Oleh: Sugiman
Semua pekerjaan seharusnya dilakukan dengan hati nurani atau dengan segenap hati dan sesuai dengan kualitas atau keahlian atau kemampuan yang dimiliki seseorang. Tetapi realita memperlihatkan kebalikannya, yaitu di mana kualitas terabaikan oleh karena sejumlah uang. Alangkah kasihannya orang-orang yang memiliki kualitas dan keahlian dalam bekerja sesuai dengan bidangnya, tetapi karena tidak memiliki uang, mereka tersingkirkan dan terabaikan. Itulah realita di lapangan.
Ketika ingin jadi seorang polisi, harus menyerahkan sejumlah uang terlebih dahulu kepada pihak-pihak tertentu atau oknum tertentu supaya bisa lolos seleksi. Ketika seseorang ingin jadi dokter juga demikian, ketika ingin menjadi seorang PNS juga demikian, ketika seseorang ingin menjadi DPR juga demikian. Semua itu, adalah bentuk-bentuk kasus suap yang selalu “dilindungi”, “dipelihara”, dan dibudayakan di Indonesia. sekali lagi saya katakan, bahwa semua itu adalah realita yang sudah menjadi kebiasaan secara turun-temurun di negara Indonesia.
Beberapa teman dan tetangga kontrakan saya di Cikarang Baru mengatakan, bahwa setiap orang yang akan melamar kerja di PT atau di perusahan-perusahan yang ada di Cikarang Baru – JABABEKA – Bekasi harus menyerahkan atau membayarkan sejumlah uang kepada personalia (yang sudah senior, kepada HRD, Scurity dan bahkan kepada seseorang yang dekat dengan personalia tersebut). Katanya sih supaya lebih cepat prosesnya, dan dengan adanya uang muka (pungutan liar) itu dipastikan si pelamar sudah masuk, apalagi jika uang mukanya lebih dari standard (1,8 -2,5 juta/ orang dan bahkan mungkin lebih). Merasa tidak percaya berita itu saya abaikan begitu saja. Beberapa minggu kemudian seorang teman baik datang kepada saya supaya dicarikan pekerjaan di Cikarang Baru. Karena dia serius, maka saya pun segera membantunya untuk mengantarkan beberapa surat lamaran kepada beberapa prusahan di kawasan HYUNDAI, DELTA SILICON, EJIP dan sekitarnya di Cikarang Baru – JABABEKA – Bekasi.
Ketika kami sampai di kantor security, saya bertanya apakah ada lowongan pekerjaan di PT atau perusahan tersebut. Dengan suara lembut seorang security itu mengatakan kepada saya demikian: “jika bapak ingin bekerja di perusahan ini, harus membayar uang muka Rp 1,8 juta dulu pak”. Kenapa harus bayar pak? Tegas saya. Lalu dia menjawab: “itu sudah tradisi di sini pak”. Jika di perusahan lain juga sama ya pak? Tanya saya. “Semua perusahan seperti itu pak” tegas pak security. Lagi pula di mana pun sekarang harus uang dulu pak, bahkan untuk menjadi seorang security saja harus bayar uang muka Rp 1,5 juta, tegas pak security kepada saya. Dengan tenang saya mengatakan: “oh begitu?”. Kemudian saya langsung mengatakan: “ok pak terima kasih informasinya”, kami pun langsung pergi dan pulang ke kontrakan. Sesampai di kontrakan saya bertanya kepada teman saya: “kamu bawa banyak uang tidak”? tanya saya. Dia menjawab: “karena saya tidak punya uanglah makanya saya mau cari kerja”. Tapi pak security di perusahan tadi mengatakan: “setiap pelamar wajib menyerahkan sejumlah uang kepada pihak personalia”. Pembicaraan kami di atas kemudian siakhirinya dengan kalimat: “saya tidak jadi bekerja di perusahan, karena itu tempat khusus bagi mereka yang punya uang dan mau mengorbankan dirinya”.
