Oleh: Sugiman
Dalam Alkitab, kasih itu sangat bermacam-macam jenisnya. Ada yang saya
sebut “kasih supaya”, yaitu saya
mengasihi supaya saya juga dikasihi. I’ll
scratch your back, if you’ll scratch my back. Jenis yang lain adalah “kasih karena”, yaitu saya mengasihi
karena yang bersangkutan memang pantas atau layak untuk dikasihi. Tetapi
melalui cerita tentang perumpamaan anak yang hilang, Yesus mengajarkan kepada
kita tentang “kasih walaupun”. Maksudnya,
saya mengasihi walaupun yang bersangkutan tidak layak, tidak pantas dan tidak
berhak untuk dikasihi. Kasih walaupun itulah yang diajarkan Yesus.
Cerita tentang perumpamaan anak yang hilang adalah salah satu cerita
yang sangat mengharukan, mengugah hati, dan memotivasi hati setiap orang yang
dahaga akan air kehidupan. Yesus memulai cerita itu dengan kalimat “Ada seorang mempunyai dua anak
laki-laki” (ayat 11). Tidak disebutkan siapa nama ayah dan kedua
anak laki-lakinya. Yesus hanya menyebut si ayah dengan sapaan “seseorang”, anak
pertama “yang sulung” dan yang kedua atau yang terakhir adalah “yang bungsu”. Mengapa?
Pertama itu hanya sebuah perumpamaan. Artinya, bagi Yesus pesan yang ada di
dalam perumpamaan itulah yang utama, bukan siapa tokoh yang ada dalamnya. Selanjutnya,
karakter dari ketiga tokoh dalam perumpamaan itu jauh lebih penting dari pada
harus menyebutkan nama ketiganya. Yang terakhir, mungkin karena tidak seorang
pun yang memiliki karakter seperti yang ada pada sang bapa. Tetapi pesan dalam
perumpamaan itu jauh lebih penting dan utama ketimbang menafsirkan: siapa sang
bapa? Siapa anak sulung? Dan siapa anak bungsu?
Karakter yang dimiliki sang bapa memperlihatkan betapa
ia sangat mengasihi kedua anaknya. Perhatikan ayat 12, yaitu ketika yang bungsu
meminta harta yang menjadi bagiannya. Sangat berat bagi sang bapa untuk
merelakan kepergian si bungsu. Dengan hati hancur, kesedihan yang mendalam, sang
bapa terpaksa merelakan kepergian si bungsu ke negeri yang sangat jauh itu.
Bagi sang bapa, kepergian salah seorang anak yang sangat dia kasihi ke negeri
jauh adalah sama menyakitkan dengan peristiwa kematian. Keputusan yang dipilih
oleh si bungsu seolah-olah mengoreskan luka batin yang sangat mendalam dan
menyakitkan bagi sang bapa. Meskipun demikian, sang bapa tetap dengan hati
ikhlas membagikan harta kekayaan yang menjadi haknya. Dikasih tetapi malah menyakiti.
Mungkin itulah yang dirasakan sang bapa saat itu.
Betapa repotnya sang bapa menjelang kepergian si bungsu,
yaitu mengukur lahan perkebunan, ladang, membagi kambing, domba maupun harta
yang tidak bisa dibawa langsung. Setelah menerima harta yang menjadi bagiannya,
si bungsu pun menjual seluruh bagiannya kemudian barulah ia pergi ke negeri
yang jauh. Sesampainya di negeri jauh dan tinggal beberapa lama di sana, akhirnya
sang ayah mendapat kabar, bahwa si bungsu telah memboroskan harta miliknya itu
dengan hidup berfoya-foya, bergaul dengan para penjudi, pelacur, pemabuk, dan pembunuh
bahkan mungkin terlibat kriminal (ayat 13). Sangat menyakitkan bagi orangtua, jika
ada anak yang sangat dikasihi ternyata menancapkan duri di hati sang bapa.
Ambisinya yang tinggi untuk memiliki harta benda atau
kekayaan dan terpisah jauh dari sang bapa, ternyata jauh lebih besar
dibandingkan cintanya untuk tetap tinggal bersama sang bapa. Mungkin itulah alasan
utama mengapa si bungsu lebih memilih hidup terpisah jauh dari sang bapa. Sambil
meneteskan air mata, sang bapa seolah-olah ingin mengatakan bahwa tempat si
bungsu bukanlah di negeri jauh, tetapi di rumah bapa. Seolah-olah sang bapa
telah mengetahui bahwa si bungsu pasti melarat jika ia terpisah jauh darinya. Ini
memperlihatkan betapa sang bapa mengenal siapa anaknya. Namun kata-kata itu sangat
berat untuk diungkapkan, sehingga sang bapa seakan diam seribu bahasa tanpa
sepatah katapun. Perkiraan sang bapa benar bahwa si bungsu akan menderita dan
melarat jika ia terpisah jauh dari sang bapa. Perhatikan pada ayat 14 dikatakan
demikian: “Setelah dihabiskannya
semuanya, timbullah bencana kelaparan di dalam negeri itu dan ia pun mulai
melarat.” Ini memperlihatkan betapa sang bapa sangat mengenal kepribadian anaknya.
