Oleh: Sugiman
Ketika putus
pacaran, hati seseorang terluka. Perasaan benci dan dendam pun tak terhindarkan.
Pihak yang disakiti merasa sangat terluka, tersakiti oleh sang kekasih. Hidup
terasa mati. Makan dan minum tidak teratur, malas mandi, bangun tidur
terlambat, mata bengkak karena terus-terusan menangis, kesehatan terganggu, dan
bahkan putus asa. Karena itu, tidak heran banyak pasangan remaja yang memilih
jalan yang buntu, yaitu berusaha mengakhiri hidupnya dengan berbagai cara. Ada
yang minum racun, menjatuhkan diri dari tempat tinggi, gantung diri dan
sebagainya. Teragis sekali. Sekalipun, ada juga yang memilih jalan yang lain,
yang lebih dewasa dan lebih bijaksana. Karena ia melihat, bahwa ada banyak jalan
menuju kebahagiaan. Namun tidak semua orang dapat melihatnya, terutama mereka
yang cepat putus asa (harapan).
Dalam kasus yang
lain, yaitu kisah persahabatan tiga wanita cantik, anggun, baik, dan selalu
tersenyum ramah ketika bertemu dengan orang lain. Bahkan tertawa terbahak-bahak
saat bersenda gurau dengan para sahabatnya. Pertama kali saya mengenal mereka
bertiga, saya pikir mereka orang yang dingin, tidak bisa diajak bercanda, dan
bawaannya selalu serius. Tetapi anggapan saya itu ternyata keliru. Sangat
menyenangkan sekali. Sungguh, keakraban yang mulia, tulus dan bersahaja.
Seiring berjalannya waktu, saya semakin mengenal mereka sebagai pekerja
tangguh, tanpa mengenal lelah demi sebuah kualitas terbaik, yang selalu mereka
persembahkan sebagai persembahan mulia bagi anak-anak didik dan orang lain.
Dalam hal itu saya mengajungkan dua jempol atas kualitas terbaik yang mereka
persembahkan.
Jika saya bandingkan
hasil kinerja mereka di kantor dengan hasil kinerja para politikus dan anggota
Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia, maka jujur saya akui tidak ada bandingannya.
Artinya, kualitas yang mereka berikan kepada anak-anak didiknya dan orang lain
tak tertandingi oleh mereka yang duduk di kursi DPR. Semangat yang luar biasa,
visi yang nyata dan terbukti. Itulah yang saya lihat dari persahabatan tiga
wanita cantik, anggun, baik, dan bersahaja di meja kerja. Namun demikian, ada
satu hal yang mereka abaikan, yaitu mereka
tidak dapat mengontrol dan mengendalikan emosi dengan baik. Ketiganya sama-sama
memiliki tempramen yang keras. Ketiganya sangat mudah terpancing emosi. Ketiganya sama meledak-ledaknya.
Dalam kurun waktu
singkat memang, mereka masih bisa saling bermemaaf-maafkankan, dan saling
introspeksi diri satu sama lain. Tetapi sesabar-sabarnya manusia pasti ada
limit atau batasannya. Itulah sebabnya kisah persahabatan tiga wanita cantik,
anggun, baik dan bersahaja, yang selama ini saya kenal bisa hancur dan diakhiri
dengan sakit hati, kebencian dan perasaan dendam. Saya sendiri masih
samar-samar untuk memahami permasalahan yang membuat persahabatan itu hancur
berantakan. Karena saya sangat dekat dengan mereka bertiga, maka saya disuruh
untuk jadi penengah, untuk mengkalrifikasi dan mencari titik temu supaya
terjalin hubungan yang harmonis kembali. Pada saat saya mencoba mendengarkan
curahan hati mereka, ketiganya tetap tidak dapat mengontrol emosi. Bahkan,
salah satu dari teman saya itu langsung menyodorkan tangannya untuk berjabat
tangan dan mengatakan: saya berterima
kasih karena kamu telah merubah saya, tetapi cukuplah sampai di sini. Saya
sendiri jadi bingung dan tidak bisa berbuat apa-apa, karena setelah itu ia
langsung keluar dari ruangan. Yang seorang lagi juga terpancing emosi dan langsung
pergi juga.
Dalam pertemuan
itu, tidak ada benang merah dan titik temunya, yang ada hanya masalahnya
semakin rumit seperti benang kusut. Dalam hati saya bertanya, sampai kapan mereka harus hidup dengan sakit
hati, kebencian dan
bahkan dendam yang mereka bawa? Apakah itu jalan terbaik ? Tetapi itulah jalan yang sering dipilih
manusia saat mengalami masalah dengan sesamanya atau pada saat merasa sudah tidak
ada jalan keluarnya. Saya sangat prihatin dengan kejadian itu. Mereka yang
selama ini saya kenal sebagai manusia super power (kuat) dalam bekerja, tetapi
tidak dalam hal emosi. Saya kira inilah yang sering dianggap remeh oleh banyak
orang di dunia. Mereka sering mengabaikan kecerdasan emosional, yang sebenarnya
dapat mengantarkan mereka pada kebahagiaan, keharmonisan dan kesuksesan hidup.
