Oleh: Sugiman
Batu Hitam, itulah nama tempat kelahiranku. Batu Hitam adalah salah satu desa terpencil,
terisolasi dan terabaikan di Kecamatan Sajingan Besar, Kabupaten Sambas
Kalimantan Barat. Tetapi saat ini, sudah agak maju, tenaga listrik dan jalan
aspal sudah ada meskipun bukan bantuan dari Indonesia, melainkan dari negara
tetangga, yaitu Malaysia. Sejak aku lahir 15 April 1985 dan bahkan sebelumnya,
desa Batu Hitam telah memiliki hubungan baik dengan negara perbatasan itu.
Hasil karet, binatang buruan dari hutan, lada, buah durian, dan yang lainnya
tidak jarang di jual ke Malaysia. Mengapa? Karena perbatasan antara Malaysia
dan Indonesia sangat dekat. Oleh sebab itu, mata uang Malaysia sudah tidak
asing lagi di daerahku, dan bahkan bisa dikatakan mata uang sementara di desa
kami. Bahkan, hampir semua keperluan rumah tangga berasal dari Malaysia (gula,
kopi, garam, minyak goreng, mie, tabung gas dll). Bahkan, hingga saat ini pun
RM dan Rp tetap menjadi dua mata uang yang menjadi alat transaksi di sana,
khususnya di Kecamatan Sajingan Besar.
Aku ingat betul sewaktu almarhum bapak yang sering bepergian ke Malaysia
tahun 1988-1993, dan menetap di sana dalam jangka waktu tertentu untuk bekerja
sebagai buruh tani. Aku sering diajak oleh bapak ke tempat kerjanya. Dari desa
Batu Hitam, kami berjalan kaki menuju Biawak, yaitu perbatasan antara Indonesia
dan Malaysia, tetapi sudah termasuk daerah Malaysia. Saat itu, jalan tentu tidak
sebagus sekarang yang sudah beraspal (tahun 2012). Melainkan berjalan kaki
menelusuri jalan setapak, menyeberangi sungai demi sungai dan mendaki gunung
demi gunung pun dilewati. Seperti gunung Tempayan di desa Keranji dan gunung
Kaliao di Sajingan Besar. Itulah dua gunung yang paling tinggi saat itu.
Aku sangat bangga pada bapak, yaitu setiap kali mendaki gunung, dia
pasti menggendongku meskipun barang
bawaannya sangat berat. Ketika sudah sampai di puncak gunung aku baru
diturunkan dari pundaknya. Itu berarti, aku harus berjalan sendiri untuk
menuruni gunung Kaliao dan turun menuju lembahnya. Saat mencapai kaki gunung
Kaliao, aku sangat senang. Kebun kopi, koko dan durian yang ditanam dengan
sangat rapi pertanda, bahwa kami sudah memasuki daerah Malaysia. Tinggal butuh
30 menit lagi untuk sampai dan menginjakan kaki di Biawak nama sebuah tempat
perbatasan Indonesia – Malaysia. Di Biawaklah kami menunggu bus untuk menuju
rumah majikan bapak. Nama majikan bapak adalah Congat dan isterinya namanya India.
Setelah bus tiba, kenek bus langsung berteriak: “last bus”, “last bus”….
Aku bertanya pada bapak apa artinya? “Dia bilang bahwa ini adalah bus terakhir”,
tegas bapak. Aku terdiam sambil mengangukan kepala tanda sudah mengerti. Ketika
kami naik di bus, pak kenek langsung menanyakan kabar bapak. Karena sudah
sering naik bus itu, bapak sangat akrab dengan mereka, tetapi aku tidak. Ketika
bus sudah melaju dengan kencang, aku bertanya lagi kepada bapak demikian: “Pak,
siapa namanya itu tadi?” “Kalau sopirnya namanya Ahiaw dan keneknya bernama
Afong, panggilan akrabnya pak Fong”, jawab bapak saya. Kemudian aku terdiam
lagi dan mengalihkan perhatian ke luar jendela bus sambil menikmati
pemandangan. Terkadang tidak jarang aku mengantuk dan tertidur karena kelelahan
setelah berjalan kaki sekitar 15 jam dari desa kami ke Biawak.
Setelah sampai di tujuan, aku langsung bermain dengan anak-anak majikan
bapak, beserta anak-anak tetanga. Seperti si Bengkeng, si Bony, si Monika, si
Dara, si Tadong, si Jesi, si Morin, si Keni, si Iren, si Lopon, si Baraem, si
Tomy dan masih banyak lagi. Semuanya di sapa dengan awalan si, itulah kebiasaan
di Malaysia. Karena sudah terlalu lama tidak bertemu dengan mereka, yaitu sudah
22 tahun, aku tidak ingat yang lainnya.
Tetapi, satu hal yang tidak bisa terlupakan oleh ku hingga saat ini, dan
bahkan mungkin sampai maut menjemput ku, yaitu, bahwa AKU DAN BAPA ADALAH SATU. Sebagai anak tunggal, aku bergantung
sepenuhnya kepada bapak. Demikian sebaliknya, yaitu bapak begitu mengasihi dan
bertanggung jawab sepenuhnya terhadap aku. Ketergantunganku terhadap bapak membuatku
tidak kuatir terhadap apapun yang akan terjadi dalam hidupku. Mengapa? Karena bapakku
hidup di dalam hatiku. Itulah sebabnya aku sangat takut saat terpisah dari
bapak. Pernah beberapa kali bapak pergi malam-malam tanpa memberi tahuku
terlebih dahulu kemana ia akan pergi. Saat itu, memang aku tertidur pulas, jadi
tidak takut. Tetapi ketika pagi hari, aku melihat banyak udang dan ikan di
dalam ember. Ternyata, malam itu bapak mencari lauk ke sungai. Kemudian pagi-pagi
bapak sudah berangkat menyadap karet. Sungguh, kasih yang tulus itu membutuhkan
sebuah pengorbanan.
