Saturday, 7 April 2012

MANUSIA YANG TELAH DIPERBAHARUI


Oleh: Sugiman

Andai aku dapat memohon agar hidupku sempurna, kemungkinan ini akan menggiurkan, tetapi aku akan merasa hampa, karena hidup tak lagi mengajarkan apapun. (Allison Jones).[1]

Salah satu kebiasaan buruk yang sering dilakukan oleh seseorang ketika ia mengetahui dengan jelas kelemahannya adalah cenderung bersikap pasrah, pesimis, menerima hidup apa adanya, dan putus asa. Semua jalan seolah buntu bagi dirinya, tetapi tidak bagi orang lain. Itulah sebabnya, sebagian besar mereka yang bersikap pasrah, pesimis dan putus asa lebih memilih sikap untuk menjadi orang lain dibanding menjadi dirinya sendiri. Maka tidak heran jika seseorang bersikap iri, cemburu atau dengki ketika tidak dapat menjadi orang lain sesuai keinginannya. Sikap yang lain lagi adalah, ia cenderung menerima dan menjalani hidup ini apa adanya, seperti sebuah layang-layang yang putus tali di atas udara, atau seperti perahu kerusakan mesin di tengah lautan lepas.

Mereka melihat dunia seperti tempat kering, gersang, tandus dan semi neraka. Dia memandang betapa sia-sianya hidupnya di dunia ini, yang kejam dan tidak pernah memberikan kesempatan padanya untuk berhasil. Itulah kecenderungan negatif yang tidak jarang dilakukan, atau sebuah keputusan yang diambil secara mendadak. Maksud mendadak di sini adalah karena tanpa ada pemikiran yang lebih lanjut, matang dan bijaksana. Inilah salah satu pilihan terburuk yang sering diambil oleh mereka yang gundah dan menyerah terhadap gertakan dunia. Padahal, jika setiap orang sadar, bahwa dunia ini sangat luas, yang menawarkan kebebasan kepada setiap orang untuk berkembang sesuai talenta atau bakat yang diberikan Tuhan, maka pastilah ia melihat dunia ini begitu subur di setiap bagian dan sudutnya. Tetapi sayang, tidak semua orang dapat melihatnya.

Anda pernah medengar kisah Jan Turner? Dia adalah seorang wanita tunggal yang cacat. Kedua lengan dan kakinya diamputasi karena menderita penyakit pneumonia pneumokokus. Sebelum diamputasi, dia adalah wanita tunggal yang sangat sibuk. Ia adalah guru musik tetap di sekolah dasar dan mengajarkan bermacam-macam alat musik, seperti gitar, piano, dan terompet. Ia juga seorang drigen di gerejanya. Pada suatu minggu di bulan November 1989, ketika sedang memainkan terompet di gereja, tiba-tiba Jan Turner merasa lemas, pusing dan mual. Kemudian ia pulang, setelah sampai di rumah ia membaringkan tubuhnya di tempat tidur. Tetapi pada malam harinya ia betul-betul sangat membutuhkan pertolongan dari dokter.

Jan Turner mengatakan, bahwa ketika sampai di rumah sakit ia kehilangan kesadaran. Tekanan darahnya begitu rendah sehingga membuat tubuhnya menjadi sangat lemah dan tidak berdaya. Salah satu efek samping dari penyakit yang dideritanya adalah terlalu aktifnya sistem pengumpalan darah, yang mengakibatkan banyaknya pembuluh darah yang tersumbat. Karena itu, tiba-tiba darah tidak lagi mengalir pada kedua tangan dan kakinya, sehingga ia begitu cepat menderita gangren pada keempat anggota tubunya. Dua minggu setelah masuk rumah sakit, kedua lengan dari tengah bagian bawah dan kaki dari tengah tulang keringnya diamputasi. Jan Turner merasa, bahwa hidupnya saat itu tidak berarti lagi. Hidup tanpa kedua lengan dan kaki adalah sama halnya dengan kematian. Dia merasa, dunia ini begitu kejam, menyiksa dan bahkan tidak memberinya tempat sedikit pun untuk bernapas. Sewaktu saya membayangkan dan mencoba menempatkan diri di posisi Jan Turner, betapa menyakitkannya hidup ini, bahkan mungkin lebih baik mati dari pada hidup. Demikianlah juga perasaan yang dirasakan Jan Turner sewaktu mengalami peristiwa menyakitkan itu. Ia merasa tidak ada gunanya hidup di dunia ini lagi dan tidak ada lagi harapan di dalamnya.

