Oleh: Sugiman
Pada dasarnya politik memiliki makna dan tujuan yang sangat
positif, yakni sebagai alat perjuangan untuk mendapat kedudukan dan kekuasaan,
dalam membangun masyarakat, agar setiap anggota masyarakat memiliki kesempatan
yang sama untuk menikmati keadilan, kemakmuran dan kesejahteraan. Artinya,
politik tidak membeda-bedakan golongan (untuk semua golongan). Namun sangat
disayangkan, bahwa realita memperlihatkan justru sebaliknya, yaitu istilah
politik sering disalahgunakan oleh golongan atau pribadi terentu sebagai alat
untuk menakut-nakuti sebagian warga masyarakat, sehingga mereka kehilangan hati
nurani yang jernih. Akibatnya,
setiap orang yang bersangkutan tidak
lagi dapat mengambil keputusan sendiri untuk memilih sesuai hati nurani karena adanya tekanan, ketakutan dan
bahkan paksaan dari oknum atau kelompok tertentu untuk melakukan tindakan yang bertentangan
dengan hati nurani. Bahkan yang lebih parah lagi, suara hati nurani
terpaksa dihianati karena sejumlah uang dan janji-janji palsu dari para
politikus.
Maraknya praktik korupsi,
ketidakadilan, kekerasan, penindasanm, diskriminasi, terhadap kelompok yang
lemah dan minoritas membuktikan bahwa dunia politik tak ubahnya dengan dunia
binatang buas. Dalam konteks itulah Iwan Fals dengan lantang mengatakan dalam sebuah
syair lagunya yang berjudul “Asik Ngga Asik”, bahwa dunia politik adalah dunia
binatang, dunia hura-hura para binatang dan dunia pesta-pora para binatang.
Tiga kali kata “binatang” diulang menunjukan betapa dunia politik di Indonesia
sudah sangat memuakan.
Dunia politik seakan tidak ada
bedanya dengan panggung sandiwara yang hanya memuaskan sesaat, setelah itu
pulang toh ceritanya sudah berakhir. Para pemimpin politik sebagai dalang yang
bersembunyi di balik layar dan rakyat sering dijadikan sebagai penonton yang
seolah-olah tidak tahu apa-apa atau buta terhadap dunia politik. Itulah
sebabnya politik sering disalahgunakan, didramatisir, diperkosa, dimanfaatkan
demi kepentingan pihak-pihak tertentu atau individu tertentu dan kepentingan
pribadi, yang tidak mendatangkan kebaikan bagi masyarakat Indonesia. Sehingga tidak
heran politik hanya dinikmati oleh
para penguasa dan mereka yang
dekat dengan kekuasaan.
Kisah kisruh politik yang tidak
sehat, yang tak ada bedanya dengan dunia binatang buas telah menyebabkan otonomi daerah tidak berjalan sesuai
dengan harapan. Oleh sebab itu, otonomi daerah dinilai belum efektif untuk pembangunan di Indonesia,
terutama untuk daerah-daerah tertinggal. Salah contoh yang sangat nyata adalah
di daerah saya di Kalimantan Barat, khususnya di Kecamatan Sajingan Besar
Kabupaten Sambas, tenaga listrik dan jalan raya yang beraspal adalah pemberian
dari pemerintah Malaysia. Seharusnya pemerintah Indonesia punya nyali dan malu
dengan pemerintah Malaysia. Sejenak saya berpikir, mengapa orang lain lebih prihatin,
peduli dan empati dari pada orangtua sendiri? Jika hal ini tetap dibiarkan,
maka bukan tidak mungkin masyarakat setempat pindah negara, yaitu menjadi warga
negara Malaysia.
Maraknya praktik korupsi di
Indonesia telah meruntuhkan nilai-nilai kemausiaan masyarakat Indonesia itu
sendiri. Betapa tidak? Seharusnya Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara yang dialokasikan sebesar adalah 60%, tetapi
nyatanya hanya 40% yang dialokasoikan, sehingga ini menimbulkan kesenjangan di pulau
Jawa dan di luar pulau Jawa. Itulah sebabnya daerah yang tertinggal semakin tertinggal dan tidak
bisa menyerapnya. Daerah tertinggal kerap
diabaikan dan tidak dijadikannya
sebagai fokus pembangunan, sehingga banyak sektor yang tidak memperhatikan
daerah tertinggal, karena kesalahan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah.
Masalah lain adalah lahirnya raja-raja kecil yang sangat kuat di
provisni-provinsi, di kabupaten-kabupaten, di kota-kota, dan di kecamatan-kecamatan. Akibatnya KKN semakin
bertumbuh dan berkembang luar biasa, sehingga rakyat semakin menderita. Tidak
hanya itu, munculnya PERDA-PERDA
yang bertentangan dengan peraturan pusat, seperti PERDA syariat Islam di
berbagai daerah, dan ini pun menyebabkan perpecahan bangsa karena ada yang
setuju dan yang tidak setuju.
