Oleh: Sugiman
Siapakah Orang Dayak itu?
Dalam hal ini ada banyak perbedaan yang diberikan untuk menyebut suku Dayak, ada yang bernada memuji tapi kebanyakan mencela: David Jenkins dan Guy Sacerdoty menggambarkan orang Dayak sebagai “the legendary wild man of Borneo”, Ave dan Viktor King melukiskan sebagai “the people of the weaving fores” selain itu ada juga yang mengambarkan sebagai “the headhunters of Borneo”[1]. Mungkin yang disebut “Punan” oleh Ade M. Kartewinata juga menunjuk kepada suku Dayak. Karena Dayak merupakan suku pedalaman Kalimantan Barat.[2]
Sebelum Indonesia merdeka, Dayak sebagai kata ejekan yang memilukan hati. Semua tindakan yang menyimpang disebut Dayak, siapa yang tidak mau masuk Islam disebut Dayak, yang menyimpang disebut Dayak. Dayak berarti kafir, kotor, tidak mau diatur, buas, liar, gila, terbelakang dan tidak berbudaya. Mereka disebut demikian karena tidak mau masuk Islam atau mereka yang murtad dari Islam. Bahkan setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 tidak mampu menghapuskan Litani minor ini atau identitas ke-Dayak-an tidak bisa dilepaskan karena sudah melekat pada pola pikir mereka.
Meskipun sebenarnya sudah tidak terasa lagi nada minor itu. Sehingga dalam diskurus pembangunan dan modernisasi dewasa ini mereka dikenal sebagi “peladang berpindah”, “suku terasing”, “perambah hutan”, “suku pengembara”, dan “orang terbelakang”. Oleh sebab itu budaya mereka harus dihilangkan, pola pertanian harus diubah yang diusulkan oleh mereka yang besar, rakus ingin menguasai, mengekploitasi hak orang lemah.
a) Masyarakat Lisan
Dalam kebudayaan masyarakat suku Dayak, tradisi lisan[3] memainkan peranan yang sangat penting. Stepanus Djueng[4] mengatakan bahwa “tradisi lisan adalah landasan kesadaran diri dan otonomi suku bangsa ketika berhubungan dengan dunia luar”. Dengan demikian hal itu menjadi salah satu identitas kolektif bagi masyarakat suku Dayak. Bersamaan dengan itu, King dan Ave menyebut, bahwa tradisi lisan itu sebagai media untuk menyampaikan pandangan mereka tentang kehidupan dan makanan, tentang kematian dan realitas kehidupan setelah kematian. Melalui tradisi lisan inilah jatidiri dan eksistensi mereka dibentuk.
Perlu diketahui bahwa setiap suku Dayak memiliki “tradisi lisan” sendiri-sendiri dan bahkan ada yang lebih dari satu. Misalnya suku Dayak Simpang memiliki 20 jenis tradisi lisan, suku Dayak Kanayan memiliki 23 jenis, kesamaan lain juga dimiliki oleh suku Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah[5]. Akan tetapi yang menarik adalah bahwa pada dasarnya semua itu memiliki asal-usul cerita atau corpus yang sama. Pener M. Kedit yang mengatakan “There are indications that some ethnic groups share common legends, folklores and adat customs through similar oral traditions” (1980). Sinaga juga mengungkapkan “identity is shared-common to a group” (1988).
Dengan demikian dapat diklasifikasikan bahwa suku Daya di Kalimantan memiliki kesamaan yang pada prinsip adalah sama. Tradisi ini penting karena merupakan penghubung generasi masa lalu dengan masa depan yang berkesinambungan seperti: pola pikir, perkataan sehari-hari dan perilaku secara individual maupun kelompok (bnd. J.J.Kusni, 1994). Tetapi yang pasti ada perbedaan dengan masa sebelum mengenal moderenisasi[6]. Jadi komunikasi lisan dan tradisi lisan ini adalah sangat kompleks dalam kebudayaan suku Dayak.
