah sebagai manusia yang beribadah dan bertuhan!


KEPUSTAKAAN

Barclay, William. Pemahaman Alkitab Setiap Hari, Surat 1 Dan 2 Timotius, Titus, Filemon (Jakarta: BPK Gunung Mulia), 2001
Budiman, R. Tafsiran Alkitab Surat-Surat Pastoral 1 & 2 Timotius Dan Titus (Jakarta: BPK Gunung Mulia), 1994.
Campbell, K.M. ed., Marriage And Family In The Biblical World (Downers Grove, IL: InterVarsity), 2003.
Drane, John. Memahami Perjanjian Baru – Pengantar Historis – Teologis (Jakarta: BPK Gunung Mulia), 2006
Erdman, Charles R. The Pastoral Episles Of Paul (Philadelphia: The Westminster Press, 1929)
Gorday, Peter. Ancient Christian Commentary On Scriptur – New Testament IX Colossians, 1-2 Thessalonians, 1-2 Timothy, Titus, Fhilemon (Dowrner Grove, Illionis: InterVarsity Press, 2000.
Groenen, C. Pengantar Ke Dalam Perjanjian Baru (Yogyakarta: Kanisius, 2000.
Hess, R.S. and M. D. Carroll., eds., Family In The Bible (Grand Rapids: Baker), 2003.
Houlden, J.L. The Pelican New Testament Commentaries - The Pastoral Epistles, 1 And 2 Thimoty, Titus (Penguin Books), 1976.
Kostenberger, Andreas J. And Thomas R. Schriner, Women In The Church – Analysis And Application Of 1 Timothy 2:9-15 (second Edition), (Grand Rapids, Michig: Baker Academic), 2005.
                  .with D. Jones, God, Marriage, And Family (Wheaton: Crossway), 2004.
Kroeger, C. C. Ancient Heresies And A Strange Greek Verb, Reformed Journal No. 29 1979.
Liefeld, Walter L. 1 & 2 Timothy, Titus, The NIV Application Commentary (Grand Rapids, Michigan: Zondervan Publishing House), 1999.
Lock, Walter. A Critical And Exedetical Commentary On The Pastoral Epistles – I & II Timothy And Titus (Edinburgh: T.& T. Clark, 38 George Street), 1936.
Rolston, Holmes. The Layman’s Bible Commenraty 1-2 Thessalonians, 1-2 Timothy, Titus Philemon (Richmond, Virgina: John Knox Press, 1967.
Torrance, David W., Thomas F. Torrance. Calvin’s Commetaries – The Second Epistle Of Paul The Apostel To The Corinthians And The Epistles To Timothy, Titus And Philemon (Grand Rapids, Michigan: Wm. B. Eerdmans Publishing Company), 1991.




[1] Viktor Silaent, Catatan Kuliah Metode Penelitian (Cipanas, Jumat, 5 Ferbuari 2010).
[2] R. Budiman,Tafsiran Alkitab Surat-Surat Pastoral 1 & 2 Timotius Dan Titus (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1994), 1; bnd. pendapat para ahli yang diperlihatkan Walter Lock dalam bukunya, A Critical And Exedetical Commentary On The Pastoral Epistles – I & II Timothy And Titus (Edinburgh: T.& T. Clark, 38 George Street 1936), xxii; lht. John Drane, Memahami Perjanjian Baru – Pengantar Historis – Teologis (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006), 394.
[3] Menggunakan nama orang lain adalah cara yang lazim saat itu, dan kemungkinan penulisnya pernah ditolak oleh masyarakat atau jemaat, maka supaya pemikirannya bisa diterima, ia mengunakan nama Paulus. Otoritas Paulus dipakai untuk membantu para pemimpin jemaat lokal mengatasi penyusupan bidat-bidat di dalam jemaat itu sendiri
[4] Para ahli menyebutkan bahwa ajaran sesat yang dimaksudkan adalah berasal dari orang-orang Yahudi yang mencampur-adukan unsur-unsur Yahudi dengan unsur asketis dan salah menafsirkan ajaran Paulus. Walter L. Liefeld, 1 & 2 Timothy, Titus, The NIV Application Commentary (Grand Rapids, Michigan: Zondervan Publishing House, 1999), 19; lht. J.L. Houlden, The Pelican New Testament Commentaries - The Pastoral Epistles, 1 And 2 Thimoty, Titus (Penguin Books 1976), 32; Bnd. William Barclay, Pemahaman Alkitab Setiap Hari, Surat 1 Dan 2 Timotius, Titus, Filemon (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001), 9.
[5] Barnabas Ludji, Diss., Aspek-Aspek Sosial-Ekonomi Dalam Pemberitaan Nabi-Nabi Abad ke-8 SM., 231-243; lht. A.D.D. Mayes, Judges: Old Testament Guides, 1985), 46.
[6] Letha Scanzoni & Nancy Hardesty, All We’re Meant To Be: A Biblical Approach To Women’s Liberation (Texas: Word Books Publisher, 1975), 43.
[7] Valerie Abraham, Women. Bruch M. Metzger & Michael D. Coogen (Ed) The Oxford Companion To The Bible (New York: Oxford University Press, 1993), 809-810.
[8] Georgia Harkness, Women In Church & Society (New York: Nishville Abingdon Press, 1972), 157.
[9] Lht. Oepke, Gerhard Kittell (Ed), Theological Dictionary Of The New Testament Vol. 1 (Michigan: Wm. B. Eerdmans Publishing, 1983), 777-779.
[10] Lht. Valerie Abraham, Early Christianty. Metzger & Coogen (Ed). The Oxford, hal 815.
[11] David W. Torrance, 214; bnd. Peter Gorday, Ancient Christian Commentary On Scriptur – New Testament IX Colossians, 1-2 Thessalonians, 1-2 Timothy, Titus, Fhilemon (Dowrner Grove, Illionis: InterVarsity Press, 2000), 163.
[12] Charles R. Erdman, 34-35.
[13] Andreas J. Kostenberger, And Thomas R. Schriner, Women In The Church – Analysis And Application Of 1 Timothy 2:9-15 (second Edition), (Grand Rapids, Michig: Baker Academic, 2005), 39-44.
[14] C. C. Kroeger, Ancient Heresies And A Strange Greek Verb, Reformed Journal 29 (1979), 12-15.
[15] Andreas J. Kostenberger, And Thomas R. Schriner, Women In The Church – Analysis And Application Of 1 Timothy 2:9-15 (second Edition), (Grand Rapids, Michig: Baker Academic, 2005), 122; yang senada dengan itu lht. R.S. Hess and M.D. Carroll., eds., Family In The Bible (Grand Rapids: Baker, 2003); K.M. Campbell, ed., Marriage And Family In The Biblical World (Downers Grove, IL: InterVarsity, 2003); A. Kostenberger with D. Jones, God, Marriage, And Family (Wheaton: Crossway, 2004). Lihat juga D. Blankenhorn, D. Browning, and M.S. Van Leeuwen, eds., Does Charistian Teach Male Headship? The Equal-Regard Marriage and Its Critics (Grand Rapids: Eerdmans, 2004).

No comments:

Post a Comment