Wednesday 16 May 2012

SURGA ITU TELAH DIHADIRKAN OLEH YESUS (Matius 6:10)


Oleh: Sugiman


Surga menjadi impian dan harapan dan bahkan tujuan utama agama-agama. Betapa tidak? Surga telah menjadi incaran yang harus didapatkan oleh orang-orang yang beragama. Karena itu, tidak heran surga mendapat tempat yang sangat besar dalam ajaran-ajaran agama. Akibatnya, banyak orang beragama beribadah hanya takut tidak masuk surga. Sejauh itu memang tidak ada masalah, tetapi akan menjadi masalah jika surga hanya menjadi impian semata, yaitu tanpa dihadirkan dan dilakukan di dunia. Sehingga banyak orang merasa kecewa dengan orang-orang yang mengaku beragama dan ber-Tuhan. Dengan kata lain, banyak orang rindu dan ingin sesegera mungkin menikmati surga, tetapi menolak untuk melakukan banyak hal yang dapat menghadirkan surga ke dalam dunia.

Dalam hal ini, Yesus menjadi tokoh yang harus diteladani oleh orang percaya. Selama hidup-Nya, tujuan hidup Yesus adalah menghadirkan surga di dalam dunia yang penuh dengan neraka. Karena itu, Yesus mengatakan: datanglah Kerajaan-Mu, jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di sorga. (Matius 6:10). Dalam ayat ini ada dua frasa yang ingin dikemukakan: (1). “datanglah kerajaan-Mu” (2). dan “Jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di surga”.

1.             Frasa “Datanglah kerajaan-Mu”.

Frasa “datanglah kerajaan-Mu” merupakan salah satu ungkapan permohonan yang sangat penting dari doa Bapa Kami yang diajarkan Tuhan Yesus kepada murid-murid-Nya. Frasa ini diungkapkan dan diajarkan Yesus kepada para murid-Nya tentu tidak terlepas konteks saat itu, yaitu di mana ketidakadilan, kekerasan, diskriminasi, tekanan dari berbagai kalangan elit sangat terasa bagi kelompok minoritas, lemah secara ekonomi dan hukum, dan bahkan hukuman mati berlaku. Artinya tidak ada kedamaian, kenyamanan, keadilan, keharmonisan dan ketentraman saat itu. Suasana surga yang diharapkan tidak dating-datang dan itulah yang dimaksud dengan “kerajaan Allah” yang belum datang. Dalam konteks itulah Yesus mengajarkan kepada murid-murid-Nya dan mengatakan: “datanglah Kerajaan-Mu.”

Ketika kita berbicara mengenai “Kerajaan Allah”, maka ada tiga masa yang timbul dalam benak kita, yaitu masa lampau, masa kini dan masa yang akan datang. Jika demikian, bagaimana kita harus memahami “Kerajaan Allah” yang dimaksudkan Yesus dalam Matius 6:10 ini? Karena bagaimana mungkin “Kerajaan Allah” yang telah ada di masa lampau, namun akan datang lagi di masa kini, dan bahkan masih akan terus terjadi, yang menjadi tugas kita untuk memohon kedatangannya di masa depan? Menurut Bruner, untuk memahami kata “Kerajaan” di atas, maka ada empat bagian yang harus diperhatikan, yaitu (1). The Kingdom of Heaven, (2). The Kingdom ofa Heart, (3). The Kingdom of History dan (4). The Kingdom of Homily[1]. Namun dia tidak memperlihatkan apa yang menjadi benang merah, yang menghubungkan untuk memahami makna “Kerajaan” yang dibicarakan Yesus dalam bagian ini. William Barclay mengusulkan cara yang lain, yaitu kita harus masuk dalam kebiasaan cara berpikir orang Ibrani, dan cara itu disebutnya sebagai paralelisme (kesejajaran).[2] Orang Ibrani cenderung untuk mengatakan sesuatu dengan cara biasa, kemudian diulangi dengan ungkapan dan cara yang berbeda, dengan tujuan untuk memberi penekanan yang khusus pada inti pengajarannya. Maka, cara itu menghasilkan dua ungkapan yang sejajar atau paralel, yaitu datanglah Kerajaan-Mu dan jadilah kehendak-Mu.

Jika demikian, apa maksud Yesus dengan ungkapan “datanglah kerajaan-Mu”, yang diajarkan kepada murid-murid saat berdoa? Kepekaan Yesus melihat orang-orang yang menderita di bawah kekuasaan Yunani-Romawi menjadi alasan yang sangat mendasar atas ungkapan “datanglah Kerajaan-Mu”. Penderitaan akibat penganiayaan yang begitu hebat yang dialami oleh orang Kristen membuat Yesus merasakan empati, prihatin dan berbelaskasihan. Saat itu banyak orang yang putus asa, terutama mereka yang mengharapkan datangnya “kerajaan Allah” dari seorang Mesias ketutunan Daud, yang mereka percayai akan membebaskan mereka dari penderitaan penganiayaan itu. Hidup dalam keadilan, tentram, aman, damai sejahtera sangat diharapkan. Yesus mengajarkan kepada para murid-Nya untuk menghadirkan keadilan, damai sejahtera, memberi penghiburan kepada mereka yang remuk hatinya, memberi makan kepada mereka yang lapar, menyembuhkan mereka yang terluka batinnya dan menguatkan mereka yang lemah, itulah “kerajaan Allah” yang dimaksudkan Yesus.

