Oleh: Sugiman
Surat 1 Timotius 2:8-15 adalah salah satu perikop Alkitab yang sering
digunakan atau dikutip oleh gereja-gereja tertentu yang dijadikan dasar sebagai
pembatas antara laki-laki dan perempuan, khususnya dalam kepemimpinan gereja
itu sendiri. Memang harus diakui, tidak semua gereja demikian. Namun hingga
saat ini pun hal itu masih menjadi perdebatan, misalnya perempuan tidak boleh
naik mimbar, tidak boleh menjadi pemimpin atau “mengatur” laki-laki. Alasannya
adalah, kedudukan perempuan lebih rendah dari laki-laki, oleh sebab itu
muncullah “teori feminisme”.[1]
Maka dalam paper ini kita akan melihat mengenai ajaran etis Paulus tentang
perempuan dalam 1 Tim 2:8-15.
Pembahasan
a)
Latar belakang historis
Siapa penulisnya 1 Timotius dan kapan ditulis,
ternyata masih menjadi perdebatan hingga saat ini. Ada pendapat, surat ini
ditulis oleh Paulus di Makedonia (1 Tim 1:3) sekitar tahun 63 M, yaitu setelah
dia dibebaskan dari tahanan di Roma atau antara tahun 60 dan 64[2].
Dilihat dari strukturnya, tema-tema yang dibahas, gaya bahasanya dan pemikiran
dalam isi surat juga tidak berurutan secara teratur seperti surat-surat Paulus
yang otentik, kecuali surat
pastoral. Misalnya ada frasa “pistos o
logos” (1 Tim 1:15; 3:1; 4:9; 2 Tim 2:11; Tit. 3:8). Selain itu, jika dilihat dari segi ungkapan teologis, yaitu penggunaan kata “epiphaneia” dari kata kerja epiphane artinya “penyataan”, adalah
menunjuk kepada kedatangan Yesus kembali dan kehadiran-Nya di dunia. KJV, NIV dan RSV menterjemahkannya dengan “appearing, appearance, epiphany” (1 Ti 6:14;
2 Tim 1:10;
4:1,
8;
Tit 2:13).
Untuk menjelaskan perbedaan di atas paling tidak ada tiga pendapat
yang patut dipertimbangkan: (a). Surat 1
Timotius tidak ditulis oleh Paulus, melainkan oleh sekertarisnya (amanuensis).
Itulah sebabnya gaya penulisannya sedikit bebas dan berbeda dengan tulisan-tulisan Paulus
terdahulu; (b). Pendapat mayoritas mengatakan, bahwa surat ini hanya menggunakan nama Paulus sebagai nama samaran (pseudonim), dengan maksud untuk
menyembunyikan identitas penulis yang sebenarnya.[3];
(c). Pendapat minoritas, (misalnya: Howard Marshall) mengatakan surat ini bersifat allonium,
yaitu bukan Paulus yang menulisnya melainkan oleh orang lain. Jika demikian, apakah penulis bertujuan “mengelabui” pembacanya? Tentu
saja tidak! Karena yang
penulis sampaikan adalah ajaran Paulus yang
telah diadaptasikan oleh “kelompok
Paulus” sesudah kematiannya. Dengan kata lain, penulis surat 1
Timotius ingin jemaat-jemaat Kristen
saat itu tetap mengingat ajaran Paulus dalam
menghadapi bahaya ajaran sesat, sekalipun Paulus telah tiada.
Tidak hanya itu, tetapi surat ini
juga ditujukan pekada Timotius, yaitu dalam rangka memberi tanggung jawab untuk menggembalakan jemaat dan mengangkat gembala-gembala jemaat,
terutama untuk menghadapi ancaman ajaran sesat yang telah mempengaruhi kehidupan
jemaat. Tujuan
adalah untuk menguatkan para
pemimpin jemaat dalam menghadapi guru-guru palsu dengan ajaran sesatnya yang
menyusup ke dalam jemaat dan menganggu ketenangan. Oleh sebab itu, jemaat
membutuhkan tuntunan dan harus ditolong untuk: mengajarkan ajaran yang benar, hidup
dalam kekudusan dan tata gereja yang kokoh. Ini mengindikasikan,
kemungkinan yang terpengaruh ajaran sesat yang menyusup di dalam jemaat itu
adalah sebagian dari para pemimpin. Jadi, surat 1 Timotius bukan ditulis Paulus, melainkan oleh sebuah kelompok (murid-murid) yang tetap setia
memelihara ajaran Paulus, dan
serentak dengan itu, mereka meneguhkan para pemimpin jemaat dan jemaat dalam
menghadapi bahaya ajaran sesat orang Yahudi[4].
