Thursday, 29 March 2012

SEGALA SESUATU TERBATAS OLEH WAKTU (Pengkhotbah 3:1-11)

Oleh: Sugiman

Hidup ini bagaikan menapaki jalan panjang yang tak pasti. Sungguh jalan yang membosankan dan melelahkan. Lumpur jalanan yang licin beserta kerikil-kerikil tajam bagaikan musuh sepanjang hidup, yang terus berusaha untuk menjatuhkan mereka yang kurang hati-hati. Bahkan tidak jarang kita merasa sudah sangat bosan dan kenyang dengan air mata. Inilah yang saya alami ketika orangtua satu-satunya, yaitu sewaktu bapak saya meninggal pada hari Jum’at 4 Februari 2011 silam. Pribadi yang sangat saya kasihi, yang saya harapkan dapat menjadi tongkat dan Matahari dalam hidup saya telah tiada. Kepergiannya telah menorehkan luka batin yang sangat dalam dan menyakitkan. Bahkan, saya merasa bahwa Tuhan terlalu cepat mengambil dia dari dunia ini. Dalam hati saya bertanya: apakah Tuhan tidak merasa kasihan melihat saya hidup mengembara di padang belantara seorang diri, dan tidak punya tempat untuk berteduh? Tetapi Tuhan tetap hening.

Harapan pasti untuk menjalani hidup seakan menjadi sirna dan hilang tanpa bekas. Sungguh, hidup ini terasa sangat berat untuk di jalani seorang diri. Bahkan, saya merasa bahwa hidup ini sangat kosong, hampa, gersang, tandus, sia-sia dan tanpa makna apapun. Mungkin Anda juga pernah merasakan hal yang sama, yaitu seperti yang saya rasakan, terutama ketika ditinggalkan oleh orang-orang yang sangat kita sayangi dan kasihi. Tetapi itulah konsekuensi bagi mereka yang masih hidup di dunia, terutama mereka yang masih sadar dan memiliki naluri atau hati nurani. Karena tidak sedikit orang yang hampir kehilangan hati nurani dan belas kasihan lagi. Bahkan mungkin ada yang sudah hampir hilang. Karena itu, tidak heran mereka sering melakukan pekerjaan yang tidak mendatangkan kebaikan bagi dirinya sendiri dan sesamanya. Mereka mengambil barang milik orang lain seenaknya, menyakiti hati orang lain sesukanya, dan bahkan menghilangkan nyawa orang lain tanpa merasa bersalah. Mengerikan. Hati nurani yang telah hampir sirna, kasih yang telah menjadi dingin sangat mengerikan.

Akan tetapi, bagi mereka yang masih memelihara kemurnian hati nurani, merasa sangat tersiksa ketika kehilangan orang-orang yang sangat mereka kasihi. Tidak mudah menerima realita hidup dengan hati yang ikhlas. Jujur saya akui, bahwa sampai saat ini pun saya belum bisa menerima, apalagi melupakan peristiwa yang terjadi pada hari Jum’at, 4 Februari 2011 silam. Namun demikian, kesedihan yang mendalam sekalipun tidak dapat mengubah keadaan seperti semula. Memelihara luka batin yang mendalam juga tidak dapat mengembalikan waktu yang telah berlalu. Karena waktu tidak bisa diajak bernegosiasi atau kompromi. Ketika waktu mengatakan tidak, maka itu adalah keputusan mutlak yang tidak bisa dirubah dan digangu gugat oleh manusia. Sungguh, kehilangan orang-orang yang sangat kita kasihi sangat menyakitkan.

