Oleh: Sugiman
Dunia memperlihatkan, bahwa seolah-olah kebahagiaan itu adalah milik
sebagian orang, yang begitu beruntung dalam perjalanan hidupnya. Mereka
menikmati hidup yang berkelimpahan atau lebih dari cukup. Setiap hari mereka
menikmati makanan yang enak atau lezat-lezat, anak-anak mereka kuliah ke luar
negeri di universitas ternama, begitu pula dengan anak-anak mereka yang masih
duduk di bangku SD, SMP dan SMA/ SMK. Harta benda seperti mobil mewah, rumah
megah, memiliki saham dan usaha di berbagai belahan dunia, naik turun pesawat,
mengelilingi dunia dan seterusnya. Seandainya
aku dan keluargaku bisa seperti itu, alangkah bahagianya hidup ini. Itulah impian
banyak tentang kebahagiaan hidup, terutama bagi mereka yang merasa hidupnya
tidak beruntung dan malang, termasuk saya dan mungkin Anda juga. Namun semua
itu hanya sebatas “seandainya”.
Akan tetapi jangan salah! Karena ada “keberhasilan” yang dimulai atau
didorong oleh kata “seandainya”. Misalnya, ada orang yang semasa kecilnya merasa,
bahwa hidupnya sangat tidak beruntung, menderita, miskin, dan malang. Sebelum matahari
terbit hingga tengah malam ia bekerja membanting tulang demi sebuah
kebahagiaan. Pantang menyerah, tanpa keluh-kesah, tidak kenal waktu dan bahkan
hingga lupa makan dan istirahat demi sebuah kebahagiaan, seperti yang dirasakan
oleh sebagian besar di atas. Siring berjalannya waktu, dan disertai dengan
kerja keras, mereka akhirnya mendapatkan apa yang mereka inginkan. Impian menjadi
motivasi yang kuat untuk sebuah “keberhasilan” dan mewujudnyatakannya lewat
kerja keras mereka. Hebat, impian telah menjadi kenyataan. Tapi apakah sudah
selesai? Apakah dia sudah menemukan kebahagiaan itu? Belum tentu, semuanya itu
tidak menjadi jaminan atas kebahagiaan hidup seseorang.
Mungkin menurut sebagian besar orang, khususnya bagi mereka yang merasa hidupnya
sangat tidak beruntung dan malang, bahwa orang yang memiliki harta benda yang
berlimpah pastilah bahagia. Tetapi harus diingat, bahwa kebahagiaan hidup
seseorang tidak ditentukan oleh berapa banyak harta benda atau kekayaan yang
dimilikinya. Karena banyak orang yang sudah berhasil menguasai atau
mengumpulkan kekayaan dalam hidupnya, tetapi tidak dalam hal kebahagiaan hidup.
Mereka memang berhasil dalam hal materi, tetapi gagal dalam hal kebahagiaan. Hari
ini saya akan mengajak Anda untuk melihat bukti dan realita kehidupan manusia,
bahwa kebahagiaan hidup tidak ditentukan oleh harta benda dan kekayaan yang
berlimpah.
Berikut adalah delapan kisah nyata orang miliuner (orang terkaya) tahun 1923 yang kurang
beruntung di akhir hidupnya. (1). Charles Schwab, CEO Bethlehem Steel, perusahaan besi baja ternama waktu
itu. Dia mengalami kebangkrutan total, hingga harus berhutang untuk membiayai 5
tahun hidupnya sebelum meninggal. (2). Richard Whitney, President New York Stock Exchange. Pria ini harus menghabiskan
sisa hidupnya dipenjara Sing Sing. (3). Jesse Livermore (raja saham "The Great Bear" di Wall
Street), Ivar Krueger (CEO perusahaan hak cipta), Leon
Fraser (Chairman of Bank of International
Settlement), ketiganya memilih mati bunuh diri. (4). Howard Hupson, CEO perusahaan gas terbesar di Amerika Utara. Hupson sakit
jiwa dan meninggal di rumah sakit jiwa. (5). Arthur Cutton, pemilik pabrik tepung terbesar di dunia, meninggal di negeri
orang lain. (6). Albert Fall, anggota cabinet presiden Amerika Serikat,
meninggal di rumahnya ketika baru saja keluar dari penjara.
Kisah di atas membuktikan bahwa harta benda atau
kekayaan yang berlimpah tidak menjadi jaminan akan kebahagiaan hidup manusia, jika
sebaliknya iya. Betapa tidak, banyak pengusaha sukses yang stres dan hingga
bunuh diri karena memikirkan harta benda atau kekayaan yang dimilikminya. Apalagi
ketika perusahaannya mengalami kebangkrutan atau karena terlibat hutang-piutang.
Misalnya, (1). Adly Ayoub, seorang pengusaha muda Mesir bunuh diri setelah
usahanya bangkrut menyusul revolusi yang menumbangkan rezim pimpinan Presiden
Hosni Mubarak pada 11 Februari 2011. (2).
