Monday, 5 March 2012

TERGERAKLAH HATINYA OLEH BELAS KASIHAN (Lukas 15:11-32)


Oleh: Sugiman

Dalam Alkitab, kasih itu sangat bermacam-macam jenisnya. Ada yang saya sebut “kasih supaya”, yaitu saya mengasihi supaya saya juga dikasihi. I’ll scratch your back, if you’ll scratch my back. Jenis yang lain adalah “kasih karena”, yaitu saya mengasihi karena yang bersangkutan memang pantas atau layak untuk dikasihi. Tetapi melalui cerita tentang perumpamaan anak yang hilang, Yesus mengajarkan kepada kita tentang “kasih walaupun”. Maksudnya, saya mengasihi walaupun yang bersangkutan tidak layak, tidak pantas dan tidak berhak untuk dikasihi. Kasih walaupun itulah yang diajarkan Yesus.

Cerita tentang perumpamaan anak yang hilang adalah salah satu cerita yang sangat mengharukan, mengugah hati, dan memotivasi hati setiap orang yang dahaga akan air kehidupan. Yesus memulai cerita itu dengan kalimat “Ada seorang mempunyai dua anak laki-laki” (ayat 11). Tidak disebutkan siapa nama ayah dan kedua anak laki-lakinya. Yesus hanya menyebut si ayah dengan sapaan “seseorang”, anak pertama “yang sulung” dan yang kedua atau yang terakhir adalah “yang bungsu”. Mengapa? Pertama itu hanya sebuah perumpamaan. Artinya, bagi Yesus pesan yang ada di dalam perumpamaan itulah yang utama, bukan siapa tokoh yang ada dalamnya. Selanjutnya, karakter dari ketiga tokoh dalam perumpamaan itu jauh lebih penting dari pada harus menyebutkan nama ketiganya. Yang terakhir, mungkin karena tidak seorang pun yang memiliki karakter seperti yang ada pada sang bapa. Tetapi pesan dalam perumpamaan itu jauh lebih penting dan utama ketimbang menafsirkan: siapa sang bapa? Siapa anak sulung? Dan siapa anak bungsu?  

Karakter yang dimiliki sang bapa memperlihatkan betapa ia sangat mengasihi kedua anaknya. Perhatikan ayat 12, yaitu ketika yang bungsu meminta harta yang menjadi bagiannya. Sangat berat bagi sang bapa untuk merelakan kepergian si bungsu. Dengan hati hancur, kesedihan yang mendalam, sang bapa terpaksa merelakan kepergian si bungsu ke negeri yang sangat jauh itu. Bagi sang bapa, kepergian salah seorang anak yang sangat dia kasihi ke negeri jauh adalah sama menyakitkan dengan peristiwa kematian. Keputusan yang dipilih oleh si bungsu seolah-olah mengoreskan luka batin yang sangat mendalam dan menyakitkan bagi sang bapa. Meskipun demikian, sang bapa tetap dengan hati ikhlas membagikan harta kekayaan yang menjadi haknya. Dikasih tetapi malah menyakiti. Mungkin itulah yang dirasakan sang bapa saat itu.

Betapa repotnya sang bapa menjelang kepergian si bungsu, yaitu mengukur lahan perkebunan, ladang, membagi kambing, domba maupun harta yang tidak bisa dibawa langsung. Setelah menerima harta yang menjadi bagiannya, si bungsu pun menjual seluruh bagiannya kemudian barulah ia pergi ke negeri yang jauh. Sesampainya di negeri jauh dan tinggal beberapa lama di sana, akhirnya sang ayah mendapat kabar, bahwa si bungsu telah memboroskan harta miliknya itu dengan hidup berfoya-foya, bergaul dengan para penjudi, pelacur, pemabuk, dan pembunuh bahkan mungkin terlibat kriminal (ayat 13). Sangat menyakitkan bagi orangtua, jika ada anak yang sangat dikasihi ternyata menancapkan duri di hati sang bapa.

Ambisinya yang tinggi untuk memiliki harta benda atau kekayaan dan terpisah jauh dari sang bapa, ternyata jauh lebih besar dibandingkan cintanya untuk tetap tinggal bersama sang bapa. Mungkin itulah alasan utama mengapa si bungsu lebih memilih hidup terpisah jauh dari sang bapa. Sambil meneteskan air mata, sang bapa seolah-olah ingin mengatakan bahwa tempat si bungsu bukanlah di negeri jauh, tetapi di rumah bapa. Seolah-olah sang bapa telah mengetahui bahwa si bungsu pasti melarat jika ia terpisah jauh darinya. Ini memperlihatkan betapa sang bapa mengenal siapa anaknya. Namun kata-kata itu sangat berat untuk diungkapkan, sehingga sang bapa seakan diam seribu bahasa tanpa sepatah katapun. Perkiraan sang bapa benar bahwa si bungsu akan menderita dan melarat jika ia terpisah jauh dari sang bapa. Perhatikan pada ayat 14 dikatakan demikian: “Setelah dihabiskannya semuanya, timbullah bencana kelaparan di dalam negeri itu dan ia pun mulai melarat.” Ini memperlihatkan betapa sang bapa sangat mengenal kepribadian anaknya.