c). Perempuan dalam kebudayaan Yahudi
Di dalam keluarga Israel sebagai penganut budaya patriakal dan pokok utama adalah berpusat pada suku sangat kental dan terasa.[5]
Itulah
sebabnya, setiap individu mengidentifikasikan dirinya sebagai
“rumah ayahnya” yang secara fungsional sepadan dengan “keluarga”. Padanan ini
menggambarkan otoritas patriakal. Dalam keluarga Israel, ayah dan
suami merupakan kepala yang dilihat sebagai pemilik atas kehidupan saudara-saudara perempuannya. Dengan
kata lain, seluruh hidupnya ditempatkan pada posisi di bawah
perhatian dan perlindungan pihak laki-laki. Bahkan menurut budaya
Israel, perempuan yang berstatus janda juga berada
di bawah perlindungan sanak laki-lakinya atau keluarganya yang laki-laki.
Kaum perempuan dipandang sebagai pribadi yang lemah
dan yang tidak akan pernah mandiri.[6] Berbeda halnya dalam kultus dan hukum, yaitu di mana kaum perempuan ditempatkan di bawah laki-laki, yaitu tunduk kepada kaum laki-laki. Dengan kata lain, ketergantungan
kepada laki-laki merupakan hal yang lazim pada saat itu. Betapa tidak? Seorang perempuan/ istri adalah milik atau kepunyaan sang suami sepenuhnya,
dan ia diperlakukan sama dengan barang atau harta kepunyaan yang lainnya (seperti
Ladang, harta, budak dan
sebagainya). Itulah sebabnya, dalam budaya Israel laki-laki
atau suaminya harus dipanggil sebagai Ba’al, yaitu pemilik istri atau Adon,
yang berarti tuan istri.
Valerie Abraham mengatakan,
bahkan dalam praktik religius, kaum perempuan sangat dibatasi
aktifitasnya karena dianggap tidak layak.[7]
Bahkan, para rabi Yahudi memandang rendah dan hina kedudukan perempuan dalam praktik kultus atau
keagamaan. Perhatikan ungkapan Georgia Harkness mengenai sikap seorang rabi Yahudi terhadap
perempuan:
“One should not converse with a women, not even with one’s own wife; women
are greedy eaters, curious listeners, indolent, jealous, and frivolous; “many
women, many witchcraft”, “ten cabs
of garrulousness descended upon the world, nine come down upon the women,
one upon the rest of the world”. “Blessed is he whose children are male and woe
to him whose children are female” – in the light of the attitude toward women
expressed in these quotation this outcry of ben kiddushin is understandable”.[8]
William Barclay
mengatakan:
“Dalam
kebudayaan Yahudi wanita tidak dianggap sebagai pribadi, melainkan sebagai
sebuah barang”. Dia juga mengutip perkataan Rabi Josc ben Johanan yang mengatakan: “Biarkan rumahmu terbuka lebar-lebar dan orang-orang miskin menjadi
anggota keluargamu, serta janganlah terlalu banyak bercakap dengan wanita.”
Dikatakan lagi, bahwa “seorang rabi yang
keras tidak pernah memberi salam kepada wanita, bahkan kepada isteri dan
saudara-saudaranya yang perempuan” (William Barclay, 106).
d). Perempuan dalam kebudayaan Yunani
Berbeda dengan kebudayaan Yahudi,
kedudukan perempuan dalam kebudayaan Yunani adalah beragam atau berpariasi, yaitu sesuai
dengan statusnya dalam masyarakat. Perempuan dalam kelas menengah ke bawah pada
umumnya melakukan tugas-tugas rumah tangga. Mereka sibuk dengan semua urusan
rumah tangga, sehingga tidak memiliki kesempatan untuk bersenang-senang dengan
orang banyak yang ada di luar sana. Bahkan jarang tampil di depan umum karena
kesibukan-kesibukannya.[9]
Sedangkan perempuan yang berada pada kelas atas dan berpendidikan lebih
memiliki kesempatan untuk tampil di muka atau di depan umum. Mereka dapat
belajar dan mengeluti berbagai pendidikan formal dan meliputi bidang pekerjaan
publik, seperti bidan, dokter, pengacara, guru, pedagang, artis dan sampai
kepada pelacuran.[10]
e). Pembahasan teks 1 Timotius 2:8-15 dan
pejelasannya
Jika kita membaca 1 Timotius pasal 2:1-7, di
sana Paulus bericara mengenai doa yang ditujukan kepada suatu kelompok
(jemaat), sedangkan pada ayat 8-15 Paulus berbicara dan membahas mengenai kehidupan dalam
rumah tangga atau keluarga. Mari kita mulai bagian ini dari ayat 8 yang berbunyi:
“Oleh
karena itu aku ingin, supaya di mana-mana orang laki-laki berdoa dengan
menadahkan tangan yang suci, tanpa marah dan tanpa perselisihan” (2:8).
