Oleh:
Sugiman
Dibanding
penulis kitab Injil yang lain (Matius, Markus dan Yohanes), maka penulis Injil
Lukas lah yang memberikan perhatian sangat besar terhadap orang Samaria. Misalnya cerita indah yang dicatat Lukas mengenai orang Samaria yang
baik hati (Lukas 10:30-37); selanjutnya, kisah orang Samaria yang disembuhkan Tuhan Yesus karena kusta (Lukas 17:11-19). Bahkan Yesus mengutus murid-murid-Nya untuk bermisi ke Samaria juga dicacat oleh Lukas (Lukas 9:52-53). Meskipun misi itu ditolak oleh orang Samaria. Ketika Yesus menyuruh para pengikut-Nya untuk menjadi saksi-Nya di
Yerusalem dan di seluruh Yudea, maka tidak ada masalah sejauh itu. Tetapi ketika Yesus
menambahkan Samaria, tentu sangat mengherankan bagi pengikut-Nya yang berasal dari Yahudi. Hal ini tentu sangat asing bagi orang
Yahudi, karena bagai mana pun orang Samaria tetap dianggap bangsa kafir, rendah, berdosa, tidak
bermoral dan bahkan dianggap anjing (Lht. Markus 7:27-28 dan Matius 15:25-26). Mengapa bisa demikian?
Untuk menjawab
pertanyaan di atas, maka ada baiknya kita melihat latar belakang kota Samaria,
terutama dalam bidang keagamaan. Samaria adalah ibu kota Israel Utara. Sebelum ditaklukan
Asyur tahun 722 SM, Israel Utara telah hidup bersinkretisme atau menyembah dewa
bangsa-bangsa sekitarnya, seperti bangsa Hamat, Arabia bagian selatan, dan
Asyur. Kerja sama dalam bidang politik dan ekonomi adalah menjadi sarana yang
tepat mengenai masuknya penyembahan berhala di ibu kota Israel Utara (Samaria).
Bahkan praktik penyembahan berhala juga mereka lakukan di dalam Bait Suci di Betel.
Misalnya menyembah dewa Molokh (dewa sembahan bani Amon), yang kepadanya mereka
mempersembahkan kurban berupa anak sulung manusia. Selanjutnya, setelah
ditaklukan kerajaan Asyur, kehidupan keagamaan Israel Utara semakin bobrok,
yaitu mereka menyembah dewi Ashera dan dewi-dewi sembahan
Asyur lainnya. Kawin campur pun tak terhindarkan
setelah mereka hidup berbaur atau bergaul dengan orang-orang Asyur. Selanjutnya, mereka juga
menyembah dewa Baal, yaitu dewa kesuburan orang Kanaan.
Demikianlah
konteks keagamaan di Samaria saat itu. Itulah sebabnya, penduduk Samaria dipandang
rendah, dianggap bangsa tak ber-Tuhan dan dicap sebagai bangsa kafir, berdosa,
terpinggirkan, dan terhina. Alasan yang tidak kalah kuatnya atas anggapan di
atas adalah masalah masalah kawin campur. Kawin campur dengan bangsa non-Israel
adalah sama artinya dengan menodai kemurnian mereka sebagai umat Israel dan
bangsa pilihan Allah. Selain itu, kawin campur juga sama artinya dengan menukar
Allah Yang Esa dengan dewa-dewa sembahan bangsa non-Israel. Itulah konsep
pemikiran yang ditanamkan orang Israel, yang masih menganggap dirinya murni,
belum ternodai, tidak pernah melakukan kawin campur dengan wanita bangsa-bangsa
non-Israel.
Konsep pemikiran
seperti yang dijelaskan di atas tetap menjadi warisan yang tak terhapuskan
hingga pada jaman kehidupan Yesus. Itulah sebabnya, orang Samaria dalam teks
Lukas 17:11-19 yang disembuhkan Yesus disebut sebagai orang asing. Label ini
mengindikasikan bahwa pada saat itu penduduk kota Samaria tetap tidak dianggap
sebagai bangsa yang kasihi oleh Tuhan. Tetapi justru tetap dipandang sebelah
mata, yakni sebagai bangsa yang tidak beriman, kafir, sesat dan tidak
ber-Tuhan. Penduduk kota Samaria seolah-olah tidak pernah diberikan kesempatan
untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan dan kejahatan-kejahatan yang mereka
lakukan di masa lalu. Secara tidak langsung bangsa Israel mengatakan: “kami
orang saleh, suci, tidak berdosa, umat pilihan Allah, sedangkan kalian, sampai
kapan pun tetap sebagai umat berdosa dan tidak ber-Tuhan”. Bahkan penulis Injil
Yohanes mengatakan, bahwa orang Israel tidak pernah bergaul dengan orang
Samaria (Yoh. 4:1-42).Sungguh pemikiran yang sempit, angkuh, sombong dan picik.
