Thursday 22 March 2012

ESENSI YANG TERABAIKAN DALAM DOA BAPA KAMI (Matius 6:9-13)

 Oleh: Sugiman

Siapa yang tidak kenal dan hafal dengan Doa Bapa Kami? Saya yakin, hampir setiap umat hafal dengan fasih. Ini memperlihatkan, bahwa Doa Bapa Kami adalah doa yang sangat terkenal dalam agama Kristen. Gereja-gereja tua (GKI, GKE, HKBP, GKPI, GKP, GKPM dst) biasanya mengunagakan doa ini sebagai penutup atas doa syafaat. Setiap Minggu, di dalam gereja, doa ini dikumandangkan oleh seluruh umat secara bersama-sama. Semuanya hafal, fasih, yaitu mulai dari kata-kata hingga titik dan komanya. Luar biasa sekali. Tetapi yang menjadi pertanyaan saya adalah, apakah semuanya mengerti dengan esensi terdalam yang tersirat dalam doa itu sendiri? Menurut saya, sebagian besar umat Kristen tidak mengerti dengan esensi terdalam itu, dan itulah yang sering diabaikan oleh umat Tuhan, termasuk oleh para pemimpinnya. Mengapa demikian? Karena hampir setiap pemimpin gereja (Pastor, Suster, Pendeta, Vikaris dst) engan untuk menjelaskannya. Mengapa? Menurut saya, paling tidak ada dua jawaban: pertama, para pemimpin agama menganggap bahwa umatnya sudah tahu, karena itu ia pasti mengerti. Sangat keliru, karena frasa “sudah tahu” dan “sudah mengerti” itu sangat jauh berbeda. Kedua, mungkin karena pemimpin agama hanya tahu, tetapi tidak mengerti, sehingga ia lebih memilih diam.

Semua umat dan pemimpinnya memang sudah tahu dan hafal secara fasih dengan Doa Bapa Kami, namun memahami dan mengerti esensinya adalah hal yang tidak boleh diabaikan. Seharusnya, para pemimpin umat tidak mengabaikan hal itu. Karena ketika Yesus mengajarkan doa itu kepada para murid-Nya bukan hanya untuk dihafal, melainkan untuk dimengerti. Tetapi itulah yang sering diabaikan oleh gereja saat ini. Karena itu, melalui posting ini saya mengajak para pembaca untuk memahami esensi terdalam yang tersirat dalam Doa Bapa Kami.

Pembahasan

Doa Bapa Kami dimulai dengan kalimat: “Bapa kami yang di sorga, Dikuduskanlah nama-Mu” (ayat 9). Perhatikan frasa “Bapa kami”! Frasa ini ingin memperlihatkan bahwa doa itu sangat membutuhkan hubungan baik, yaitu seperti hubungan Bapa dan anak. Kemudian frasa di sorga dan dilanjutkan dengan kalimat “Dikuduskanlah nama-Mu adalah menunjuk kepada posisi atau kedudukan tertinggi dan kekudusan dari sang Bapa (Tuhan). Dengan demikian, kode etik atau cara kita berkomunikasi, berbicara atau berdoa kepada Bapa harus sopan dan dengan penuh kerendahan hati supaya tidak menodai kekudusan-Nya. Misalnya, saat kita berbicara dengan pak polisi, tentara, mentri dan bahkan presiden kita, harus menunjukan sikap yang paling sopan dan memperhatikan kualitas bahasa yang kita gunakan saat berbicara. Nah, apa lagi kepada Tuhan. Tapi realita memperlihatkan, bahwa tidak jarang jemaat dan bahkan pemimpin umat berdoa sambil angkat kaki. Pertanyaan saya adalah apakah itu cara yang sopan? Atau begitukah cara kita meminta, berkomunikasi atau berbicara kepada Bapa? Kita memanggil Dia Bapa, tetapi kita terkadang tidak berlaku sebagai anak-Nya. Karena itu, tidak jarang seseorang menodai kekudusan-Nya dan tidak berlaku sebagai anak Sang Khalik yang kita panggil Bapa.

