Thursday, 26 April 2012

EMPAT MALAM TERAKHIR ITU SANGAT BERKESAN BAGIKU


Oleh: Sugiman

Hatiku sangat bahagia setelah lulus kuliah di Sekolah Tinggi Teologi Cipanas – Jawa Barat. Selama empat tahun bergelut dengan buku, ditambah tiga kali Praktik Kerja Lapangan, praktik selama dua bulan 2x, yaitu di kepulauan Mentawai dan Pekanbaru – Riau. Sedangkan praktik selama enam bulan 1x di Paloh – Kalimantan Barat. Jadi jika ditotal waktu keseluruhan adalah genap lima tahun lamanya. Artinya, selama empat tahun empat bulan aku tidak pernah pulang ke kampung halaman, tempat di mana aku dilahirkan, khususnya di desa Batu Hitam – Kecamatan Sajingan Besar – Kebupaten Sambas – Kalimantan Barat. Hal itu aku lakukan bukan karena sudah melupakan tempat kelahiranku, tetapi karena keterbatasan ekonomi.

Setiap kali menjelang liburan, aku terkadang merasa iri dengan teman-teman yang pulang ke kampung halaman mereka. Setelah tiba di kampus mereka selalu membawa segudang cerita indah bersama keluarga di kampung. Alangkah senangnya hati bisa bertemu kembali dengan teman-teman, dan terlebih bertemu dengan orangtua di kampung, gumumku. Tapi sayang itu hanya hayalan yang tak pernah kesampaian atau terkabulkan dalam hidup selama kuliah. Itulah sebabnya, aku merasa sangat bersalah dengan bapak yang tinggal seorang diri di kampung. Seolah-olah aku sudah melupakan, tidak peduli dan tidak lagi menaruh perhatian padanya. Bahkan saat aku teringat pada bapak, tidak jarang aku meneteskan air mata sebelum tidur di malam hari.

Hatiku sangat sedih dengan keadaan yang tidak memungkinkan itu. Aku sangat kuatir dengan keadaan bapak yang tinggal seorang diri. Apalagi bapak tinggal jauh dari keramaian, yaitu tinggal di pondoknya yang terletak di tengah-tengah kebun karet. Kalau di ukur jarak tempuhnya kira-kira 1 kilo meter dari kampung utama (keramaian), itupun hanya bisa ditempuh dengan berjalan kaki, melewati sawah dan kebun karet. Semenjak aku masih duduk di Sekolah Dasar bapak memang sudah mengajakku tinggal di sebuah pondok kecil yang terletak di tengah kebun karet itu. Alasannya, karena setelah bangun pagi langsung bisa kerja atau menyadap pohon karet, tegas bapak. Tetapi setelah SMP dan SMA aku terpisah jauh dari bapak, yaitu membutuhkan satu hari perjalanan ke kampungku. Kalaupun pulang pada saat liburan kenaikan kelas, atau libur pada saat Lebaran, tahun baru Imblek atau Natal, aku pasti di rumah tante, adik almarhum ibu. Tetapi bapak selalu datang dan pasti disuruh nginap oleh tante selama aku liburan. Itulah sebabnya aku sangat rindu pada bapak.

Jarak kami menjadi sangat jauh ketika aku kuliah di STT Cipanas, yang sudah pasti tidak mungkin terjangkau dengan uang seratus ribu rupiah. Keadaan ekonomi yang terbatas telah memaksaku untuk tidak bertemu sementara waktu dengan bapak, yaitu selama kuliah. Yang lebih tidak masuk akal lagi adalah, selama kuliah aku tidak pernah berkomunikasi lewat telepon atau surat dengan bapak. Entah mengapa, untuk menulis sepujuk surat pun seolah tidak sempat. Padahal aku tahu, bahwa aku sangat rindu dan kuatir dengan keadaan bapak. Karena kesibukan, yaitu mengerjakan tugas-tugas yang diberikan oleh dosen, rasa rindu dan kuatirku seolah terasa terobati, sekalipun hanya untuk sementara waktu. Apalagi dikampungku belum ada kantor pos, dan sinyal handphone. Meskipun, sebenarnya itu bukan alasan yang tepat bagiku untuk tidak berkomunikasi dengan bapak. Tetapi itulah realita yang tidak bisa ku sembunyikan.