b) Hubungan Integral Dengan Tanah
Tanah adalah suatu entitas yang integral. Artinya setiap sub-sub tanah suku Dayak, tanah memiliki kesatuan hukum adat yang sering disebut sebagai Binua. Batas-batas yang telah ditentukan bersama tidak boleh diingkari. Di dalam Binua itu terdapat suatu masyarakat yang memiliki seperangkat hukum dan individu-individu yang diangkat oleh rakyat untuk mengerakan hukum (aturan) tersebut. Tanah tidak hanya berfungsi ekonomis. Melainkan juga sebagai basis politik, sosial, budaya dan spiritual. Ada beberapa komponen untuk kita memahami Binua di atas sebagai berikut:
Pertama : kawasan hutan yang dilindungi untuk masa depan. Setiap individu bebas memungut hasil dari hutan tersebut, misalnya seperti berburu, mengambil kayu untuk keperluan pribadi. Sedangkan “yang lain” (suku Dayak yang tinggal ditempat lain) harus mendapat izin dari masyarakat setempat.
Kedua, : lahan yang ditanami dengan pohon buah-buahan. Memang tanah dan tanaman yang ada adalah milik individu atau pribadi, akan tetapi ketika sudah masak, maka setiap orang bisa mengambil atau setiap orang berhak untuk memungutnya.
Ketiga, : lahan perkebunan adalah milik individu, dan tanah ini dapat diwariskan kepada keturunan individu tersebut.
Keempat, : tanah-tanah pertanian terbagi menjadi dua, tanah pertanian yang sedang digunakan dan tanah pertanian yang sedang diistirahatkan.
Kelima, : tanah pekuburan dan tanah keramat, yakni adalah tanah kolektif masyarakat, yang tidak dapat diladangi atau diambil kayunya.
Keenam, : lahan perkampungan. Lahan ini terdiri dari tapak rumah dan halaman individu-individu. Ketujuh, : sungai dan danau untuk perikanan. Bagian ini dimiliki secara kolektif oleh masyarakat tertentu dan diatur oleh hukum adat.
c) Pandangan Tentang Jagad Raya
Menurut masyarakat Dayak, dunia dan segala isinya diciptakan oleh Yang Maha Tinggi. Untuk mengetahi konsep-konsep ketuhanan itu, menurut Scharer (1963), seseorang harus menelaah sumber-sumber. Sumber yang dimaksud Scharer adalah tradisi lisan. Ia mengambarkannya sebagai sacred literature (sastra suci). Dalam pada itu, tiap-tiap benda dan makhluk di bumi ini memiliki semangat (the living spirit). Dalam beberapa sub-suku, semangat itu disebut Jubata, atau Duata. Oleh karena itu, benda-benda baik yang hidup maupun yang mati tidak boleh diperlakukan tidak senonoh. Jika melakukannya, maka pelakunya akan mendapat balasan yang setimpal.
d) Rumah Panjang : Keseimbangan Individu dan Kelompok
Masyarakat Dayak sebelum tahun 1950 pada umumnya hidup dalam komunitas rumah panjang (rumah panjai, batang, betang, radang). Rumah itu terdiri rumah-rumah keluarga yang bersambungan menjadi satu. Juga merupakan jantung kebudayaan Dayak. Di situ belangsung pendidikan bagi putra-putri Dayak. Orang-orang tua menuturkan sejarah keberadaan, adat-istiadat, nilai-nilai sosial dan budaya.
e) Padi Centris
Padi, adalah salah satu ciri terpenting dalam kehidupan sosial budaya suku bangsa Dayak. Upacara-upacara ritual sepanjang tahun pada dasarnya didasarkan pada siklus penanaman padi. Padi tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan religius suku bangsa Dayak. Anggota suku yang selalu mendapat banyak padi dalam berladang dianggap sampbadi (orang beriman, taat dan taqwa).