Karena sebenarnya, pengendalian emosional yang baik adalah sangat menentukan
kualitas, kesuksesan, keberhasilan dan kebahagiaan seseorang.
Aristoteles pernah mengatakan demikian: “Siapapun bisa marah. Marah
itu mudah. Tetapi, marah pada orang yang tepat, dengan kadar yang
sesuai, pada waktu yang tepat, demi tujuan yang benar, dan dengan
cara yang baik, bukanlah hal mudah.” (lihat, Aristoteles, The
Nicomachean Ethics). Artinya, betapa sulitnya kita duduk dan berdiri pada
posisi yang tepat, dengan tujuan yang benar, baik dan mulia. Tetapi setidaknya,
kita mau belajar setahap demi setahap dari setiap permasalahan yang kita hadapi
untuk mencapai kualitas hidup yang teruji. Sakit hati, kebencian dan dendam
adalah jalan terburuk yang sering dipilih oleh banyak orang saat mengalami
masalah dalam kehidupannya. Padahal ia sendiri tahu, bahwa hidup bersama dengan
rasa sakit hati, kebencian dan dendam hanya akan menyiksa diri sendiri. mengapa?
Karena semakin kita membenci orang yang telah menyakiti dan melukai hati kita,
maka semakin kita tidak dapat melupakannya. Kita akan terus mengingat dan
membayangkannya. Itulah yang saya sebut dengan menyiksa diri sendiri. Tetapi
mengapa banyak orang lebih suka memilih jalan itu, dibandingkan jalan damai.
Apakah Anda
mampu dengan cinta yang tulus menerima keberadaan orang lain, yang telah
membuat Anda kecewa, sakit hati, tersakiti karena ketidaksempurnaannya?
Dapatkan Anda memaafkan dan mencintai orang-orang yang ada di sekeliling Anda,
sekalipun mereka sudah menusukan duri di hati Anda karena mereka juga tidak
sempurna? Tetapi setidaknya kita menyadari, bahwa memaafkan seseorang yang
telah menyakiti kita adalah cara satu-satunya yang dianugerahkan Tuhan kepada
setiap orang.
Sakit hati, benci dan dendam adalah jalan yang tidak membawa kebaikan
dalam hidup setiap orang. Bahkan satu detik pun kehidupan tidak
diperpanjangnya. Tetapi justru, akan membuat hidup kita menderita, berpikir terus-menerus
tentang seseorang yang kita benci, tenaga terkuras, badan kurus dan terasa
lemah, kepala pusing, muka cemberut sehingga cepat tua dan batinnya tersiksa. Sebaliknya,
jalan damai, yaitu mengampuni dan menerima seseorang sebagai pribadi yang utuh
akan membuat hati kita tenang, gembira atau ceria dan tetap memancarkan senyuman
yang tulus, yaitu seperti kita tersenyum kepada Tuhan yang sangat mengasihi
kita. Untuk dapat mengampuni orang yang telah menyakiti dan melukai kita
dibutuhkan kecerdasan emosional yang matang (mampu mengelola emosi secara bijaksana).
Orang yang memiliki kecerdasan emosional yang matang adalah orang dapat memahami orang lain dengan baik dan
membuat keputusan dengan bijaksana. Lebih dari itu, kecerdasan ini erat hubungannya
dengan bagaimana seseorang dapat mengaplikasikan apa yang telah ia pelajari
tentang kebahagiaan, mencintai dan berinteraksi dengan sesamanya. Ia pun tahu
tujuan hidupnya, dan akan bertanggung jawab dalam segala hal yang terjadi dalam
hidupnya sebagai bukti tingginya kecerdasan emosional yang dimilikinya. Dengan kata lain,
itulah cinta yang tulus, ikhlas dan murni, yang telah Tuhan taruh dalam hati setiap
orang.
Jika kita
mencintai atau mengasihi seseorang dengan hati yang tulus, sudah tentu (pastilah)
kita tidak melihat kekurangan, ketidaksempurnaan, dan kelemahannya. Karena
cinta yang tidak tulus itulah yang membawa kita kepada penghakiman dan
menyudutkan keberadaan orang dari pandangan kita. Cinta yang tulus itu tidak
menuntut kesempurnaan, melainkan menerima ketidaksempurnaan itu apa adanya. Dengan
cara penerimaan mereka apa adanya itulah, seseorang akan menjadi pribadi yang
jauh lebih baik dan kuat dari pribadi yang lain. Karena itu, maafkanlah orang
yang telah menyakiti dan melukai hati Anda. Terimalah dia apa adanya, jika menurut Anda dia tidak sempurna dan tidak pantas. Justru karena kita mersa dia tidak
sempurnalah kita harus menciptakan cara-cara yang sempurna untuk mencintainya.
No comments:
Post a Comment