Oleh: Sugiman
Teks Amos 6:1-7 disampaikan pada masa pemerintahan raja Yerobeam II di Israel Utara (787-747 SM) dan Uzia di Yehuda (783-742 SM.). Tapi kan Amos bernubuat di Utara mengapa ada kerajaan Yehuda yang dipimpin oleh raja Uzia ikut serta disebutkan, padahal letaknya di Israel Selatan/ Yehuda? Karena Sion terletak di Israel Selatan. Selain itu hubungan antara Yehuda dan Samaria juga baik khususnya di bidang politik dan perekonomian. Oleh sebab itulah kedua kerajaan itu dilimpahi kemakmuran. Lalu bagaimana dengan bidang keagamaan? Dalam bidang keagamaan juga baik-baik saja dan tidak ada yang kekurangan, karena hubungan antara para pemimpin negara dan para pemimpin agama juga baik-baik saja. Nggak percaya? Baca saja Amos 6:1-7! Bahkan bangsa Hamat yang besar, Gat yang didiami oleh orang Filistin tidak bisa menandingi kedua kerajaan di atas (Israel Utara dan Selatan). Oleh sebab itu, mereka merasa tenteram, makmur, aman dan nyaman.
Sion dan Samaria adalah dua tempat yang sangat penting dalam kehidupan umat Israel, yaitu Sion sebagai pusat hidup dan kegiatan keagamaan karena kehadiran Allah. Itu artinya para ulama dan para pemimpin agama berkumpul di Yerusalem dan Sion. Sedangkan Samaria adalah ibu kota kerajaan Israel Utara yang adalah juga pusat kegiatan politik dan pemerintahan, tempat kedudukan tokoh-tokoh politik dan penguasa negara. Dengan kata lain, baik para ulama dan para pemimpin agama dan tokoh-tokoh politik serta para penguasa negara itulah yang menikmati rasa aman dan nyaman. Mari kita melihat semakmur apa dan sejauh mana keamanan, ketentraman dan kenyamanan yang rasakan oleh kaum elit itu menggunakan sutut pandang penulis Deuteronomis.
Penulis Deuteronomis mengatakan, bahwa raja Yerobeam II memperluas wilayah kerajaannya sampai pada batas-batas wilayah kekuasaan yang pernah dicapai pada zaman Salomo (2 Taw 8:3-4), yaitu dari jalan masuk ke Hamat (jauh di Utara pada sungai Orentes) sampai ke laut Araba” (batas Laut Mati di Utara) (II Raja-raja 14:25). Selain menyoroti masa pemerintahan raja Yerobeam II di Israel Utara, penulis Deuteronomis juga menyoroti pemerintahan raja Uzia yang mencapai puncak kejayaan di bidang politik dan ekonomi. Misalnya Uzia membangun Yerusalem dan memperkuat pertahanannya (2 Taw 26:9,15) serta membuka pelabuhan laut di Ezion-geber di Teluk Aqaba. Uzia juga berhasil memegang kendali atas pengawasan suku-suku Arab yang ada di sebelah barat laut, bangsa Edom, suku-suku pengembara di tanah Negeb dan padang gurun yang ada di selatan (2 Taw 26:6-8). Dengan kata lain penulis Deuteronomis bisa dikatakan penulis INDEPENDEN (tidak memihak pada siapapun, kecuali pada kebenaran).
Dengan demikian kita mendapatkan sebuah kesimpulan bahwa keadaan atau situasi Sion dan Samaria saat itu adalah makmur, berjaya, tentram, aman dan nyaman. Tetapi Amos mengatakan rasa makmur, berjaya, tentram, aman dan nyaman yang dirasakan oleh kedua kerajaan di atas (Israel Utara dan Selatan) adalah palsu adanya. Karena kemakmuran, kejayaan, ketentraman, keamanan dan kenyamanan itu hanya dirasakan oleh para pemimpin negara dan para pemimpin agama, sedangkan masayarakat kecil, yang lemah secara ekonomi maupun hukum tidak diperhitungkan dan tidak dianggap apalagi dihiraukan. Tetapi mereka menutup mata, telinga, kantong, jalan dan bahkan menutup hidung dan mulut mereka yang supaya tidak bisa bernapas. Sadis kan?
Karena itu Amos mengatakan CELAKALAH KAMU! Siapa yang dimaksud dengan kata KAMU? Ya sudah pasti kaum elit itu: Celakalah kamu, wahai ulama dan para pemimpin agama! Celakalah kamu, wahai tokoh-tokoh politik dan para penguasa negara! Celakalah kamu, ketika kamu merasa tentram di balik jubah dan mezbahmu! Celakalah kamu, ketika kamu merasa aman di balik istana dan pengawal-pengawalmu yang menjadi benteng perlindunganmu!
Mengapa nabi Amos begitu keras mengecam para pemimpin yang seharusnya dihormati, ditaati dan dijunjung tinggi oleh masyarakat. Kecaman yang keras itu tidak bisa dilepaskan dari kebobrokan moral yang mereka junjung tinggi dan pelihara. Korupsi, penindasan, pemerasan seolah-olah sudah menjadi sebuah kebiasaan yang tidak bisa ditinggalkan. Dari hasil itu mereka memeperoleh hidup mewah, kaya-raya, harta-benda atau kekayaan yang berlimpah, dan mereka merasa aman dengan semuanya itu. Dalam konteks itulah, nabi Amos mengatakan, bahwa rasa aman yang mereka sanjung tinggi itu adalah rasa aman yang palsu. Itu artinya, mereka telah tenggelam ke dalam suatu rasa aman, tentram yang palsu, harapan-harapan yang menyesatkan, yang nantinya pasti akan menyeret mereka kepada kehancuran, baik itu kehancuran kekuasaan dalam bidang sosial politik, ekonomi maupun keagamaan. Menyedihkan sekali, mereka dikatakan umat pilihan Tuhan, tetapi memiliki kehidupan moral yang sangat bobrok.