Bahkan, Patricia Lorenz, seorang penulis artikel tentang wanita yang mewawancarai Jan Turner 4 tahun setelah kesembuhnya (April 1993) mengatakan, bahwa beberapa saat sebelum dioprasi dia menangis dengan sangat keras dan mengatakan: Tuhan, mengapa harus begini? Bagaimana aku dapat hidup tanpa lengan, tanpa kaki, dan tanpa lengan? Tidak pernah berjalan lagi? Tidak pernah bermain terompet, gitar, piano atau alat musik apa pun yang ku ajarkan? Aku tidak akan pernah dapat memeluk anak-anakku lagi atau mengurus mereka. Ya Tuhan, jangan biarkan aku bergantung pada orang lain selama sisa hidupku!.[2]

Setelah sembuh, dokter mengatakan bahwa dia kemungkinan menggunakan lengan dan kaki palsu. Dengan semuanya itu, ia dapat belajar berjalan kembali, mengendarai mobil, melanjutkan sekolah dan mengajar lagi. Itulah jalan terbaik satu-satunya yang harus dipilih sebagai tahap awal, guna menjadikan hidup ini lebih bermakna bagi sesama. Sebelum lengan dan kaki palsunya dipasang oleh pakar prosterik, Jan Turner membaca surat Paulus kepada jemaat di Roma: Janganlah meniru prilaku dan kebiasaan dunia ini, tetapi jadilah manusia yang baru dan berbeda dengan pembaharuan yang sejati dalam apapun yang engkau perbuat dan pikirkan. Maka engkau akan belajar dari pengalamanmu sendiri tentang bagaimana kehendaknya akan sungguh memuaskan bagimu (Roma 12:2).[3]

Dalam menjalani kehidupannya, dengan kedua lengan dan kaki yang tidak lagi sempurna seperti sebelumnya, Jan Turner berusaha menciptakan cara-cara yang sempurna untuk menjalani hidupnya. Setahap demi setahap, perlahan-lahan, dengan alat bantu sistem berkabel itu, ia mengerakkan otot-otot lengan, pundak dan kakinya hingga terbiasa dan dapat menjalani kehidupanya jauh lebih berarti dari sebelumnya. Dia bisa mengerjakan hampir semua yang bisa ia kerjakan – meskipun dengan cara yang baru dan berbeda dengan sebelumnya. Memeluk kedua anak angkatnya dengan kehangatan cinta yang utuh, ia menyelesaikan kuliahnya yang kedua di bidang komunikasi, belajar teologi, dan kembali mengajar di sekolah dasar.

Jan Turner mengatakan, bahwa Tuhan telah menjadikan dirinya sebagai manusia baru dan berbeda, ia telah berhasil memenangkan berkat kasih dan kebijaksanaan Tuhan yang tidak terbatas oleh apapun, yang ada di dalam dunia ini. Dia merasa, bahwa kasih dan kebahagiaan yang Tuhan berikan kepadanya adalah kasih sejati yang di mana setiap orang tidak dapat memberikannya, kecuali oleh mereka yang telah mengalaminya.

Bagi Jan, realita kehidupan yang dialaminya begitu sulit diterima dan dipercaya. Tetapi ia harus menerimanya. Menyesali apa yang telah terjadi dalam hidup ini pun tidak dapat menambah dan memperpanjang hidup sedetik pun. Sekeras apapun tangisan dan sehebat apapun ratapan akan kehidupan yang menyakitkan itu, tidak akan dapat mengurangi sedikit pun rasa sakit yang ada, apalagi menghilangkannya. Selanjutnya, bersikap pasrah, menjalani hidup apa adanya, tanpa harapan untuk menjadi lebih baik, hanyalah membebani perasaan dan pikiran, menguras tenaga dan emosi, tidak menghasilkan apapun, dan juga tidak mengajarkan nilai-nilai kehidupan apapun. Itulah sebabnya, Jan Turner mengambil jalan lain, yang dapat menjadikan hidupnya jauh lebih bermakna, berarti, bernilai dan mengajarkan arti kehidupan yang sesungguhnya kepada semua orang yang menyaksikan dan mendengarnya.

