Wednesday 28 March 2012

MENGKOMUNIKASIKAN INJIL DALAM TRADISI SUKU DAYAK SALAKO

Oleh: Sugiman
Suku Dayak adalah penduduk asli pulau Kalimantan (Borneo) yang memiliki adat-istiadat lebih dari satu macam, serta kebiasaan-kebiasaan lainnya yang menyangkut kehidupan suku Dayak. Misalnya, bahasa, ritus/ritual, seni tari, tradisi lisan ritus saat panen padi, simbilisme, dan alam pikir/ pandangan hidup suku Dayak itu sendiri. Tidak mudah untuk menjelaskan itu semua, karena sangat kompleks. Karena itu, tidak mungkin dapat menjelaskan secara lengkap. Meskipun demikian tidak berarti tanpa makna, tetapi sangat sarat dengan makna kehidupan. Karena itu, sebelum mengkomunikasikan Injil Kristus ke dalam tradisi suku Dayak, maka ada baiknya kita melihat dan belajar dari budaya mereka. Dalam posting ini saya mencoba membahas beberapa point penting untuk kita dipelajari secara saksama, dengan demikian kehadiran Injil tidak menghilangkan budaya atau tradisi yang telah ada, tetapi memberi isi atau makna yang baru dalam tradisi itu sendiri.

Bahasa lisan

Dalam kebudayaan masyarakat suku Dayak, tradisi lisan[1] memainkan peranan yang sangat penting. Bahkan, Stepanus Djueng[2] mengatakan bahwa tradisi lisan adalah landasan kesadaran diri dan otonomi suku bangsa ketika berhubungan dengan dunia luar. Ini memperlihatkan, bahwa masyarakat suku Dayak sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kebudayaan yang dituturkan secara turun temurun dari nenek moyang mereka. Itulah sebabnya, para orang tua dipandang wajib untuk mendidik dan menurunkan tradisi lisan itu kepada anak-anaknya. Misalnya, menceritakan garis keturunan mereka, serta kepercayaan dan kebiasaan-kebiasaan yang telah nenek moyang mereka wariskan.

Meskipun semuanya diceritakan/ dituturkan dari mulut ke mulut secara turun-temurun, tetapi keaslian dari tradisi lisan itu tetap terpelihara dengan baik. Melalui tradisi lisan inilah jati diri dan eksistensi mereka dibentuk untuk menuju sebuah peradaban. Perlu diketahui, bahwa setiap suku Dayak memiliki tradisi lisan sendiri-sendiri, dan bahkan ada yang memiliki lebih dari satu. Misalnya suku Dayak Simpang, mereka memiliki 20 jenis tradisi lisan, selanjutnya, suku Dayak Kanayan memiliki 23 jenis tradisi lisan. Persamaan lainnya juga dimiliki oleh suku Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah[3]. Yang menarik di sini adalah bahwa pada dasarnya semua tradisi lisan itu memiliki asal-usul cerita atau corpus yang sama. Artinya, sumber yang sama, kemudian diceritakan dengan gaya bahasa masing-masing tempat. Pener M. Kedit yang mengatakan demikian: There are indications that some ethnic groups share common legends, folklores and adat customs through similar oral traditions (1980). Pernyataan senada juga dikatakan oleh Sinaga demikian: identity is shared-common to a group  (1988). Inilah salah satu alasan mengapa persatuan masyarakat Suku Dayak itu sangat kuat saat saudara-saudaranya mengalami musibah atau ancaman dari luar dirinya.

Dengan demikian dapat diklasifikasikan bahwa suku Daya di Kalimantan memiliki kesamaan yang pada prinsip adalah sama. B.H. Hoed[4] mengatakan, paling sedikit ada dua ciri khusus dari komunikasi lisan yang berkaitan dengan tradisi lisan, yaitu (a). Dikatakan dan didengar dan (b). Situasi tatap muka. Roger Tol dan Pudentia (1995) mengatakan bahwa “oral tradistions do not only contain folktales, myths and legends, but store complrte indigeneous cognate systems. To name a few: history, legal practices, adat low medication”. Tradisi ini juga menjadi penghubung generasi masa lalu dengan masa depan yang berkesinambungan seperti: pola pikir, perkataan sehari-hari dan perilaku secara individual maupun kelompok (bnd. J.J.Kusni, 1994). Meskipun, harus diakui juga, bahwa dewasa ini generasi yang muda lebih asik membaca buku dibanding mendengarkan secara lisan. Karena pengaruh perkembangan zaman[5]. Karena itu, tradisi lisan itu sudah mulai menghilang, tetapi ada juga yang masih memelihara dan menuliskannya dalam bentuk buku. Sungguh tradisi yang sangat kompleks khususnya dalam kebudayaan suku Dayak.