Ayat 8 menunjuk kepada
kebiasaan-kebiasaan orang Yahudi ketika berdoa, yaitu mengadahkan tangannya
tetapi Allah memalingkan muka-Nya dan tidak mau mendengarkan doanya karena tangan mereka penuh dengan
darah (Yes 1:15). Kemungkinan besar mereka yang mengajarkan ajaran yang tidak
sehat, adalah suka berdoa dengan mengadahkan tangan yang sia-sia dan hanya
bersifat formalitas belaka karena tujuan mereka adalah untuk menyesatkan. Maka
dari itu Paulus menambahkan “berdoa
dengan tangan yang suci”. Di sini kita melihat ada hal-hal tertentu yang
dituntut, yaitu kesungguh-sungguhan dalam berdoa. Frasa “tangan yang suci”[11]
menunjuk kepada perbuatan yang seharusnya,
yang berkenan dan menjadi berkat bagi semua orang. Nasihat ini terutama
ditujukan kepada semua laki-laki yang menjadi pemimpin dalam jemaat pada masa
itu.[12]
Tujuannya supaya mereka berbeda dengan cara atau kebiasaan berdoa yang kosong.
Sedangkan frasa “tanpa marah dan
tanpa perselisihan”. Dalam bahasa Yunaninya kata “perselisihan”
adalah terjemahan dari kata “dialogismou” dengan kata
dasar “dialogismos”, yang berarti “pertengkaran atau keraguan”. Ini
menunjuk kepada sikap hati yang harus benar-benar tenang, hening,
bersih dan fokus saat berdoa. Dalam
konteks itulah Yesus mengatakan bahwa: “apabila engkau mempersembahkan persembahan, terlebih dahulu berdamailah
dahulu dengan saudaramu” (Mat 5:23, 24). Artinya, adalah percuma dan
sia-sia persembahan dan ibadah seseorang kepada Tuhan jika ia tidak berdamai
dengan orang-orang yang pernah dia sakiti dan lukai. Betapa tidak? Tuhan sangat
mencintai kedamaian hidup dan bukan permusuhan.
Dalam bagian selanjutnya, yaitu ayat 9-15 yang berkaitan dengan kedudukan perempuan dalam jemaat. Untuk memahami teks
ini tidak bisa terlepas dari konteksnya, karena erat kaitannya dengan situasi /
konteks saat itu. Teks ini ditulis dan disampaikan oleh kelompok Paulus untuk
melawan kebiasaan-kebiasaan orang Yahudi yang keliru memahami Taurat. Hukum
Taurat dijadikan alat untuk mendukung argumentasi bahwa kedudukan wanita itu
lebih rendah dari laki-laki. Itulah
sebabnya kebudayaan Yahudi memandang rendah kedudukan seorang perempuan, dan
bahkan tidak dianggap sebagai pribadi, melainkan sebagai sebuah
barang (lih. William Barclay, 106). Bahkan, dalam Saying of the Fothers, Rabi
Josc ben Johanan mengutip sebuah perkataan: “Biarkan
rumahmu terbuka lebar-lebar dan orang-orang miskin menjadi anggota keluargamu,
serta janganlah terlalu banyak bercakap dengan wanita.” Dikatakan lagi,
bahwa “seorang rabi yang keras tidak
pernah memberi salam kepada wanita, bahkan kepada isteri dan saudara-saudaranya
yang perempuan”.
