Oleh: Sugiman
Surga menjadi impian dan harapan dan bahkan tujuan
utama agama-agama. Betapa tidak? Surga telah menjadi incaran yang harus
didapatkan oleh orang-orang yang beragama. Karena itu, tidak heran surga
mendapat tempat yang sangat besar dalam ajaran-ajaran agama. Akibatnya, banyak
orang beragama beribadah hanya takut tidak masuk surga. Sejauh itu memang tidak
ada masalah, tetapi akan menjadi masalah jika surga hanya menjadi impian semata,
yaitu tanpa dihadirkan dan dilakukan di dunia. Sehingga banyak orang merasa
kecewa dengan orang-orang yang mengaku beragama dan ber-Tuhan. Dengan kata
lain, banyak orang rindu dan ingin sesegera mungkin menikmati surga, tetapi
menolak untuk melakukan banyak hal yang dapat menghadirkan surga ke dalam
dunia.
Dalam hal ini, Yesus menjadi tokoh yang harus
diteladani oleh orang percaya. Selama hidup-Nya, tujuan hidup Yesus adalah
menghadirkan surga di dalam dunia yang penuh dengan neraka. Karena itu, Yesus
mengatakan: “datanglah Kerajaan-Mu, jadilah kehendak-Mu di bumi
seperti di sorga.” (Matius
6:10). Dalam ayat ini ada dua frasa yang
ingin dikemukakan: (1). “datanglah
kerajaan-Mu” (2). dan “Jadilah
kehendak-Mu di bumi seperti di surga”.
1.
Frasa “Datanglah kerajaan-Mu”.
Frasa “datanglah kerajaan-Mu”
merupakan salah satu ungkapan permohonan yang sangat penting dari doa Bapa Kami
yang diajarkan Tuhan Yesus kepada murid-murid-Nya. Frasa ini diungkapkan dan
diajarkan Yesus kepada para murid-Nya tentu tidak terlepas konteks saat itu,
yaitu di mana ketidakadilan,
kekerasan, diskriminasi, tekanan dari berbagai kalangan elit sangat terasa bagi
kelompok minoritas, lemah secara ekonomi dan hukum, dan bahkan hukuman mati
berlaku. Artinya tidak ada kedamaian, kenyamanan, keadilan, keharmonisan dan
ketentraman saat itu. Suasana surga yang diharapkan tidak dating-datang dan
itulah yang dimaksud dengan “kerajaan Allah” yang belum datang. Dalam
konteks itulah Yesus mengajarkan kepada murid-murid-Nya dan mengatakan: “datanglah
Kerajaan-Mu.”
Ketika kita berbicara mengenai
“Kerajaan Allah”, maka ada tiga masa yang timbul dalam benak kita,
yaitu masa lampau, masa kini dan masa yang akan datang. Jika demikian, bagaimana kita harus memahami
“Kerajaan Allah” yang dimaksudkan Yesus dalam Matius 6:10 ini? Karena bagaimana
mungkin “Kerajaan Allah” yang telah ada di masa lampau, namun akan datang lagi
di masa kini, dan bahkan masih akan terus terjadi, yang menjadi
tugas kita untuk memohon kedatangannya di masa depan? Menurut Bruner, untuk memahami kata “Kerajaan” di atas, maka ada empat bagian yang harus
diperhatikan, yaitu (1). The Kingdom of Heaven, (2). The Kingdom ofa Heart, (3).
The Kingdom of History dan (4). The Kingdom of Homily[1]. Namun
dia tidak memperlihatkan apa yang menjadi benang merah, yang menghubungkan
untuk memahami makna “Kerajaan” yang dibicarakan Yesus dalam bagian ini.