Ritus/ Ritual pada saat Panen padi

Kebiasaan yang lain dari suku Daya adalah Ngabayant dalam bahasa Dayak Salako dialek Badamea di Kec. Sajingan Besar – Kab. Sambas Kalimantan Barat yang artinya adalah pesta penen padi[6]. Pesta panen ini berlangsung selama 7 hari dan selama pesta itu berlangsung tidak ada yang boleh bekerja. Karena jika masih bekerja akan terkena tulah ilahi, seperti sakit, dipagut ular berbisa, disengat kalajengking dan sebagainya. Fungsi yang lain adalah untuk mempererat hubungan kekeluargaan dalam kampung itu sendiri maupun dengan kampung yang lainnya. Tanpa diundang baik tetangga maupun masyarakat kampung yang lain pasti datang dan makan bersama.

Seni Tari Ngoncong

Ngoncong merupakan salah satu tarian yang sangat disenangi oleh suku Dayak Salako. Meskipun saat ini sudah mulai menghilang dan jarang digunakan. Karena itu, sangat disayangkan jika seni tari ini sampai mati dan tidak dilestarikan lagi. Karena, selain sebagai seni, Ngoncong juga mengandung makna religius, yaitu di mana setelah peserta itu menari maka ada jampi-jampi yang diyakini sebagai tanda untuk memperbaharui hubungan atau relasi dengan “Jubata” (Tuhan kesuburan bagi masyarakat orang Dayak). Oleh sebab itu, ketika acara ini dilakukan banyak orang yang ingin mengikuti dan duduk pada tempat yang sudah disediakan, setelah itu ada persembahan sukarela yang harus diberikan dalam bentuk uang. Dayak Salako Kec. Sajingan Besar Kab. Sambas menyebutnya dengan Nyondok.

Simbolisme

Pada dasarnya masyarakat suku Dayak adalah suku pengembara yan hidup di alam bebas, yaitu memiliki kebiasaan hidup berpindah-pindah, membuat ladang berpindah-pindah. Sehingga tanpa disadari pengalaman hidup yang demikian akhirnya membentuk pola pikir dan karakter yang khas. Paradigma itu membawa mereka kepada suatu keyakinan atau membentuk spiritual mereka saat berinteraksi dengan alam.  Kemudiaan interaksi tersebut dinyatakan lewat simbol-simbol alam yang diyakini memiliki kekuatan yang harus dihormati. Contoh: Burung tingang sebagai perwujudan penguasa alam atas[7] Buaya diyakini sebagai penguasa sungai,  beras sebagai komunikasi dengan “Jubata”, telur sebagai tanda perdamaian, pantak[8] merupakan salah satu simbol untuk berbicara kepada kuasa atau kekuatan yang ada diluar manusia itu sendiri, dan masih banyak lagi simbol-simbol lainnya. Simbol-simbol itu memiliki peranan yang sangat penting dalam pembentukan pola pikir atau paradigma dan karakter masyarakat suku Dayak. Selain itu, orang Dayak juga sangat menyukai hidup berdampingan dengan keluarga yang lainnya. Maka tidak heran jika dalam tradisi orang Dayak dikenal adanya rumah panjang.[9] Dalam rumah panjang inilah, para orang tua memberikan pengajaran atau didikan kepada anak-anaknya.

Alam pikir/ Pandangan hidup

Masyarakat suku Dayak meyakini bahwa diluar mereka ada kekuatan yang lebih besar dari kekuatan-kekuatan yang mereka miliki. Salah satunya adalah Jubata (Tuhan kesuburan Padi) yang diyakini memlihara, memberkati dan sekaligus mengutuk jika tidak ditaati. Kepadanya harus diberikan sesajen atau persembahan sukur supaya ia tidak mengamuk atau tidak marah dan tidak mendatangkan malapetaka atas kehidupan keluarga mereka. Atau supaya tidak meninggalkan mereka pergi. Maka supaya diberkati khususnya dalam hal pertanian, yakni sebelum bertani terlebih dahulu memberi makan Jubata supaya ladang atau sawah mereka diberkati, dipelihara dari hama atau binatang-binatang hutan yang lain[10]. Demikian juga saat panen padi, yaitu penyembahan kepada Jubata adalah hal yang terutama dan pertama dilakukan. Di samping itu masih ada banyak lagi kuasa-kuasa gelap lainnya yang diyakini oleh masyarakat suku Dayak, namun kuasanya tidak lebih besar dari kuasa yang dimiliki oleh Jubata.

Mengkomunikasikan Injil dalam kebudayaan suku Dayak
Di atas telah dipaparkan bahwa Jubata merupakan Tuhan yang diyakini oleh masyarakat suku Dayak, yang memiliki kuasa lebih besar dari manusia dan kuasa-kuasa yang lainnya. Artinya, Jubata merupakan Tuhan tertinggi bagi bagi kepercayaan masyarakat Dayak sehingga hanya kepadanyalah mereka mempersembahkan hasil pertama panen padi yang terbaik, karena berkatnyalah hasil itu ada. Dengan demikian kita melihat bahwa kebiasaan dan anggapan tersebut membuka pintu lebar bagi Injil untuk bertumbuh di dalamnya, tanpa menghilangkan satu bagian pun dari tradisi itu sendiri, kecuali makna atau esensi.

