Tuesday 27 March 2012

NASIB KEHIDUPAN MANUSIA TANPA TUHAN

Oleh: Sugiman

Jika seseorang bertanya kepada Anda demikian: dapatkah manusia hidup sendirian? Yaitu, hidup tanpa sahabat, tanpa pasangan hidup, dan tanpa bantuan orang lain. Mungkin orang percaya akan mengatakan dapat, sedangkan yang tidak mpercaya mengatakan tidak. Pertanyaan selanjutnya adalah: dapatkah manusia hidup tanpa Tuhan? Terserah Anda mau menjawab apa, karena tidak ada hadiah bagi mereka yang menjawab “tidak”, dan tidak ada hukuman bagi mereka yang menjawab “dapat”. Tetapi izinkan saya mengajukan beberapa pertanyaan kepada Anda untuk direnungkan secara saksama! (1). Siapakah manusia? (2). Dari manakah manusia berasal? (3). Apa tujuan hidupnya? (4). Ke mana ia akan pergi setelah kematian menjemputnya?

Bertolak dari beberapa pertanyaan di atas, dapatkah manusia hidup tanpa Tuhan? Saya adalah salah seorang yang mengatakan tidak. Keterbatasan yang dimiliki oleh setiap manusialah yang membawa saya sampai kepada jawaban tersebut. Sebagai manusia lemah, terbatas dan rapuh, saya merasa sangat membutuhkan tangan yang kuat, yang dapat menolong saya di mana setiap orang tidak dapat memberikannya. Mungkin kita dapat mengatakan, hanya kebetulan saja seorang nelayan itu selamat dengan sebatang pohon pisang setelah kapalnya tengelam dihantam gelombang besar di lautan luas. Tetapi harus kita sadari, bahwa hidup ini bukanlah sesuatu yang kebetulan. Selagi manusia masih hidup, maka tidak ada satupun yang kebetulan dalam hidup ini. Kelahiran seorang bayi bukanlah sesuatu yang kebetulan. Demikian juga dengan peristiwa kematian yang pasti dialami oleh setiap orang, juga bukanlah sesuatu yang kebetulan, tapi kepastian. Karena itu, hidup setiap orang itu ada tujuannya, hanya tidak semua orang dapat melihat dan menyadarinya. Mengapa? Karena dikalahkan oleh keegoisannya.

Dalam Alkitab kehidupan manusia tanpa Tuhan digambarkan bermacam-macam. Misalnya, penulis Mazmur 1:1-6 menyebutkan, bahwa manusia yang hidup tanpa Tuhan sama dengan sekam (kulit padi). Sekam (kulit padi) di sini mengambarkan kehidupan manusia yang begitu fana, tidak berguna mudah diterbangkan angin (tidak tahan dalam pencobaan).  Sebaliknya, manusia yang hidup bersama Tuhan (ber-Tuhan), digambarkan seperti pohon yang ditanam di tepi aliran sungai, yang menghasilkan buah pada musimnya, yang tidak layu daunnya, dan apa saja yang dibuatnya berhasil. Gambaran yang sangat kontras (sekam dan pohon yang ditanam di tepi aliran sungai).

Selanjutnya, penulis kitab Pengkhotbah lebih tegas lagi mengatakan, bahwa manusia yang hidup tanpa Tuhan (tidak ber-Tuhan) adalah kesia-siaan belaka dan usaha menjaring angin. Manusia digambarkan begitu terbatas, lemah dan rapuh, yaitu seperti uap air, ketika datang angin dan terik sinar Matahari ia menjadi sirna atau hilang dan kering tanpa bekas. Sangat rapuh. Bahkan karena kerapuhan dan keterbatasannya, ia tidak menghasilkan sesuatu yang berguna di luar kehendak-Nya. Manusia tidak dapat menyelami segala pekerjaan yang dilakukan oleh Tuhan.

Pernyataan senada juga dikemukakan oleh Yesus, dalam Injil Yohanes 15:1-8. Manusia tanpa Tuhan digambarkan seperti ranting pokok anggur yang tidak menghasilkan buah. Karena itu, ia tidak berguna dan harus dipotong kemudian dicampakkan ke dalam api. Sebaliknya, manusia yang hidup bersama Tuhan digambarkan seperti ranting pokok anggur yang dirawat, dibersihkan, dipelihara, dan menghasilkan buah yang baik. Bahkan mereka yang hidup bersama Tuhan mendapatkan apa yang dikehendakinya. Sungguh janji yang mulia bagi mereka yang hidup bersama Tuhan, tapi tidak bagi mereka yang di ada luar. Bandingkan dengan pernyataan penulis kitab Yakobus 4:14, yang mengambarkan kehidupan manusia sama seperti uap yang sebentar saja kelihatan lalu lenyap seketika tanpa bekas.