William Barclay mengusulkan cara yang lain, yaitu kita harus masuk dalam
kebiasaan cara berpikir orang Ibrani, dan cara itu disebutnya sebagai paralelisme (kesejajaran).[2]
Orang Ibrani cenderung untuk mengatakan sesuatu dengan cara biasa, kemudian
diulangi dengan ungkapan dan cara yang berbeda, dengan tujuan untuk memberi
penekanan yang khusus pada inti pengajarannya. Maka, cara itu menghasilkan dua
ungkapan yang sejajar atau paralel, yaitu datanglah
Kerajaan-Mu dan jadilah kehendak-Mu.
Jika demikian, apa maksud Yesus
dengan ungkapan “datanglah kerajaan-Mu”,
yang diajarkan kepada murid-murid saat berdoa? Kepekaan Yesus melihat
orang-orang yang menderita di bawah kekuasaan Yunani-Romawi menjadi alasan yang
sangat mendasar atas ungkapan “datanglah
Kerajaan-Mu”. Penderitaan akibat penganiayaan yang begitu hebat yang
dialami oleh orang Kristen membuat Yesus merasakan empati, prihatin
dan berbelaskasihan. Saat itu banyak orang yang putus asa, terutama mereka yang
mengharapkan datangnya “kerajaan Allah” dari seorang Mesias ketutunan Daud, yang mereka percayai akan membebaskan mereka dari penderitaan penganiayaan itu. Hidup dalam
keadilan, tentram, aman, damai sejahtera sangat diharapkan. Yesus mengajarkan
kepada para murid-Nya untuk menghadirkan keadilan, damai sejahtera, memberi
penghiburan kepada mereka yang remuk hatinya, memberi makan kepada mereka yang
lapar, menyembuhkan mereka yang terluka batinnya dan menguatkan mereka yang
lemah, itulah “kerajaan Allah” yang dimaksudkan Yesus.
Penulis Injil Matius begitu teliti dan cermat mengamati hidup, pengajaran dan karya Yesus, dan itulah yang dijadikannya sebagai
titik tolak untuk menghadirkan “kerajaan Allah”. Hidup, pengajaran dan karya
yang dilakukan Yesus memperlihatkan bahwa Yesus adalah pembawa atau penghadir “kerajaan Allah”. Dalam lingkup inilah penulis Injil Matius memperkenalkan
Yesus kepada pembacanya yang mengalami masa-masa yang sangat kritis dan krusial akibat
penindasan oleh pemerintahan Romawi di Antiokia-Siria (+ tahun 80-an M), yaitu sesudah hancurnya Bait Suci di Yerusalem tahun 70 M oleh tentara
Romawi. Hancurnya Bait Suci juga berarti hancurnya pusat kehidupan religius,
sosial, politik dan ekonomi orang Yahudi.
Karena bagaimanapun bagi Israel Bait
Suci adalah tempat kudus Allah dan di sanalah tempat Allah bertakhata
memerintah umat-Nya. Tetapi kini tempat-Nya telah dihancurkan, hal itu menandakan
bahwa Allah telah pergi meninggalkan umat-Nya. Namun kini, Yesus ingin mengatakan bahwa Allah tidak
pernah meninggalkan umat-Nya, melainkan ada di tengah-tengah mereka, yaitu di
dalam Kristus Yesus. Melalui kehadiran Yesus Allah melawat
umat-Nya yang menderita, tertindas, termarjinalkan dan bahkan ada yang
meninggal karena kejamnya tentara Romawi. Dalam konteks itulah kehadiran “kerajaan Allah” sangat dinanti-nantikan.
Mereka yakin, bahwa suatu saat Allah akan hadir dengan kemegahan kerajaan-Nya
yang akan menghancurkan tentara Romawi. Akan tetapi, penulis Injil Matius
melihat, bahwa kerajaan Allah itu bukanlah pemusnahan atas kekuasaan dan
kekuatan tentara Romawi, melainkan suatu suasana yang damai, tentram, aman dan
hidup harmonis seorang dengan yang lainnya. Maka dari itu, sosok Yesus dipandang sebagai pembawa damai sejahtera, pembebasan kepada orang yang tertindas,
memberi keadilan kepada mereka yang diperlakukan semena-mena, membawa kesembuhan
kepada yang terluka, memberi makan kepada yang lapar dan menghapus air mata
mereka yang menangis.