Setelah keadaan mulai santai, aku kembali teringat pada bapak, tetapi tetap saja aku tidak melakukan suatu tindakan apapun demi sebuah komunikasi. Padalah aku tahu, bahwa bapak pasti sangat rindu padaku. Tapi itulah kesalahan yang seharusnya tidak perlu kulakukan. Itulah sebabnya aku merasa sangat bersalah dan berdosa pada bapak. Mungkin banyak orang akan mengatakan, bahwa aku adalah salah seorang yang melupakan dan tidak berbakti pada orangtua. Tetapi itu telah terjadi dan tidak bisa direkonstruksi ulang atau dikembalikan. Kalau ada orang yang turun ke kota dan menghubungiku lewat handphone, dan hal pertama yang aku tanyakan pada mereka adalah bagaimana keadaan bapakku di kampung? Dengan nada santai, mereka selalu mengatakan jangan kuatir, karena bapak tetap sehat-sehat selalu dan bahkan dia sangat rajin beribadah. Sejenak aku merasa lega, tapi tetap saja aku sangat kuatir dengan keadaan bapak. Bahkan ketika mendengar, bahwa bapak semakin rajin beribadah membuatku ingin secepat mungkin bertemu dengan bapak. Dalam hati aku merasakan getaran betapa bapak selalu mendoakanku supaya berhasil.

Aku menggunakan kesempatan sebaik mungkin untuk menimba ilmu di STT Cipanas, sebelum tidur, aku selalu memohon kepada Tuhan supaya bapak dijauhkan dari segala sakit penyakit atau malapetaka lainnya. Aku selalu berharap bahwa bapak Tuhan pasti mendengarkan doa permohonanku. Dalam hati aku berjanji, bahwa suatu saat nanti, setelah aku berhasil dan pulang ke kampung, aku akan tinggal kembali bersama bapak seperti tiga belas tahun yang silam. Aku benar-benar tidak mau jauh lagi dari bapak. Aku ingin menjaga dan merawatnya dengan tanganku sendiri. Bahkan aku juga akan memperkenalkan kepada bapak mengenai seseorang yang akan menjadi pendamping hidupku kelak.

Aku selalu berharap kepada Tuhan, bahwa bapak akan menjadi matahari dalam hidupku. Demikian juga ketika aku tidur, bapak akan tetap menjadi sebatang lilin di sampingku. Aku sangat rindu dengan bapak, aku tidak sabar untuk bertemu dengan bapak yang sudah sekian lama terpisah jauh dariku. Ada banyak hal yang ingin aku ceritakan kepada bapak selama kuliah di STT Cipanas, baik suka maupun duka. Mungkin jika dituliskan dalam bentuk buku, waktu tiga bulan tidaklah cukup untuk membacanya. Sungguh, dalam setiap perjalanan hidup seseorang pasti ada suka dan dukanya. Itulah juga yang aku rasakan selama kuliah berlangsung, dan itulah harga yang harus aku bayar lunas, yaitu terhadap diriku sendiri, terhadap sponsor dan terlebih terhadap Tuhan yang telah memberikan aku kesempatan untuk kuliah.

Sukanya adalah, aku sangat bangga menjadi anak bapak, yang bisa bertemu dengan berbagai jenis manusia sekalipun sebenarnya aku berasal dari keluarga yang tidak mampu. Desa Batu Hitam, yaitu salah satu terpencil dan terabaikan di Kecamatan Sajingan Besar – Sambas – Kalimantan Barat telah menjadi saksi bisu atas keluargaku. Sedangkan dukanya adalah, aku tidak bisa bertemu dengan bapak seperti waktu aku masih di kampung. Aku tidak bisa melihat senyum dan tawa bapak ketika merasa bahagia dan kesedihan saat sulit melanda. Selain itu, aku juga tidak bisa membantu bapak lagi untuk mencari nafkah seperti tiga belas tahun yang silam. Tetapi aku yakin, bahwa Tuhan pasti mempertemukan kita kembali.

