Oleh: Sugiman
Pernahkah Anda mendengar kisah perjalanan hidup Margaret Haughery
(1813-1882)? Ia adalah seorang ibu dari banyak anak yatim piatu (the motherof the orphans) di kota New
Orleans pada jamannya. Setelah ia meninggal, orang-orang New Orleans mengabadikan
kisahnya dengan cara membuat sebuah patung dirinya yang sedang duduk pada
sebuah kursi pendek, dengan lengan merangkul seorang anak yang sedang bersandar
padanya. Itulah salah satu patung yang pertama kali didirikan tahun 1884 di
Amerika Serikat untuk menghormati seorang tokoh wanita. Mengenai patung
dirinya itu, Sara Cone Bryant menuliskan dalam artikelnya, bahwa wanita cantik itu
sama sekali tidak cantik. Ia mengenakan sepasang sepatu murahan, tebal dan
kusam, juga busana biasa yang dikenakannya, dengan sebuah syal kecil dan bonnet untuk melindungi kepalanya dari
sengatan terik cahaya Matahari. Perawakannya pendek dan gempal, tetapi tatapan matanya
pada Anda seolah-olah dia adalah ibumu sendiri. Untuk lebih detailnya
perhatikan kisahnya berikut ini!
Ketika masih sesosok bayi mungil, kedua orangtua Margaret telah
meninggal dunia. Kemudian ia dipungut oleh dua orang muda yang sama miskin
dengan keluarganya. Tetapi keramahan dan belaskasihan keduanya sama dengan
keramah yang pernah ia dapatkan dari kedua orangtuanya. Hingga dewasa ia masih
tinggal bersama-sama dengan mereka seperti layaknya kehidupan keluarga yang
bahagia. Kemudian ia menikah dan mempunyai anak, tetapi tidak lama kemudian
suami meninggal, dan begitu pula dengan anaknya saat masih bayi. Saat itulah ia
mulai hidup menjanda, menjalani kehidupan seorang diri dengan berbagai kepahitan
hidup adalah perjuangan yang sangat berat baginya. Ia hidup di dalam kemiskinan,
tetapi ia adalah seorang perempuan yang sangat kuat dan tegar. Bahka, kemiskinan
hidup yang dialaminya telah mengajarinya banyak cara dalam bekerja.
Berangkat pagi hingga malam ia bekerja tanpa mengeluh, yaitu menyetrika
pakaian di perusahan binatu dan itu ia lakukan sepanjang hari. Karena
berdekatan dengan sebuah jendela, maka ia sering mengamat-amati anak-anak panti
asuhan yang sedang bekerja dan bermain, yang letaknya tidak jauh dari tempatnya
bekerja. Ia begitu terharu melihat canda tawa yang mereka perlihatkan. Tetapi,
dalam waktu yang tidak begitu lama, seluruh kota itu dilanda wabah penyakit
yang sangat dahsyat, hebat dan mematikan. Sebagai akibatnya, banyak sekali ibu
dan bapak yang menjadi korban jiwa dalam peristiwa itu, sehingga banyak anak
yatim piatu yang mereka titipkan di dunia untuk dirawat dan dipelihara di panti
asuhan. Kesepian, kesedihan dan luka batin yang mendalam terpancar di wajah
mereka, yaitu betapa mereka sangat membutuhkan sahabat yang baik dalam
hidupnya. Kini sosok orangtua yang diharapkan untuk dapat menjadi matahari dan
lilin dalam malam yang gelap telah tiada. Dalam keadaan yang sangat sulit dan
miskin itulah Margaret tergerak oleh belaskasihan yang sangat mendalam. Sesegera
mungkin menemui para biarawati yang mengelola panti asuhan itu dan mengatakan
bahwa ia bersedia menyumbangkan sebagian dari upahnya untuk anak-anak yatim
piatu, dan ia akan bekerja bagi mereka. Berkat dari kerja kerasnya, dalam waktu
yang cukup singkat ia berhasil menyisihkan uang yang cukup banyak dan membeli
dua ekor sapi beserta sebuah kereta dorong. Setiap pagi ia berkeliling
mengantarkan susu kepada para pelanggan mengunakan kereta dorongnya. Dari hotel
ke hotel dan rumah-rumah berada ia meminta sisa-sisa makanan untuk anak-anak yatim
piatu yang kelaparan. Dalam masa yang sangat sulit itu, sering hanya itulah
yang mereka makan.