Untuk menghadapi bencana kelaparan itu, berbagai usaha
pun dilakukan si bungsu supaya bisa bertahan hidup di negeri jauh. Hidup
sebagai orang asing di negeri jauh, tanpa saudara kandung ataupun keluarga hanya
membuat hidupnya menderita dan melarat. Bahkan pada ayat 16 dikatakan, bahwa makanan
babi pun jauh lebih bagus dari makanannya sehari-hari sebagai penjaga ternak
babi. Itulah sebabnya ia berusaha memakan ampas dari makanan babi itu, tetapi
tidak seorang pun mengizinkan. Babi seolah-olah lebih berharga dari manusia. Inilah
hidup yang dirasakan si bungsu. Terpisah jauh dari sang bapa hanya membuat masa
depan hidupnya rusak, hancur, melarat, dan bobrok. Harta benda atau kekayaan
yang berlimpah yang dimiliki sebelumnya ternyata tidak memberikan jaminan
kebahagiaan abadi dalam hidupnya.
Seiring berjalannya waktu, kesusahan demi kesusahan,
penderitaan demi penderitaan, badan kurus kering, lemah lesu karena tidak ada
makanan yang bisa dimakan. Semakin hari si bungsu merasa bahwa hidupnya sangat
kosong, gersang, tandus, sia-sia dan tidak bermakna. Itulah sebabnya ia berusa
sekuat tenaga untuk mencari jalan kebahagiaan yang sesungguhnya. Namun tidak
juga menemukan kebahagiaan itu. Sehingga ia merasa tidak ada jalan lain yang
harus dijalani selain menyesali semua kesalahannya dan kembali kepada sang
bapa. Karena itu, pada ayat 18 si bungsu berkata dalam hatinya: “Bapa, aku telah berdosa terhadap surga dan
terhadap bapa, aku tidak layak lagi disebutkan anak bapa; jadikanlah aku
sebagai salah seorang upahan bapa.” Ini adalah klimaks dari sebuah confession (pengakuan) yang mendalam, dengan penuh
kerendahan hati, ketulusan dan kejujuran dari si bungsu. Oleh sebab itu,
penulis Lukas mengulanginya kembali pada ayat 21 sebagai penegasan ayat 18.
Di dalam pengakuan itu tersirat sebuah janji pribadi dari
si bungsu, bahwa dia tidak akan pernah mengulangi kesalahan yang sama terhadap
sang bapa. Dengan totalitas hidupnya si bungsu memberanikan dirinya untuk
mengakui semua kesalahannya pada sang bapa. Saya kira, di sinilah letak
keunggulan si bungsu (confession). Penyesalan yang mendalam,
dengan penuh kerendahan hati dan berpaling 180 derajat dari cara hidup yang
lama, ternyata menjadi point penting yang dibawakan karakter si bungsu. Karena pengakuan
yang mendalam itulah yang menuntun dan membuat dia mengerti arti kehidupan yang
sesungguhnya. Ini bukan jalan yang mudah untuk dijalani. Itu adalah perjalanan
yang sangat panjang, melelahkan dan proses yang sangat menyakitkan bagi si
bungsu. Tetapi ending dari pengakuan yang tulus, ikhlas dan jujur itu membawa
kebahagiaan yang besar dan abadi bagi si bungsu, yaitu dia diterima seutuhnya
kembali oleh sang bapa. Dalam konteks itulah penulis Injil Lukas mengatakan, bahwa
“ketika ia masih jauh, ayahnya telah
melihatnya, lalu tergeraklah hatinya oleh belas kasihan. Ayahnya itu berlari
mendapatkan dia lalu merangkul dan mencium dia” (ayat 20). Perhatikan
kalimat “tergeraklah hatinya oleh belas
kasihan”! Dalam bahasa aslinya (Yunani) menggunakan kata “splagchnizomai” dan diterjemahkan dengan “compassion”, yang artinya “perasaan
terharu atau perasaan kasihan” dari lubuk hati yang paling dalam.