Penulis Injil Matius begitu teliti dan cermat mengamati hidup, pengajaran dan karya Yesus, dan itulah yang dijadikannya sebagai titik tolak untuk menghadirkan “kerajaan Allah”. Hidup, pengajaran dan karya yang dilakukan Yesus memperlihatkan bahwa Yesus adalah pembawa atau penghadir “kerajaan Allah”. Dalam lingkup inilah penulis Injil Matius memperkenalkan Yesus kepada pembacanya yang mengalami masa-masa yang sangat kritis dan krusial akibat penindasan oleh pemerintahan Romawi di Antiokia-Siria (+ tahun 80-an M), yaitu sesudah hancurnya Bait Suci di Yerusalem tahun 70 M oleh tentara Romawi. Hancurnya Bait Suci juga berarti hancurnya pusat kehidupan religius, sosial, politik dan ekonomi orang Yahudi.

Karena bagaimanapun bagi Israel Bait Suci adalah tempat kudus Allah dan di sanalah tempat Allah bertakhata memerintah umat-Nya. Tetapi kini tempat-Nya telah dihancurkan, hal itu menandakan bahwa Allah telah pergi meninggalkan umat-Nya. Namun kini, Yesus ingin mengatakan bahwa Allah tidak pernah meninggalkan umat-Nya, melainkan ada di tengah-tengah mereka, yaitu di dalam Kristus Yesus. Melalui kehadiran Yesus Allah melawat umat-Nya yang menderita, tertindas, termarjinalkan dan bahkan ada yang meninggal karena kejamnya tentara Romawi. Dalam konteks itulah kehadiran “kerajaan Allah” sangat dinanti-nantikan. Mereka yakin, bahwa suatu saat Allah akan hadir dengan kemegahan kerajaan-Nya yang akan menghancurkan tentara Romawi. Akan tetapi, penulis Injil Matius melihat, bahwa kerajaan Allah itu bukanlah pemusnahan atas kekuasaan dan kekuatan tentara Romawi, melainkan suatu suasana yang damai, tentram, aman dan hidup harmonis seorang dengan yang lainnya. Maka dari itu, sosok Yesus dipandang sebagai pembawa damai sejahtera, pembebasan kepada orang yang tertindas, memberi keadilan kepada mereka yang diperlakukan semena-mena, membawa kesembuhan kepada yang terluka, memberi makan kepada yang lapar dan menghapus air mata mereka yang menangis.

Kerajaan Allah adalah kerajaan yang penuh dengan kedamaian, ketentraman, keadilan dan manusiawi. Doa “Bapa Kami” yang diajarkan Tuhan Yesus kepada para murid-Nya tidak hanya menyangkut keteladanan dalam berdoa, melainkan supaya apa yang mereka lakukan itu sesuai dengan kehendak Allah dan menghadirkan kerajaan-Nya. Para murid adalah penerus akan misi Agung dari Yesus, yaitu melakukan segala sesuatu sesuai dengan kehendak Bapa, bukan kehendak meraka. Melakukan hehendak Bapa berarti menjalin relasi yang akrab dan harmonis bersama-Nya, dan hanya mereka yang memiliki relasi dengan Allah bisa melakukan segala perbuatan baik untuk menghadirkan “kerajaan Allah”. Frasa “datanglah kerajaan-Mu” akan menjadi sangat jelas jika dikaitkan dengan frasa “jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di surga”.

2.        Frasa “Jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di surga”.

Frasa “Jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di surga” adalah sebuah ungkapan yang sangat mendasar dan sangat dibutuhkan. Namun itu bukan sebuah paksaan atau tuntutan yang mengugat, melainkan sebuah permohonan yang keluar dari hati yang terdalam, tulus dan jujur. Kata “jadilah” di situ adalah bentuk pasif, artinya tanpa campur tangan Allah, manusia tidak bisa melakukan segala kebaikan yang mendatangkan kerajaan surga. Jadi, manusia hanya memohon, tetapi Allah yang melakukannya melalui perbuatan manusia sehingga sesuai dengan hendak-Nya. “Jadilah kehendak-Mu” berarti menyerahkan sepenuhnya kepada Tuhan dan menundukan diri kita di hadapan Tuhan karena hanya Dia yang dapat melakukan segalanya. Kemudian frasa “di bumi seperti di surga” berarti apa yang dibayangkan banyak orang tentang surga, yaitu di surga tidak ada penindasan, di sana tidak ada pemerasan, tidak ada air mata, maka biarlah semuanya itu terjadi juga di bumi.