Duka adalah duka, luka batin adalah luka batin, kesenangan adalah kesenangan, kebahagiaan adalah kebahagiaan, dan sukacita adalah sukacita. Semua itu ada waktunya. Dalam konteks itulah penulis kitab Pengkhotbah mengatakan, bahwa segala sesuatu ada masanya, dan untuk apapun di bawah langit ada waktunya, yaitu: Ada waktu untuk lahir, ada waktu untuk meninggal, ada waktu untuk menanam, ada waktu untuk mencabut yang ditanam; ada waktu untuk membunuh, ada waktu untuk menyembuhkan; ada waktu untuk merombak, ada waktu untuk membangun;  ada waktu untuk menangis, ada waktu untuk tertawa; ada waktu untuk meratap; ada waktu untuk menari; ada waktu untuk membuang batu, ada waktu untuk mengumpulkan batu; ada waktu untuk memeluk, ada waktu untuk menahan diri dari memeluk;  ada waktu untuk mencari, ada waktu untuk membiarkan rugi; ada waktu untuk menyimpan, ada waktu untuk membuang; ada waktu untuk merobek, ada waktu untuk menjahit; ada waktu untuk berdiam diri, ada waktu untuk berbicara; ada waktu untuk mengasihi, ada waktu untuk membenci; ada waktu untuk perang, ada waktu untuk damai (Pengkhotbah 3:2-8). Semua ada waktunya.

Setelah mengatakan semua ada waktunya, apakah penulis kitab Pengkhotbah berhenti sampai di situ dan menerima hidup ini apa adanya? Atau membiarkan hidup ini datar karena semuanya telah ditentukan oleh Tuhan? Atau, apakah penulis kitab pengkhotbah ingin mengatakan, bahwa lakukan apa saja yang kamu inginkan, karena segala sesuatu ada waktunya? Oh tidak. Mari kita perhatikan ayat 9-11!

Pada ayat 9 dikatakan dengan sebuah kalimat tanya: Apakah untung pekerja dari yang dikerjakannya dengan berjerih payah? Kalimat tanya ini adalah untuk menegaskan, bahwa setiap orang harus menggunakan waktunya sebaik mungkin untuk hal-hal yang penting, bermakna dan mendatangkan kebaikan dalam hidup ini. Dengan demikian, waktu tidak terbuang secara sia-sia. Perhatikan kata yang digunakan untuk waktu, yaitu kairos. Kata “kairos” adalah menunjuk kepada sebuah momentum atau kesempatan yang sangat berharga, jika tidak diambil atau dibiarkan lewat begitu saja, maka “kairos” itu akan lewat dan tidak akan pernah kembali lagi.

Artinya, jangan habiskan waktu kita untuk mengerjakan pekerjaan yang tidak mendatangkan kebaikan. Sibuk memikirkan kapan waktu lahir, kapan wakmtu meninggal, kapan waktu menanam, kapan waktu mencabut, membunuh, menyembuhkan, merampok, membangun, menangis, tertawa, meratap, menari, membuang batu, mengumpulkan batu, memeluk dan seterusnya…….. Sungguh, menyibukan diri dan memikirkan semuanya itu hanyalah kesia-siaan belaka dan usaha menjaring angin. Hanya mereka yang manfaatkan waktu semaksimal mungkin, seefektif mungkin atau sebaik mungkinlah, yang merasakan bahwa hidup ini sangat berarti dan keabadian. Karena ada saatnya Anda, saya dan mereka tidak dapat melakukannya. Melakukan apa?

Perhatikan ayat 10-11 di katakan demikian:  10 Aku telah melihat pekerjaan yang diberikan Allah kepada anak-anak manusia untuk melelahkan dirinya.  11 Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya, bahkan Ia memberikan kekekalan dalam hati mereka. Tetapi manusia tidak dapat menyelami pekerjaan yang dilakukan Allah dari awal sampai akhir. Kedua ayat ini merupakan kalimat kunci untuk memahami ayat 1-9. Perhatikan kalimat pekerjaan yang diberikan Allah kepada anak-anak manusia. Penulis kitab Pengkhotbah sangat sadar, bahwa Allah telah memberikan pekerjaan kepada manusia, yang harus dilakukannya. Dan bukan melakukan pekerjaan yang tidak diberikan oleh-Nya. Namun demikian, pekerjaan yang diberikan Allah kepada manusia itu adalah pekerjaan yang melelahkan. Kata melelahkan di sini menunjuk kepada sebuah pengorbanan, kerelaan, ketulusan dan keikhlasan dalam mengerjakan pekerjaan-Nya. Bukan karena keterpaksaan, berat hati, bersungut-sungut, dan tidakm ikhlas.

