Oleh: Sugiman
"Damai
sejahtera bagi kamu!". Demikianlah bunyi kalimat Yesus versi Injil Yohanes
ketika Ia menjumpai para murid-Nya pada malam hari minggu pertama setelah
kebangkitan-Nya. Sebanyak tiga kali Yesus mengungkapkan kalimat sama tetapi
dengan penekanan yang berbeda (Yoh. 20:19, 21 dan 26). Dalam bahasa aslinya (Yunani)
berasal dari frasa “Eirene humin” Peace
be with you! (terj. NAS, NIV dan RSV). Ketiga kata (Eirene = damai) yang digunakan dalam bentuk nominatif,
yaitu menunjuk pada sifat yang diperagakan atau diperlihatkan oleh Yesus di
dalam situasi atau keadaan yang sebenarnya tidak damai bagi para murid. Betapa
tidak? Berada di sebuah tempat yang tidak disebutkan namanya dengan pintu-pintu
yang terkunci rapat memperlihatkan, bahwa situasi yang dialami oleh para murid
Yesus adalah situasi yang tidak damai, tidak aman, mencekam dan menakutkan.
Dengan
kata lain, berkumpul pada suatu tempat yang dirahasiakan, dengan pintu-pintu yang
tertutup dan terkunci rapat adalah tempat
yang aman, nyaman dan damai sejahtera bagi mereka. Ini memperlihatkan kepada
kita, bahwa betapa murid-murid Yesus merasakan ketakutan yang luar biasa terhadap
orang-orang Yahudi. Mereka dikejar-kejar dan menjadi buronan orang-orang
Yahudi. Karena mereka dituduh menyembunyikan atau mencuri mayat Tuhan Yesus oleh
para penjaga kuburan Yesus yang mengetahui bahwa mayat Yesus telah menghilang (baca
Matius 28:12-13). Selain itu, karena mereka adalah murid-murid Yesus yang
adalah musuh dari orang-orang Yahudi, terutama dengan para imam kepala. Artinya,
jika pemimpin sebuah kelompok yang satu bermusuhan dengan pemimpin kelompok
yang lain, maka sudah pasti murid-murid juga dimusuhi. Menjadi murid sebuah
kelompok berarti menjadi generasi penerus. Itulah sebabnya para murid Yesus
menjadi buronan.
Seandainya
Anda dan saya adalah salah satu dari murid Yesus saat itu, maka sudah pasti kita
merasakan hal yang sama seperti yang mereka dirasakan. Karena jika tertangkap,
maka hukuman cambuk dan bahkan hukuman mati seperti yang dialami oleh kedua
penjahat yang disalibkan bersebelahan dengan Yesus pun dapat menimpa mereka. Sungguh,
menyampaikan Kabar Baik atau kabar damai sejahtera seperti yang telah dilakukan
oleh Yesus selama hidup-Nya di dunia saat itu menjadi pergumulan yang sangat
berat bagi para murid-Nya. Artinya, ada konskuensi atau akibat yang harus
ditanggung seorang pemberita damai sejahtera, yaitu siap dibenci seperti
orang-orang Yahudi membenci Yesus, bahkan harus siap dan berani membayar harga
yang sangat mahal jika diperlukan oleh Tuhan. Semahal apa harganya? Semahal
darah Yesus yang telah dicurahkan di atas kayu salib di bukit Golgota (bukit
tengkorak) 2000 tahun yang lalu.
Para murid
Yesus tahu betul konsekuensi itu. Itulah sebabnmya mereka mengurung diri di
sebuah tempat yang dirahasiakan alamatnya, dengan semua pintu yang telah
terkunci rapat. Mereka merasa, bahwa jika Yesus saja ditangkap dan di bunuh
oleh orang-orang Yahudi, maka apalagi mereka yang hanya manusia lemah, hanya
pengikut yang tidak memiliki otoritas apapun seperti yang dimiliki oleh Yesus. Saya
membayangkan, betapa ketakutannya para murid saat itu, hidup mereka bak telur
di ujung tanduk, kedua lutut mereka gemetar, dengan wajah pucat, jari-jemari
tangan mereka yang dingin seperti orang mati, mereka membuat lingkaran sambil
berpegangan tangan dan berdoa kepada Tuhan supaya diselamatkan dari ancaman
maut itu.