Kerajaan Allah adalah kerajaan
yang penuh dengan kedamaian, ketentraman, keadilan dan manusiawi. Doa “Bapa
Kami” yang diajarkan Tuhan Yesus kepada para murid-Nya tidak hanya menyangkut
keteladanan dalam berdoa, melainkan supaya apa yang mereka lakukan itu sesuai
dengan kehendak Allah dan menghadirkan kerajaan-Nya. Para murid adalah penerus
akan misi Agung dari Yesus, yaitu melakukan segala sesuatu sesuai dengan
kehendak Bapa, bukan kehendak meraka. Melakukan hehendak Bapa berarti menjalin
relasi yang akrab dan harmonis bersama-Nya, dan hanya mereka yang memiliki
relasi dengan Allah bisa melakukan segala perbuatan baik untuk menghadirkan
“kerajaan Allah”. Frasa “datanglah kerajaan-Mu” akan menjadi sangat jelas jika
dikaitkan dengan frasa “jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di surga”.
2.
Frasa “Jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di surga”.
Frasa “Jadilah kehendak-Mu di
bumi seperti di surga” adalah sebuah ungkapan yang sangat mendasar dan sangat
dibutuhkan. Namun itu bukan sebuah paksaan atau tuntutan yang mengugat,
melainkan sebuah permohonan yang keluar dari hati yang terdalam, tulus dan
jujur. Kata “jadilah” di situ adalah bentuk pasif, artinya tanpa campur tangan
Allah, manusia tidak bisa melakukan segala kebaikan yang mendatangkan kerajaan
surga. Jadi, manusia hanya memohon, tetapi Allah yang melakukannya melalui
perbuatan manusia sehingga sesuai dengan hendak-Nya. “Jadilah kehendak-Mu” berarti
menyerahkan sepenuhnya kepada Tuhan dan menundukan diri kita di hadapan Tuhan
karena hanya Dia yang dapat melakukan segalanya. Kemudian frasa “di bumi
seperti di surga” berarti apa yang dibayangkan banyak orang tentang surga,
yaitu di surga tidak ada penindasan, di sana tidak ada pemerasan, tidak ada air
mata, maka biarlah semuanya itu terjadi juga di bumi.
Jadi, “Kerajaan Allah” yang
diharapkan di sini adalah menyangkut sebuah suasana surga yang harus terjadi di
bumi. Oleh sebab itu, kalimat “Datanglah kerajaan-Mu, jadilah kehendak-Mu di
bumi seperti di surga” merupakan memohon dengan penuh harapan yang memberikan
kehidupan, menyembuhkan yang terluka, menghibur yang berduka, menyembuhkan yang
sakit, memerdekakan yang tertindas dan memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan yang
lainnya. Bruner mengatakan bahwa konsep pemahaman tentang “datanglah
kerajaan-Mu” dalam teks ini adalah frasa yang sejajar dengan “covenant” dalam Perjanjian Lama, dan “kingdom” dalam Perjanjian Baru.
Menurut George Eldon Ladd, “doa ini merupakan sebuah permohonan supaya Allah memerintah,
mewujudkan kedaulatan dan kekuasaan rajani-Nya, mengusir setiap musuh kebenaran
dan musuh pemerintahan-Nya yang Ilahi sehingga Allah menjadi satu-satunya Raja
atas seluruh dunia”.[3] Selanjutnya, J.J.de Heer menghubungkan “Doa Bapa Kami” ini dengan doa Tuhan Yesus di
taman Getsemani (Mat 26:42), menurutnya kata “jadilah kehendak-Mu’, boleh jadi
mau menerangkan istilah “datanglah kerajaan-Mu”. Menurutnya, bagian ini sangat cocok bila disisipkan
ke dalam Doa Bapa Kami, sebab doa di Getsemani adalah doa Yesus. Namun tidak
ada bukti yang kuat untuk membuktikan hubungan “Doa Bapa Kami” dengan “Doa di
Getsemani”. Sebab situasi
saat Yesus mengajarkan Doa Bapa Kami ini sangat berbeda dengan situasi
menjelang kematian-Nya di Kalvari, dan begitulan suasana hati yang dirasakan Yesus
ketika Ia berdoa di taman Getsemani. Sekalipun sebenarnya Dia tahu persis bahwa
Ia akan dihukum mati dan disalibkan secara tragis.
