Wednesday 4 April 2012

KETERGANTUNGAN MAKHLUK INSANI


Oleh: Sugiman

Batu Hitam, itulah nama tempat kelahiranku.  Batu Hitam adalah salah satu desa terpencil, terisolasi dan terabaikan di Kecamatan Sajingan Besar, Kabupaten Sambas Kalimantan Barat. Tetapi saat ini, sudah agak maju, tenaga listrik dan jalan aspal sudah ada meskipun bukan bantuan dari Indonesia, melainkan dari negara tetangga, yaitu Malaysia. Sejak aku lahir 15 April 1985 dan bahkan sebelumnya, desa Batu Hitam telah memiliki hubungan baik dengan negara perbatasan itu. Hasil karet, binatang buruan dari hutan, lada, buah durian, dan yang lainnya tidak jarang di jual ke Malaysia. Mengapa? Karena perbatasan antara Malaysia dan Indonesia sangat dekat. Oleh sebab itu, mata uang Malaysia sudah tidak asing lagi di daerahku, dan bahkan bisa dikatakan mata uang sementara di desa kami. Bahkan, hampir semua keperluan rumah tangga berasal dari Malaysia (gula, kopi, garam, minyak goreng, mie, tabung gas dll). Bahkan, hingga saat ini pun RM dan Rp tetap menjadi dua mata uang yang menjadi alat transaksi di sana, khususnya di Kecamatan Sajingan Besar.

Aku ingat betul sewaktu almarhum bapak yang sering bepergian ke Malaysia tahun 1988-1993, dan menetap di sana dalam jangka waktu tertentu untuk bekerja sebagai buruh tani. Aku sering diajak oleh bapak ke tempat kerjanya. Dari desa Batu Hitam, kami berjalan kaki menuju Biawak, yaitu perbatasan antara Indonesia dan Malaysia, tetapi sudah termasuk daerah Malaysia. Saat itu, jalan tentu tidak sebagus sekarang yang sudah beraspal (tahun 2012). Melainkan berjalan kaki menelusuri jalan setapak, menyeberangi sungai demi sungai dan mendaki gunung demi gunung pun dilewati. Seperti gunung Tempayan di desa Keranji dan gunung Kaliao di Sajingan Besar. Itulah dua gunung yang paling tinggi saat itu.

Aku sangat bangga pada bapak, yaitu setiap kali mendaki gunung, dia pasti menggendongku  meskipun barang bawaannya sangat berat. Ketika sudah sampai di puncak gunung aku baru diturunkan dari pundaknya. Itu berarti, aku harus berjalan sendiri untuk menuruni gunung Kaliao dan turun menuju lembahnya. Saat mencapai kaki gunung Kaliao, aku sangat senang. Kebun kopi, koko dan durian yang ditanam dengan sangat rapi pertanda, bahwa kami sudah memasuki daerah Malaysia. Tinggal butuh 30 menit lagi untuk sampai dan menginjakan kaki di Biawak nama sebuah tempat perbatasan Indonesia – Malaysia. Di Biawaklah kami menunggu bus untuk menuju rumah majikan bapak. Nama majikan bapak adalah Congat dan isterinya namanya India.

Setelah bus tiba, kenek bus langsung berteriak: “last bus”, “last bus”…. Aku bertanya pada bapak apa artinya? “Dia bilang bahwa ini adalah bus terakhir”, tegas bapak. Aku terdiam sambil mengangukan kepala tanda sudah mengerti. Ketika kami naik di bus, pak kenek langsung menanyakan kabar bapak. Karena sudah sering naik bus itu, bapak sangat akrab dengan mereka, tetapi aku tidak. Ketika bus sudah melaju dengan kencang, aku bertanya lagi kepada bapak demikian: “Pak, siapa namanya itu tadi?” “Kalau sopirnya namanya Ahiaw dan keneknya bernama Afong, panggilan akrabnya pak Fong”, jawab bapak saya. Kemudian aku terdiam lagi dan mengalihkan perhatian ke luar jendela bus sambil menikmati pemandangan. Terkadang tidak jarang aku mengantuk dan tertidur karena kelelahan setelah berjalan kaki sekitar 15 jam dari desa kami ke Biawak.

Setelah sampai di tujuan, aku langsung bermain dengan anak-anak majikan bapak, beserta anak-anak tetanga. Seperti si Bengkeng, si Bony, si Monika, si Dara, si Tadong, si Jesi, si Morin, si Keni, si Iren, si Lopon, si Baraem, si Tomy dan masih banyak lagi. Semuanya di sapa dengan awalan si, itulah kebiasaan di Malaysia. Karena sudah terlalu lama tidak bertemu dengan mereka, yaitu sudah 22 tahun, aku tidak ingat yang lainnya.

Tetapi, satu hal yang tidak bisa terlupakan oleh ku hingga saat ini, dan bahkan mungkin sampai maut menjemput ku, yaitu, bahwa AKU DAN BAPA ADALAH SATU. Sebagai anak tunggal, aku bergantung sepenuhnya kepada bapak. Demikian sebaliknya, yaitu bapak begitu mengasihi dan bertanggung jawab sepenuhnya terhadap aku. Ketergantunganku terhadap bapak membuatku tidak kuatir terhadap apapun yang akan terjadi dalam hidupku. Mengapa? Karena bapakku hidup di dalam hatiku. Itulah sebabnya aku sangat takut saat terpisah dari bapak. Pernah beberapa kali bapak pergi malam-malam tanpa memberi tahuku terlebih dahulu kemana ia akan pergi. Saat itu, memang aku tertidur pulas, jadi tidak takut. Tetapi ketika pagi hari, aku melihat banyak udang dan ikan di dalam ember. Ternyata, malam itu bapak mencari lauk ke sungai. Kemudian pagi-pagi bapak sudah berangkat menyadap karet. Sungguh, kasih yang tulus itu membutuhkan sebuah pengorbanan.