Jika Jubata merupakan Tuhan tertinggi yang diakui dalam kebudayaan masyarakat suku Dayak di Kalimantan Barat dan bagian yang lainnya. Maka sekarang harus diperkenalkan secara kongkrit dan nyata bahwa Jubata tertinggi itu adalah Allah yang beringkarnasi di dalam Kristus Yesus (Yoh. 1:14). Jubata Yesus Kristus tidak hanya menjadi penguasa dan pemberi berkat atas panen padi, tetapi juga telah memberikan jalan keselamatan kepada semua manusia melalui kematian-Nya di atas kayu salib di Golgota. Karena kasih-Nya kepada manusia, Dia rela mengosongkan diri-Nya dan mengambil rupa seorang hamba dan menjadi sama dengan manusia kemudian Ia merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati di kayu salib (Filipi 2:5-8). Maka secara kongkrit, bahwa Jubata itu telah hadir di dalam Kristus Yesus. Tradisi tetap dan utuh, kecuali isi atau kandungannya. Artinya, kulitnya tetap, tapi isinya yang diperbaharui atau di ganti dengan Injil Kristus.


[1] Yang dimaksud dengan tradisi lisan disini adalah segala pengetahuan yang dimiliki suku Dayak dan adat kebiasaan yang secara turun-temurun disampaikan secara lisan yang mencakup segala sejarah, legenda dan tradisi masyarakat suku Dayak.
[2] Seri Tradisi Lisan Nusantara-Metodologi Kajian Tradisi Lisan, (Editor: Pudentia MPSS), Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan Yayasan Asosiasi Tradisi Lisan, 1998, hal 169-170.
[3] J.J. Kusni,  Dayak Membangun, Masalah Etnisitas dan Pembangunan Kausus Dayak Ngaju, Jakarta: Paragon 1994: 33; lht. http://www.pangalajo.multiply.com/journal/item/8/ MENGAYAU ATAU PERANG oleh John Bamba.
[4] B.H. Hoed adalah seorang guru besar linguistik di fakultas sastra Universitas Indonesia dalam buku Seri Tradisi Lisan,..., 1998, hal 185-187; bnd. http//www.dayakkology.com.publications articles_news/ind/ mangayau.htm#1.
[5] Banyak generasi yang muda tidak lagi meminati cerita-cerita yang dituturkan dari mulut ke mulut karena sudah ada yang dibukukan. Oleh sebab itu mereka lebih senang membaca terutama yang sudah modern. Alasan lain adalah pendidikan dan kesibukan-kesibukan lainnya.
[6] Ngabayan atau pesta besar yang diadakan setiap tahun ketika habis panen padi. Setiap kampung wajib melakukan hal ini, karena itu sebagai tanda ucapan syukur kepada “Jubata” (Tuhan atau sang pencipta).
[7] Diperoleh dari "http://id.wikipedia.org/wiki/Seni_Tradisional_Dayak" internet; diakses 03 Oktober 2009, jam 20.50. Wib.
[8] Pantak adalah patung yang terbuat dari kayu besi atau pun batu yang diyakini sebagai gambar atau wujud kekuatan yang disembah. Oleh sebab itu pantak sangat “dihormati” dan dikeramatkan yang tidak boleh disentuh oleh sembarang orang. Hanya mereka yang memiliki kekuatan gaiblah yang bisa menyentuhnya atau yang diangkat oleh masyarakat. Siapa yang menyentuhnya biasanya akan sakit, keluarganya tidak diberkati maupun penyakit atau tulah-tulah yang lain sering datang dalam kehidupan keluarganya.
[9] Rumah panjang merupakan tanda “kesatuan” antara keluarga yang satu dengan keluarga yang lain. Dalam rumah panjang terdiri dari beberapa keluarga dan bakan bisa mencapai 100 kepala keluarga dan bahkan lebih. Tujuannya adalah untuk menghindari musuh, binatang buas dan sebagainya. Rasa kekeluargaan sangat terasa dan erat sekali. Hasil berburu dimakan bersama-sama dan masing-masing membawa apa yang mereka miliki atau dapatkan. Memang di dalamnya ada yang menjadi ketua “panglima”, yaitu seorang yang yang dianggap memiliki kekuatan sakti. Selain itu juga rumah panjang berfungsi sebagai tempat di mana para orang tua mengajar anak-anaknya mengenai tradisi lisan seperti yang disebutkan di atas.
[10] Band. David Hamburg,"Education for Conflict Resolution" 1995; Lihat: Thomas F. Homer-Dixon,"Environmental Scarcities and Violent Conflict: Evidence from Cases" Peace and Conflict Studies Program, University of Toronto, International Security, Vol. 19, No. 1 (Summer 1994), pp. 5-40) & "On the Threshold: Environmental Changes as Causes of Acute Conflict" ibid, Vol. 16, No. 2 (Fall 1991), pp. 76-116.http://www.ccpdc.org/pubs/ed/edfr.htm diakses terakhir di internet 03 Oktober 2009 jam 20.50. wib; 

No comments:

Post a Comment