Abdul Munif (38), seorang pengusaha biji plastik bunuh diri dengan cara tragis,
yaitu terjun dari Apartemen Intercontinental lantai 23, di Jalan Jendral
Sudirman, Tanah Abang, Jakarta Pusat (Jumat, 16 Septermeb 2011). Surat wasiat
yang ditemukan di kamarnya menunjukan bahwa dirinya sedang mengalami masalah. (3). Yuli, seorang pengusaha dari Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur hampir
bunuh diri. Pelaku beberapa kali melakukan hal-hal yang membahayakan dirinya, diantaranya
menceburkan diri ke sungai, mencoba gantung diri dan berusaha menyayat urat
nadinya. Setelah diperiksa, ternyata palaku mengalami stres karena kalah dalam
pemilihan bupati Ponorogo dan terlibat hutang sebesar 3 miliar rupiah (http://www.indosiar.com/fokus/pengusaha-mencoba-bunuh-diri_74809.html). (4). Chung She Liong, seorang pemngusaha konveksi ditemukan tewas
gandung diri di rumahnya jalan Gang Balok IV No. 11 Rt. 09 Rw. 04 Kelurahan
Duri Utara, Kecamatan Tembora, Jakarta Barat. Penyebabnya, karena beliau mempunyai
uang tunggakan sebesar 22 juta dan bahkan sering mengadaikan baramngnya.
Jadi, apakah Anda masih menganggap, bahwa kekayaan dan
harta benda adalah jaminan kebahagiaan hidup seseorang? Jika bukan, maka di
mana kita harus mencari kebahagiaan itu? Sesungguhnya, kebahagiaan hidup itu
tidak perlu dicari ke mana-mana, karena kebahagiaan itu ada di dalam hati
setiap orang. Kebahagiaan adalah milik setiap orang. Kebahagiaan adalah harta
yang terselubung di dalam hati setiap orang, tetapi tidak semua orang dapat
menemukannya. Mengapa? Paling tidak ada 4 alasan yang menjadi penyebabnya:
Pertama-tama, karena seseorang tidak mengenal
siapa dirinya dengan baik. Jika seseorang mengenal dirinya dengan baik, maka ia
pasti menyadari, bahwa Tuhan telah menciptakan setiap orang sedemikian rupa untuk
menemukan dengan caranya sendiri. Karena Tuhan telah menenamkan nilai-nilai
kebahagiaan itu di dalam hatinya. Dengan demikian, ia dapat mengasihi seorang
terhadap yang lain.
Kedua, kecenderungan setiap orang
adalah suka melihat keterbatasan atau kelemahannya lebih besar dari pada
potensi yang ada di dalam dirinya. Dia menyadari bahwa seolah-olah dirinya tidak
memiliki kemampuan atau kelebihan apapun. Padahal, jika kita sadar akan siapa
pencipta kita, maka kita pasti menyadari, betapa Tuhan telah menanamkan dan
memberikan talenta di dalam setiap pribadi manusia. Bahkan Tuhan sanggup
menggunakan kelemahan setiap orang untuk kemuliaan-Nya dalam setiap aktivitas
yang dilakukannya setiap hari.
Ketiga, kecenderungan setiap orang yang
lain adalah suka menggunakan ukuran orang lain untuk dirinya. Itulah sebabnya
banyak orang mengalami kekecewaan ketika ia tidak dapat menjadikan dirinya
setara dengan kemampuan yang dimiliki orang lain. Artinya, setiap orang itu
cenderung menghianati, menyangkal dan menolak kekuatan atau potensi yang
dimilikinya. Padahal secara tidak sadar, jika kita menolak kemampuan, potensi
atau kualitas yang ada di dalam diri kita, sebenarnya kita telah menyangkal
kebesaran Tuhan sebagai pemberi atau yang menganugerahkan talenta pada setiap
orang sesuai dengan kapasitasnya.
Keempat, atau yang terakhir adalah setiap
orang ingin yang bersifat instan. Saya kira itulah yang disebut dengan
kemalasan. Sifat malas memang salah satu penyakit yang merusak, melumpuhkan dan
membunuh saraf-saraf yang dapat mengantarkan kita untuk menemukan potensi atau
sifat-sifat rajin yang ada di dalam diri kita. Itulah sebabnya, banyak orang tidak
bisa menemukan, merasakan dan menikmati kebahagiaan yang ada di dalam hati atau
kalbunya.
Sungguh, kebahagiaan telah menjadi dambaan setiap orang dalam hidupnya. bahkan
hampir semua tujuan bermuara pada kebahagiaan. Berbagai usaha telah manusia lakukan
untuk mencari kebahagiaan di luar dirinya. Padahal sesungguhnya, kebahagiaan
itu ada di dalam hatinya. Kebahagiaan hidup seseorang tidak-lah tergantung atau
tidak ditentukan oleh berapa banyak harta benda atau kekayaan yang dia miliki,
tetapi seberapa besar kasih yang dia miliki dalam hidupnya untuk dibagikan
kepada sesamanya. Saya kira itulah yang diajarkan oleh Nabi Muhammad dalam
agama Islam, Yesus dalam agama Kristen Protestan dan Katolik, Krisna dalam
agama Hindu, Budha dalam agama Budha dan Confucius dalam agama Kong Hu Chu. Mereka
adalah guru-guru kehidupan setiap umat manusia, yang berusaha dengan sepenuh
hati atas perintah Yang Kuasa supaya manusia menemukan kebahagiaan sejati dalam
hidupnya. Oleh sebab itu, ikutilah jejak kaki dan ajaran mereka sungguh-sungguh,
maka Anda akan menemukan kebahagiaan yang sejati itu.
Para guru kehidupan manusia di atas telah rela hidup berbagi, mengasihi
dengan sepenuh hati tanpa memandang status, mereka mengajarkan supaya kita
hidup saling mengampuni setiap kesalahan, mereka telah menggunakan kesempatan
hidup mereka untuk tujuan mulia, dan mereka tidak mengharapkan sepeser uang pun
dari kita untuk kelangsungan hidupnya, dan itulah cinta kasih yang tulus itu.
Sekarang giliran Anda dan saya yang melakukannya, demi sebuah kebahagian hidup
yang abadi dan mulia.
Salam….
No comments:
Post a Comment