Kalau kita
melihat ke masalalu, khususnya peristiwa kerusuhan Maluku-Ambon 19 Januari 1999
– Januari 2000. Ketakutan yang luar biasa dirasakan oleh banyak orang, keadaannya
begitu mencekam. Masa depan kehidupan yang damai tidak dihiraukan. Karena
itulah mayat-mayat manusia berserakan di berbagai tempat, masalahnya hanya karena
perbedaan agama yaitu Islam dan Kristen.[1] Demikian juga
dengan kerusuhan Sambas dan Sampit di Kalimantan Barat, atau kerusuhan Banjarmasin
di Kalimantan Selatan, yang menyebabkan ketakutan yang sangat mendalam pada
waktu itu. Pintu rumah tertutup sangat rapat, perempuan
dan anak-anak tidak ada yang berkeliaran. Bahkan keluar untuk membeli garam dan
gula saja tidak berani. Para Pendeta, vicaris, tenaga pekabar Injil lainnya dan
jemaat saling mendoakan, berpegangan tangan supaya diselamatkan dari maut itu.
Saya kira begitulah situasi dan kondisi yang dialami oleh para murid Yesus sebagai
kelompok minoritas pada waktu itu. Begitulah realita kehidupan manusia.
Di dalam situasi
yang mencekam, menakutkan dan tidak damai itulah Yesus menjumpai para murid-Nya.
Saya membayangkan, betapa heran dan terkejutnya mereka melihat Yesus ada di
depan mereka. Sebuah tempat yang sangat rahasia, dan semua pintu terkunci
rapat, tetapi Yesus bisa masuk. Kehadiran Yesus begitu ajaib dan mencengangkan,
karena dapat menembus rumah yang sudah terkunci dengan rapat. Secara tidak
langsung kehadiran Yesus dalam ruangan dengan semua pintu sudah terkunci memperlihatkan,
bahwa tidak ada satupun yang bisa menghambat pekerjaan Tuhan apalagi
menghentikannya. Bahkan saya membayangkan, jika manusia berhenti menyampaikan Kabar
Baik dari-Nya, Tuhan dapat menggunakan tembok, pintu, batu-batu di jalanan dan
segala sesuatu untuk memberitakan Kabar Baik itu.
Sungguh,
kebangkitan Yesus dari kematian telah menghidupkan kembali harapan yang nyaris
punah. Darah-Nya yang mengucur deras di atas kayu salib telah menghidupkan jiwa
yang mati. Lobang paku pada tangan-Nya dan lambung-Nya yang tertikam adalah
bukti dari kasih yang abadi itu telah diberikan kepada manusia tanpa kecuali. Selama
33 tahun di dalam dunia yang kejam, Yesus telah mengajarkan kasih yang tanpa
batas. Itulah sebabnya, kehadiran Yesus di dalam ruangan yang terkunci rapat,
di dalam situasi yang mencekam, menakutkan dan tidak damai bagi murid-murid-Nya,
Yesus mengatakan: “Damai sejahtera bagi
kamu!”. Kalimat itu memperlihatkan, bahwa kebangkitan Yesus telah memberikan
kekuatan baru, harapan baru, semangat baru, dan kehidupan yang baru bagi para
murid saat itu. Artinya, kebangkitan Yesus telah mentransformasi kehidupan para
murid-Nya secara total, guna menerapkan kehidupan yang damai sejahtera itu.