Itulah sebabnya,
Lukas mengemukakan kebaikan-kebaikan yang dilakukan oleh orang Samaria, yang
selama ini ditutup-tutupi. Secara tidak langsung, Lukas ingin mengatakan bahwa
Tuhan saja memberikan kesempatan kepada mereka yang bertekat menyesali dan memperbaiki
kelakuan dan sikapnya yang jahat. Tapi mengapa, sesama manusia justru justru
kejamnya melebihi Tuhan? Pernyataan-pernyataan memang patut diajungi dua
jempol. Lukas begitu demokratis dan sangat terbuka menyatakan bahwa kebaikan
itu justru datang dari pikah, yang selama ini dipandang hina dan kafir. Lukas
melihat, bahwa kehadiran Yesus ternyata berusaha menghapuskan pemikiran yang
keliru itu, yang selama ini dipermanenkan oleh orang-orang Yahudi. Yesus telah merobohkan
tembok pemisah antara Yahudi dan Samaria. Apa yang dilakukan Yesus ternyata
memperihatkan bahwa Dia sangat mencintai persatuan, dan sekaligus untuk
menyatakan bahwa Tuhan mengasihi semua manusia tanpa terkecuali. Itulah juga
yang mau diperlihatkan oleh Lukas 17:11-19.
Perhatikan kata
“perbatasan” pada ayat 11! Ini
memperlihatkan, bahwa perbatasan itu sengaja dibangun untuk memisahkan pihak
orang yang SUCI dan yang BERDOSA, yang KAFIR dan yang BERTUHAN
dan seterusnya. Dengan kata lain, yang Israel, yang suci dan ber-Tuhan tidak
boleh memasuki daerah atau kota orang berdosa dan kafir (Samaria), karena haram
hukumnya. Tetapi Yesus justru melakukan perbuatan yang dipandang haram oleh
orang Yahudi. Perhatikan kalimat “Ketika Ia (Yesus) memasuki suatu desa
datanglah orang kusta menemui Dia” (ayat 12). Kalimat di atas
memberitahukan kepada kita, bahwa desa yang tidak disebutkan namanya itu kemungkinan
sengaja dibangun khusus sebagai tempat tinggal untuk orang-orang yang terkena
penyakit kusta. Itulah sebabnya, desa itu dikatakan terletak di perbatasan
antara Samaria dan Galilea. Artinya, entah itu orang dari Samaria atau dari
Yerusalem, Galilea dst, diisolasi di desa tersebut. Karena penyakit kusta
adalah penyakit menular, maka mereka berdiri agak jauh dari Yesus (lih. ayat
13). Seruan mereka meminta belas kasihan dari Yesus memperlihatkan, betapa tersiksanya
mereka, apalagi tidak dianggap oleh keluarga dan tidak pernah dikasihi,
diobati, dan dibawa ke tabib oleh saudara-saudaranya. Kecuali setelah mereka
sembuh baru boleh pulang ke rumah masing-masing. Kemungkinan yang sembilan orang
itu langsung pulang ke rumahnya masing-masing. Mereka lupa, bahwa mereka telah
disembuhkan oleh Yesus.
Pertanyaannya,
apakah Yesus tidak tahu, bahwa mereka akan pulang setelah disembuhkan, sehingga
hanya orang Samaria lah yang harus mengucap syukur? Saya yakin sepenuhnya bahwa
Yesus tahu hal itu. Tetapi mengapa Yesus masih menyembuhkan mereka? Jawabannya HANYA KARENA KASIH. Perhatikan kata “memandang” pada ayat 14! Dalam bahasa
aslinya (Yunani) mengunakan kata “eido”
bentuk imperatif (perintah)! Artinya, Yesus tidak hanya melihat kemudian membiarkan,
tetapi melihat dengan penuh belaskasihan dan harus menyembuhkan mereka. Kemungkinan
yang sembilan orang itu adalah orang Yahudi. Itulah sebabnya Yesus menyuruh
mereka memperlihatkan apa yang telah mereka alami kepada imam-imam. Tetapi, setelah sembuh ternyata mereka lupa pada Yesus dan
tidak mengucap syukur pada Tuhan. Dan justru
orang yang dianggap hina yang ingat bahwa dirinya harus mengucap syukur pada
Yesus.
