Monday, 2 April 2012

ESENSI YANG SERING DIABAIKAN SEORANG GURU


Oleh: Sugiman

Pemahaman yang keliru dan dan kesalahan yang sering dilakukan oleh para guru di sekolah-sekolah adalah membatasi diri untuk belajar. Betapa tidak, banyak guru menganggap para murid-muridnya adalah anak-anak kemarin, tidak berpengalaman, tidak tahu apa-apa, dan sangat lugu. Karena itu, tidak jarang para guru mengungkapkan kata-kata yang merendahkan, menghina, memojokkan, menganggap remeh, dan memandang sebelah mata akan eksistensi para muridnya. Misalnya, sewaktu masih kelas 3 SD saya pernah dikatakan bodoh, tidak berotak oleh seorang guru yang juga sekaligus menjabat sebagai kelapa Sekolah di SD Negeri No.10 Batu Hitam. Karena tidak ada penghapus papan tulis, maka saya sebagai ketua kelas disuruh maju, ketika saya maju ke depan, dia memegang kepala saya untuk menghapus papan tulis. Setelah itu dia mengatakan, itulah konsekuensi yang harus ditanggung oleh ketua kelas. Selanjutnya, dia juga memanggil wakil ketua kelas yang sering kami sapa Marton, ternyata si “guru penjajah” melakukan hal yang sama terhadapnya. Kami berdua tidak bisa berbuat apa-apa. Hanya perasaan takut, gemetar dan rasa malu lah yang kami rasakan. Disaksikan oleh teman-teman sekelas, wah sangat malu. Untung suasana kelas sangat hening, seperti suasana di tengah malam atau dini hari. Rambut kami berdua memutih seperti uban karena kapur tulis. Sungguh guru yang tidak mendidik dan tidak berkeprikemanusiaan.

Seiring berjalannya waktu, dan singkat saya sudah kelas 5 SD. Peristiwa berbeda, namun kandungan nilai diskriminasi dan kekerasan yang sama juga dialami oleh adik-adik kelas saya (kelas 4-2 SD). Peraturan yang mereka buat begini: siapa yang menonton TV harus dihukum. Hukumannya adalah siswa harus berjalan dengan lutut di lantai berpasir dan menuju kelas masing-masing. Lantainya terbuat dari papan kayu. Saya ingat betul, saat itu banyak dari lutut siswa-siswi yang terluka, kulitnya terkelupas hingga mereka tidak bisa berjalan dan menangis-nangis menahan sakitnya. Sangat tidak manusiawi. Hukuman yang tanpa dipikirkan dengan bijaksana. Dalam hati saya berpikir bahwa mereka bukan pendidik, dan bukan juga manusia seutuhnya. Saya bingung mau menyebut mereka apa, yang jelas mereka bukan pendidik. Tetapi semoga mereka sudah menjadi manusia seutuhnya saat ini. Tetapi, bagi saya mereka tetap tidak layak disebut guru atau seorang pendidik, guru bukan berjiwa preman atau memiliki karakter penjajah. Apakah begitu kualitas seorang guru? Tidak. Gguru itu seorang teladan kehidupan, pemikir masa depan, orangtua kedua dari para murid, dan sedangkan murid-murid hanya titipan Tuhan untuk mendapatkan pendidikan formal. Sangat mulia, tetapi dirusak oleh tangan-tangan yang tidak bertanggung jawab.

Peristiwa yang sudah 15 tahun silam di atas hingga saat ini pun sangat sulit dan bahkan tidak  dapat terlupakan. Namun tidak berarti saya membenci mereka, tetapi mengapa mereka menjadi guru yang memiliki mentalitas dan kualitas yang sangat bobrok? Setiap kali mengingat peristiwa itu, dalam hati saya berharap semoga hanya mereka yang bersifat demikian, dan semoga tidak ada lagi guru yang melanjutkannya. Tetapi, kenyataan tidak sesuai dengan harapan. Artinya, apa yang saya alami di masa lampau, ternyata masih dialami oleh siswa-siswi di masa sekarang (abad ke-21). Bahkan lebih ekstrim dari apa yang pernah saya alami. Banyak guru yang mendiskriminasi dan menganiaya para muridnya. Misalnya, Didik Henri Riyanto (9), siswa kelas tiga SD Nogosari 2, Kecamatan Ngadirojo, Kabupaten Pacitan, Jatim adalah salah satu dari 18 siswa korban penganiayaan oleh gurunya (Minggu, 31 Juli 2008).