Selain gambaran di atas, masih banyak lagi bagian Alkitab yang menggambarkan tentang kehidupan manusia tanpa Tuhan dan sebaliknya. Namun demikian, kehidupan yang digambarkan di atas sering diabaikan dan jarang terpikirkan oleh manusia itu sendiri. Manusia lebih sibuk dengan aktivitasnya masing-masing tanpa melibatkan Tuhan. Mereka menganggap bahwa dirinya mampu berjalan sendiri, melakukan semuanya tanpa bantuan Tuhan. Karena itu, tidak heran posisi Tuhan dikesampingkan dan dijadikan ban serap. Maksud saya, kecenderungan manusia adalah: selagi ia merasa masih mampu dan dapat melakukan semua pekerjaannya dengan baik, maka sejauh itulah manusia tidak membutuhkan Tuhan dalam hidupnya. Tetapi ada kalanya, ia akan merasa sangat lemah, terbatas, rapuh dan sangat membutuhkan pertolongan atau uluran tangan yang kuat itu (Tuhan).  Jika demikian, maka Tuhan tidak ada bedanya dengan ban serap pada kendaraan.

Lebih tragisnya lagi adalah manusia menyangkal dan menolak keberadaan-Nya dalam hidupnya. Mereka merasa dirinya berilmu dan sanggup menjelaskan segala sesuatu dengan akal budinya, termasuk menjelaskan dari mana asalnya, siapa dirinya dan ke mana ia akan pergi setelah kematian menjemputnya. Manusia seolah-olah merasa makhluk independen atau berdiri sendiri tanpa ada yang menciptakannya. Pertanyaannya adalah, apakah salah jika manusia menolak kehadiran Tuhan dalam hidupnya? Atau tidak melibatkan Tuhan dalam segala aktivitasnya? Atau menyangkal-Nya dengan kemampuan akal budinya? Bagi saya, semua itu sekali tidak salah, karena setiap orang berhak penuh atas keputusannya, yang di mana orang lain tidak berhak untuk memaksanya percaya atau mengakui adanya Tuhan. Artinya, hidup setiap orang itu adalah sebuah pilihan bebas, yang di dalamnya tidak ada campur tangan manusia (individu) lain.

Tetapi kita harus sadar, bahwa adalah tidak cukup bahasa manusia untuk menjelaskan mengenai eksistensi (keberadaan) Tuhan sebagai pencipta tunggal dalam hidupnya. Karena pada dasarnya manusia sama, yaitu sama-sama campuran antara unsur-unsur “kebaikan” dan “kejahatan”; sama-sama memiliki kecenderungan “ilahi” dan “hewani”; dan sama-sama makhluk “pemikir”. Maksud saya, manusia bisa melakukan tindakan kejahatan, tetapi juga bisa melakukan kebaikan; manusia bisa memperlihatkan karakter ilahi (sang pencipta), tapi juga bisa memperlihatkan karakter hewani. Selanjutnya, karena manusia adalah sama-sama makhluk pemikir, maka ada tidaknya Tuhan dalam hidupnya tergantung dari apa yang lebih dominan dipikirkannya. Artinya, jika Tuhan mendapatkan tempat yang luas dalam hidupnya, maka nilai-nilai kebaikan Tuhan dalam hidupnya sehari-hari terlihat sangat jelas. Demikian juga sebaliknya, jika kecenderungan hewani yang mendapat tempat lebih luas, maka sikap dan karakter yang diperlihatkan dalam hidupnya pun tidak berbeda dengan hewan, bahkan kejahatannya melebihi sifat hewani.

Hidup tanpa Tuhan adalah ibarat seorang nelayan yang tersesat seorang diri di tengah lautan luas tanpa kompas atau petunjuk arah lainnya. Tidak tahu arah tujuannya dan tidak tahu harus bersandar di mana. Menjalani hidup tanpa Tuhan adalah sama dengan sayur tanpa garam, sama dengan ranting yang tidak menghasilkan buah. Karena itu tidak ada pilihan lain selain dipotong dan dicampakkan ke dalam api untuk dibakar. Hidup tanpa Tuhan juga adalah sama dengan sekam (kulit padi) yang fana, mudah diterbangkan angin, atau seperti uap yang sebentar saja kelihatan lalu lenyap tanpa bekas. Segala sesuatu yang dilakukannya hanya kesia-siaan belaka, tidak dapat menghasilkan buah yang baik dalam hidupnya. Selebihnya, mereka juga bagaikan tumbuhan yang hidup di tanah berbatuan, karena tanahnya tipis, maka ketika datang terik sinar Mentari ia menjadi layu, kering kerontang dan akhirnya mati. Dengan demikian tidak ada gunanya selain dibuang. Semua itu memperlihatkan, bahwa manusia tidak bisa hidup tanpa pertolongan Tuhan dalam hidupnya. Jika manusia hidup di luar Tuhan, maka tidak ada satupun kebaikan yang dihasilkan selama hidupnya.   

No comments:

Post a Comment