Jika kita perhatikan ayat 9-10 dimulai dengan kata “Hosautos”, RSV: “also”,
KJV: “manner”: “cara, gaya atau sikap” tapi juga bisa dengan “Likewise” LAI: “demikian juga”. Kata “Hosautos” tidak hanya menujuk pada sebuah cara dan sikap yang
seharusnya bagi kaum wanita, tetapi lebih jauh lagi, yaitu menurut
Paulus bahwa kedudukan perempuan dan
laki-laki adalah sederajat. Hanya cara mengekpresikannya yang berbeda, yakni
laki-laki melalui aktivitas dan wanita melalui penampilannya. Kesederhanan
merupakan perilaku, cara atau sikap yang sangat umum pada masa itu. Oleh sebab
itu, nasihat ini dilontarkan penulis surat 1 Timotius supaya jangan memakai perhiasan emas dan pakaian
yang mahal. Kemungkinan ini ditujukan kepada wanita-wanita kaya yang
menggunakan berbagai perhiasan dan mengenakan pakaian yang mahal-mahal, kemudian berusaha terlibat dalam
kegiatan-kegiatan yang tidak bermanfaat. Dalam hal ini, tidak berarti wanita dilarang menggunakan busana
yang indah, perhiasan-perhiasan yang mahal, tetapi yang terpenting adalah
keindahan batin atau “berdandan dengan
perbuatan baik, seperti layaknya perempuan yang beribadah” (2:10).
Selanjutnya, ayat 11-14,
dalam bagian ini terlihat sangat tegas, keras dan tajam, bahwa wanita harus
berdiam diri, patuh, tidak boleh mengajar, tidak boleh memerintah laki-laki
pokoknya harus tunduk, karena wanita yang terlebih dahulu berdosa. Inilah
paham yang dianut oleh tradisi
Yahudi dan Yunani. Untuk memahami pernyataan yang terkesan merendahkan
kaum perempuan di atas, maka ada baiknya kita melihat ke kota Korintus dan
Efesus! Di kota Korintus terdapat kuil Aphrodite yang
didiami atau dihuni oleh
ribuan imam wanita yang menjadi pelacur suci dan menjajakan dirinya di lorong-lorong pada malam hari. Selanjutnya,
di Efesus juga terdapat kuil Diana yang memiliki ratusan imam
wanita yang disebut Melissae, yang
artinya “kawanan lebah” yang
berfungsi dan berprofesi sama dengan wanita-wanita di kota Korintus, yaitu wanita-wanita itu
menjajakan dirinya dan melakoni dunia pelacur. Inilah alasan yang utama mengapa kaum wanita terkesan direndahkan.
Oleh sebab itu, jika teks ini dilepaskan dari konteksnya maka itulah yang
terjadi, yaitu cenderung menganggap wanita lebih rendah dari wanita.
Orang-orang Yahudi melihat, bahwa wanita yang layak dalam ibadah jemaat adalah wanita yang harus menundukan
diri kepada hukum Taurat, yaitu: penurut, tidak memerintah, berdiam diri dan
menerima ajaran dengan patuh, maka itulah wanita yang beribadah. Sedangkan
bagi orang-orang Yunani, wanita
terhormat hidup dengan sangat membatasi diri, bahkan ia tinggal ditempat yang
tidak seorang pun bisa datang, kecuali suaminya. Sedangkan wanita Kristen saat
itu aktif dalam pertemuan umum dan ikut dalam percakapan-percakapan. Maka
tidak heran jika gereja saat
itu dianggap sebagai tempat
perlindungan bagi wanita-wanita
nakal. Itulah sebabnya kata “seharusnya” pada ayat 11 dibenarkan dalam konteks saat itu, namun tidak pernah dijadikan alasan untuk merendahkan
kedudukan perempuan seperti yang tertulis dalam ayat 13-14.
Kembali kita melihat kata “authenteo” dalam ayat 12, yang diterjemahkan “to govern, exercise authority” KJV menterjemahkan “to
usurp authority”, namun George W. Knight segera membantah bahwa terjemahan KJV
keliru (evidently erroneous), menurut
dia yang benar adalah “to have authority”[13].
Tahun 1979 Cathrine C. Kroeger menegaskan bahwa kata “authenteo” berkaitan
dengan erotic.[14] Selain itu, Osburn menterjemahkannya dengan “to dominate or domineer”. Maka dapat kita katakana bahwa kata “authenteo”
berarti memerintah yang melebihi batas normal atau yang tidak sewajarnya, yaitu untuk memerintah dan
menguasainya. Sebenarnya ayat 11-14 adalah untuk menentang ajaran-ajaran dan
tradisi Yahudi dan Yunani yang berusaha merendahkan kedudukan perempuan.
