Oleh: Sugiman
Pemahaman yang keliru dan dan kesalahan yang sering dilakukan oleh para
guru di sekolah-sekolah adalah membatasi diri untuk belajar. Betapa tidak,
banyak guru menganggap para murid-muridnya adalah anak-anak kemarin, tidak
berpengalaman, tidak tahu apa-apa, dan sangat lugu. Karena itu, tidak jarang
para guru mengungkapkan kata-kata yang merendahkan, menghina, memojokkan,
menganggap remeh, dan memandang sebelah mata akan eksistensi para muridnya. Misalnya,
sewaktu masih kelas 3 SD saya pernah dikatakan bodoh, tidak berotak oleh
seorang guru yang juga sekaligus menjabat sebagai kelapa Sekolah di SD Negeri
No.10 Batu Hitam. Karena tidak ada penghapus papan tulis, maka saya sebagai
ketua kelas disuruh maju, ketika saya maju ke depan, dia memegang kepala saya
untuk menghapus papan tulis. Setelah itu dia mengatakan, itulah konsekuensi
yang harus ditanggung oleh ketua kelas. Selanjutnya, dia juga memanggil wakil
ketua kelas yang sering kami sapa Marton, ternyata si “guru penjajah” melakukan
hal yang sama terhadapnya. Kami berdua tidak bisa berbuat apa-apa. Hanya perasaan
takut, gemetar dan rasa malu lah yang kami rasakan. Disaksikan oleh teman-teman
sekelas, wah sangat malu. Untung suasana kelas sangat hening, seperti suasana di
tengah malam atau dini hari. Rambut kami berdua memutih seperti uban karena
kapur tulis. Sungguh guru yang tidak mendidik dan tidak berkeprikemanusiaan.
Seiring berjalannya waktu, dan singkat saya sudah kelas 5 SD. Peristiwa
berbeda, namun kandungan nilai diskriminasi dan kekerasan yang sama juga dialami
oleh adik-adik kelas saya (kelas 4-2 SD). Peraturan yang mereka buat begini: siapa
yang menonton TV harus dihukum. Hukumannya adalah siswa harus berjalan dengan
lutut di lantai berpasir dan menuju kelas masing-masing. Lantainya terbuat dari
papan kayu. Saya ingat betul, saat itu banyak dari lutut siswa-siswi yang terluka,
kulitnya terkelupas hingga mereka tidak bisa berjalan dan menangis-nangis
menahan sakitnya. Sangat tidak manusiawi. Hukuman yang tanpa dipikirkan dengan
bijaksana. Dalam hati saya berpikir bahwa mereka bukan pendidik, dan bukan juga
manusia seutuhnya. Saya bingung mau menyebut mereka apa, yang jelas mereka
bukan pendidik. Tetapi semoga mereka sudah menjadi manusia seutuhnya saat ini. Tetapi,
bagi saya mereka tetap tidak layak disebut guru atau seorang pendidik, guru bukan
berjiwa preman atau memiliki karakter penjajah. Apakah begitu kualitas seorang
guru? Tidak. Gguru itu seorang teladan kehidupan, pemikir masa depan, orangtua
kedua dari para murid, dan sedangkan murid-murid hanya titipan Tuhan untuk
mendapatkan pendidikan formal. Sangat mulia, tetapi dirusak oleh tangan-tangan
yang tidak bertanggung jawab.
Peristiwa yang sudah 15 tahun silam di atas hingga saat ini pun sangat sulit
dan bahkan tidak dapat terlupakan. Namun
tidak berarti saya membenci mereka, tetapi mengapa mereka menjadi guru yang memiliki
mentalitas dan kualitas yang sangat bobrok? Setiap kali mengingat peristiwa
itu, dalam hati saya berharap semoga hanya mereka yang bersifat demikian, dan
semoga tidak ada lagi guru yang melanjutkannya. Tetapi, kenyataan tidak sesuai
dengan harapan. Artinya, apa yang saya alami di masa lampau, ternyata masih
dialami oleh siswa-siswi di masa sekarang (abad ke-21). Bahkan lebih ekstrim
dari apa yang pernah saya alami. Banyak guru yang mendiskriminasi
dan menganiaya para muridnya. Misalnya, Didik Henri Riyanto (9), siswa kelas tiga SD
Nogosari 2, Kecamatan Ngadirojo, Kabupaten Pacitan, Jatim adalah salah satu dari 18 siswa korban
penganiayaan oleh gurunya (Minggu, 31 Juli 2008).
