Thursday 15 March 2012

MINORITAS CENDERUNG DIJADIKAN WARGA KELAS DUA

Oleh: Sugiman

Kecenderungan menjadikan kaum minoritas sebagai warga kelas dua atau dianak-tirikan adalah realita yang tidak dapat sangkal dan dihindari. Memang harus diakui, bahwa mayoritas dan minoritas tidak dapat dijadikan alasan tunggal atas tekanan dan diskriminasi yang dialami kelompok minoritas. Tetapi harus diakui secara jujur juga bahwa, minoritas cenderung dijadikan warga kelas dua. Misalnya, jika kita melihat kembali ke abad ke-13, khususnya di negara Thailand, yaitu di mana agama Islam merupakan salah satu agama minoritas. Bahkan dikatakan, mereka adalah minoritas terbesar kedua setelah Cina.[1] Masalahnya sebenarnya tidak terletak pada soal minoritas atau mayoritas, melainkan soal tekanan dan diskriminasi, yang dialami kaum minoritas dari pihak mayoritas. Seperti yang kita ketahui bahwa Thailand adalah mayoritas beragama Buddha. Misalnya dalam masalah memberikan bantuan, mendirikan tempat ibadah atau mungkin yang lainnya, kaum minoritas sering diabaikan dan cenderung dianggap warga kelas dua, atau dianak-tirikan.

Selanjutnya, di Perancis, pemerintah melarang umat Islam mendirikan Masjid, padahal kaum muslimin Prancis adalah warga muslim terbanyak di Eropa sekitar 5-6 juta orang namun tak satupun memiliki wakil di parlemen. Bahkan tak seorangpun muslim Perancis yang memiliki jabatan di pemerintahan, baik di tingkat pusat, maupun di tingkat daerah. Karena itu kebijakan-kebijakan pemerintah cenderung tidak adil bagi warga muslim di Negara itu, termasuk pelarangan penggunaan jilbab bagi muslimah. 

Selanjutnya, di Cina, yang penduduknya adalah mayoritas beragama Buddha juga tidak terlepas dari pelaku diskriminasi terhadap umat atau kaum yang minoritas, seperti umat Islam dan Kristen yang ada di daerah setempat. Meskipun dibeberapa tempat secara signifikan sudah ada penmingkatan atau penerimaan dari pemerintah Cina bagi umat muslim untuk membangun Masjid dan umat Kristen untuk membangun Gereja. Namun demikian, tetap saja tekanan dan diskriminasi itu terasa bagi mereka yang minoritas.

Selanjutnya, di Filipina, penduduknya mayoritas beragama Kristen, tetapi tidak untuk Islam. Artinya, umat Islam di Filipina adalah umat minoritas. Sebagai kaum minoritas, mereka juga tidak jarang merasakan tekanan dari pihak mayoritas, entah itu di bidang sosial pilitik, ekonomi dan agama. Diskriminasi pun tidak terhindarkan, entah itu dalam pembangunan tempat ibadah, pendidikan, bantuan logistik dan sebagainya.

Kejadian serupa juga dialami oleh orang-orang Kristen yang hidup di Irak. Sebagai kaum minoritas, umat Kristen tidak bisa berbuat banyak untuk mencari perlindungan, keamanan, apalagi menyangkut masalah kepercayaan. Umat Kristen dikejar-kejar oleh kaum mayoritas. Misalnya, terjadi pembunuhan besar-besaran di Gereja Our Lady of Salvation di Baghdad pada Oktober tahun lalu, dan di Gereja Koptik yang ada di Alexandria pada saat perayaan Tahun Baru. Dua kejadian di atas semakin memperbesar perasaan takut di kalangan orang-orang Kristen, bahwa sedang terjadi penganiayaan modern dengan tujuan mengosongkan tanah Arab dari orang-orang Kristen. Saat ini, jumlah orang Kristen di negara-negara Timur Tengah paling hanya tinggal 15 juta dibandingkan orang-orang Muslim yang berjumlah 300 juta.

“Kami saat ini ada dalam era baru penganiayaan Kristen,” kata Rifa’t Bader, seorang imam Katolik Yordania, yang jemaatnya saat ini umumnya terdiri dari para pengungsi yang selamat dari kekejaman para jihadis di Irak. “Kami adalah korban dari hal-hal yang kami tidak bertanggungjawab atas hal itu, apakah pendudukan Israel (terhadap tanah Palestina) atau kebijakan Amerika di Timur Tengah, khususnya pendudukan Irak.”