Untuk menghadapi bencana kelaparan itu, berbagai usaha pun dilakukan si bungsu supaya bisa bertahan hidup di negeri jauh. Hidup sebagai orang asing di negeri jauh, tanpa saudara kandung ataupun keluarga hanya membuat hidupnya menderita dan melarat. Bahkan pada ayat 16 dikatakan, bahwa makanan babi pun jauh lebih bagus dari makanannya sehari-hari sebagai penjaga ternak babi. Itulah sebabnya ia berusaha memakan ampas dari makanan babi itu, tetapi tidak seorang pun mengizinkan. Babi seolah-olah lebih berharga dari manusia. Inilah hidup yang dirasakan si bungsu. Terpisah jauh dari sang bapa hanya membuat masa depan hidupnya rusak, hancur, melarat, dan bobrok. Harta benda atau kekayaan yang berlimpah yang dimiliki sebelumnya ternyata tidak memberikan jaminan kebahagiaan abadi dalam hidupnya.

Seiring berjalannya waktu, kesusahan demi kesusahan, penderitaan demi penderitaan, badan kurus kering, lemah lesu karena tidak ada makanan yang bisa dimakan. Semakin hari si bungsu merasa bahwa hidupnya sangat kosong, gersang, tandus, sia-sia dan tidak bermakna. Itulah sebabnya ia berusa sekuat tenaga untuk mencari jalan kebahagiaan yang sesungguhnya. Namun tidak juga menemukan kebahagiaan itu. Sehingga ia merasa tidak ada jalan lain yang harus dijalani selain menyesali semua kesalahannya dan kembali kepada sang bapa. Karena itu, pada ayat 18 si bungsu berkata dalam hatinya: “Bapa, aku telah berdosa terhadap surga dan terhadap bapa, aku tidak layak lagi disebutkan anak bapa; jadikanlah aku sebagai salah seorang upahan bapa.” Ini adalah klimaks dari sebuah confession (pengakuan) yang mendalam, dengan penuh kerendahan hati, ketulusan dan kejujuran dari si bungsu. Oleh sebab itu, penulis Lukas mengulanginya kembali pada ayat 21 sebagai penegasan ayat 18.

Di dalam pengakuan itu tersirat sebuah janji pribadi dari si bungsu, bahwa dia tidak akan pernah mengulangi kesalahan yang sama terhadap sang bapa. Dengan totalitas hidupnya si bungsu memberanikan dirinya untuk mengakui semua kesalahannya pada sang bapa. Saya kira, di sinilah letak keunggulan si bungsu (confession). Penyesalan yang mendalam, dengan penuh kerendahan hati dan berpaling 180 derajat dari cara hidup yang lama, ternyata menjadi point penting yang dibawakan karakter si bungsu. Karena pengakuan yang mendalam itulah yang menuntun dan membuat dia mengerti arti kehidupan yang sesungguhnya. Ini bukan jalan yang mudah untuk dijalani. Itu adalah perjalanan yang sangat panjang, melelahkan dan proses yang sangat menyakitkan bagi si bungsu. Tetapi ending dari pengakuan yang tulus, ikhlas dan jujur itu membawa kebahagiaan yang besar dan abadi bagi si bungsu, yaitu dia diterima seutuhnya kembali oleh sang bapa. Dalam konteks itulah penulis Injil Lukas mengatakan, bahwa “ketika ia masih jauh, ayahnya telah melihatnya, lalu tergeraklah hatinya oleh belas kasihan. Ayahnya itu berlari mendapatkan dia lalu merangkul dan mencium dia” (ayat 20). Perhatikan kalimat “tergeraklah hatinya oleh belas kasihan”! Dalam bahasa aslinya (Yunani) menggunakan kata “splagchnizomai” dan diterjemahkan dengan “compassion”, yang artinya “perasaan terharu atau perasaan kasihan” dari lubuk hati yang paling dalam.