Selanjutnya pada ayat 10 dikatakan: “datanglah Kerajaan-Mu, jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di sorga”. Kalimat di atas menunjuk kepada sebuah permohonan si pendoa, bahwa kerajaan Allah harus terjadi sesuai dengan kehendak-Nya dan bukan sesuai dengan kehendak si pendoa. Namun kenyataannya, adalah betapa seringnya kita memaksakan kehendak kita, yaitu supaya terjadi sesuai dengan keinginan dan rencana kita. Artinya, alangkah sulitnya bagi kita untuk memberikan tempat atau membiarkan kehendak Tuhan itu terjadi secara alamiah, dibandingkan merendahkan diri kita di hadapan-Nya. Hanya mereka yang berlaku sebagai anaklah yang ikhlas, tulus dan dengan penuh kerendahan hati untuk mengizinkan kehendak-Nya terjadi secara alami. Keikhalasan, ketulusan, dan kerendahan hati itu sangat dibutuhkan saat kita berdoa atau berbicara kepada Tuhan (Bapa). Karena hanya mereka yang tidak tulus, ikhlas dan tidak mau merendahkan hatinyalah yang menuntut balasan atau imbalan atau yang menginginkan segala sesuatu terjadi berdasarkan kehendaknya (bukan kehendak Tuhan). Selain itu, makna frasa “datanglah kerajaan-Mu” sebenarnya juga adalah sebuah permohonan, yaitu melalui kehadiran kita di dalam dunia ini, kiranya dapat menjadi sarana atau media untuk menghadirkan kerajaan Allah di dalam dunia yang penuh dengan kejahatan. Dengan demikian, dunia yang dipandang sebagai neraka oleh mereka yang disakiti kehidupan akan merasakan suasa surga. Banyak orang berpikir bahwa surga itu indah, damai, sejahtera, tidak ada tangisan, tidak ada pembunuhan dan kejahatan lainnya, tetapi mereka menolak untuk menghadirkannya di dalam dunia. Seharusnya suasana surga itu kita bawa ke dalam dunia ini, supaya surga itu menjadi nyata, terasa dan tidak menjadi impian yang samar-samar dan kabur.   

Selanjutnya, pada ayat 11 dikatakan: “Berikanlah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya”. Kalimat pada ayat 11 ini mengajarkan kepada kita supaya senantiasa mengucapsyukur atas apa yang telah Tuhan berikan, dan apa yang telah kita terima dari-Nya. Perhatikan kalimat “berikanlah kami pada hari ini”! Kalimat ini sangat erat kaitannya dengan kata “secukupnya”, yaitu di mana setiap orang yang telah meminta harus selalu dan senantiasa mencukupkan diri dengan apa yang telah dia terima. Perhatikan frasa “hari ini”! Bukan besok, lusa dan selamanya, tetapi “hari ini”. Ini tidak berarti, yaitu apa yang telah kita dapatkan hari ini harus dihabiskan hari juga, tetapi bersyukurlah atas apa yang telah engkau terima hari ini, dan kalaupun bisa sampai besok itu juga tidak mengurangi nilai ucapan syukur kita kepada-Nya. Yang penting “secukupnya”. Karena hanya mereka yang senantiasa mengucapsyukurlah yang bisa merasakan hidup “secukupnya”, dan kalau lebih dari cukup juga syukur atal benar.

Tetapi realita memperlihatkan, bahwa sebagian besar orang, termasuk orang Kristen tidak pernah merasa cukup dengan apa yang telah dia terima. Bahkan jatah orang lain pun diambil, dirampas dan dicurinya. Mengapa? Karena tidak merasa cukup dan tidak bisa mengucapsyukur. Itulah sebabnya korupsi semakin menjadi-jadi. Mereka korupsi bukan karena tidak punya uang, melainkan banyak uang. Tetapi karena tidak merasa cukuplah, keserakahan mereka rela membiarkan dirinya diperbudak atau menjadi hamba uang, dan rasa cukup itu jauh dari mereka. Pada dasarnya, manusia itu tidak akan pernah merasa cukup jika mereka tidak pernah bersyukur dan mencukupkan diri. Artinya, hanya mereka yang merasa cukuplah yang dapat mengucapsyukur kepada-Nya dengan sepenuh hati.

Ayat 12-13 merupakan lanjutan dari ayat 11. Dikatakan demikian: “dan ampunilah kami akan kesalahan kami, seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah kepada kami; dan janganlah membawa kami ke dalam pencobaan, tetapi lepaskanlah kami dari pada yang jahat” (ayat 12-13).

Menurut saya, ayat 12 ini merupakan kalimat yang sangat sulit dan sangat berat diungkapkan. Bahkan, setiap kali menaikan Doa Bapa Kami hati saya merasakan tertusukan oleh sebuah pedang bermata dua saat mengungkapkan kalimat “dan ampunilah kami akan kesalahan kami, seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah kepada kami”. Sekalipun dalam kalimat itu ada kata “kami” tetapi menusuk secara pribadi. Saya merasa bahwa sering kali kita tidak dapat mengampuni orang-orang yang sering menyakiti hati kita, yang sudah membuat kita teraniaya, terlukai, sementara kita meminta supaya Tuhan memberikan pengampunan sesuai dengan apa yang telah kita berikan. Artinya, sejauh mana kita mengampuni orang-orang yang telah menyakiti, mengecewakan, menyiksa, dan menganiaya kita, maka sejauh itulah Tuhan juga mengampuni kita. Sangat dilematis. Jika kita hanya mengampuni mereka dengan setengah hati, maka Tuhan pun akan mengampuni kita dengan setengah hati. Inilah pergumulan yang paling berat dan yang paling sulit saya lakukan. Tetapi harus dilakukan. Setidaknya, kita telah belajar mengampuni mereka dengan sepenuh hati, dan itu jauh lebih penting dari pada diam dan untuk balas dendam. Karena Yesus tetap mengatakan, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka lakukan. Sangat berat, tetapi harus dilakukan, dan itulah yang dilakukan Yesus selama hidup-Nya, terlebih di saat Dia di atas kayu salib, yaitu menjelang kematian-Nya.

