Oleh: Sugiman
Andai aku dapat memohon agar
hidupku sempurna, kemungkinan ini akan menggiurkan, tetapi aku akan merasa
hampa, karena hidup tak lagi mengajarkan apapun. (Allison Jones).[1]
Salah satu kebiasaan buruk yang sering dilakukan oleh seseorang ketika
ia mengetahui dengan jelas kelemahannya adalah cenderung bersikap pasrah,
pesimis, menerima hidup apa adanya, dan putus asa. Semua jalan seolah buntu
bagi dirinya, tetapi tidak bagi orang lain. Itulah sebabnya, sebagian besar
mereka yang bersikap pasrah, pesimis dan putus asa lebih memilih sikap untuk
menjadi orang lain dibanding menjadi dirinya sendiri. Maka tidak heran jika
seseorang bersikap iri, cemburu atau dengki ketika tidak dapat menjadi orang
lain sesuai keinginannya. Sikap yang lain lagi adalah, ia cenderung menerima
dan menjalani hidup ini apa adanya, seperti sebuah layang-layang yang putus
tali di atas udara, atau seperti perahu kerusakan mesin di tengah lautan lepas.
Mereka melihat dunia seperti tempat kering, gersang, tandus dan semi
neraka. Dia memandang betapa sia-sianya hidupnya di dunia ini, yang kejam dan
tidak pernah memberikan kesempatan padanya untuk berhasil. Itulah kecenderungan
negatif yang tidak jarang dilakukan, atau sebuah keputusan yang diambil secara
mendadak. Maksud mendadak di sini adalah karena tanpa ada pemikiran yang lebih
lanjut, matang dan bijaksana. Inilah salah satu pilihan terburuk yang sering
diambil oleh mereka yang gundah dan menyerah terhadap gertakan dunia. Padahal,
jika setiap orang sadar, bahwa dunia ini sangat luas, yang menawarkan kebebasan
kepada setiap orang untuk berkembang sesuai talenta atau bakat yang diberikan
Tuhan, maka pastilah ia melihat dunia ini begitu subur di setiap bagian dan sudutnya.
Tetapi sayang, tidak semua orang dapat melihatnya.
Anda pernah medengar kisah Jan Turner? Dia adalah seorang wanita tunggal
yang cacat. Kedua lengan dan kakinya diamputasi karena menderita penyakit
pneumonia pneumokokus. Sebelum diamputasi, dia adalah wanita tunggal yang
sangat sibuk. Ia adalah guru musik tetap di sekolah dasar dan mengajarkan
bermacam-macam alat musik, seperti gitar, piano, dan terompet. Ia juga seorang
drigen di gerejanya. Pada suatu minggu di bulan November 1989, ketika sedang
memainkan terompet di gereja, tiba-tiba Jan Turner merasa lemas, pusing dan
mual. Kemudian ia pulang, setelah sampai di rumah ia membaringkan tubuhnya di
tempat tidur. Tetapi pada malam harinya ia betul-betul sangat membutuhkan
pertolongan dari dokter.
Jan Turner mengatakan, bahwa ketika sampai di rumah sakit ia kehilangan
kesadaran. Tekanan darahnya begitu rendah sehingga membuat tubuhnya menjadi
sangat lemah dan tidak berdaya. Salah satu efek samping dari penyakit yang
dideritanya adalah terlalu aktifnya sistem pengumpalan darah, yang
mengakibatkan banyaknya pembuluh darah yang tersumbat. Karena itu, tiba-tiba
darah tidak lagi mengalir pada kedua tangan dan kakinya, sehingga ia begitu
cepat menderita gangren pada keempat anggota tubunya. Dua minggu setelah masuk
rumah sakit, kedua lengan dari tengah bagian bawah dan kaki dari tengah tulang
keringnya diamputasi. Jan Turner merasa, bahwa hidupnya saat itu tidak berarti
lagi. Hidup tanpa kedua lengan dan kaki adalah sama halnya dengan kematian. Dia
merasa, dunia ini begitu kejam, menyiksa dan bahkan tidak memberinya tempat
sedikit pun untuk bernapas. Sewaktu saya membayangkan dan mencoba menempatkan
diri di posisi Jan Turner, betapa menyakitkannya hidup ini, bahkan mungkin
lebih baik mati dari pada hidup. Demikianlah juga perasaan yang dirasakan Jan
Turner sewaktu mengalami peristiwa menyakitkan itu. Ia merasa tidak ada gunanya
hidup di dunia ini lagi dan tidak ada lagi harapan di dalamnya.