Jika kita berefeleksi pada eksistensi negara Indonesia saat ini, maka kita akan menemukan ada banyak persamaan dengan keadaan Sion dan Samaria pada masa nabi Amos bernubuat (persamaan: keadaan politik yang merusak peradaban bangsa, perekonomian, moral yang bobrok dan kehidupan keagamaan yang kosong). Para pemimpin dan para politikus negara Indonesia merasa mereka telah tentram, aman, dan nyaman dengan kehidupan yang mereka nikmati. Tetapi mereka tidak pernah memikirkan nasib, penderitaan, ketidakadilan, diskriminasi yang dialami oleh masyarakat jelata. Rasa tentram, aman dan nyaman hanya dirasakan oleh sebagian atau sekelompok manusia saja, yaitu mereka yang memilki kedudukan dan mereka yang dekat dengan kekuasaan. Bagi nabi Amos, itu adalah ketentraman atau rasa aman yang palsu dan menyesatkan. Karena itu tidak heran bangsa Indonesia saat ini bisa dikatakan bangsa yang sangat bobrok dan tidak bermoral, terutama para pemangku jabatan kekuasaan atau pemerintaan negara, dan termasuk para pemimpin agama yang dekat dengan kekuasaan. Kecenderungan para pemimpin yang dekat dengan kekuasaan hanya menampilkan kemunafikan, dan kepalsuan belaka. Itulah sebabnya, kasus korupsi menjamur di Indonesia, ketidakadilan merajalela, dan kemunafikan berkembang dengan pesat. Semua itu tumbuh dengan subur, karena mereka dipelihara dan dilindungi oleh para penguasa yang suka menista rakyat relatas atas nama Tuhan.
Sungguh, kualitas kepemimpinan yang ada di Indonesia telah merobek dan mencabik-cabik hati nurani, mereka telah meruntuhkan nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab. Sang Merah Putih mereka jadikan sebagai selimut pelindung, mereka mengatasnamakan perjuangan para pahlawan, tetapi sebaliknya, mereka menjadi penghianat Sang Merah Putih, penghianat Pancasila, penghianat UUD 1945, dan penghianat jasa para pahlawan yang berjuang mati-matian demi sebuah kemakmuran, kesejahteraan bersama, kemerdekaan, kemanusiaan yang adil beradab, dan demi sebuah persatuan Indonesia. Seandainya jasad dan roh para pahlawan dapat berbicara, mungkin mereka akan mengatakan: “CELAKALAH KAMU HAI PARA PEMIMPIN NEGARA DAN PARA PEMIMPIN AGAMA YANG TERLIBAT DALAM KASUS KORUPSI, KEKERASAN, PENINDASAN, DISKRIMINASI, KETIDAKADILAN, KEKUASAAN, DAN SEGALA BENTUK KEJAHATAN YANG LAINNYA”.
Tetapi sayang mereka telah tiada. Karena itulah para pemimpin negara dan agama di Indonesia merasa aman, nyaman dan tentram dengan kedudukan yang mereka emban saat ini. Korupsi jalan terus, menuntut hak dari rakyat seenaknya tetapi kewajiban mereka tidak dipenuhi. Dalam konteks itulah nabi Amos mengatakan “CELAKAH KAMU” hai para pemimpin negara dan agama yang ada di Sion dan Samaria. Mungkin negara Indonesia merasa sudah aman, nyaman dan tentram dengan keadaannya saat ini, para pemimpin menikmati kemewahan hidup di atas penderitaan rakyatnya, melakukan ketidakadilan seenaknya, memeras rakyat hingga mereka melarat, jumlah pengamen dan kemiskinan meningkat, demikian juga dengan pengangguran, dan bahkan ada mati kelaparan di bawah kolong jembatan. Sungguh mereka adalah pemimpin yang tidak manusiawi.
Gereja jangan sampai jatuh pada persoalan yang sama, yaitu merasa aman, nyaman, tentram yang palsu seperti yang dikecam oleh nabi Amos. Karena keadaan yang kita anggap aman, nyaman dan tentram itu justru membawa kita jatuh kelumpur duniawi, yang membuat gereja tidak berdaya, sehingga cenderung tidak memberikan sesuatu yang baik lagi kepada gereja, kemudian berlindung di balik mimbar gereja, dan menyampaikan firmannya sendiri atau bukan firman Tuhan lagi. Gereja seharusnya tetap pada tujuan utamanya. Apa tujuannya? Eka Darmaputera pernah menuliskan demikian:
“Gereja bukan sebuah yayasan sosial tempat orang yang tidak berusaha mencari derma. Ia bukan sebuah klub hiburan, tempat orang dapat melarikan diri dari kesulitan dunia. Ia bukan organisasi dagang, tempat orang mencari laba. Ia bukan partai politik, tempat orang mencari kursi dan kuasa”. Selanjutnya, “tempat kedudukan persekutuan ini adalah: Di dalam dunia. Ia tidak hidup di atas sorga: Tidak juga diantara sorga dan dunia. Ia, karena itu, harus dengan kedua kaki dan sepenuh hati, menyadari keberadaannya di dalam dunia ini.”
Semoga gereja tetap pada tujuan aslinya!
No comments:
Post a Comment