Perhatikan ayat 14 “bukan Adam yang
tergoda dan yang pertama jatuh dalam dosa, melainkan Hawa”. Tradisi ini
sering dipakai sebagai penguat argument-argumen yang ingin menyatakan bahwa
wanita lebih rendah dari laki-laki. Ayat ini pun sering disalahpahami oleh
orang-orang Kristen atau oleh sebagian besar para pemimpin gereja dewasa ini, terutama gereja-gereja yang
melarang dan membatasi aktifitas wanita dalam berjemaat. Bisa dikatakan bahwa ini
adalah kekeliruan yang terulang kembali atau kesalahan yang dibenarkan karena
kesombongan dan kegengsian dari pihak laki-laki. Pertanyaannya di mana letak kesombongannya? Jika
diperhatikan baik-baik ayat 14 ini, maka kita akan menemukan kesombongan yang
dilakukan oleh mereka yang menganggap dirinya tidak berdosa dan
menghakimi kaum perempuan sebagai pemula dosa.
Kemudian ayat
15 dengan jelas Paulus mengangkat kedudukan kaum perempuan, bahwa ia
akan diselamatkan kerena melahirkan anak-anaknya. Dalam tradisi Yahudi seorang anak adalah pawaris
terutama bagi anak laki-laki. Sedangkan dalam kebudayaan Yunani wanita yang
tidak mempunyai anak dianggap kena kutukan. Pengangkatan derajat perempuan di
atas bukan untuk merendahkan kaum laki-laki, melainkan untuk memperbaiki
pemahaman yang keliru yang dianut oleh sebagian orang-orang Kristen saat itu.
Lebih jauh dari itu, Paulus juga menantang keras dan melawan ajaran yang melarang orang kawin pada
saat itu (1 Tim 4:3). Maka jelaslah bagi
kita bahwa Paulus tidak pernah sedikit pun bermaksud untuk merendahkan kedudukan
wanita. Karena bagi Paulus, baik laki-laki maupun wanita
diciptakan sederajat, yaitu tidak ada yang lebih tinggi dan tidak ada yang
lebih rendah, sebab keduanya harus hidup saling menolong, melengkapi dan
menyempurnakan.
f). Kesimpulan
Sebelum menyimpulkan pembahasan
surat 1 Timotius 2:8-15, maka ada baiknya kita memperhatikan sebuah kalimat
yang sarat dengan makna berikmut ini! Dikatakan: “In Paul’s understanding men and
women, while equal in value and importance before the Lord, were not regarded
as unisex components with swappable function in home and church”.[15]
Dengan
demikian kita menyimpulkan bahwa apa yang ada dalam pemahaman atau pikiran
Paulus bukanlah untuk memandang kedudukan perempuan lebih rendah dari
laki-laki, melainkan untuk melawan ajaran sesat yang menyusup dalam jemaat
Kristen saat itu. Apa saja bentuk atau ciri-ciri ajaran sesat itu: (a). “Dongeng dan silsilah yang tiada putus-putusnya” (1:3-4); (b). Ajarannya menyimpang dari “kasih,
hati nurani yang murni dan iman yang tulus ikhlas” (1:5); dan (c). Pengajaran hukum Taurat yang tanpa
pengertian dan disalahpahami oleh orang-orang Yahudi (1:6-7), serta larangan terhadap perkawinan
(3:14-4:10).
Selanjutnya, untuk memahami teks kitab di atas adalah tidak boleh dilepaskan dari konteksnya.
Karena jika teks itu dipahami terpisahkan dan terlepas dari konteksnya maka
yang ada hanyalah kekeliruan dan kesalahan yang dapat menimpulkan jurang antara
kaum laki-laki dan perempuan,
seperti yang dipahami oleh gereja-gereja yang menganggap rendah kaum perempuan. Jika gereja sudah demikian maka ia tidak
ada bedanya dengan pemahaman orang-orang Yahudi saat itu, yang yaitu wanita harus tunduk terhadap laki-laki, penurut, tidak
memerintah, berdiam diri dan menerima ajaran dengan patuh sesuai dengan hukum
Taurat. Atau sama dengan pemahaman orang Yunani saat itu, yang
memandang, bahwa wanita terhormat harus
hidup membatasi diri, dan bahkan tinggal ditempat yang tidak seorang
pun bisa datang, kecuali suaminya. Padahal itulsh sjsrsn ysng ditantang
oleh Paulus. Di samping itu,
surat ini juga ditulis untuk menghindari
tuduhan-tuduhan yang tidak benar terhadap orang-orang Kristen saat itum,
yakni tuduhan bahwa kekeristenan melindungi dan menampung perempuan-perempuan
nakal.