Pengakuan yang
mendalam, penyesalan secara total si bungsu atas semua keslahan dan
kejahatannya telah membuatnya pantas atau berhak menerima yang terbaik dari
sang bapa. Dikatakan pada ayat 22-24 demikian:
“Tetapi ayah itu berkata
kepada hamba-hambanya: Lekaslah bawa ke mari jubah yang terbaik, pakaikanlah
itu kepadanya dan kenakanlah cincin pada jarinya dan sepatu pada kakinya. Dan
ambillah anak lembu tambun itu, sembelihlah dan marilah kita makan dan
bersukacita. Sebab anakku ini telah mati dan menjadi hidup kembali, ia telah
hilang dan didapat kembali. Maka mulailah mereka bersukaria.” Ayat di atas
sangat jelas memperlihatkan karakter sang bapa yang penuh kasih. Walaupun si
bungsu pernah memboroskan harta bapanya, menyakiti atau merobek-robek hati sang
bapa melalui sikap hidupnya yang lama, merendahkan martabat dan harga diri sang
bapa, dan hidup berfoya-foya dengan para pelacur, penjudi, pemabuk, pemerkosa,
perampok, penodong, dan bahkan pembunuh, namun si bungsu tetap dikasihi oleh
sang bapa. Sangat mengharukan. Sang bapa tetap memberikan kesempatan kepada si
bungsu untuk memperbaiki hidupnya. Itulah KASIH WALAUPUN. Seharusnya si bungsu
tidak pantas, tidak berhak, atau tidak layak untuk dikasihi, tetapi karena
belas kasihan sang bapa, si bungsu dipantaskan, diberi hak dan dilayakkan untuk
menerimanya.
“KASIH WALAUPUN” yang diperlihatkan sang bapa telah
menghapuskan “KASIH KARENA” dan “KASIH SUPAYA”. Itulah alasan utama mengapa
anaknya yang sulung marah, tidak mau masuk ke rumah, iri hati, dan cemburu terhadap
perlakuan sang bapa kepada si bungsu (lih. ayat 28-30). Baru saja sembuh
luka-luka batin sang bapa yang diperbuat anak bungsunya, sudah disakiti dan
dilukai kembali oleh perkataan anak sulungnya. Sangat menyakitkan. Perkataan
anaknya yang sulung memperlihatkan, bahwa selama ini dia tidak pernah tulus,
ikhlas, sungguh-sungguh atau sepenuh hati melayani sang bapa. Dikatakan
demikian : “Telah bertahun-tahun aku
melayani bapa dan belum pernah aku melanggar perintah bapa, tetapi kepadaku
belum pernah bapa memberikan seekor anak kambing untuk bersukacita dengan
sahabat-sahabatku. Tetapi baru saja datang anak bapa yang telah memboroskan
harta kekayaan bapa bersama-sama dengan pelacur-pelacur, maka bapa menyembelih
anak lembu tambun itu untuk dia” (ayat 28-30). Ketidaktulusan,
ketidakikhlasan, atau tidak melakukan tugas dan tanggung jawab tidak sepenuh
hati hanya menghasilkan rasa sakit hati, iri hati, dan kecemburuan. Itulah yang
dirasakan anak yang sulung.
Dikasihi tetapi menyakiti, itulah resiko atau konsekuensi
yang dirasakan sang bapa saat menerapkan “KASIH WALAUPUN”. Meskipun demikian, sang
bapa tetap mengasihi kedua anaknya. Dengan suara lirih sang bapa mengatakan: “Anakku, engkau selalu bersama-sama dengan
aku, dan segala kepunyaanku adalah kepunyaanmu. Kita patut bersukacita dan
bergembira karena adikmu telah mati dan menjadi hidup kembali, ia telah hilang
dan didapat kembali” (ayat 31-32). Inilah kasih yang dilakukan Tuhan Yesus
selama hidupnya (33 tahun). “KASIH WALAUPUN” telah mengubah titik menjadi koma,
kematian menjadi kehidupan, putus asa menjadi sebuah harapan baru, air mata
menjati sukacita, dan neraka menjadi surga. Saya kira demikianlah Tuhan
memperlakukan kita. Sekalipun kita telah membuat-Nya berdosa, menyeret-Nya
pengadilan, menusuk lambung-Nya, memakukan tangan dan kaki-Nya pada kayu salib,
memasangkan mahkota duri pada kepalanya sebagai tanda penghinaan. Namun Dia
tetap memberikan kita kesempatan kedua untuk memperbaiki cara hidup kita. Sekarang
mana yang kita pilih? Kasih karena? Kasih supaya? Atau kasih walaupun? Jawablah
dalam hati kita masing-masing dan lakukanlah mana yang mendatangkan kebaikan
bagi semua orang. Selamat mengasihi.
No comments:
Post a Comment