Monday, 7 May 2012

KETERBATASAN MANUSIA ADALAH ANUGERAH TUHAN


Bacaan: Kejadian 22:1-19
Oleh: Sugiman

Sulit diterima dengan akal sehat saat Allah menyuruh Abraham pergi meninggalkan semua kekayaan atau harta bendanya di Ur-Kasdim menuju tanah yang dijanjikan Tuhan. Abraham bagaikan orang yang sedang berjalan di dalam gelapnya malam tanpa menggunakan alat penerang atau cahaya apapun. Bahkan janji Tuhan masih sangat samar-samar dan tidak jelas. Lebih dari itu, yang sangat tidak masuk akal lagi adalah ketika Allah menyuruh Abraham supaya mengorbankan Ishak, anak satu-satunya di atas gunung Moria sebagai kurban bakaran pada-Nya. Sekalipun Abraham dikatakan sangat taat pada perintah dan ketetapan Tuhan, tetapi secara manusia pastilah ia merasakan kesedihan yang mendalam saat berhadapan dengan keputusan Tuhan.

Anak satu-satunya, yang ditunggu-tunggu, yang dilahirkan dari istri pertama (Sarai/ Sara) yang sah menurut pilihan Tuhan. Setelah sekian lama menunggu kehadiran sang buah hati hingga didapatkan atas kehentak-Nya, tetapi tiba-tiba harus diambil kembali atas kehendak-Nya juga dengan cara yang sangat teragis, yaitu harus disembelih dan dijadikan kurban bakaran untuk Tuhan. Secara sadar, Abraham mengerti betul betapa keputusan Tuhan tidak bisa diganggu gugat (mutlak) oleh siapapun, kecuali atas kehendak-Nya. Dilema yang membingungkan dan menyiratkan banyak pertanyaan yang tak dapat dijawab oleh seorang pun kecuali atas kehendaknya. Salah satunya adalah mengapa Tuhan harus memilih cara konyol, tragis dan tidak berkeprikemanusiaan sama sekali.

Pada pihak yang lain, sebagai ibu dari anak tunggal itu, Sara pasti merasakan betapa sedihnya ketika mendengar bahwa anak satu-satunya, yang sangat dikasihi, yang telah dianugerahkan oleh Tuhan, tetapi harus diserahkan kembali pada-Nya. Begitu pula Abraham sebagai bapa yang sudah lanjut usia pasti merasakan hal yang serupa dengan istrinya. Ishak yang diharapkan untuk menjadi pewaris tunggal, keturunan yang dipilih oleh Tuhan, tetapi kini harus dikorbankan dan disembelih seperti lazimnya ibadah bangsa-bangsa non-Israel, yaitu mempersembahkan kurban bakaran berupa anak sulung di atas bukit Moria. Artinya, Abraham bukanlah orang satu-satunya atau yang pertama kalinya akan mengadakan ritual semacam itu, tetapi jauh sebelumnya bangsa non-Israel telah mengenalnya. Itulah sebabnya, Abraham tetap membulatkan tekad, merelakan anak satu-satunya untuk dikorbankan demi kehendak-Nya.

Setelah sampai di atas puncak gunung Moria, Abraham berhenti sejenak menghela napas dari kelelahan, bahkan mungkin ia berpikir berulang-ulang mengapa Tuhan harus memilih cara itu. Dengan duka yang mendalam ia mendirikan mezbah, menyalakan api, menarik pisah khusus yang telah diasah sangat tajam di rumah untuk menyembelih Ishak. Bahkan Ishak sendiri tidak tahu bahwa dirinya harus disembelih dan dijadikan kurban bakaran oleh ayahnya. Hal itu tercermin ketika Ishak bertanya kepada Abraham, ayahnya demikian: “Bapa, di manakah anak domba untuk kurban bakaran itu?” (Kej. 22:7). Tetapi Abraham menjawabnya, “Allah yang akan menyediakan anak domba untuk korban bakaran bagi-Nya, anakku.” (Kej. 22:8). Entah apa alasan Abraham membujuk Ishak sehingga Ishak mau menuruti keinginan ayahnya. Ishak diikat, dinaikan di atas mezbah dan akan disembelih secara tragis dan mengenaskan, tetapi segera Malaikat Tuhan berseru dari atas dan mengatakan "Jangan bunuh anak itu dan jangan kauapa-apakan dia, sebab telah Kuketahui sekarang, bahwa engkau takut akan Allah, dan engkau tidak segan-segan untuk menyerahkan anakmu yang tunggal kepada-Ku." (Kej. 22:12).