Alasan yang lain lagi adalah untuk membuktikan bahwa orang Kristen juga bisa
hidup sebagai warga Negara yang baik: tidak menimbulkan kekacauan, kecurigaan
terhadap pemerintah Romawi atau masyarakat yang tidak Kristen (2:1-2). Demikian
juga relasinya dengan laki-laki terutama dalam hal cara berpakaian (2:8-15),
berdandan dengan pantas, sopan dan sederhana. Artinya, prilaku
yang baik, hidup yang harmonis, pergaulan yang sehat adalah pentingnya, terutama prilaku yang berbeda dengan
perempuan-perempuan nakal, yang menjajakan harga dirinya kepada laki-laki
hidung belang seperti yang terjadi di kota Korintus dan Efesus saat itu. Bahkan
saat ini hal serupa juga telah terjadi dan meracuni nilai-nilai mulia yang ada
di dalam diri manusia, entah itu laki-laki maupun perempuan. Dan mungkin lebih
parah seperti yang terjadi di Korintus dan Efesus saat itu. Karena itu,
berlakulah sebagai manusia yang beribadah dan bertuhan!
KEPUSTAKAAN
Barclay, William. Pemahaman
Alkitab Setiap Hari, Surat 1 Dan 2 Timotius, Titus, Filemon (Jakarta: BPK
Gunung Mulia), 2001
Budiman, R. Tafsiran
Alkitab Surat-Surat Pastoral 1 & 2 Timotius Dan Titus (Jakarta: BPK
Gunung Mulia), 1994.
Campbell, K.M. ed., Marriage
And Family In The Biblical World (Downers Grove, IL: InterVarsity), 2003.
Drane, John. Memahami
Perjanjian Baru – Pengantar Historis – Teologis (Jakarta: BPK Gunung
Mulia), 2006
Erdman, Charles R. The Pastoral Episles Of Paul
(Philadelphia: The Westminster Press, 1929)
Gorday, Peter. Ancient
Christian Commentary On Scriptur – New Testament IX Colossians, 1-2
Thessalonians, 1-2 Timothy, Titus, Fhilemon (Dowrner Grove, Illionis:
InterVarsity Press, 2000.
Groenen, C. Pengantar Ke Dalam Perjanjian Baru (Yogyakarta: Kanisius, 2000.
Hess, R.S.
and M. D. Carroll., eds., Family In The
Bible (Grand Rapids: Baker), 2003.
Houlden, J.L. The
Pelican New Testament Commentaries - The Pastoral Epistles, 1 And 2 Thimoty,
Titus (Penguin Books), 1976.
Kostenberger, Andreas J. And Thomas R. Schriner, Women In The Church – Analysis And Application
Of 1 Timothy 2:9-15 (second Edition), (Grand Rapids, Michig: Baker
Academic), 2005.
.with D. Jones, God, Marriage, And
Family (Wheaton :
Crossway), 2004.
Kroeger, C. C. Ancient
Heresies And A Strange Greek Verb, Reformed Journal No. 29 1979.
Liefeld, Walter L. 1
& 2 Timothy, Titus, The NIV Application Commentary (Grand Rapids,
Michigan: Zondervan Publishing House), 1999.
Lock, Walter. A
Critical And Exedetical Commentary On The Pastoral Epistles – I & II
Timothy And Titus (Edinburgh: T.& T. Clark, 38 George Street), 1936.
Rolston, Holmes. The
Layman’s Bible Commenraty 1-2 Thessalonians, 1-2 Timothy, Titus Philemon
(Richmond, Virgina: John Knox Press, 1967.
Torrance, David W., Thomas F. Torrance. Calvin’s Commetaries – The Second Epistle Of
Paul The Apostel To The Corinthians And The Epistles To Timothy, Titus And
Philemon (Grand Rapids, Michigan: Wm. B. Eerdmans Publishing Company),
1991.