Peristiwa yang sama juga dialami oleh Agus Sirianto salah seorang murid
SMP 121 Koja Jakarta Utara yang menderita luka sobek di kepala setelah dianiaya
oleh gurunya (berita di ANTV 19 Februari 2009). Selanjutnya, di Pekan
Baru, Riau – Sumatera Utara, seorang guru olahraga SD Negeri Sibuluan memaksa
murid-muridnya berkelahi di dalam kelas, akibatnya banyak siswa yang babak
belur (disiarankan langsung di TV SCTP, 13 September 2009). Selanjutnya, di Wonogiri,
Sukarjo (42) dan Nur Rohmat (22) adalah
dua orang guru SD Negeri unggulan Islam di Sodoharjo diseret ke meja hijau
setelah menganiaya Trisno hingga koma akibat luka parah yang dideritanya (Lih. www.infowonogiri.com). Selanjutnya, di
Semarang, dua guru SMP Negeri kota Semarang menganiaya Ahmad Faiq IIham
Nurmanjaya (12), siswa kelas IV tanpa alasan yang jelas (Lih. http://www.harianjoglosemar.com). Selanjutnya, di Jambi seorang guru honor di
SMK Negeri di kota Jambi dijadikan tersangka setelah
terbukti menganiaya Khairul Tamimi siswa kelas 1 di SMKN setempat (Jum’at, 30 September 2011) (Lih. http://www.republika.co.id). Dan
masih banyak lagi berita-berita tentang guru yang sangat menyedihkan dan
menyayat di hati. Bahkan sebagai guru, saya sangat malu bertemu dengan mereka
yang mengetahui peristiwa itu. Menyedihkan.
Kerena nila setitik, rusak susu
sebelanga. Ternyata pepatah
Melayu ini sangat relevan dalam banyak kasus, termasuk kasus di atas. Artinya,
betapa banyak guru yang merasa tidak melakukan hal-hal di atas, tetapi merasa
tercoreng, ternodai nama baiknya, merasa dipermalukan oleh mereka yang tidak
bertanggung jawab dalam dunia pendidikan. Menurut saya, mereka yang tidak
bertanggung jawab dalam dunia didik-mendidik adalah tidak pantas disebut
sebagai pendidik, melainkan sebagai perusak nilai-nilai kemuliaan yang Tuhan
berikan kepada setiap orang. Guru seharusnya menyadari keterbatasannya. Seorang
guru yang genius adalah guru yang tidak membatasi dirinya untuk terus belajar. Termasuk
belajar dari nara didiknya. Karena begitu banyak guru yang merasa engan, merasa
malu, merasa sudah tahu banyak hal, sehingga cenderung meremehkan kualitas nara
didiknya. Padahal guru dan murid-muri sama-sama makhluk pelajar dan belajar. Artinya,
murid tidak hanya belajar dari guru, tetapi guru juga harus belajar dari para
muridnya. Seorang bijak dalam tulisannya pernah penulis demikian: Hai pemalas, pergilah kepada semut,
perhatikanlah lakunya dan jadilah bijak (Amsal 6:6). Dalam konteks ini, penulis Amsal
ingin mengatakan, bahwa setiap orang harus terus-menerus belajar, bahkan
kehidupan semut pun dapat kita jadikan materi pelajaran atau guru kehidupan,
guna menjadi bijaksana.
Orang yang bijak adalah orang yang tidak pernah berhenti belajar dalam
hidupnya. Belajar bukanlah sesuatu yang memalukan, melainkan bagian dari hidup
manusia yang harus dijalaninya hingga maut menjemputnya. Karena itu, tidak ada
istilah terlambat bagi mereka yang mau belajar. Guru yang terdidik dan
terpelajar adalah guru yang melihat murid-muridnya sebagai intan murni. Guru yang
bijaksana adalah guru yang tidak pernah berhenti belajar sepanjang hidupnya,
bahkan murid-muridnya pun dijadikan materi atau guru kehidupan olehnya. Karena sebenarnya,
eksistensi guru tidak hanya sebagai pengajar, tetapi harus sebagai pendidik. Tidak
jarang orang menyamakan makna kata pengajar
dan pendidik. Padahal pengajar dan
pendidik adalah dua kata benda yang sangat jauh berbeda makna. Seorang pengajar
hanya mengajar dan tidak peduli murid-muridnya mengerti atau tidak. Sebaliknya,
seorang pendidik, akan mengajar hingga si murid mengerti apa yang diajarkan oleh
sang guru. Dan itulah esensi yang sering diabaikan oleh mereka yang menyandang
profesi sebagai guru.
Ini adalah foto bersama anak-anak SD kelas 3 di Spring Garden School.
No comments:
Post a Comment