Jadi, “Kerajaan Allah” yang diharapkan di sini adalah menyangkut sebuah suasana surga yang harus terjadi di bumi. Oleh sebab itu, kalimat “Datanglah kerajaan-Mu, jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di surga” merupakan memohon dengan penuh harapan yang memberikan kehidupan, menyembuhkan yang terluka, menghibur yang berduka, menyembuhkan yang sakit, memerdekakan yang tertindas dan memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan yang lainnya. Bruner mengatakan bahwa konsep pemahaman tentang “datanglah kerajaan-Mu” dalam teks ini adalah frasa yang sejajar dengan “covenant” dalam Perjanjian Lama, dan “kingdom” dalam Perjanjian Baru.

Menurut George Eldon Ladd, “doa ini merupakan sebuah permohonan supaya Allah memerintah, mewujudkan kedaulatan dan kekuasaan rajani-Nya, mengusir setiap musuh kebenaran dan musuh pemerintahan-Nya yang Ilahi sehingga Allah menjadi satu-satunya Raja atas seluruh dunia”.[3] Selanjutnya, J.J.de Heer menghubungkan “Doa Bapa Kami” ini dengan doa Tuhan Yesus di taman Getsemani (Mat 26:42), menurutnya kata “jadilah kehendak-Mu’, boleh jadi mau menerangkan istilah “datanglah kerajaan-Mu”. Menurutnya, bagian ini sangat cocok bila disisipkan ke dalam Doa Bapa Kami, sebab doa di Getsemani adalah doa Yesus. Namun tidak ada bukti yang kuat untuk membuktikan hubungan “Doa Bapa Kami” dengan “Doa di Getsemani”. Sebab situasi saat Yesus mengajarkan Doa Bapa Kami ini sangat berbeda dengan situasi menjelang kematian-Nya di Kalvari, dan begitulan suasana hati yang dirasakan Yesus ketika Ia berdoa di taman Getsemani. Sekalipun sebenarnya Dia tahu persis bahwa Ia akan dihukum mati dan disalibkan secara tragis.

3.      Kerajaan Allah Telah Datang dan Telah Terjadi Atas Kehendak Allah

Bagi penulis Injil Matius, kehadiran Yesus Kristus ke dalam dunia merupakan bukti bahwa Kerajaan Allah itu telah dating dan telah terjadi atas kehendak-Nya. Hal itu diperlihatkan Yesus melalui perjalanan hidup-Nya, pengajaran-Nya dan karya-Nya selama 33 tahu. Ia telah membalut hati mereka yang terluka, menyembuhkan yang sakit, memberi makan yang lapar, membebaskan yang ditawan, mmelegakan mereka yang berbeban berat dan lemah lesu, membangkitkan semangat baru, semangat baru dan memberikan hidup yang baru kepada orang-orang yang percaya kepada-Nya.

Kerajaan Allah telah hadir ke dalam dunia dalam rupa manusia dan mereformasi kehidupan manusia supaya menciptakan hubungan yang aman, nyaman dan harmonis dengan sesamanya dan terlebih dengan Tuhan. Dengan kata lain, orang banyak dan para murid sebagai pendengar petama saat itu sebenarnya telah menemukan “Kerajaan Allah” yang telah hadir di dalam diri Kristus Yesus. Hidup, pengajaran dan karya-Nya telah menyentuh hati nurani banyak orang. Tidak hanya sebatas menyentuh, tetapi juga telah mengubah hidup banyak orang demi kemuliaan-Nya. Itulah sebabnya Allah sangat merindukan supaya umat manusia hidup berdampingan secara damai, aman, nyaman, tentram dan harmonis. Dengan kata lain, Yesus ingin para pendengarnya menjadi pelaku firman Tuhan, yaitu menghadirkan “Kerajaan-Nya” di dalam situasi dan kondisi apapun.

Saya kira itulah yang Yesus ajarkan bagi orang percaya, termasuk terhadap kita saat ini. Dengan kata lain, Yesus menuntut kita untuk melakukan “Kerajaan Allah” di dalam kehidupan sehari-hari. Menghadirkan “Kerajaan Allah” berarti menghadirkan suatu suasana yang surga, yaitu di mana di dalam suasana itu, tidak ada air mata, penindasan, ketidakadilan dan bentuk kejahatan yang sejenisnya. Dengan demikian surga tidak hanya menjadi bayangan yang samar-samar, tak terasa dan impian semata, melainkan menjadi realita yang dirasakan oleh banyak orang. Hal itulah yang Yesus ajarkan untuk kita lakukan, sebagai murid-murid-Nya, yaitu menemukan dan melakukan Kerajaan Allah.


[1]  Frederick Dale Bruner, Matthew A Commentary Vol. 1. The Christbook Matthew 1-12 (Grand Rapids, Michigan / Cambridge, U.K., 2004), 300-302.
[2]  William Barclay, Pemahaman Alkitab Setiap Hari, Injil Matius Fs 1-10 (terj. S. Wismoady Wahono) (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1983), 350.
[3]  George Eldon Ladd, Misi Menurut Perspektif Alkitab, Dasar dan Prinsip Penginjilan Sedunia (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 2007), 82; bnd W.D. Davies And D. C. Allison, The International Critical Commentary Matthew 1-7 (Vol. 1) (London, New York: T & T Clark International A Continuum Imprint, 2004), 603-607.

No comments:

Post a Comment