Beberapa minggu setelah ujian skripsi aku begitu bersemangat pulang dan menginjakan kaki di bandara Supadio Pontianak – Kalimantan Barat. Tanpa menunggu lama, aku langsung naik angkutan travel menuju kota Singkawang. Karena waktu sudah tidak memungkinkan (kemalaman), maka besok harinya aku melanjutkan perjalanan menuju Kartiasa melewati kota Sambas. Di sana aku dijemput menuju kecamatan Paloh, dan selama seminggu aku di Paloh menggantikan tugas pak Pdt. Osias Kause, karena beliau pergi ke Pontianak. Kemudian setelah beliau tiba baru aku berangkat menuju kampung halaman, desa kelahiranku. Sorenya aku sudah tiba dan bisa bertemu dengan bapak. Aku sangat bahagia bertemu dengan bapak dalam keadaan sehat walafiat. Aku merasa seperti orang yang sedang bermimpi, tetapi sungguh itu nyata. Senyum dan tawa kebahagiaan juga terpancar di wajah bapak yang menatapku dengan benuh belaskasihan. Kami pun tinggal bersama di rumah tante, tidur di ruangan yang sama, minum kopi bersama, bercanda dan tertawa bersama. Selama empat malam bapak menemaniku tidur di rumah tante. Setelah itu aku harus menjalankan Praktik Kerja Lapangan di desa Sasak dan Senipahan, yang jaraknya tidak jauh dari kampungku. Tetapi beberapa minggu kemudian, tepatnya Jum’at 04 Februari 2011 bapak meninggal dunia di pondoknya yang terletak di tengah-tengah kebun karet. Saat itu aku merasa, bahwa hidup ini sangat kosong, gersang dan tidak berarti apa-apa. Padahal saat itu tinggal bulan menjelang hari wisudaku, tetapi bapak telah pergi meninggalkan aku seorang diri untuk selama-lamanya. Sungguh, aku tidak pernah menyangka, bahwa empat malam kebahagiaan kami itu akan menjadi hari yang terakhirku bertemu dengan bapak. Selama empat tahun empat bulan kami tidak bertemu, tetapi hanya dibayar dan diganti dengan empat malam kebahagiaan. Kini, lantai dua di rumah tante telah menjadi saksi bisu atas kebahagiaan kami berdua. Sedangkan kebun karet telah menjadi saksi atas kepergian bapakku.

Waktu terasa sangat singkat, bapak orangtuaku satu-satunya yang sangat aku sayangi. Tetapi kini semuanya telah berakhir. Aku hanya bisa mengenang dan mengambil hikmah di balik peristiwa menyedihkan itu. Kini aku tinggal hidup sebatang kara, hidup mengembara di dalam dunia dan sembari melawan arus kesedihan dan keputusasaan. Setidaknya, hidupku masih memberikan makna dan buah yang baik bagi orang lain. Aku selalu berharap, bahwa semoga hidupku tetap berada di bawah pengamatan Tuhan. Karena aku tahu Dia sangat peduli atas kehidupan setiap orang yang selalu menyandarkan harapan hidupnya kepada-Nya. 

Para pembaca yang budiman, jangan sia-siakan kebahagiaan Anda bersama orang-orang yang sangat Anda kasihi, terutama terhadap kedua orangtua Anda. Jangan pernah memandang mereka dengan sebelah mata, tetapi pandanglah mereka dengan kasih yang tulus, yang berasal dari lubuk hati Anda yang terdalam. Terimalah mereka apa adanya sekalipun menurut Anda mereka jauh dari kesempurnaan! Karena pada dasarnya, cinta bukan mencari kesempurnaan, melainkan menerima ketidaksempurnaan demi sebuah kebahagiaan, yang dapat dinikmati bersama-sama. Ingat! Jangan biarkan kotak kasih dan kemesraan Anda tetap tertutup sampai mereka tiada, tetapi lakukanlah segala sesuatu yang bisa Anda lakukan demi kebaikan bersama! Karena akan datang waktunya, yaitu di mana tidak seorang pun dapat melakukannya lagi seperti ketika mereka masih hidup bersama-sama dengan Anda.  

1 comment:

  1. sugiman to tell u the truth that it was so crying.
    saya harap kamu akan menjadi orang yang besar. dan saya melihat itu dari tulisannmu. loe hebat. teruslah kembangkan. menulislah. my support is continuou ur study it is a gate to extent ur talent and ability.

    ReplyDelete