Oleh: Sugiman
Hampir semua orang tahu bahwa Kalimantan
adalah salah satu pulah penghasil kayu. Mungkin sebelum saya lahir tahun 1985,
praktik illegal logging telah menjadi kebiasaan yang tak terhentikan. Sebab
pada usia sekitar lima atau enam tahun, saya ingat betul bahwa banyak kapal
besar bermuatan kayu berkeliaran hilir-mudik di perairan desa Sasak, Kab.
Sambas – Kalimantan Barat. Selanjutnya, di pelabuhan Balipat juga banyak
tumpukan kayu-kayu besar maupun yang sedang ditarik menggunakan mobil traktor
dan alat berat lainnya.
Tidak berhenti sampai di situ, tetapi terus berlanjut hingga tahun 2006
sebelum saya merantau ke pulau Jawa Barat. Tahun 2011 saya pulang ke kampung
halaman, ke desa Batu Hitam, Kec. Sajingan Besar – kabupaten Sambas –
Kalimantan Barat untuk yang pertama kalinya. Saya melihat keadaan atau suasana sudah
sangat jauh berbeda. Kayu-kayu besar yang tumbuh di hutan dan di daerah
pegunungan telah sangat langka dan menjadi kebun kelapa Sawit.
Suhu dan udara pagi yang segar dan sejuk dari hutan telah berubah
menjadi seperti suhu dan udara di padang pasir. Bahkan tidak jarang sebagian
masyarakat atau desa yang dekat dengan aliran sungai mengeluh akibat sering
terjadi banjir. Sepeda motor yang seharusnya dinaiki, tetapi karena banjir maka
digotong secara beramai-ramai jika keadaan aliran air masih memungkinkan untuk
dilewati. Atau bisa juga dinaikan ke atas pelampung rakitan yang terbuat dari
bambu-bambu atau kayu-kayu terapung lainnya, yaitu disusun dan buat menyerupai
lantai perahu tongkang untuk mengangkut sepeda motor. Keluhan tanpa tindakan
untuk memperbaiki atau memelihara, yaitu supaya alam ini tetap bersahabat dengan
manusia adalah kesia-siaan belaka.
Selain itu, banyak kebun karet yang telah menghidupi selama ini harus
dikorbankan dan ditebang habis kemudian diganti dengan kebun kelapa Sawit. Jika
Anda pernah dan akan pergi ke kecamatan Sajingan Besar – Kalimantan Barat, maka
di sepanjang perjalanan ada banyak kebun kelapa Sawit yang masih sangat muda,
yang ditanam sebagai penganti hutan lindung dan kebun karet. Mungkin Anda akan
mengira orang di sana hebat-hebat karena banyak kebun kelapa Sawit. Tetapi
sayang, sebagian besar dari kebun itu bukan milik mereka, melainkan milik
orang-orang luar pulau Kalimantan Barat, seperti pengusaha dari Jakarta yang
memiliki relasi dengan personalia pembisnis tanah. Itulah sebabnya, beribu-ribu
hektar tanah milik masyarakat setempat telah berpindah tangan atau tuan.
Pemikiran yang sempit dan pendek atas tanah pusaka yang diwariskan oleh
para leluhur atau nenek moyang telah dimanfaatkan oleh para pengusaha dan
mereka yang memiliki banyak uang. Bahkan ada yang rela menukar tanah pusakanya
dengan sebuah motor hanya untuk pamer dengan tetangga. Sebagai penduduk asli
setempat, saya sangat sedih mendengar berita itu, tetapi apa daya sudah
terlanjur. Lemah dan rendahnya pendidikan menjadi alasan utama atas tumpulnya
pemikiran untuk melihat masadepan anak-anak dan cucu mereka. Bahkan saya sering
membayangkan, jika hal itu terus berlanjut maka bukan tidak mungkin mereka akan
menjadi orang asing dan diusir dari kampung kelahirannya. Betapa tidak? Jika
tanah pusaka sudah berpindah tangan, itu berarti nasib mereka tergantung oleh
pemilik kedua. Artinya, statusnya bukan lagi penduduk setempat, tetapi sebagai “pendatang”.
Tanah pusakah adalah ibu kehidupan yang menyusui, menyuapi dan
menghidupi setiap orang yang tetap setia mengusahakan dan memeliharanya sebagai
pemberiaan dari Tuhan. Jika ingin menikmati hasilnya, maka usahakanlah dengan tekun
dan rajin, bukan menjualnya hanya untuk kepenmtingan sesaat dan sekali makan.
Menjual tanah pusaka, pemberian dari nenek moyang atau para leluhur adalah sama
artinya dengan tahap awal mengikatkan tali pada leher dan orang lain yang
memegang kendalinya. Jangan rakus, ingat masadepan anak-anak dan cucu
selanjutnya! Jangan sampai mereka menjadi pendatang di daerah dan di kampungnya
sendiri.
Ada banyak cara orangtua mencintai anak-anaknya, demikian pula dengan
kakek-kakek atau nenek-nenek yang mencintai cucu-cucunya, salah satunya adalah
tetap setia memelihara, menjaga dan mengusahakan tanah pusaka yang telah
menjadi ibu kehidupan bagi setiap pemiliknya. Menjual tanah pusaka adalah juga
sama maknanya dengan seseorang yang meminum racun secara berlahan-lahan. Tetapi
lama-kelamaan ia pasti membunuh, karena satu persatu saraf-saraf penting dalam
tubuh kita.
Salam, semoga bermanfaat!
No comments:
Post a Comment