Mendengar suara Malaikat Tuhan itu, Abraham tercengang sejenak, kemudian ia membuka ikat tali pada Ishak dan memeluknya dengan hangat dan erat. Dengan mata yang berkaca-kaca tanda air mata akan menetes sembari melayangkan pandangannya ke barbagai sudut gunung Moria, maka pada ayat selanjutnya dikatakan: “13 Lalu Abraham menoleh dan melihat seekor domba jantan di belakangnya, yang tanduknya tersangkut dalam belukar. Abraham mengambil domba itu, lalu mengorbankannya sebagai korban bakaran pengganti anaknya.  14 Dan Abraham menamai tempat itu: "TUHAN menyediakan"; sebab itu sampai sekarang dikatakan orang: "Di atas gunung TUHAN, akan disediakan."  15 Untuk kedua kalinya berserulah Malaikat TUHAN dari langit kepada Abraham,  16 kata-Nya: "Aku bersumpah demi diri-Ku sendiri demikianlah firman TUHAN :Karena engkau telah berbuat demikian, dan engkau tidak segan-segan untuk menyerahkan anakmu yang tunggal kepada-Ku,  17 maka Aku akan memberkati engkau berlimpah-limpah dan membuat keturunanmu sangat banyak seperti bintang di langit dan seperti pasir di tepi laut, dan keturunanmu itu akan menduduki kota-kota musuhnya.  18 Oleh keturunanmulah semua bangsa di bumi akan mendapat berkat, karena engkau mendengarkan firman-Ku."

Refleksi

Sebagian besar orang memang lebih suka memilih kata “mengapa” saat mengajukan pertanyaan. Dalam hubungan antar sesama kata “mengapa” menunjuk kepada alasan-alasan yang harus disertai dengan bukti-bukti akurat dan kuat. Tetapi dalam hubungan manusia dengan Tuhan konotasi kata “mengapa” menunjuk kepada keraguan akan kedaulatan-Nya. Jika demikian apakah kata “mengapa” tidak boleh digunakan saat manusia bertanya pada Tuhan? Tentau saja boleh, karena kepastian dan kemurnian berawal dari keragu-raguan yang dinamis. Karaguan yang dinamis tidak berarti menyerah dan tunduk pada kepalsuaan, tetapi terus menerus mencari kepastian hingga mendapatkannya. Itulah yang dilakukan Abraham, sehingga mengantarkannya kepada pengakuan secara pribadi, bahwa “TUHAN MENYEDIAKAN”.

Tuhan memang sering bertindak dan melakukan hal-hal yang sulit diterima oleh akal sehat manusia, bahkan terkadang Ia menggunakan cara-cara yang sangat menyakitkan dan menyedihkan. Tetapi di balik semuanya itu, tersirat makna yang tidak terselami oleh kemampuan yang dimiliki manusia dan itulah keterbatasannya. Menggunakan cara-cara yang menyakitkan tidak berarti menuduh Tuhan sebagai penyebab utamanya, tetapi lewah peristiwa menyakitkan itu Tuhan dapat melakukan banyak hal yang mendatangkan kebaikan dalam hidup manusia. Tuhan tidak mungkin membiarkan manusia mengalami peristiwa menyakitkan tanpa mengetahui kualitas seseorang. Namun tidak semua orang dapat melihat kebaikan di balik peristiwa yang menyakitkannya, tetapi mereka melihatnya akan mengatakan seperti pengakuan Abraham, yaitu: “TUHAN MENYEDIAKAN”.

Keterbatasan yang ada pada manusia telah menjadi hak milik yang tidak bisa ditiadakan atau dihilangkan dalam diri manusia. Melainkan harus diterima sebagai pemberian Tuhan yang sangat mulia, yang sewaktu-waktu dapat menyadarkan setiap individu akan kemanusiaannya, tetapi serentak dengan itu I akan menyadari kemahakuasaan dan belaskasihan Tuhan, yang amat dalam, luas dan besar, guna supaya mereka kembali kepada-Nya. Segala sesuatu yang dialami manusia dapat digunakan Tuhan untuk mengantarkan seseorang sampai pada hangatnya pelukan-Nya. Bahkan tidak jarang kekerasan hati seseorang harus dilembutkan-Nya dengan cara yang sangat menyakitkan dan menyedihkan, tetapi hal itu benar-benar mendatangkan kebaikan atas hidupnya. Tuhan juga sering menggunakan cara-cara yang tidak mungkin bagi manusia, tetapi sangat mungkin bagi-Nya. Karena sesungguhnya tidak ada yang mustahil bagi Tuhan. Sungguh segala pekerjaan-Nya tak kan terselami oleh kemampuan yang dimiliki manusia, kecuali atas kehendak-Nya.

2 comments:

  1. Shalom Bapak,

    Tolong dikoreksi Kejadian 22 hanya sampai ayat 24. Terima kasih. Jbu

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih telah mengunjungi blog saya dan terima kasih juga atas koreksiannya.
      Maksud saya di atas bukan Kej. 22:119, tapi Kej. 22:1-19.

      Delete