Setiap minggu, sebagian uang yang didapatkan oleh Margaret disetorkan ke
panti asuhan, dan beberapa tahun kemudian panti asuhan itu menjadi jauh lebih
besar dan baik. Berkat situasi yang sulit itu, Margaret memiliki kecerdasan
yang luar biasa dalam berbisnis. Dia tidak hanya mampu menyumbangkan sebagian
dari penghasilannya kepada panti asuhan, tetapi ia juga mampu mendirikan sebuah
panti asuhan khusus bayi dengan sebutan “pondok bayi”. Bahkan ia mampu membeli
sapi lagi demi anak-anak yang sangat ia kasihi. Selanjutnya, dalam beberapa
waktu kemudian, Margaret akhirnya mendirikan usaha pembuatan roti. Setiap hari ia
bekerja membuat roti sebagai penganti usaha susu parahnya. Setiap hari,
pagi-pagi ia sudah menjajakan roti-roti buatannya kepada pelanggannya seperti
pada waktu mengantarkan susu, dengan kereta dorongnya. Pengorbanan yang besar, demi
anak-anak yatim piatu yang sangat ia kasihi, ia melakukan semua pekerjaan
dengan tekun dan hati mulia.
Sulitnya hidup semakin sangat terasa ketika terjadi Perang Saudara
Amerika yang sangat dahsyat pada saat itu. Dalam keadaan yang serba sulit,
serba sakit dan menakutkan, Margaret tetap menjajakan roti-rotinya dengan
kereta dorongnya. Bahkan ia masih mempunyai cukup roti untuk dibagikan kepada para
serdadu yang kelaparan di medan pertempuran, dan untuk bayi-bayi yang ada di
panti asuhannya, selain yang dijual kepada para pelanggannya. Mekipun begitu,
yakni banyak yang disumbangkan, ia tetap mempunyai penghasilan yang cukup dan
bahkan lebih dari cukup. Hal itu terlihat setelah perang berhenti, ia membangun
sebuah pabrik roti besar dengan mesin tenaga uap. Inilah yang menyebabkan namanya
dikenal oleh setiap orang yang hidup di kota itu. Bahkan anak-anak di seluruh kota
itu begitu mencintainya. Para pengusaha yang sebelumnya tidak mengenal dirinya,
kini mereka merasa sangat hormat kepadanya. Kaum miskin berdatangan kepadanya
untuk meminta nasihat. Itulah sebabnya, ia selalu duduk di kantor dengan pintu
yang terbuka. Penampilan begitu sederhana, mengenakan gaun belacu, dengan sebuah
syal kecil saat memberi saran kepada semua orang kaya dan miskin di kota itu.
Seiring berjalannya waktu, kemudian Margaret meninggal dunia. Dalam pembacaan
surat wasiat yang dihadiri oleh banyak orang, bahwa ia masih memiliki tabungan
yang jumlahnya tidak sedikit, yaitu tiga puluh dolar dan semuanya itu
dihibahkan kepada panti-panti asuhan lain di kota yang sama, dan masing-masing
menerima bagian dari warisannya. Entah itu panti asuhan anak-anak kulit putih,
maupun anak-anak panti asuhan kulit hitam, atau baik orang Yahudi, Katolik maupun
Protestan, dan bahkan yang lainnya diperlakukan sama dan merata; karena
Margaret selalu berkata, “Mereka sama-sama yatim piatu”. Saat itulah semua
orang di kota itu mengetahui, bahwa meskipun ia selalu memberikan sebagian besar
dari penghasilannya dan selalu memberi, tetapi ia tetap berkecukupan, bahagia
dan tidak pernah berkekurangan.
Selanjutnya, yang lebih mengejutkan lagi adalah, surat wasiat itu hanya
ditandatanganinya dengan tanda silang, bukan nama, karena Margaret tidak pernah
belajar membaca atau menulis. Ketika orang-orang New Orleans mendengar bahwa
Margaret meninggal, mereka mengatakan: Ia
adalah ibu bagi mereka yang tanpa ibu. Ia teman bagi mereka yang tidak memiliki
teman. Ia memiliki kebijaksanaan lebih agung daripada yang dapat diajarkan oleh
sekolah. Kita tidak akan membiarkan kenangan tentang dia memudar. Itulah
sebabnya mereka membuat sebuah patung dirinya, yang didirikan tepat seperti
biasanya ia terlihat, duduk di kantornya atau mendorong-dorong kereta kecil.
Dan di sanalah patungnya didirikan, untuk mengenang kembali kasih yang besar
dan kekuatan cinta yang dahsyat dari sosok manusia biasa, Margaret Haughery,
dari New Orleans.
No comments:
Post a Comment