Aku sadar bahwa, jika orangtua saja berusaha memberikan yang terbaik bagi anak-anaknya, maka apalagi Tuhan. Bukankah Tuhan itu jauh lebih peduli, mengasihi dan memelihara setiap orang yang terus menyatu dengan-Nya. Hidup menyatu dengan Tuhan adalah sama artinya dengan menyandarkan seluruh harapan hidup kita ke dalam pemeliharaan-Nya. Karena sebenarnya, Tuhan itu sangat peduli dengan mereka yang berharap penuh pada-Nya. Aku juga menyadari, bahwa baru bapakku yang meninggalkan, aku sudah sangat ketakutan, apalagi Tuhan. Artinya, saya sangat sadar, bahwa saya tidak bisa hidup tanpa Tuhan. Karena di luar Tuhan, maka hidup manusia tidak akan berarti apa-apa. Di luar Tuhan, hidup manusia itu seperti ranting yang tidak menghasilkan buah. Dan di luar Tuhan, hidup manusia itu tidak akan pernah menghasilkan yang terbaik.

Saat itu memang saya tergantung pada bapakku, tetapi sekarang, aku bergantung sepenuhnya kepada Tuhan. Saat itu saya mengatakan AKU DAN BAPA ADALAH SATU. Tetapi sekarang, saya akan mengatakan bahwa AKU DAN TUHAN ADALAH SATU. Kedua orangtuaku memang sudah tiada, dan mereka sudah tidak bisa membantu dan menolongku dalam banyak hal. Tetapi aku punya Tuhan yang tidak pernah lalai untuk memberikan pertolongan-Nya atasku. Karena itu, berbahagialah mereka yang masih memiliki kedua orangtua, sebab kepadanya mereka bisa mengadu dan berbagi cerita suka maupun duka. Tetapi yang lebih berbahagia adalah orang yang tidak memiliki kedua orangtua dan saudara kandung, karena hanya kepada Tuhanlah ia akan mengadukan semua permasalahannya, menceritakan suka dan dukanya, serta menyandarkan secara total harapan dan masa depan hidupnya.

Dalam konteks itulah Yesus mengatakan kepada murid-murid: Aku tidak akan meninggalkan kamu sebagai yatim piatu. Aku datang kembali kepadamu (Yohanes 14:18). Saat itu, murid-murid-Nya sudah mulai merasakan bahwa Yesus akan dihukum mati di Kalvari. Murid-murid-Nya sudah mulai kuatir dan merasa takut bahwa Yesus tidak akan bersama-sama mereka lagi. Mereka merasa kuatir dan takut atas banyak hal yang harus mereka hadapi tanpa Yesus. Ketika mereka mengalami berbagai masalah kehidupan, maka tidak ada lagi yang dapat menolong dan membela mereka. Apalagi saat itu, mereka sedang dikejar-kejar oleh orang-orang Yahudi yang membenci Yesus. Dalam pergumulan itulah, Yesus mengatakan: Aku tidak akan meninggalkan kamu sebagai yatim piatu. Mendengar kalimat itu, murid-murid seolah-oleh merasa ragu dengan Yesus. Tetapi Yesus kembali menegaskan dengan kalimat pendek: Aku datang kembali kepadamu. Inilah kalimat penutup yang sangat menguatkan dan memberi semangat hidup yang baru untuk menjalani kehidupan di dalam dunia yang kejam dan menakutkan.

Perhatikan frasa tidak akan! Frasa ini mengandung sebuah pengharapan dari murid-murid, bahwa Yesus pasti selalu bersama-sama dengan mereka dan setiap orang yang menaruh harapan pada-Nya. Selanjutnya, frasa “yatim piatu” menegaskan, bahwa sekalipun mereka merasa tinggal seorang diri, tanpa orangtua, sanak-saudara, tetapi Yesus pasti selalu ada bersama dengan mereka dalam situasi apapun. Dan kalimat Aku datang kembali kepadamu memberi penegasan, bahwa sekalipun Yesus dihukum mati, tetapi Dia pasti bangkit dan bersama-sama dengan para murid-Nya kembali.

Membaca teks di atas aku merasa, bahwa Yesus mengatakan hal yang sama kepadaku saat aku merasa ditinggalkan oleh orang-orang yang sangat ku kasihi. Aku merasa sangat kuatir hidup tanpa mereka. Tetapi Yesus dengan suara lantang mengatakan kepadaku: Aku tidak akan meninggalkan kamu sebagai yatim piatu. Aku datang kembali kepadamu. Itulah janji abadi yang Tuhan berikan kepadaku dan memberikan harapan serta kekuatan baru dalam hidupku. Kapan Dia tidak bersama-sama dengan aku? Yang pasti bukan dulu dan bukan juga nanti, tetapi sekarang dan selama-lamanya.

No comments:

Post a Comment