Aku sadar bahwa, jika orangtua saja berusaha memberikan yang terbaik
bagi anak-anaknya, maka apalagi Tuhan. Bukankah Tuhan itu jauh lebih peduli, mengasihi
dan memelihara setiap orang yang terus menyatu dengan-Nya. Hidup menyatu dengan
Tuhan adalah sama artinya dengan menyandarkan seluruh harapan hidup kita ke
dalam pemeliharaan-Nya. Karena sebenarnya, Tuhan itu sangat peduli dengan
mereka yang berharap penuh pada-Nya. Aku juga menyadari, bahwa baru bapakku
yang meninggalkan, aku sudah sangat ketakutan, apalagi Tuhan. Artinya, saya
sangat sadar, bahwa saya tidak bisa hidup tanpa Tuhan. Karena di luar Tuhan,
maka hidup manusia tidak akan berarti apa-apa. Di luar Tuhan, hidup manusia itu
seperti ranting yang tidak menghasilkan buah. Dan di luar Tuhan, hidup manusia
itu tidak akan pernah menghasilkan yang terbaik.
Saat itu memang saya tergantung pada bapakku, tetapi sekarang, aku
bergantung sepenuhnya kepada Tuhan. Saat itu saya mengatakan AKU DAN BAPA ADALAH SATU. Tetapi
sekarang, saya akan mengatakan bahwa AKU
DAN TUHAN ADALAH SATU. Kedua orangtuaku memang sudah tiada, dan mereka
sudah tidak bisa membantu dan menolongku dalam banyak hal. Tetapi aku punya
Tuhan yang tidak pernah lalai untuk memberikan pertolongan-Nya atasku. Karena
itu, berbahagialah mereka yang masih memiliki kedua orangtua, sebab kepadanya
mereka bisa mengadu dan berbagi cerita suka maupun duka. Tetapi yang lebih
berbahagia adalah orang yang tidak memiliki kedua orangtua dan saudara kandung,
karena hanya kepada Tuhanlah ia akan mengadukan semua permasalahannya,
menceritakan suka dan dukanya, serta menyandarkan secara total harapan dan masa
depan hidupnya.
Dalam konteks itulah Yesus mengatakan kepada murid-murid: Aku tidak akan meninggalkan kamu
sebagai yatim piatu. Aku datang kembali kepadamu (Yohanes 14:18). Saat
itu, murid-murid-Nya sudah mulai merasakan bahwa Yesus akan dihukum mati di
Kalvari. Murid-murid-Nya sudah mulai kuatir dan merasa takut bahwa Yesus tidak
akan bersama-sama mereka lagi. Mereka merasa kuatir dan takut atas banyak hal
yang harus mereka hadapi tanpa Yesus. Ketika mereka mengalami berbagai masalah
kehidupan, maka tidak ada lagi yang dapat menolong dan membela mereka. Apalagi saat
itu, mereka sedang dikejar-kejar oleh orang-orang Yahudi yang membenci Yesus. Dalam
pergumulan itulah, Yesus mengatakan: Aku
tidak akan meninggalkan kamu sebagai yatim piatu. Mendengar kalimat itu,
murid-murid seolah-oleh merasa ragu dengan Yesus. Tetapi Yesus kembali
menegaskan dengan kalimat pendek: Aku
datang kembali kepadamu. Inilah kalimat penutup yang sangat menguatkan dan
memberi semangat hidup yang baru untuk menjalani kehidupan di dalam dunia yang kejam
dan menakutkan.
Perhatikan frasa tidak akan! Frasa ini mengandung sebuah pengharapan dari
murid-murid, bahwa Yesus pasti selalu bersama-sama dengan mereka dan setiap
orang yang menaruh harapan pada-Nya. Selanjutnya, frasa “yatim piatu” menegaskan, bahwa sekalipun mereka merasa tinggal
seorang diri, tanpa orangtua, sanak-saudara, tetapi Yesus pasti selalu ada
bersama dengan mereka dalam situasi apapun. Dan kalimat Aku datang kembali kepadamu memberi penegasan, bahwa sekalipun Yesus
dihukum mati, tetapi Dia pasti bangkit dan bersama-sama dengan para murid-Nya
kembali.
Membaca teks di atas aku merasa, bahwa Yesus
mengatakan hal yang sama kepadaku saat aku merasa ditinggalkan oleh orang-orang
yang sangat ku kasihi. Aku merasa sangat kuatir hidup tanpa mereka. Tetapi Yesus
dengan suara lantang mengatakan kepadaku: Aku tidak akan meninggalkan kamu sebagai yatim piatu. Aku
datang kembali kepadamu. Itulah janji abadi yang Tuhan berikan kepadaku dan memberikan
harapan serta kekuatan baru dalam hidupku. Kapan Dia tidak bersama-sama dengan
aku? Yang pasti bukan dulu dan bukan juga nanti, tetapi sekarang dan
selama-lamanya.
No comments:
Post a Comment