Kemudian, dalam ayat 13 merupakan sebuah permohonan, yaitu supaya tidak dibawa ke dalam pencobaan, tetapi dilepaskan dari pada yang jahat. Namun demikian, Tuhan tidak pernah membawa kita ke dalam pencobaan, dan Dia selalu melepaskan atau meluputkan kita dari pada yang jahat. Hanya kita sendirilah yang suka mencobakan diri (suka coba-coba melakukan hal-hal yang tidak mendatangkan kebaikan dalam hidup kita) dan tidak mau dilepaskan oleh Tuhan saat kita berada dalam lumpur dosa. Kita merasa sangat sayang dan bahkan tidak mau meninggalkannya, tetapi terkadang Tuhan memaksa dan menarik kita dengan tangan-Nya yang kuat, sehingga terkadang kita harus meneteskan menahan rasa sakitnya. Mengapa? Karena kita telah merasa nyaman dengan kenikmatan dunia yang kontemporel (bersifat sementara). Misalnya, orang yang telah terbiasa hidup dalam dunia seks bebas atau narkobais, mereka akan merasa tersiksa ketika dikeluarkan dari sana. Bahkan jika tidak dibantu oleh orang lain, dia tidak mau melepaskan dirinya. Demikian juga dengan mereka yang sudah terbiasa hidup mewah di dalam dunia korupsi, juga akan merasa sangat sulit untuk melepaskan dan meninggalkannya, kecuali dengan cara memaksa diri sendiri dan siap menahan sakitnya.

Kemudian Doa Bapa Kami ditutup dengan kalimat: (Karena Engkaulah yang empunya Kerajaan dan kuasa dan kemuliaan sampai selama-lamanya. Amin). Dalam teks aslinya memang tidak ada kalimat di atas. Perhatikan teks aslinya berbunyi demikian: “kai mê eisenenkês hêmas eis peirasmon, alla rhysae hêmas apo tou ponerou” (ayat 13). RSV (Revised Standard Version tahun 1952) menterjemahkan demikian: “And lead us not into temptation, But deliver us from evil.” Ini memperlihatkan, bahwa kalimat yang ada dalam kurung di atas merupakan tambahan kemudian, yang disesuaikan dengan doksologi (nyanyian diakhir kebaktian) liturgi gereja mula-mula. Dalam kebaktian gereja mula-mula, kalimat tambahan di atas dinyanyikan secara bersama-sama pada akhir kebaktian. Tradisi menyanyikan himne pendek ini adalah diturunkan dari praktik serupa yang dilakukan di sinagoga Yahudi untuk mengakhiri suatu doa/ibadah.[1] Karena itu, Doa Bapa kami juga diakhiri dengan doksologi, yang harus dinyanyikan secara bersama-sama setelah Doa Bapa Kami dikumandangkan, yaitu “Karena Engkaulah yang empunya Kerajaan dan kuasa dan kemuliaan sampai selama-lamanya. Amin”. Tetapi yang lebih penting dari kalimat tambahan di atas adalah pengakuan tunggal terhadap kemahakuasaan Tuhan, sebagai Bapa, yang adalah pemilik Kerajaan dan Kuasa, dan Kemuliaan sampai selama-lamanya. Atau bukan untuk sementara, tetapi selama-lamanya, kemudian di tutup dengan kata Amin, yang artinya iya dan benar.


[1] Lihat Doxology - Menurut sebuah artikel di Catholic Encyclopedia

2 comments:

  1. Horas, Syalom........
    saya mau bertanya amang, setelah saya membaca nyanyian doksologi trsebut, timbul pertanyaan siapakah yang pertama sekali menciptakan melodi dari nyayian doksologi tersebut ?
    terimakasih.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Secara personal memang identitas dari si pencipta doksologi yang terkandung di akhir doa Bapa Kami tidak dapat dipastikan namanya. Tetapi itu ada kaitannya dengan para seniman di bidang nyanyi-nyanyian yang mengabdikan dirinya dalam peribadatan umat di Sinagoge-sinagoge saat itu. Tujuan dari si pencipta mungkin supaya umat menghayati imannya dalam relasinya dengan Tuhan. Dengan demikian diharapkan kehadiran umat dalam ibadah tidak hanya bersifat seremonial dan memahami Doa Bapa Kami secara dangkal. Melainkan ada esensi terdalam yang tak dirasakan oleh sebagian besar orang. Termasuk oleh umat Kristiani saat ini, yang hafal Doa Bapa Kami, tetapi tidak memahami esensi utama yang tersirat di dalamnya.

      Delete