Monday 26 March 2012

PERBEDAAN KEPEMIMPINAN SAUL DAN DAUD

PEMIMPIN yang layak, bukanlah pemimpin yang tanpa cacat. Mengenai ini, seluruh Alkitab sepakat bersatu pendapat. Di mayapada ini, mana ada orang yang seratus persen sempurna. Yang membedakan seorang pemimpin dari yang lain, bukanlah karena yang satu murni, sedang yang lain kotor.

Ibarat secangkir kopi, semua pemimpin adalah perpaduan berbagai unsur. Campuran antara yang hitam dan yang putih. Ada pahitnya, ada manisnya. Ada "kopi"-nya, ada "gula"-nya. Hanya saja, di tengah persamaan mereka, ada orang yang dengan serius bersedia membereskan masa lalunya dan membenahi masa depannya. Namun sebaliknya, ada pula yang justru mengeraskan hati, menyembunyikan semua aibnya, membela diri, berlagak suci. Di sinilah perbedaan antara seorang pemimpin dan pemimpin lainnya. Dan karena perbedaan inilah, tidak semua tokoh dengan masa silam yang kelam, diberi kesempatan yang sama. Daud direhabilitasi, tapi Saul tidak. Petrus dipulihkan, sedang Yudas tidak.

PADA dasarnya, semua manusia itu sama. Anda. Saya. Mereka. Sama-sama merupakan campuran atau ramuan antara unsur-unsur "kebaikan" dan unsur-unsur "kejahatan". Sama-sama punya kecenderungan "ilahi" maupun "hewani". Begitu pula Saul dan Daud. Yudas dan Petrus. Sama-sama pernah terperosok ke lembah dosa. Sama-sama pernah terjerat erat oleh bisikan setan. Tapi mengapa "nasib" mereka kemudian berbeda? Ini yang perlu kita ketahui, agar andaikata, pada satu saat, kita terperosok juga, kita bisa bangun kembali seperti Daud; tidak seperti Saul terpuruk selama-lamanya. Bisa kian berbuah-buah seperti Petrus; tidak seperti Yudas mati konyol dengan perut terburai.

Jadi di mana - dari perspektif alkitab - letak perbedaan paling utama antara Saul dan Daud? Apakah karena yang satu "orang jahat", dan yang lain "orang baik"? Yang satu "anak tiri" Allah, dan yang lain "anak mas?" Ternyata tidak! Sudah pasti tidak! MARI kita mulai dengan SAUL. Tanpa kita sadari, betapa sering kita mengingat dan melihat Saul hanya dari "sisi gelap"nya semata. Saul, si raja durjana, manusia angkara murka, penindas yang lemah, sewenang-wenang, mabok kuasa! Gambaran yang salah dan berat sebelah! Dibandingkan dengan manusia yang cenderung menggeneralisasi segala sesuatu - semua orang Cina licik, semua orang Arab pelit --, alkitab jauh lebih jujur dan obyektif.

Saul misalnya. Dengarlah bagaimana, bak mempromosikan penampilan perdana seorang kandidat "Mister Universe", Alkitab memperkenalkan Saul. Begini, "(Kish ben Abiel) ada anaknya laki-laki, namanya Saul, seorang muda yang elok rupanya. Tidak ada seorang pun dari antara orang Israel yang lebih elok dari padanya. Dari bahu ke atas ia lebih tinggi dari pada setiap orang sebangsanya" (1 Samuel 9:2). Allah sendiri yang memilihnya menjadi raja Israel yang pertama. "Orang ini akan memegang tampuk pemerintahan atas umat-Ku" (9:17). Dan Roh Tuhan sendiri yang akan menguasainya serta menyertainya (10:6,7). Jangan Anda serta-merta men"cap" dia sebagai orang yang mabuk kuasa atau penindas si lemah. Alkitab mengisahkan apa reaksi spontannya, begitu Saul mendengar bahwa Tuhan, melalui Samuel, telah memilih dia. Sama sekali bukan seperti pemenang pemilu, yang dengan membusungkan dada -- tapi pura-pura merendah -- berkata, "Terima kasih banyak, Anda telah mempercayai saya. Insya allah, saya tak akan mengecewakan Anda". Tidak! Saul dengan tergagap-gagap tak percaya, berkata, "Bukankah aku seorang suku Benjamin, suku yang terkecil di Israel? Dan bukankah kaumku yang paling hina dari segala kaum suku Benyamin?" (9:21).

Ia juga bukan makhluk haus darah seperti banyak dibayangkan orang. Ketika pendukung-pendukung fanatiknya, dengan tujuan mengonsolidasikan kekuatan, mengusulkan agar semua lawan politik Saul disingkirkan dan dihabisi saja, Saul menolaknya. "Hari ini seorang pun tidak boleh dibunuh " (11:12-13). JADI bagaimana duduk perkaranya, sehingga riwayat Saul berakhir begitu tragis? Masalahnya, sekali lagi, bukanlah karena tak ada unsur-unsur kelebihan atau kebaikan pada Saul. Itu ada, dan banyak! Namun, seperti telah dikemukakan, dalam diri Saul - seperti halnya dalam diri setiap orang - selalu hadir dua kekuatan berlawanan yang saling bergulat, dan saling berebut dominasi. Agaknya, pada Saul, kekuatan yang destruktif-lah yang akhirnya memenangi pertempuran.