3.
Kerajaan Allah Telah Datang dan
Telah Terjadi Atas Kehendak Allah
Bagi penulis Injil Matius, kehadiran Yesus Kristus ke
dalam dunia merupakan bukti bahwa Kerajaan Allah itu telah dating dan telah
terjadi atas kehendak-Nya. Hal itu diperlihatkan Yesus melalui perjalanan hidup-Nya, pengajaran-Nya dan karya-Nya
selama 33 tahu. Ia telah membalut hati mereka yang terluka, menyembuhkan yang
sakit, memberi makan yang lapar, membebaskan yang ditawan, mmelegakan mereka yang
berbeban berat dan lemah lesu, membangkitkan semangat baru, semangat baru dan
memberikan hidup yang baru kepada orang-orang yang percaya kepada-Nya.
Kerajaan Allah telah hadir ke dalam
dunia dalam
rupa manusia dan mereformasi kehidupan manusia supaya menciptakan hubungan yang
aman, nyaman dan harmonis dengan sesamanya dan terlebih dengan Tuhan. Dengan kata
lain, orang banyak dan para murid sebagai pendengar petama saat
itu sebenarnya telah
menemukan “Kerajaan Allah” yang telah hadir di
dalam diri Kristus Yesus. Hidup,
pengajaran dan karya-Nya telah menyentuh hati nurani
banyak orang. Tidak hanya sebatas menyentuh, tetapi juga telah mengubah hidup
banyak orang demi kemuliaan-Nya. Itulah sebabnya Allah sangat merindukan supaya
umat manusia hidup berdampingan secara damai, aman, nyaman, tentram dan
harmonis. Dengan kata lain, Yesus ingin para pendengarnya menjadi
pelaku firman Tuhan,
yaitu menghadirkan “Kerajaan-Nya” di dalam situasi dan kondisi
apapun.
Saya kira itulah yang Yesus ajarkan bagi orang
percaya, termasuk terhadap kita saat ini. Dengan kata lain, Yesus menuntut kita untuk melakukan “Kerajaan Allah” di dalam kehidupan sehari-hari. Menghadirkan
“Kerajaan Allah” berarti menghadirkan suatu suasana yang surga, yaitu
di mana di dalam suasana itu, tidak ada air mata, penindasan, ketidakadilan dan
bentuk kejahatan yang sejenisnya. Dengan demikian surga tidak hanya menjadi
bayangan yang samar-samar, tak terasa dan impian semata, melainkan menjadi
realita yang dirasakan oleh banyak orang. Hal itulah yang Yesus ajarkan untuk kita lakukan, sebagai murid-murid-Nya, yaitu menemukan dan melakukan
Kerajaan Allah.
[1] Frederick Dale Bruner, Matthew A Commentary Vol. 1. The Christbook Matthew 1-12 (Grand
Rapids, Michigan / Cambridge, U.K., 2004), 300-302.
[2] William Barclay, Pemahaman Alkitab Setiap Hari, Injil Matius Fs 1-10 (terj. S.
Wismoady Wahono) (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1983), 350.
[3] George Eldon Ladd, Misi Menurut Perspektif Alkitab, Dasar dan Prinsip Penginjilan Sedunia
(Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 2007), 82; bnd W.D. Davies And D. C.
Allison, The International Critical
Commentary Matthew 1-7 (Vol. 1) (London, New York: T & T Clark
International A Continuum Imprint, 2004), 603-607.
No comments:
Post a Comment