Sungguh, kisah Jan Turner telah mengobati dan menyembuhkan luka batin yang dialami oleh banyak orang. Kisah hidupnya telah menjadi saksi kemuliaan Tuhan yang tidak pernah berhenti mengasihi manusia. Tuhan tidak pernah membiarkan mereka yang mau menerima anugerah-Nya hidup dengan sia-sia, tanpa makna, datar, kosong dan hampa. Sebaliknya, Tuhan ingin hidup setiap orang itu dapat memberikan dan mengajarkan makna kehidupan yang sesungguhnya kepada sesamanya. Karena itu, bersyukurlah atas segala sesuatu yang telah Tuhan berikan kepada Anda dan saya, yaitu menjalani hidup ini secara berbeda dengan mereka yang tidak mengenal kebesaran-Nya. Karena, jika tidak demikian, maka kita menjadi sama dengan mereka yang tidak percaya adanya Tuhan, dan yang sama sekali tidak memberikan tempat atau ruangan sedikit pun untuk kebesaran dan keagungan Tuhan dalam hidupnya.

Jika Anda dan saya adalah orang yang berbeda dengan mereka, maka perlihatkan perbedaan itu dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian kita sungguh-sungguh menjadi manusia yang telah diperbaharui oleh Tuhan. Manusia yang telah diperbaharui oleh Tuhan adalah manusia yang tahu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Dia sanggup memperlihatkan kualitas terbaik dalam berbagai hal yang dikerjakannya. Dia tidak menerima hidup ini sebagai sesuatu yang kebetulan, sehingga menjalaninya dengan datar, hambar bak sayur tanpa garam. Melainkan sebaliknya, yaitu menerima hidup ini sebagai anugerah terbesar yang Tuhan berikan kepada semua orang tanpa terkecuali. Karena itu, setiap orang harus sadar, bahwa ajaran hidupnya bukan hanya untuk sekelompok orang melainkan untuk semua, bukan untuk menyakiti, melainkan mengasihi, bukan untuk bermusuhan, melainkan untuk berdamai, bukan untuk dinikmati sendiri, melainkan untuk berbagi, bukan untuk mencari-cari kesalahan, melainkan untuk saling melengkapi, bukan untuk menghakimi, melainkan untuk mengampuni.

Manusia yang telah diperbaharui adalah, manusia yang sanggup mengeluarkan dirinya dari hal-hal yang dapat merusak masa depan hidupnya. Manusia yang telah diperbaharui adalah, manusia yang mencerminkan, kasih, anugerah dan kemuliaan Tuhan dalam hidupnya. Jika setiap orang tetap setia hidup dalam iman, pengharapan dan kasih, maka itulah tugas dan tanggung jawab yang Tuhan percayakan kepada Anda dan saya. Dengan kata lain, apapun yang Anda dan saya alami dalam hidup ini, tidak akan mengurangi kasih dan kemahakuasaan Tuhan untuk melakukan sesuatu yang berguna dalam hidup kita. Karena itu, arahkanlah pandangan kita jauh ke depan dan lihatlah setiap sudut dunia ini dengan cara yang baru dan berbeda, maka kita pasti menemukan harta yang tak ternilai harganya, yaitu iman, pengharapan dan kasih. Namun, yang lebih besar dari ketiganya itu adalah kasih. Tanpa kasih, hidup manusia tidak akan berarti dan menghasilkan apapun, dan tanpa kasih hidup seseorang itu sama dengan gong yang berkumandang dan canang yang gemerincing, tetapi di dalamnya kosong. Semoga Anda dan saya tidak termasuk di dalamnya, melainkan sebaliknya, yaitu yang tidak pernah berhenti menghasilkan buah yang baik, yang dapat dinikmati oleh banyak orang.


[1] Allison Jones, dalam Jack Canfield Mark Victor Hansen Heather NcNamara, Chicken Soup for the Unsinkable Soul – Kisah-kisah Inspiratif tentang Mengatasi Tantangan Hidup, terjemahan Alex Tri Kantjono Widodo (Jakarta: PT. Gramediab Pustaka Umum, anggota IKPI, 2007), 84.
[2] Dikitip dari artikel Patricia Lorenz, dalam Jack Canfield Mark Victor Hansen Heather NcNamara, 88.
[3] Ibid.

No comments:

Post a Comment