Melihat kehadiran
Yesus di dalam ruangan yang terkunci rapat, dan melihat lubang paku pada
tangan-Nya serta lambung yang tertikam itu para murid-Nya bersukacitalah karena
telah melihat Tuhan (Yoh. 20:20, 25). Sukacita yang dirasakan oleh para
murid-Nya memperlihatkan bahwa mereka telah mendapatkan kekuatan baru, semangat
baru dan pengharapan yang baru, terlebih menjadi manusia yang telah diperbaharui
oleh kebangkitan Yesus. Dalam konteks itulah Yesus mengatakan untuk kedua
kalinya: "Damai sejahtera bagi
kamu!" (Yoh. 20:21). Kalimat ini menyiratkan makna tentang kebahagiaan
bagi mereka yang melihat melihat Tuhan dan menjadi percaya. Kebangkitan Yesus
telah menjawab keragu-raguan para murid dan memberikan keberanian untuk
memberitakan Kabar Baik yang Yesus perintahkan. Tetapi serentak dengan itu, kebangkitan
Yesus juga telah memenangkan perkara manusia di hadapan pengadilan kuasa dosa
dan maut. Artinya, Yesus telah menghapuskan dosa para murid dan dosa semua
manusia tanpa kecuali. Hutang yang amat besar yang seharusnya dibayar oleh
manusia, tetapi karena tak terbayar, bahkan seumur hidupnya pun manusia tidak
akan pernah melunasi hutangnya, sehingga mau tidak mau, karena kasih-Nya semata
hutang manusia dilunasi-Nya dengan darah-Nya yang mahal. Itulah sebabnya para
murid sangat bersuka cita, karena telah melihat Tuhan.
Setelah
mengatakan kalimat kedua di atas, lalu Yesus mentabiskan atau mensahkan para
murid-Nya sebagai pemberita Kabar Baik yang telah mereka dengar dari Yesus, yang
telah lihat secara nyata dan terlebih yang telah mereka alami secara pribadi ketika
bersama-sama dengan Yesus. Sebagai manusia, tentu para murid tetap kuatir dan
takut untuk memberitakan berita kasih dan damai sejahtera yang telah mereka
alami secara pribadi. Itulah sebabnya, Yesus menghembuskan atau memberikan Roh
Kudus kepada para murid-Nya, dengan harapan supaya mereka berbicara dan
bertindak atas perintah dan otoritas Allah, dan terus hidup di bawah
pengamatan-Nya. Yesus telah selesai mengerjakan pekerjaan-Nya selama 33 tahun. Kini
giliran para murid-Nya yang harus melakukannya seperti yang telah Yesus ajarkan
dan tanamkan di dalam hati mereka.
Dalam
situasi yang sama mencekam dan menakutkannya, di sebuah tempat yang sama, yang
terkunci dengan rapat, yang tidak diketahui oleh orang-orang Yahudi, Yesus kembali
menemui murid-murid-Nya yang sedang berkumpul, dan mengatakan kalimat yang sama
untuk yang ketiga kalinya: “Damai
sejahtera bagi kamu!” (Yoh. 20:26). Bedanya hanya, pada pertemuan yang
pertama Tomas tidak hadir. Kalimat ketiga ini menyiratkan makna untuk mengingat
kembali kepada para murid-Nya, bahwa tidak seorangpun atau apapun yang dapat
menghambat pekerjaan Tuhan. Sekuat apapun pintu-pintu itu terkunci dan setebal
apapun tembok itu dibuat, tidak akan dapat menghalangi-Nya kehadiran Yesus. Artinya,
ketika Tuhan yang bekerja, maka tidak ada satupun yang bisa membendung aliran
sungai-Nya untuk memadamkan api kejahatan yeng menyiksa hidup manusia dan yang membuat
hidupnya tidak mengalami “damai sejahtera”.
Setelah
mengatakan kalimat ketiga di atas, kemudian Yesus mendekati Tomas, salah
seorang murid-Nya yang meragukan kebangkitan Yesus. Bahkan Tomas mengatakan: "Sebelum aku melihat bekas paku pada
tangan-Nya dan sebelum aku mencucukkan jariku ke dalam bekas paku itu dan
mencucukkan tanganku ke dalam lambung-Nya, sekali-kali aku tidak akan percaya."