Bagai mana dengan di negara Indonesia? Masalah kaum mayoritas dan minoritas juga sangat terasa di Indonesia. Hal itu terlihat melalui berbagai aksi yang dilakukan oleh sebagian besar pihak mayoritas, yang cenderung menyakiti, memberi tekanan, mendiskriminasi umat minoritas. Sebagai umat mayoritas, eksistensi agama Islam di Indonesia memegang kendali atau kontrol atas umat minoritas (Kristen Protestan, Katolik, Hindu, Buddha, Kong Hu Chu). Tetapi yang lebih dianggap saingan, atau musuh yang menakutkan dari semua umat minoritas di atas adalah umat Kristen. Bahkan dalam banyak kasus memperlihatkan, betapa menderitanya umat minoritas yang satu ini. Kesalahannya cenderung dicari-cari, baik dalam bentuk larangan supaya tidak membangun tempat ibadah (gereja), hingga berujung pada kekerasan dan bahkan nyawa menjadi taruhannya.

Misalnya masih melekat di ingatan kita mengenai peristiwa yang terjadi selama bulan Oktober hingga Desember 1992, peristiwa isu lemak babi, pembakaran kitab suci antarsekolah, pelemparan dan pembakaran gereja.[2] Selanjutnya, peristiwa Cikampek (12/4/1996), Bogor (14/4/1996); Surabaya (9/6/1996), Situbondo (10/10/1996).[3] Selanjutnya, peristiwa Tasikmalaya (26-27/12/1996),[4] peristiwa kerusuhan Ambon (19/1/1999-Januari 2000), banyak orang yang meninggal karena membela agamanya (Islam vs Kristen).[5] Selanjutnya, kerusuhan Maluku tahun 1999 juga tidak terlepas dari masalah agama. Bahkan mereka menyebut kelompoknya sebagai “Laskar Jihad” yang siap membantu perang saudara antara umat Islam dan Kristen di sana.[6] Dari Selanjutnya, peristiwa penyerangan HKBP Rajeg, Kutabumi, Tangerang (2/9/2007),[7] peristiwa HKBP Bekasi Minggu (12/9/2010) pukul 17:05 ditayangkan di RCTI, yang diserang oleh kelompok Islam yang menggunakan peci putih sebagai lambang kesucian. Pendetanya dipukul, jemaatnya ditusuk dan disertai dengan pelemparan batu kepada rumah ibadah.

Bahkan kasus gereja GKI Yasmin, hingga saat ini dan tidak habis-habisnya diperbincangkan, juga tidak dapat dipisahkan dari masalah umat mayoritas dan minoritas. Bagi saya, adalah kebohongan besar jika ada pihak yang mengatakan, bahwa masalah gereja GKI Yasmin tidak ada hubungannya dengan pemahaman kelompok mayoritas dan minoritas. Termasuk apa yang dikatakan Jubir Presiden Julian Aldrin Pasha, bahwa masalah GKI Yasmin adalah murni masalah hukum.

Tempat-tempat ibadah umat Kristiani, baik gedung Gereja, Yayasan-yayasan Kristen dan hingga gedung-gedung sekolah umat Kristen seolah-olah sama dengan tempat prostitusi, perjudian atau bamndar narkoba. Karena itu harus dihancurkan, tidak puas hanya dengan merusak, maka harus disertai tindakan-tindakan kekerasan yang menyebabkan pertumpahan darah, dan bahkan menghilangkan nyawa orang lain. Ini adalah tindakan-tindakan yang tidak manusiawi, yang tidak perlu dipelihara turun-temurun. Tetapi itulah realita yang ada dalam kemajemukan. Kemajemukan agama dianggap sebagai ancaman yang mendatangkan malapetaka atau bencana.[8] Umat minoritas seolah-olah “bukan manusia”, tempat ibadah seharusnya menjadi tempat bertemunya manusia dengan Tuhan, tetapi justru menjadi bahan pertengkar antara umat mayoritas dan minoritas. Sesama ciptaan Tuhan, yang darinya sebenarnya tidak ada kebenaran sedikitpun untuk dijadikan alasan bahwa kebenaran hanya ada pada satu pihak. Padahal hanya sang pencipta yang bisa menentukan siapa yang benar, karena kebenaran hanya ada di dalam Dia. Tuhan saja tidak menista, menindas, melakukan diskriminasi terhadap kaum yang minoritas, tetapi justru ada yang seolah-olah “mewakili Tuhan”.

Saya kira, miskinnya ilmu pengetahuan membuat seseorang tidak bisa berpikir kritis terhadap ajakan-ajakan kejahatan, sehingga mudah terpropokasi oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab dan mengatasnamakan Tuhan. Demikian juga dengan sempitnya pemahaman tengan agamanya itu sendiri akan membahayakan kelompok lain. Agama seharusnya dipahami sebagai konsep pembebasan, bukan pemusnahan, kekerasan dan penindasan.

