Sunday, 13 May 2012

DUNIA POLITIK TAK UBAHNYA DENGAN DUNIA BINATANG BUAS


Oleh: Sugiman

Pada dasarnya politik memiliki makna dan tujuan yang sangat positif, yakni sebagai alat perjuangan untuk mendapat kedudukan dan kekuasaan, dalam membangun masyarakat, agar setiap anggota masyarakat memiliki kesempatan yang sama untuk menikmati keadilan, kemakmuran dan kesejahteraan. Artinya, politik tidak membeda-bedakan golongan (untuk semua golongan). Namun sangat disayangkan, bahwa realita memperlihatkan justru sebaliknya, yaitu istilah politik sering disalahgunakan oleh golongan atau pribadi terentu sebagai alat untuk menakut-nakuti sebagian warga masyarakat, sehingga mereka kehilangan hati nurani yang jernih. Akibatnya, setiap orang yang bersangkutan tidak lagi dapat mengambil keputusan sendiri untuk memilih sesuai hati nurani karena adanya tekanan, ketakutan dan bahkan paksaan dari oknum atau kelompok tertentu untuk melakukan tindakan yang bertentangan dengan hati nurani. Bahkan yang lebih parah lagi, suara hati nurani terpaksa dihianati karena sejumlah uang dan janji-janji palsu dari para politikus.

Maraknya praktik korupsi, ketidakadilan, kekerasan, penindasanm, diskriminasi, terhadap kelompok yang lemah dan minoritas membuktikan bahwa dunia politik tak ubahnya dengan dunia binatang buas. Dalam konteks itulah Iwan Fals dengan lantang mengatakan dalam sebuah syair lagunya yang berjudul “Asik Ngga Asik”, bahwa dunia politik adalah dunia binatang, dunia hura-hura para binatang dan dunia pesta-pora para binatang. Tiga kali kata “binatang” diulang menunjukan betapa dunia politik di Indonesia sudah sangat memuakan.

Dunia politik seakan tidak ada bedanya dengan panggung sandiwara yang hanya memuaskan sesaat, setelah itu pulang toh ceritanya sudah berakhir. Para pemimpin politik sebagai dalang yang bersembunyi di balik layar dan rakyat sering dijadikan sebagai penonton yang seolah-olah tidak tahu apa-apa atau buta terhadap dunia politik. Itulah sebabnya politik sering disalahgunakan, didramatisir, diperkosa, dimanfaatkan demi kepentingan pihak-pihak tertentu atau individu tertentu dan kepentingan pribadi, yang tidak mendatangkan kebaikan bagi masyarakat Indonesia. Sehingga tidak heran politik hanya dinikmati oleh para penguasa dan mereka yang dekat dengan kekuasaan.


Kisah kisruh politik yang tidak sehat, yang tak ada bedanya dengan dunia binatang buas telah menyebabkan otonomi daerah tidak berjalan sesuai dengan harapan. Oleh sebab itu, otonomi daerah dinilai belum efektif untuk pembangunan di Indonesia, terutama untuk daerah-daerah tertinggal. Salah contoh yang sangat nyata adalah di daerah saya di Kalimantan Barat, khususnya di Kecamatan Sajingan Besar Kabupaten Sambas, tenaga listrik dan jalan raya yang beraspal adalah pemberian dari pemerintah Malaysia. Seharusnya pemerintah Indonesia punya nyali dan malu dengan pemerintah Malaysia. Sejenak saya berpikir, mengapa orang lain lebih prihatin, peduli dan empati dari pada orangtua sendiri? Jika hal ini tetap dibiarkan, maka bukan tidak mungkin masyarakat setempat pindah negara, yaitu menjadi warga negara Malaysia.

Maraknya praktik korupsi di Indonesia telah meruntuhkan nilai-nilai kemausiaan masyarakat Indonesia itu sendiri. Betapa tidak? Seharusnya Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang dialokasikan sebesar adalah 60%, tetapi nyatanya hanya 40% yang dialokasoikan, sehingga ini menimbulkan kesenjangan di pulau Jawa dan di luar pulau Jawa. Itulah sebabnya daerah yang tertinggal semakin tertinggal dan tidak bisa menyerapnya. Daerah tertinggal kerap diabaikan dan tidak dijadikannya sebagai fokus pembangunan, sehingga banyak sektor yang tidak memperhatikan daerah tertinggal, karena kesalahan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah.

Masalah lain adalah lahirnya raja-raja kecil yang sangat kuat di provisni-provinsi, di kabupaten-kabupaten, di kota-kota, dan di kecamatan-kecamatan. Akibatnya KKN semakin bertumbuh dan berkembang luar biasa, sehingga rakyat semakin menderita. Tidak hanya itu, munculnya PERDA-PERDA yang bertentangan dengan peraturan pusat, seperti PERDA syariat Islam di berbagai daerah, dan ini pun menyebabkan perpecahan bangsa karena ada yang setuju dan yang tidak setuju.