Perhatikan kalimat “sekali-kali aku tidak
akan percaya”! Dalam teks aslinya (Yunani) berasal dari kalimat “ou me
pisteuo”, NIV menterjemahkan I will not
believe it; bandingkan dengan terjemahan KJV dan RSV: I will not believe. Itu artinya, sampai kapan pun Tomas tidak akan
pernah percaya dengan perkataan murid-murid yang lain, termasuk perkataan Yesus
yang menyatakan bahwa Dia akan bangkit pada hari yang ketiga sebelum ada
buktinya. Tetapi Yesus menjawab keraguannya itu dengan sikap yang lemah-lembut,
sangat tenang, teduh, santun, tentram dan damai sejahtera mengatakan: Tomas "Taruhlah jarimu di sini dan lihatlah
tangan-Ku, ulurkanlah tanganmu dan cucukkan ke dalam lambung-Ku dan jangan
engkau tidak percaya lagi, melainkan percayalah" (Yohanes 20:27).
Saya
membayangkan, ketika Tomas mendengar kalimat Yesus di atas, dia segera merebahkan
diri, berlutut dan bersujud dengan muka sampai ke lantai, tersungkur dan
menangis tersedu-sedu di depan kaki Yesus. Kemudian, dengan hati yang tulus, suara
yang agak serak, air mata yang tak terbendung dan penuh penyesalan, serta
berjanji tidak akan mengulangi kesalahan yang sama Tomas menjawab-Nya: "Ya Tuhanku dan Allahku!" (Yohanes
20:28). Sungguh, pengakuan Tomas atas kebangkitan Yesus telah melalui sebuah
proses yang sangat panjang, yakni diawali dengan sebuah keragu-raguan kemudian
diakhiri dengan kepastian, yang tersimpul dalam sebuah kalimat pendek, tetapi
menyiratkan makna sebuah pengakuan yang sangat mendalam: "Ya Tuhanku dan Allahku!". Mendengar
pengakuan Tomas di atas, kemudian Yesus menutup dialog itu dengan sebuah
kalimat yang sarat dengan makna, yaitu: "Karena engkau telah melihat Aku, maka engkau percaya. Berbahagialah
mereka yang tidak melihat, namun percaya." (Yohanes 20:29).
Kalimat
penutup yang diungkapkan Yesus dalam sebuah dialog bersama murid-murid-Nya
telah menyempurnakan kalimat, “Damai
sejahtera bagi kamu!”. Itulah kalimat Yesus yang sangat menguatkan,
menghibur, memberi semangat baru dan menghidupkan kembali harapan murid-murid-Nya
karena situasi dan kondisi yang mencekam, menakutkan, terancam dan tidak damai.
Secara tidak langsung, Yesus ingin mengatakan, bahwa kedamaian yang
sesungguhnya bukan karena suasana yang tanpa penderitaan dan kejahatan. Tetapi
di dalam situasi yang penuh penderitaan dan kejahatan yang sangat mencekam,
mengancam dan menakutkanlah suasana damai itu harus diwujud nyatakan dalam
kehidupan kita sehari dan itulah “Damai sejahtera” yang sesungguhnya.
Ingat! Tuhan
tidak pernah berjanji bahwa penderitaan dan kejahatan tidak ada, tetapi Tuhan
mengatakan, dalam situasi apapun Aku akan selalu menyertai kamu. Oleh sebab
itu, mulai sekarang jangan pernah berdoa meminta hidup ini menjadi mudah,
tetapi berdoalah supaya Anda dan saya menjadi pribadi yang kuat. Karena
Tuhanlah sumber kekuatan itu. Dalam segala situasi dan kondisi yang kita hadapi
saat ini, Yesus juga mengatakan kalimat yang sama kepada Anda dan saya, yaitu “Damai sejahtera bagi kamu!”. Karena
itu, mulai saat ini terapkanlah hidup damai sejahtera itu! Mulai di dalam
keluarga kita, dengan tetangga, dengan masyarakat luas dan dengan semua orang
di mana pun kita berada.
[1] Makalah Sahabat Awam, Tragedi Ambon Vol. 54 (Bandung: Yayasan Bina Awam-Januari 2000),
1-2; bnd. Nurcholis Madjid, Pluralitas
Agama: Kerukunan dalam Keragaman (Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2001),
94.
No comments:
Post a Comment