Bahkan, Patricia Lorenz, seorang penulis artikel tentang wanita yang
mewawancarai Jan Turner 4 tahun setelah kesembuhnya (April 1993) mengatakan,
bahwa beberapa saat sebelum dioprasi dia menangis dengan sangat keras dan
mengatakan: Tuhan, mengapa harus begini?
Bagaimana aku dapat hidup tanpa lengan, tanpa kaki, dan tanpa lengan? Tidak
pernah berjalan lagi? Tidak pernah bermain terompet, gitar, piano atau alat
musik apa pun yang ku ajarkan? Aku tidak akan pernah dapat memeluk anak-anakku
lagi atau mengurus mereka. Ya Tuhan, jangan biarkan aku bergantung pada orang
lain selama sisa hidupku!.[2]
Setelah sembuh, dokter mengatakan bahwa dia kemungkinan menggunakan
lengan dan kaki palsu. Dengan semuanya itu, ia dapat belajar berjalan kembali,
mengendarai mobil, melanjutkan sekolah dan mengajar lagi. Itulah jalan terbaik
satu-satunya yang harus dipilih sebagai tahap awal, guna menjadikan hidup ini
lebih bermakna bagi sesama. Sebelum lengan dan kaki palsunya dipasang oleh
pakar prosterik, Jan Turner membaca surat Paulus kepada jemaat di Roma: Janganlah meniru prilaku dan kebiasaan dunia
ini, tetapi jadilah manusia yang baru dan berbeda dengan pembaharuan yang
sejati dalam apapun yang engkau perbuat dan pikirkan. Maka engkau akan belajar
dari pengalamanmu sendiri tentang bagaimana kehendaknya akan sungguh memuaskan
bagimu (Roma 12:2).[3]
Dalam menjalani kehidupannya, dengan kedua lengan dan kaki yang tidak
lagi sempurna seperti sebelumnya, Jan Turner berusaha menciptakan cara-cara
yang sempurna untuk menjalani hidupnya. Setahap demi setahap, perlahan-lahan,
dengan alat bantu sistem berkabel itu, ia mengerakkan otot-otot lengan, pundak
dan kakinya hingga terbiasa dan dapat menjalani kehidupanya jauh lebih berarti
dari sebelumnya. Dia bisa mengerjakan hampir semua yang bisa ia kerjakan –
meskipun dengan cara yang baru dan berbeda dengan sebelumnya. Memeluk kedua
anak angkatnya dengan kehangatan cinta yang utuh, ia menyelesaikan kuliahnya
yang kedua di bidang komunikasi, belajar teologi, dan kembali mengajar di
sekolah dasar.
Jan Turner mengatakan, bahwa Tuhan telah menjadikan dirinya sebagai
manusia baru dan berbeda, ia telah berhasil memenangkan berkat kasih dan
kebijaksanaan Tuhan yang tidak terbatas oleh apapun, yang ada di dalam dunia
ini. Dia merasa, bahwa kasih dan kebahagiaan yang Tuhan berikan kepadanya adalah
kasih sejati yang di mana setiap orang tidak dapat memberikannya, kecuali oleh
mereka yang telah mengalaminya.
Bagi Jan, realita kehidupan yang dialaminya begitu sulit diterima dan
dipercaya. Tetapi ia harus menerimanya. Menyesali apa yang telah terjadi dalam
hidup ini pun tidak dapat menambah dan memperpanjang hidup sedetik pun. Sekeras
apapun tangisan dan sehebat apapun ratapan akan kehidupan yang menyakitkan itu,
tidak akan dapat mengurangi sedikit pun rasa sakit yang ada, apalagi
menghilangkannya. Selanjutnya, bersikap pasrah, menjalani hidup apa adanya,
tanpa harapan untuk menjadi lebih baik, hanyalah membebani perasaan dan
pikiran, menguras tenaga dan emosi, tidak menghasilkan apapun, dan juga tidak
mengajarkan nilai-nilai kehidupan apapun. Itulah sebabnya, Jan Turner mengambil
jalan lain, yang dapat menjadikan hidupnya jauh lebih bermakna, berarti,
bernilai dan mengajarkan arti kehidupan yang sesungguhnya kepada semua orang
yang menyaksikan dan mendengarnya.