Yang setuju, terutama dari kelompok Islam politik (elite politik) menganggap bahwa PERDA tersebut bisa menjadi media sosial untuk memberantas berbagai penyakit masyarakat seperti kemiskinan, perjudian yang umumnya dilakukan oleh masyarakat kecil dengan alasan untuk memperbaiki moral bangsa. Sedangkan yang tidak setuju beranggapan bahwa PERDA tersebut bertentangan dengan Pancasila dan substansi perundang-undangan di atasnya.

Dengan kata lain, kehadiran PERDA syariat Islam tidak bisa menjawab persoalan substansial bangsa yang ada, yaitu seperti: kemiskinan, kekerasan, kerusakan lingkungan, penjahat HAM, ketidakadilan sosial, dan praktik korupsi yang semakin merajalela. Salah satu akibatnya adalah agama sering dijadikan mesin politik oleh pihak-pihak tertentu untuk mendongkrak popularitas dan jabatannya serta mereka yang memiliki kedekatan politik dengan para tokoh organisasi pendukung syariat Islam.

Seharusnya Indonesia bisa belajar dari negara-negara yang menerapkan syariat Islam secara ortodoks seperti Afganistan, Somalia dan Sudan, yang sekaligus juga bisa menjadi bukti bahwa syariat Islam tidak diperlukan di Indonesia. Karena justru yang terjadi adalah sebaliknya, yaitu rendahnya tingkat ekonomi, kesejahteraan dan prestasi iptek rakyat Indonesia. Dibandingkan dengan China, Vietnam, Bolivia, Prancis dan Libia yang menjalankan sistem sosialis-Islam ternyata lebih maju dan berkembang.

Demikian juga Malaysia yang menjalankan asas Islam yang moderat pertumbuhan ekonominya jauh lebih maju dari Indonesia. Ini adalah bukti bahwa syariat Islam tidak mempu menjawab realitas, seperti menghukum mati para koruptor kelas kakap, pelaku illegal logging dan penjahat HAM. Bahkan tidak jarang dan harus diakui secara jujur bahwa kerusuhan-kerusuhan yang sering terjadi karena dipicu oleh sentimen agama yang erat kaitannya dengan PERDA. Peraturan Pusat dan PERDA harusnya didasarkan pada Pancasila dan bukan agama. Karena Pancasila telah menjadi ideologi dan falsafah hidup bangsa Indonesia yang universal. Pancasila telah menjamin terjadinya pluralisme di bawah naungan Bhineka Tunggal Ika, dan tidak ada falsafah yang lebih baik dari Pancasila.

Hakikatnya pluralisme dan modernisme adalah sebuh realita yang harus diterima oleh seluruh bangsa Indonesia. Dengan demikian tidak ada lagi “ini wilayah Kristen dan ini wilayah Islam”. Karena prinsip pluralisme jelas mengandaikan adanya kesetaraan antar pemeluk agama di hadapan Tuhan Sang Pencipta, dan bukan sebaliknya seperti para demonstrasi yang sering melakukan tindakan-tindakan anarkis, perusakan dan kekerasan atas nama agama. Sungguh menyedihkan bila melihat negara Indonesia dijadikan sebagai tempat persembunyian dan berkumpulnya para perampok, penipu, para penjilat, dan para binatang. Tetapi inilah realita yang ada di negara Indonesia. Seharusnya ini menjadi pelajaran untuk mengubah cara berpolitik di Indonesia dengan cara-cara yang manusiawi dan bukan cara kebinatangan seperti yang sering diperlihatkan di berbagai media maupun yang ada di lapangan langsung.

Republik Indonesia adalah negara yang terkenal sebagai negara beragama tetapi praktik korupsi jalan terus. Kekerasan atas nama agama seolah-olah menjadi pilihan yang membanggakan dan melaksanakan kehendak ilahi. Dengan bengis mereka bertindak dan membiarkan kejahatan itu terjadi. Mereka menutup kedua telinga atas teriakan orang-orang yang lapar dan minta tolong, dan menutup kedua mata atas orang-orang yang menderita, sering diperlakukan tidak adil, ditindas dan didiskriminasi oleh kelompok tertentu demi kepentingan politik binatang dan tidak berkeprikemanusiaan. Sungguh, tidak ada yang dapat dibanggakan dari kisah kisruh dunia politik yang ada di negara Indonesia. Tetapi semoga di kemudian hari mereka menyadari dan berperan sebagai mana mestinya seorang pemimpin yang manusiawi. Itulah harapan banyak orang, terutama mereka yang lemah, bahkan tidak jarang mereka memanjatkan doa-doa mereka kepada Sang Khalik supaya para pemimpin tidak memerintah dengan cara-cara binatang buas.

No comments:

Post a Comment