Pengakuan yang mendalam, penyesalan secara total si bungsu atas semua keslahan dan kejahatannya telah membuatnya pantas atau berhak menerima yang terbaik dari sang bapa. Dikatakan pada ayat 22-24 demikian: “Tetapi ayah itu berkata kepada hamba-hambanya: Lekaslah bawa ke mari jubah yang terbaik, pakaikanlah itu kepadanya dan kenakanlah cincin pada jarinya dan sepatu pada kakinya. Dan ambillah anak lembu tambun itu, sembelihlah dan marilah kita makan dan bersukacita. Sebab anakku ini telah mati dan menjadi hidup kembali, ia telah hilang dan didapat kembali. Maka mulailah mereka bersukaria.” Ayat di atas sangat jelas memperlihatkan karakter sang bapa yang penuh kasih. Walaupun si bungsu pernah memboroskan harta bapanya, menyakiti atau merobek-robek hati sang bapa melalui sikap hidupnya yang lama, merendahkan martabat dan harga diri sang bapa, dan hidup berfoya-foya dengan para pelacur, penjudi, pemabuk, pemerkosa, perampok, penodong, dan bahkan pembunuh, namun si bungsu tetap dikasihi oleh sang bapa. Sangat mengharukan. Sang bapa tetap memberikan kesempatan kepada si bungsu untuk memperbaiki hidupnya. Itulah KASIH WALAUPUN. Seharusnya si bungsu tidak pantas, tidak berhak, atau tidak layak untuk dikasihi, tetapi karena belas kasihan sang bapa, si bungsu dipantaskan, diberi hak dan dilayakkan untuk menerimanya.

“KASIH WALAUPUN” yang diperlihatkan sang bapa telah menghapuskan “KASIH KARENA” dan “KASIH SUPAYA”. Itulah alasan utama mengapa anaknya yang sulung marah, tidak mau masuk ke rumah, iri hati, dan cemburu terhadap perlakuan sang bapa kepada si bungsu (lih. ayat 28-30). Baru saja sembuh luka-luka batin sang bapa yang diperbuat anak bungsunya, sudah disakiti dan dilukai kembali oleh perkataan anak sulungnya. Sangat menyakitkan. Perkataan anaknya yang sulung memperlihatkan, bahwa selama ini dia tidak pernah tulus, ikhlas, sungguh-sungguh atau sepenuh hati melayani sang bapa. Dikatakan demikian : “Telah bertahun-tahun aku melayani bapa dan belum pernah aku melanggar perintah bapa, tetapi kepadaku belum pernah bapa memberikan seekor anak kambing untuk bersukacita dengan sahabat-sahabatku. Tetapi baru saja datang anak bapa yang telah memboroskan harta kekayaan bapa bersama-sama dengan pelacur-pelacur, maka bapa menyembelih anak lembu tambun itu untuk dia” (ayat 28-30). Ketidaktulusan, ketidakikhlasan, atau tidak melakukan tugas dan tanggung jawab tidak sepenuh hati hanya menghasilkan rasa sakit hati, iri hati, dan kecemburuan. Itulah yang dirasakan anak yang sulung.

Dikasihi tetapi menyakiti, itulah resiko atau konsekuensi yang dirasakan sang bapa saat menerapkan “KASIH WALAUPUN”. Meskipun demikian, sang bapa tetap mengasihi kedua anaknya. Dengan suara lirih sang bapa mengatakan: “Anakku, engkau selalu bersama-sama dengan aku, dan segala kepunyaanku adalah kepunyaanmu. Kita patut bersukacita dan bergembira karena adikmu telah mati dan menjadi hidup kembali, ia telah hilang dan didapat kembali” (ayat 31-32). Inilah kasih yang dilakukan Tuhan Yesus selama hidupnya (33 tahun). “KASIH WALAUPUN” telah mengubah titik menjadi koma, kematian menjadi kehidupan, putus asa menjadi sebuah harapan baru, air mata menjati sukacita, dan neraka menjadi surga. Saya kira demikianlah Tuhan memperlakukan kita. Sekalipun kita telah membuat-Nya berdosa, menyeret-Nya pengadilan, menusuk lambung-Nya, memakukan tangan dan kaki-Nya pada kayu salib, memasangkan mahkota duri pada kepalanya sebagai tanda penghinaan. Namun Dia tetap memberikan kita kesempatan kedua untuk memperbaiki cara hidup kita. Sekarang mana yang kita pilih? Kasih karena? Kasih supaya? Atau kasih walaupun? Jawablah dalam hati kita masing-masing dan lakukanlah mana yang mendatangkan kebaikan bagi semua orang. Selamat mengasihi.

No comments:

Post a Comment