Sungguh, kisah Jan Turner telah mengobati dan menyembuhkan luka batin
yang dialami oleh banyak orang. Kisah hidupnya telah menjadi saksi kemuliaan
Tuhan yang tidak pernah berhenti mengasihi manusia. Tuhan tidak pernah
membiarkan mereka yang mau menerima anugerah-Nya hidup dengan sia-sia, tanpa
makna, datar, kosong dan hampa. Sebaliknya, Tuhan ingin hidup setiap orang itu
dapat memberikan dan mengajarkan makna kehidupan yang sesungguhnya kepada
sesamanya. Karena itu, bersyukurlah atas segala sesuatu yang telah Tuhan
berikan kepada Anda dan saya, yaitu menjalani hidup ini secara berbeda dengan
mereka yang tidak mengenal kebesaran-Nya. Karena, jika tidak demikian, maka
kita menjadi sama dengan mereka yang tidak percaya adanya Tuhan, dan yang sama
sekali tidak memberikan tempat atau ruangan sedikit pun untuk kebesaran dan
keagungan Tuhan dalam hidupnya.
Jika Anda dan saya adalah orang yang berbeda dengan mereka, maka
perlihatkan perbedaan itu dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian kita
sungguh-sungguh menjadi manusia yang telah diperbaharui oleh Tuhan. Manusia
yang telah diperbaharui oleh Tuhan adalah manusia yang tahu membedakan mana
yang baik dan mana yang buruk. Dia sanggup memperlihatkan kualitas terbaik
dalam berbagai hal yang dikerjakannya. Dia tidak menerima hidup ini sebagai
sesuatu yang kebetulan, sehingga menjalaninya dengan datar, hambar bak sayur
tanpa garam. Melainkan sebaliknya, yaitu menerima hidup ini sebagai anugerah
terbesar yang Tuhan berikan kepada semua orang tanpa terkecuali. Karena itu,
setiap orang harus sadar, bahwa ajaran hidupnya bukan hanya untuk sekelompok
orang melainkan untuk semua, bukan untuk menyakiti, melainkan mengasihi, bukan
untuk bermusuhan, melainkan untuk berdamai, bukan untuk dinikmati sendiri,
melainkan untuk berbagi, bukan untuk mencari-cari kesalahan, melainkan untuk saling
melengkapi, bukan untuk menghakimi, melainkan untuk mengampuni.
Manusia yang telah diperbaharui adalah, manusia yang sanggup
mengeluarkan dirinya dari hal-hal yang dapat merusak masa depan hidupnya.
Manusia yang telah diperbaharui adalah, manusia yang mencerminkan, kasih,
anugerah dan kemuliaan Tuhan dalam hidupnya. Jika setiap orang tetap setia
hidup dalam iman, pengharapan dan kasih, maka itulah tugas dan tanggung jawab
yang Tuhan percayakan kepada Anda dan saya. Dengan kata lain, apapun yang Anda
dan saya alami dalam hidup ini, tidak akan mengurangi kasih dan kemahakuasaan
Tuhan untuk melakukan sesuatu yang berguna dalam hidup kita. Karena itu, arahkanlah
pandangan kita jauh ke depan dan lihatlah setiap sudut dunia ini dengan cara
yang baru dan berbeda, maka kita pasti menemukan harta yang tak ternilai harganya,
yaitu iman, pengharapan dan kasih. Namun, yang lebih besar dari ketiganya itu
adalah kasih. Tanpa kasih, hidup manusia tidak akan berarti dan menghasilkan
apapun, dan tanpa kasih hidup seseorang itu sama dengan gong yang berkumandang
dan canang yang gemerincing, tetapi di dalamnya kosong. Semoga Anda dan saya
tidak termasuk di dalamnya, melainkan sebaliknya, yaitu yang tidak pernah
berhenti menghasilkan buah yang baik, yang dapat dinikmati oleh banyak orang.
[1] Allison Jones, dalam Jack
Canfield Mark Victor Hansen Heather NcNamara, Chicken Soup for the Unsinkable Soul – Kisah-kisah Inspiratif tentang
Mengatasi Tantangan Hidup, terjemahan Alex Tri Kantjono Widodo (Jakarta:
PT. Gramediab Pustaka Umum, anggota IKPI, 2007), 84.
[2] Dikitip dari artikel
Patricia Lorenz, dalam Jack Canfield Mark Victor Hansen Heather NcNamara, 88.
No comments:
Post a Comment