[1] Viktor Silaent, Catatan Kuliah Metode Penelitian (Cipanas, Jumat, 5 Ferbuari 2010).
[2] R. Budiman,Tafsiran Alkitab Surat-Surat Pastoral 1 & 2 Timotius Dan Titus
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1994), 1; bnd. pendapat para ahli yang
diperlihatkan Walter Lock dalam bukunya, A
Critical And Exedetical Commentary On The Pastoral Epistles – I & II
Timothy And Titus (Edinburgh: T.& T. Clark, 38 George Street 1936),
xxii; lht. John Drane, Memahami Perjanjian
Baru – Pengantar Historis – Teologis (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006),
394.
[3] Menggunakan nama orang lain adalah cara yang lazim saat itu, dan kemungkinan penulisnya pernah ditolak oleh
masyarakat atau jemaat, maka supaya pemikirannya bisa diterima, ia mengunakan
nama Paulus. Otoritas Paulus dipakai untuk membantu para pemimpin jemaat lokal
mengatasi penyusupan bidat-bidat di dalam jemaat itu sendiri
[4] Para ahli menyebutkan bahwa ajaran sesat
yang dimaksudkan adalah berasal dari orang-orang Yahudi yang mencampur-adukan
unsur-unsur Yahudi dengan unsur asketis dan salah menafsirkan ajaran Paulus. Walter
L. Liefeld, 1 & 2 Timothy, Titus, The
NIV Application Commentary (Grand Rapids, Michigan: Zondervan Publishing
House, 1999), 19; lht. J.L. Houlden, The
Pelican New Testament Commentaries - The Pastoral Epistles, 1 And 2 Thimoty,
Titus (Penguin Books 1976), 32; Bnd. William Barclay, Pemahaman Alkitab Setiap Hari, Surat 1 Dan 2 Timotius, Titus, Filemon
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001), 9.
[5] Barnabas Ludji, Diss., Aspek-Aspek Sosial-Ekonomi Dalam Pemberitaan Nabi-Nabi Abad ke-8 SM.,
231-243; lht. A.D.D. Mayes, Judges: Old Testament Guides, 1985), 46.
[6] Letha Scanzoni & Nancy Hardesty, All We’re Meant To Be: A Biblical Approach
To Women’s Liberation (Texas: Word Books Publisher, 1975), 43.
[7] Valerie Abraham, Women. Bruch M. Metzger & Michael D.
Coogen (Ed) The Oxford Companion To The Bible (New York: Oxford University
Press, 1993), 809-810.
[9] Lht. Oepke, Gerhard Kittell (Ed), Theological
Dictionary Of The New Testament Vol. 1 (Michigan: Wm. B. Eerdmans Publishing, 1983),
777-779.
[10] Lht. Valerie Abraham, Early Christianty. Metzger & Coogen (Ed). The Oxford, hal 815.
[11] David W. Torrance, 214; bnd. Peter
Gorday, Ancient Christian Commentary On
Scriptur – New Testament IX Colossians, 1-2 Thessalonians, 1-2 Timothy, Titus,
Fhilemon (Dowrner Grove, Illionis: InterVarsity Press, 2000), 163.
[12] Charles R. Erdman, 34-35.
[13] Andreas J. Kostenberger, And Thomas R. Schriner, Women In The Church – Analysis And Application
Of 1 Timothy 2:9-15 (second Edition), (Grand Rapids, Michig: Baker
Academic, 2005), 39-44.
[14] C. C. Kroeger, Ancient Heresies And A Strange Greek Verb, Reformed Journal 29
(1979), 12-15.
[15] Andreas J. Kostenberger, And Thomas R. Schriner, Women In The Church – Analysis And Application
Of 1 Timothy 2:9-15 (second Edition), (Grand Rapids, Michig: Baker
Academic, 2005), 122; yang senada dengan itu lht. R.S. Hess and M.D. Carroll.,
eds., Family In The Bible (Grand
Rapids: Baker, 2003); K.M. Campbell, ed., Marriage
And Family In The Biblical World (Downers Grove, IL: InterVarsity, 2003);
A. Kostenberger with D. Jones, God,
Marriage, And Family (Wheaton: Crossway, 2004). Lihat juga D. Blankenhorn,
D. Browning, and M.S. Van Leeuwen, eds., Does
Charistian Teach Male Headship? The Equal-Regard Marriage and Its Critics (Grand
Rapids: Eerdmans, 2004).
No comments:
Post a Comment