Selanjutnya, kata melelahkan pada ayat 10 juga menunjuk kepada konsekuensi atau beban yang sangat berat, yang pasti dialami oleh mereka yang melakukan pekerjaan-Nya, yaitu penolakan, penghinaan, pelecehan, dan bahkan penganiayaan karena kebenaran atau karena melakukan pekerjaan yang diberikan Allah. Tetapi melalui penulis kitab Pengkhotbah, Allah seolah-olah ingin mengatakan kepada kitam, bahwa: lakukanlah pekerjaan-Ku selagi masih ada waktu, karena ada saatnya kamu akan menyesalinya ketika kamu tidak dapat melakukannya!. Kapan itu? Tidak ada yang tahu, kecuali Dia. Yang jelas, bahwa Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya. Tetapi tidak untuk semua orang. Artinya, mereka yang menggunakan waktu sebaik mungkin untuk hal-hal yang mendatangkan kebaikan adalah orang yang menikmati waktu yang indah itu. Dengan kata lain, tidak untuk mereka menyia-nyiakannya. Kalimat ini memberikan gambaran, bahwa manusia itu sangat terbatas dan rapuh, yaitu tidak dapat menebak, meramal atau meraba-raba dan tidak dapat mengetahui kapan Tuhan melakukan segala sesuatu.

Bahkan dari awal sampai akhir dikatakan, manusia tidak dapat menyelami, mengetahi pekerjaan yang dilakukan Allah. Meskipun demikian, Allah tetap mengatakan, supaya manusia tetap melakukan pekerjaan yang telah Dia berikan. Itulah sebabnya, Allah memberikan kekekalan dalam hati manusia. Kata kekekalan di sini menunjuk kepada pekerjaan yang dilakukan dengan hati nurani pasti mendatangkan kebaikan murni atau asli, dan bukan palsu. Artinya, hanya pekerjaan yang dilakukan dengan hati nurani, ikhlas, tulus, kerelaan, penuh kerendahan hati yang memiliki nilai kekekalan. Dan kekekalan itulah yang diingat semua orang yang menyaksikannya, sekalipun pelaku nilai kekekalan itu telah tiada. Sebaliknya, mereka yang tidak akan menyesali nasibnya ketika ia tahu dan melihat Allah membuat segala sesuatu indah pada waktunya.

Karena itu, selama masih ada waktu, lakukanlah segala pekerjaan dengan hati yang ikhlas, tulus, penuh kerelaan, penuh kerendahan hati, Tuhan telah memberikan kekekalan dalam hati setiap orang, yaitu supaya menyadari bahwa semua pekerjaan baik dan mendatangkan kebaikan bagi dirinya sendiri dan semua orang adalah pekerjaan yang diberikan oleh Allah. Dalam konteks inilah Henry van Dyke mengatakan, bahwa: Waktu terkadang terlalu lambat bagi mereka yang menunggu, terlalu cepat bagi mereka yang takut, terlalu panjang bagi mereka yang gundah, dan terlalu pendek bagi mereka yang bahagia. Tetapi bagi mereka yang selalu mengasihi, waktu adalah keabadian. Dan Mother Teresa mengatakan: Tuhan tidak meminta kita untuk sukses. Dia hanya meminta kita untuk mencoba. Mencoba apa? Ya sudah pasti mencoba melakukan pekmerjaan yang diberikan oleh Allah. Oleh sebab itu, saya katakan selamat mencoba melakukan pekerjaan-Nya!

No comments:

Post a Comment