Monday, 21 May 2012

JANGAN RAKUS, INGAT MASADEPAN MEREKA JUGA!

Oleh: Sugiman

Hampir semua orang tahu bahwa Kalimantan adalah salah satu pulah penghasil kayu. Mungkin sebelum saya lahir tahun 1985, praktik illegal logging telah menjadi kebiasaan yang tak terhentikan. Sebab pada usia sekitar lima atau enam tahun, saya ingat betul bahwa banyak kapal besar bermuatan kayu berkeliaran hilir-mudik di perairan desa Sasak, Kab. Sambas – Kalimantan Barat. Selanjutnya, di pelabuhan Balipat juga banyak tumpukan kayu-kayu besar maupun yang sedang ditarik menggunakan mobil traktor dan alat berat lainnya.

Tidak berhenti sampai di situ, tetapi terus berlanjut hingga tahun 2006 sebelum saya merantau ke pulau Jawa Barat. Tahun 2011 saya pulang ke kampung halaman, ke desa Batu Hitam, Kec. Sajingan Besar – kabupaten Sambas – Kalimantan Barat untuk yang pertama kalinya. Saya melihat keadaan atau suasana sudah sangat jauh berbeda. Kayu-kayu besar yang tumbuh di hutan dan di daerah pegunungan telah sangat langka dan menjadi kebun kelapa Sawit.

Suhu dan udara pagi yang segar dan sejuk dari hutan telah berubah menjadi seperti suhu dan udara di padang pasir. Bahkan tidak jarang sebagian masyarakat atau desa yang dekat dengan aliran sungai mengeluh akibat sering terjadi banjir. Sepeda motor yang seharusnya dinaiki, tetapi karena banjir maka digotong secara beramai-ramai jika keadaan aliran air masih memungkinkan untuk dilewati. Atau bisa juga dinaikan ke atas pelampung rakitan yang terbuat dari bambu-bambu atau kayu-kayu terapung lainnya, yaitu disusun dan buat menyerupai lantai perahu tongkang untuk mengangkut sepeda motor. Keluhan tanpa tindakan untuk memperbaiki atau memelihara, yaitu supaya alam ini tetap bersahabat dengan manusia adalah kesia-siaan belaka.

Selain itu, banyak kebun karet yang telah menghidupi selama ini harus dikorbankan dan ditebang habis kemudian diganti dengan kebun kelapa Sawit. Jika Anda pernah dan akan pergi ke kecamatan Sajingan Besar – Kalimantan Barat, maka di sepanjang perjalanan ada banyak kebun kelapa Sawit yang masih sangat muda, yang ditanam sebagai penganti hutan lindung dan kebun karet. Mungkin Anda akan mengira orang di sana hebat-hebat karena banyak kebun kelapa Sawit. Tetapi sayang, sebagian besar dari kebun itu bukan milik mereka, melainkan milik orang-orang luar pulau Kalimantan Barat, seperti pengusaha dari Jakarta yang memiliki relasi dengan personalia pembisnis tanah. Itulah sebabnya, beribu-ribu hektar tanah milik masyarakat setempat telah berpindah tangan atau tuan.

Pemikiran yang sempit dan pendek atas tanah pusaka yang diwariskan oleh para leluhur atau nenek moyang telah dimanfaatkan oleh para pengusaha dan mereka yang memiliki banyak uang. Bahkan ada yang rela menukar tanah pusakanya dengan sebuah motor hanya untuk pamer dengan tetangga. Sebagai penduduk asli setempat, saya sangat sedih mendengar berita itu, tetapi apa daya sudah terlanjur. Lemah dan rendahnya pendidikan menjadi alasan utama atas tumpulnya pemikiran untuk melihat masadepan anak-anak dan cucu mereka. Bahkan saya sering membayangkan, jika hal itu terus berlanjut maka bukan tidak mungkin mereka akan menjadi orang asing dan diusir dari kampung kelahirannya. Betapa tidak? Jika tanah pusaka sudah berpindah tangan, itu berarti nasib mereka tergantung oleh pemilik kedua. Artinya, statusnya bukan lagi penduduk setempat, tetapi sebagai “pendatang”.

Tanah pusakah adalah ibu kehidupan yang menyusui, menyuapi dan menghidupi setiap orang yang tetap setia mengusahakan dan memeliharanya sebagai pemberiaan dari Tuhan. Jika ingin menikmati hasilnya, maka usahakanlah dengan tekun dan rajin, bukan menjualnya hanya untuk kepenmtingan sesaat dan sekali makan. Menjual tanah pusaka, pemberian dari nenek moyang atau para leluhur adalah sama artinya dengan tahap awal mengikatkan tali pada leher dan orang lain yang memegang kendalinya. Jangan rakus, ingat masadepan anak-anak dan cucu selanjutnya! Jangan sampai mereka menjadi pendatang di daerah dan di kampungnya sendiri.

Ada banyak cara orangtua mencintai anak-anaknya, demikian pula dengan kakek-kakek atau nenek-nenek yang mencintai cucu-cucunya, salah satunya adalah tetap setia memelihara, menjaga dan mengusahakan tanah pusaka yang telah menjadi ibu kehidupan bagi setiap pemiliknya. Menjual tanah pusaka adalah juga sama maknanya dengan seseorang yang meminum racun secara berlahan-lahan. Tetapi lama-kelamaan ia pasti membunuh, karena satu persatu saraf-saraf penting dalam tubuh kita.


Salam, semoga bermanfaat!

No comments:

Post a Comment