Selanjutnya, konsep atau pemikiran yang menganggap, bahwa hanya agamaku yang benar (truth only) adalah pemahaman yang sangat keliru, yang seharusnya tidak diteruskan. Saya yakin bahwa semua agama mendasarkan pengajarannya pada kebenaran Tuhan Yang Esa. Namun demikian, kekeliruan dalam memahami kebenaran Tuhan pun tidak terhindarkan. Mengapa? Karena cenderung seseorang adalah menutup diri dan hanya melihat nilai-nilai kebenaran itu dari satu sudut pandang saja, yaitu agamanya. Akibatnya ia cenderung menyalahkan, menghakimi, menjelek-jelekan dan menganggap agama mutlak, sedangkan yang lain salah total.

Rendahnya inisiatif untuk berkomunikasi atau berdialog atau berinteraksi dengan orang-orang yang ada di lingkungan kita hidup (tidak ramah lingkungan). Keramahan dalam menyapa, berinteraksi secara sadar bahwa kita hidup di dalam sutu komunitas adalah hal yang sangat penting untuk tetap memelihara keharmonisan hidup di dalam rumah tangga Indonesia yang majemuk.

Kesenjangan sosial politik dan ekonomi. Misalnya besarnya peran yang dilakukan kelompok minoritas, entah itu dalam bidang politik maupun ekonomi juga dapat menjadi pemicu terjadinya konflik.

Kelancaran dalam pembangunan tempat-tempat ibadah. Misalnya, penganut Islam membangun Mesjid dan lama sekali jadinya, tetapi tiba-tiba umat Kristen membangun Gereja dan langsung berdiri, atau sebaliknya. Hal seperti ini juga salah satu penyebab terjadinya konflik.

Sikap keegoisan yang tinggi dan tidak adanya toleransi seorang terhadap yang lain. Hidup bernegara adalah seperti hidup di dalam keluarga, yaitu di mana orang tua harus bersikap ramah kepada semua anak-anaknya. Sehingga tidak ada yang dianggap anak kandung dan anak tiri tetapi semuanya diperhatikan dan diperlakukan dengan adil.

Mengasihi setengah hati. Misalnya salah seorang (baik Kristen maupun Islam) melakukan misi atau dakwah agama dengan memberi iming-iming, seperti menyekolahkan, memberi hadiah dan lain-lain dengan harapan supaya ia masuk agama Kristen atau masuk Islam. Menurut saya itu adalah kasih yang tidak tulus atau mengasihi setengah hati.



[1] Thanet Aphornsuvan, History and Politics of The Muslim in Thailand , (Thammasat University: 2003), 3.

[2] Majalah Dia, Pluralitas Berkat, atau Kutuk (Th. VIII Edisi 5) (Jakarta: Yayasan Persekutuan Kristen Antar Universitas – Perkantas, 1993), 6.
[3] Makalah Sahabat Awam, Sebuah Introspeksi Vol. 39 (Bandung: Yayasan Bina Awam, 2000), 3-13
[4] Kasus Tasikmalaya ini berawal dari penganiayaan guru sebuah pesantren yang kemudian berbelok menjadi kerusuhan anti-polisi serta sekaligus perusakan rumah-rumah ibadah orang Kristen, anti-Cina dan perusakan dan pembakaran harta benda.
[5] Makalah Sahabat Awam, Tragedi Ambon Vol. 54 (Bandung: Yayasan Bina Awam-Januari 2000), 1-2; bnd. Nurcholis Madjid, Pluralitas Agama: Kerukunan dalam Keragaman (Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2001), 94.
[6] Victor Silaen, Berperang Demi Allah: Menguak Tali-temali Agama, Politik dan Kekarasan dalam jurnal ilmiah Sosial dan Ilmu politik- Sosial Polites Vol. VI No. 21/ 2004; bnd. Edi Suranta Ginting, Kekerasan Atas Nama Agama, dalam Jurnal Trans Formasi Vol. 2 No. 1 Februari 2006), 31.
[7] MPH-PGI, “PGI Kecam Penyerangan HKBP Rajeg, Kutabumi, Tangerang”, dalam berita Oikoumene edisi September (Jakarta: PGI, 2007), 17-18.
[8] Bnd. Heru Nugroho, Agama dan Demokrasi dalam Jurnal Penuntun Vol. 4 No. 15 (Jakarta: Kelompok Kerja Teologi Sinode GKI Wilayah Jawa Barat, 1999), 349.

No comments:

Post a Comment