Ucapan syukur
dari yang hina itu diperlihatkan secara gamblang pada ayat 15-16. Dikatakan demikian:
15. Seorang dari mereka, ketika melihat
bahwa ia telah sembuh, kembali sambil memuliakan Allah dengan suara nyaring, 16. lalu tersungkur di depan kaki Yesus dan
mengucap syukur kepada-Nya. Orang itu adalah seorang Samaria. Kalimat “memuliakan
Allah dengan suara nyaring” pada ayat 15 memperlihatkan, betapa bahagianya ketika
ia telah sembuh, dan kata “tersungkur” pada ayat 16 untuk memperlihatkan betapa
tulusnya ucapan syukur yang dia panjatkan kepada Allah. Melihat kesungguhan dan
ketulusan ucapan syukur itu, maka Yesus mengatakan: Berdirilah dan pergilah, imanmu telah menyelamatkan engkau (ayat 19). Sungguh ucapan syukur yang begitu tulus dan mulia. Meskipun dipandang
hina dan kafir atau tidak ber-Tuhan, oleh mereka yang menganggap dirinya benar,
kudus dan ber-Tuhan, tetapi melalui peristiwa itu, Yesus memperlihatkan betapa
Allah melihat hati yang tulus dan penuh kerendahan hati untuk memperbaiki
kesalahan-kesalahan di masa lalu. Tetapi serenmtak dengan itu, Yesus
memperlihatkan, bahwa orang Samaria juga dikasihi oleh Allah.
Maka alangkah memalukannya
hal itu bagi orang Israel ketika Yesus mengatakan, bahwa yang sembilan orang
itu tidak memuliakan Allah (baca ayat 17-18). Perhatikan kalimat tanya Yesus
berikut: Di manakah yang sembilan orang
itu? Secara tidak langsung, Yesus ingin mengatakan: di mana letak kesucian
kalian sebagai umat pilihan Allah? Kemudian Yesus meneruskan perkataannya dengan
nada yang lebih tegas demikian: Tidak
adakah mereka yang kembali untuk memuliakan Allah selain dari pada orang asing
ini?. Secara tidak langsung, Yesus ingin mengatakan bahwa: mengapa kalian yang kudus, yang tidak
berdosa, dan menganggap diri ber-Tuhan, tetapi justru tidak memperlihatkan
bahwa hidup kalian ber-Tuhan? Dengan kata lain, jika mereka adalah umat
ber-Tuhan, tetapi mengapa mereka tidak mengucap syukur pada Tuhan, tetapi
justru mengabaikannya? Melainkan orang yang dianggap hina, kafir, asing, dan
tidak ber-Tuhan (orang Samaria) yang mengucap syukur. Kalimat itu pasti sangat menyakitkan,
memukul dan memalukan bagi orang Yahudi yang mendengarnya saat itu. Maka, harus
diakui bahwa itu adalah salah satu alasan mengapa Yesus sangat dibenci oleh
orang Yahudi, dan punyak kebencian itu terbukti ketika Yesus diSalibkan.
Jika kita
merefleksikan teks di atas dalam kehidupan kita sehari-hari, bukankah pemikiran
yang sama dengan pemikiran orang Yahudi yang sering kita pelihara dan
agung-agungkan? Kita cenderung menganggap diri kitalah orang yang paling suci,
kudus, ber-Tuhan dan telah diselamatkan oleh Tuhan Yesus, dan kita menklaim
bahwa kita pasti masuk surga. Mereka yang beragama lain kita anggap kafir,
berdosa, tidak ber-Tuhan dan pasti menjadi penghuni neraka. Pernyataan yang
sangat sombong, arogan, angkuh, picik dan sempit. Bahkan tidak jarang sesama
warga gereja pun kita sering menghakimi sesama kita sebagai pendosa (orang yang
berdosa dan terus-menerus melakukan dosa), tetapi kita lupa bahwa diri kita
masih manusia dan bukan Tuhan. Kita cenderung melihat seberapa besar dosa orang
lain dibandingkan melihat seberapa besar dosa yang ada di dalam diri kita. Perkataan
dan perbuatan-perbuatan kita tidak menunjukan bahwa kita adalah orang
ber-Tuhan. Demikian juga dalam ucapan syukur, yaitu justru mereka yang kita
anggap tidak ber-Tuhan yang rajin mengucap syukur pada Tuhan. Sementara kita
lebih mengikuti apa yang dilakukan oleh yang sembilan orang tadi, yaitu lupa
dan bahkan tidak mau bersyukur atas apa yang telah Tuhan berikan dan lakukan
dalam hidup kita. Jika sikap itu yang kita pelihara, maka kita harus belajar
dari orang Samaria, yang hina dan dianggap berdosa, tetapi memperlihatkan bahwa
dirinya adalah orang yang beriman kepada Tuhan.
No comments:
Post a Comment