Ini, saudara, hendaknya menjadi peringatan dan pelajaran bagi kita semua. Yaitu bahwa potensi kebaikan yang ada di dalam diri kita, betapa pun besarnya, tidak secara otomatis berubah dan berbuah menjadi kenyataan. Bisa saja ia layu, kering, dan kemudian gugur hilang tak berbekas. Seperti tunas kecil, karena tak kuat menahan udara kering serta terik mentari. Karena itu, sungguh tak ada artinya apa-apa bila ada orang berkata, "Pada dasarnya, sebenarnya Pak Harto itu orang baik lho!" Pun tak ada manfaat atau dampak praktisnya sedikit pun, sekiranya ada puluhan juta orang menilai, "Mbak Ega itu sebenarnya potensi kepemimpannya luar biasa lho!".

Mengapa tak punya makna apa-apa? Karena pada akhirnya yang menentukan adalah kenyataannya. Potensi adalah unsur yang vital, benar, tapi apa ia terwujud menjadi kenyataan, itu yang soal. Niat baik itu perlu, tentu, tapi bagaimana kongkretisasinya, itulah sang penentu. Saya melihat begitu banyak potensi yang baik pada diri Anda. Apakah Anda juga menyadarinya? Sadarilah dan kenalilah kelebihan-kelebihan itu! Dan jangan jadikan itu mubazir atau sia-sia. Caranya? Dengan menjaganya, memeliharanya, memupuknya, dengan tekun dan teratur. Agar berbuah lebat dan bertumbuh subur. Tolong Anda ingat baik-baik! Pada setiap tanaman, selalu ada potensi untuk hidup dan bertumbuh. Namun sekaligus dengan itu, hadir pula potensi-potensi yang mematikan. Ulat. Hama. Serangga. Waspadai itu! Kenali! Dan bunuh mereka sebelum sempat bertumbuh!

SAYANG sekali, justru ini yang tidak dilakukan oleh Saul. Dan sering, banyak tidak disadari oleh pemimpin-pemimpin kita. Akibatnya, mereka yang pada awalnya dielu-elukan sebagai "penyelamat rakyat", akhirnya terguling dan dikutuk sebagai "penindas dan pemeras rakyat". Perubahan ini terjadi, melalui suatu proses yang begitu halusnya, sehingga tak tersadari oleh yang bersangkutan. Yaitu ketika semakin lama pemimpin-pemimpin itu semakin terbuai oleh nikmat kekuasaan yang membius. Merasakan nikmatnya kekuasaan, membuat tujuan mereka satu-satunya kini adalah, bagaimana melanggengkan kekuasaan yang nikmat itu. Bila semula "concern" mereka adalah "mengabdi rakyat", kini bagaimana membuat "rakyat mengabdi". Ini sebenarnya telah diingatkan Samuel, ketika Israel menuntut punya seorang raja. Bahwa penguasa itu hanya mengambil, tidak memberi. Mencengkeram, tidak membebaskan. (1 Samuel 8:10-18).

Ingatlah, wahai pemimpin, bahwa semakin lama Anda berkuasa, kekuasaan itu akan semakin membius Anda. Nikmat, memang, tapi berbisa. Sebab itu sebenarnya lebih aman, bila Anda mau membatasi kekuasaan Anda. Dan juga, jangan terlalu lama! Pada saat Anda merasakan nikmatnya madu kekuasaan, jangan Anda lupa, madu yang Anda hirup itu, adalah tetesan peluh, darah, dan air mata rakyat!

BANYAK yang tak dapat mengerti, mengapa "insiden" atau "kecelakaan" kecil yang dilakukan Saul itu, bisa membuat Allah begitu murka, dan menjatuhkan hukuman begitu berat. Anda pasti ingat apa "insiden" itu. Yaitu ketika, Saul bersalah mengambil alih tugas imam, memimpin ibadah korban. Ini dilakukannya, karena Samuel yang seharusnya bertugas, datang terlambat. Mengapa hukuman begitu berat, atas kesalahan begitu "kecil"? Jawabnya: karena di hadapan Allah, tidak ada kesalahan "kecil". Allah mau menjadi Tuhan dalam arti sepenuh-penuhnya. Dalam hal-hal "besar", juga untuk hal-hal "detil". Ia menuntut ketaatan dan disiplin yang total. Untuk hal-hal yang "prinsipal", juga untuk hal-hal yang "kecil".

Pelajaran penting di sini adalah, jangan abaikan yang "kecil-kecil"! Betapa sering dan betapa banyak pemimpin yang terserandung dan jatuh, bukan karena hal-hal besar, tapi karena ia tidak serius membereskan hal-hal kecil! Misalnya, Karena tidak mau segera mencabut akar korupsi, sebelum keburu besar. Atau membiarkan diskriminasi berlangsung, sebab hanya menyangkut kelompok-kelompok "kecil", "marjinal", "minoritas". Atau mengizinkan kebohongan, konon, karena demi kebaikan. Atau memaafkan pelanggaran HAM, dengan alasan "terpaksa" dan karena "kesalahan prosedur".

Rayap yang kecil, bila dibiarkan, dapat merobohkan rumah. Api yang kecil, bila tak segera dipadamkan, bisa membakar rumah. Hanya yang didapati setia dalam hal-hal kecil, layak dipercayakan tugas-tugas besar.



Sumber: Disadur dari khotbah almarhum Pdt. Eka Darmaputera

No comments:

Post a Comment