Peristiwa yang sama juga dialami oleh Agus Sirianto salah seorang murid SMP 121 Koja Jakarta Utara yang menderita luka sobek di kepala setelah dianiaya oleh gurunya (berita di ANTV 19 Februari 2009). Selanjutnya, di Pekan Baru, Riau – Sumatera Utara, seorang guru olahraga SD Negeri Sibuluan memaksa murid-muridnya berkelahi di dalam kelas, akibatnya banyak siswa yang babak belur (disiarankan langsung di TV SCTP, 13 September 2009). Selanjutnya, di Wonogiri, Sukarjo (42) dan Nur Rohmat (22) adalah dua orang guru SD Negeri unggulan Islam di Sodoharjo diseret ke meja hijau setelah menganiaya Trisno hingga koma akibat luka parah yang dideritanya (Lih. www.infowonogiri.com). Selanjutnya, di Semarang, dua guru SMP Negeri kota Semarang menganiaya Ahmad Faiq IIham Nurmanjaya (12), siswa kelas IV tanpa alasan yang jelas (Lih. http://www.harianjoglosemar.com). Selanjutnya, di Jambi seorang guru honor di SMK Negeri di kota Jambi dijadikan tersangka setelah terbukti menganiaya Khairul Tamimi siswa kelas 1 di SMKN setempat (Jum’at, 30 September 2011) (Lih. http://www.republika.co.id). Dan masih banyak lagi berita-berita tentang guru yang sangat menyedihkan dan menyayat di hati. Bahkan sebagai guru, saya sangat malu bertemu dengan mereka yang mengetahui peristiwa itu. Menyedihkan.

Kerena nila setitik, rusak susu sebelanga. Ternyata pepatah Melayu ini sangat relevan dalam banyak kasus, termasuk kasus di atas. Artinya, betapa banyak guru yang merasa tidak melakukan hal-hal di atas, tetapi merasa tercoreng, ternodai nama baiknya, merasa dipermalukan oleh mereka yang tidak bertanggung jawab dalam dunia pendidikan. Menurut saya, mereka yang tidak bertanggung jawab dalam dunia didik-mendidik adalah tidak pantas disebut sebagai pendidik, melainkan sebagai perusak nilai-nilai kemuliaan yang Tuhan berikan kepada setiap orang. Guru seharusnya menyadari keterbatasannya. Seorang guru yang genius adalah guru yang tidak membatasi dirinya untuk terus belajar. Termasuk belajar dari nara didiknya. Karena begitu banyak guru yang merasa engan, merasa malu, merasa sudah tahu banyak hal, sehingga cenderung meremehkan kualitas nara didiknya. Padahal guru dan murid-muri sama-sama makhluk pelajar dan belajar. Artinya, murid tidak hanya belajar dari guru, tetapi guru juga harus belajar dari para muridnya. Seorang bijak dalam tulisannya pernah penulis demikian: Hai pemalas, pergilah kepada semut, perhatikanlah lakunya dan jadilah bijak (Amsal 6:6). Dalam konteks ini, penulis Amsal ingin mengatakan, bahwa setiap orang harus terus-menerus belajar, bahkan kehidupan semut pun dapat kita jadikan materi pelajaran atau guru kehidupan, guna menjadi bijaksana.

Orang yang bijak adalah orang yang tidak pernah berhenti belajar dalam hidupnya. Belajar bukanlah sesuatu yang memalukan, melainkan bagian dari hidup manusia yang harus dijalaninya hingga maut menjemputnya. Karena itu, tidak ada istilah terlambat bagi mereka yang mau belajar. Guru yang terdidik dan terpelajar adalah guru yang melihat murid-muridnya sebagai intan murni. Guru yang bijaksana adalah guru yang tidak pernah berhenti belajar sepanjang hidupnya, bahkan murid-muridnya pun dijadikan materi atau guru kehidupan olehnya. Karena sebenarnya, eksistensi guru tidak hanya sebagai pengajar, tetapi harus sebagai pendidik. Tidak jarang orang menyamakan makna kata pengajar dan pendidik. Padahal pengajar dan pendidik adalah dua kata benda yang sangat jauh berbeda makna. Seorang pengajar hanya mengajar dan tidak peduli murid-muridnya mengerti atau tidak. Sebaliknya, seorang pendidik, akan mengajar hingga si murid mengerti apa yang diajarkan oleh sang guru. Dan itulah esensi yang sering diabaikan oleh mereka yang menyandang profesi sebagai guru.

Ini adalah foto bersama anak-anak SD kelas 3 di Spring Garden School.

No comments:

Post a Comment