Masyarakat suku Dayak meyakini bahwa diluar mereka ada kekuatan yang lebih besar dari kekuatan-kekuatan yang mereka miliki. Salah satunya adalah Jubata (Tuhan kesuburan) yang diyakini memlihara, memberkati dan sekaligus mengutuk jika tidak taat. Kepadanya harus diberikan sesajen atau persembahan sukur supaya ia tidak mengamuk atau tidak marah dan tidak mendatangkan malapetaka atas kehidupan keluarga mereka. Atau meninggalkan mereka pergi. Maka supaya diberkati khususnya dalam hal pertanian,yakni sebelum bertani terlebih dahulu memberi makan Jubata supaya ladang atau sawah mereka diberkati, dipelihara dari hama atau binatang-binatang hutan yang lain[7].
Demikian juga saat panen padi, yaitu penyembahan kepada Jubata adalah hal yang terutama dan pertama dilakukan. Di samping itu masih ada banyak lagi kuasa-kuasa gelap lainnya yang diyakini oleh orang Dayak, namun kuasanya tidak lebih besar dari kuasa yang dimiliki oleh Jubata.
Budaya adalah Identitas
Seperti halnya suku-suku lain, suku Dayak yang ada di Kalimantan juga memiliki budaya dan itulah identitas yang tidak boleh dihancurkan atau dirusak oleh agama mana pun. Jika mereka yang beragama menjadi alat penghancur budaya tertentu, maka sama artinya dia merusak identitas sesamanya. Sumber penghancur dan yang suka merusak seharusnya bukan datang dari pihak mereka yang beragama, tetapi sebaliknya. Agama bukanlah paksaan, karena tidak mau maka harus dihina, dikatakan kafir dan sebagainya. Tetapi manusia beragama seharusnya memiliki kehidupan yang jauh lebih baik dari mereka yang tidak beragama. Agama juga bukan mesin penghancur, perusak, tetapi bengkel yang memperbaiki yang rusak. Seharusnya demikianlah fungsinya. Bukan memaksa dan bukan juga merendahkan, apalagi melecehkan. Jika pemahaman seperti itu tetap dipegang dan dipelihara, maka tidak ada bedanya dengan mereka yang tidak beragama. Karena itu, tetap pertahankan identitasmu suku Dayak.
[1] Yang dikutip oleh Stepanus Djueng, Kisah Dari Kampung Halaman-Masyarakat suku resmi dan pembangunan (Yogyakarta: Seri Dian IV/ Interfidei, 1996) 3-33.
[2] Koentjaraningrat, dkk, Masyarakat Terasing Di Indonesia (Jakarta: Gramedia Pustaka Umum, 1993), 100-18
[3] Yang dimaksud dengan tradisi lisan disini adalah segala pengetahuan yang dimiliki suku Dayak dan adat kebiasaan yang secara turun-temurun disampaikan secara lisan yang mencakup segala sejarah, legenda dan tradisi masyarakat suku Dayak.
[4] Seri Tradisi Lisan Nusantara-Metodologi Kajian Tradisi Lisan, (Editor: Pudentia MPSS) (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan Yayasan Asosiasi Tradisi Lisan, 1998),169-170.
[5] J.J. Kusni, Dayak Membangun, Masalah Etnisitas dan Pembangunan Kausus Dayak Ngaju, Jakarta: Paragon 1994: 33; lht. http://www.pangalajo.multiply.com/journal/item/8/ MENGAYAU ATAU PERANG oleh John Bamba.
[6] Banyak generasi yang muda tidak lagi meminati cerita-cerita yang dituturkan dari mulut ke mulut karena sudah ada yang dibukukan. Oleh sebab itu mereka lebih senang membaca terutama yang sudah modern. Alasan lain adalah pendidikan dan kesibukan-kesibukan lainnya.
[7] Band. David Hamburg,"Education for Conflict Resolution" 1995; Lihat: Thomas F. Homer-Dixon,"Environmental Scarcities and Violent Conflict: Evidence from Cases" Peace and Conflict Studies Program, University of Toronto, International Security, Vol. 19, No. 1 (Summer 1994), pp. 5-40) & "On the Threshold: Environmental Changes as Causes of Acute Conflict" ibid, Vol. 16, No. 2 (Fall 1991), pp. 76-116.http://www.ccpdc.org/pubs/ed/edfr.htm diakses terakhir di internet 03 Oktober 2009 jam 20.50. wib;
No comments:
Post a Comment