Yang setuju, terutama dari kelompok Islam politik (elite politik)
menganggap bahwa PERDA tersebut bisa menjadi media sosial untuk memberantas
berbagai penyakit masyarakat seperti kemiskinan, perjudian yang umumnya
dilakukan oleh masyarakat kecil dengan alasan untuk memperbaiki moral bangsa.
Sedangkan yang tidak setuju beranggapan bahwa PERDA tersebut bertentangan
dengan Pancasila dan substansi perundang-undangan di atasnya.
Dengan kata lain, kehadiran PERDA syariat Islam tidak bisa menjawab
persoalan substansial bangsa yang ada, yaitu seperti: kemiskinan, kekerasan,
kerusakan lingkungan, penjahat HAM, ketidakadilan sosial, dan
praktik korupsi yang semakin
merajalela. Salah satu
akibatnya adalah agama sering dijadikan mesin politik oleh pihak-pihak
tertentu untuk mendongkrak popularitas dan jabatannya serta mereka yang memiliki kedekatan politik dengan para
tokoh organisasi pendukung syariat Islam.
Seharusnya Indonesia bisa belajar dari negara-negara yang menerapkan
syariat Islam secara ortodoks seperti Afganistan, Somalia dan Sudan, yang
sekaligus juga bisa menjadi bukti bahwa syariat Islam tidak diperlukan di
Indonesia. Karena justru yang terjadi adalah sebaliknya, yaitu rendahnya
tingkat ekonomi, kesejahteraan dan prestasi iptek rakyat Indonesia.
Dibandingkan dengan China, Vietnam, Bolivia, Prancis dan Libia yang menjalankan sistem sosialis-Islam
ternyata lebih maju dan berkembang.
Demikian juga Malaysia yang menjalankan asas Islam yang moderat pertumbuhan
ekonominya jauh lebih maju dari Indonesia. Ini adalah bukti bahwa syariat Islam tidak mempu menjawab realitas,
seperti menghukum mati para koruptor kelas kakap, pelaku illegal logging dan
penjahat HAM. Bahkan tidak jarang dan harus diakui secara jujur
bahwa kerusuhan-kerusuhan yang sering terjadi karena dipicu oleh sentimen agama
yang erat kaitannya dengan PERDA. Peraturan
Pusat dan PERDA harusnya
didasarkan pada Pancasila dan bukan agama. Karena Pancasila telah menjadi ideologi
dan falsafah hidup bangsa Indonesia yang universal. Pancasila telah menjamin terjadinya pluralisme
di bawah naungan Bhineka Tunggal Ika, dan tidak ada falsafah yang lebih baik
dari Pancasila.
Hakikatnya pluralisme dan modernisme adalah sebuh realita yang harus
diterima oleh seluruh bangsa Indonesia. Dengan demikian tidak ada lagi “ini wilayah Kristen dan ini wilayah Islam”.
Karena prinsip pluralisme jelas mengandaikan adanya kesetaraan antar pemeluk
agama di hadapan Tuhan Sang Pencipta, dan bukan sebaliknya seperti para demonstrasi yang sering melakukan
tindakan-tindakan anarkis, perusakan dan kekerasan atas nama agama. Sungguh menyedihkan bila melihat negara
Indonesia dijadikan sebagai tempat persembunyian dan berkumpulnya para
perampok, penipu, para penjilat, dan para binatang. Tetapi inilah realita yang
ada di negara Indonesia. Seharusnya ini menjadi pelajaran untuk mengubah cara
berpolitik di Indonesia dengan cara-cara yang manusiawi dan bukan cara
kebinatangan seperti yang sering diperlihatkan di berbagai media maupun yang
ada di lapangan langsung.
Republik Indonesia adalah negara
yang terkenal sebagai negara beragama tetapi praktik korupsi jalan terus.
Kekerasan atas nama agama seolah-olah menjadi pilihan yang membanggakan dan
melaksanakan kehendak ilahi. Dengan bengis mereka bertindak dan membiarkan
kejahatan itu terjadi. Mereka menutup kedua telinga atas teriakan orang-orang
yang lapar dan minta tolong, dan menutup kedua mata atas orang-orang yang
menderita, sering diperlakukan tidak adil, ditindas dan didiskriminasi oleh
kelompok tertentu demi kepentingan politik binatang dan tidak
berkeprikemanusiaan. Sungguh, tidak ada yang dapat dibanggakan dari kisah
kisruh dunia politik yang ada di negara Indonesia. Tetapi semoga di kemudian
hari mereka menyadari dan berperan sebagai mana mestinya seorang pemimpin yang
manusiawi. Itulah harapan banyak orang, terutama mereka yang lemah, bahkan
tidak jarang mereka memanjatkan doa-doa mereka kepada Sang Khalik supaya para
pemimpin tidak memerintah dengan cara-cara binatang buas.
No comments:
Post a Comment