Dari kalimat di atas, saya mencoba menyimpulkan, bahwa kedudukan uang menempati posisi tertinggi dalam hidup manusia, akibatnya, hampir semua aspek kehidupan diukur dengan uang, dan bahkan nyawa seseorang pun diukur dengan sejumlah uang. Karena uang manusia kehilangan hati nurani terhadap sesamanya. Karena itu, tidak heran jika seseorang tega membunuh sesamanya hanya karena supaya mendapatkan sejumlah uang. Uang juga menutup mulut dan telinga para pecundang, penghianat, pembohong supaya tidak mendengar, menyuarakan dan memperdengarkan suara kebenaran. Karena itu, tidak heran jika kasus korupsi di Indonesia menjadi-jadi, ketidakadilan juga telah menjadi rayap yang menggerogoti hukum-hukum keadilan, sehingga di tempat keadilan pun tidak ada keadilan, apalagi di luarnya.
Pertanyaannya adalah, apakah salah jika orang punya uang dan menjadi kaya karena uang? Jawabannya adalah sama sekali tidak salah, karena itu adalah hak setiap orang untuk mendapatkannya dengan cara-cara yang wajar dan halal. Tetapi akan menjadi salah jika cara yang digunakan untuk mendapatkan uang tersebut salah. Selanjutnya, uang juga tidak dapat dijadikan ukuran tunggal atas kualitas dan hati nurani seseorang, apalagi menyangkut nyawa seseorang. Seharusnya manusialah yang mengendalikan uang dan bukan sebaliknya, yaitu manusia dikendalikan oleh uang, tetapi itulah kesalahan yang dipelihara dan terus dilakukan oleh banyak orang. Demi uang, seseorang rela melakukan berbagai pekerjaan yang sebenarnya tidak mendatangkan kebaikan bagi dirinya dan sesama. Demi uang, seseorang rela mempertaruhkan harga dirinya, keluarganya, Tuhannya, agamanya, kebunnya, dan bahkan nyawanya sendiri. Uang seolah-olah menjadi Tuhan yang tidak teratasi oleh siapapun. Banyak hati nurani yang terabaikan, kualitas hidup yang terpingirkan, nyawa manusia melayang karena uang.
Dalam konteks pekerjaan misalnya, yaitu jika kita akui dengan jujur, di Indonesia sebenarnya ada banyak orang yang berkualitas, terdidik, terpelajar, pintar dan genius, tetapi selalu diabaikan, karena mereka tidak punya banyak uang. Berapa banyak orang pintar yang dikorban oleh para penyembah uang, para pemuja uang, para budak uang dan para pecinta uang lebih yang melebihi hati nilai manusia. Memang bila digunakan dengan benar dan bijaksana, uang mendatangkan kebaikan bagi diri sendiri dan sesama. Misalnya dengan uang kita bisa membantu sesama, membeli barbagai keperluan rumah tangga, menyekolahkan anak-anak, dan membeli berbagai kebutuhnan lainnya. Tetapi harus diingat juga, bahwa jika uang tidak digunakan dengan benar dan bijaksana, maka dapat mendatangkan malapetaka atas diri sendiri dan orang lain. Bagaimana tidak, uang dapat mengalahkan kepintaran seseorang, uang dapat mengalahkan suara kebenaran, uang dapat menghilangkan kedudukan, prestasi, dan bahkan nyawa seseorang. Tetapi harus diketahui, bahwa uang tidak dapat mengantikan dan membeli kebenaran atau suara yang lahir dari hati nurani seseorang.
Karena itu, ketika manusia dikendalikan oleh uang, maka yang ada dalam dirinya hanya uang, dan tidak ada yang lain. Seluruh hidupnya diabdikan kepada uang atau hidupnya hanya untuk uang. Kedudukan Tuhan pun terpinggirkan jika seseorang telah mempertuhan uang. Dalam konteks itulah Rasul Paulus mengatakan dalam suratnya kepada Timotius: “Karena akar segala kejahatan ialah cinta uang. Sebab oleh memburu uanglah beberapa orang telah menyimpang dari iman dan menyiksa dirinya dengan berbagai-bagai duka” (1 Timotius 6:10). Perhatikan frasa “cinta uang” dan “memburu uang”. Kedua frasa di atas mengatakan dengan gamblang, bahwa mencintai uang lebih dari kebenaran hanya akan mendatangkan kejahatan, membawa iman menyimpang dari kebenaran dan menyiksa dirinya dengan berbagai-bagai duka.
No comments:
Post a Comment