Thursday, 12 April 2012

BERAPA LAMA LAGI TUHAN?


Oleh: Sugiman

Setiap kali aku mengingat peristiwa yang terjadi pada hari Jum’at, 04 Februari 2011, aku pasti tidak mampu membendung air mata yang tanpa permisi membasahi kedua bola mata, bahkan ia mengalir dengan sangat deras hingga pipiku kebanjiran. Peristiwa itu begitu bersejarah dalam hidupku, karena pada hari itu adalah hari wafatnya bapakku. Peristiwa bersejarah itu begitu menyakitkan dan menorehkan luka batin yang sangat mendalam dalam hidupku. Dunia ini terasa sangat sepi dan kosong. Semua anggota tubuhku terasa tidak berfungsi dengan baik. Pada tengah malam aku bangun dan melihat ke arah jenazah bapak sebelum dikebumikan, aku sangat berharap mukjizat terjadi, yaitu bapak hidup kembali. Dalam hati aku berpikir, seandainya itu terjadi, maka ada banyak hal yang akan ku katakan, dan ada banyak pertanyaan yang akan kutanyakan pada bapak. Saat itu aku merasa seolah-olah sedang berbincang-bincang dengan dan tawar-menawar dengan Tuhan. Dengan suara keras sambil mencucurkan air mata aku membentak-bentak dan memaksa Tuhan untuk melakukannya. Tetapi Tuhan tidak mengeluarkan sepatah kata pun untukku.

Harapan yang terlalu tinggi, memaksakan kehendak pribadi dan berbicara dengan urat mungkin menjadi pertimbangan tersendiri bagi Tuhan. Sebagai pihak yang mmerasa dirugikan, aku terus-menerus meneror dan menggugat Tuhan sebagai pihak yang harus bertanggung jawab atas kematian bapakku. Namun tetap saja gugatanku bagaikan fakta tanpa bukti. Karena itulah, aku lebih memilih untuk berdiam diri, tetapi serentak dengan itu aku berusaha merekostruksi ulang peristiwa menyedihkan dan menyakitkan itu. Tetapi hasilnya tetap nihil (tanpa hasil). Bapak telah pergi meninggalkan aku seorang diri tanpa pamit dan mengucapkan sepatah kata pun. Dalam hati, dengan suara lembut aku bertanya pada Tuhan: “Tuhan, apakah tidak terlalu terburu-buru Engkau memberitahukan pada bapak mengenai sebuah tempat peristirahatan yang Tuhan janjikan padanya? Sampai-sampai untuk pamit saja tidak sempat”.

Di dalam diriku, aku berdebat dengan perasaanku. Aku mempertanyakan tempat seperti apa yang Tuhan sediakan bagi bapakku. Seberapa pentingkah tempat yang Tuhan berikan kepadanya, sehingga ia lupa sama sekali untuk mengatakan sepatah kata pun padaku? Bapak………, aku sangat rindu pada bapak, aku ingin sekali bertemu dengan bapa? Tapi di mana tempatnya?...... Apakah bapak tidak pernah memikirkan seberapa sedih, sakit dan terlukanya hatiku? Padahal sebelumnya, saat kita bertemu, minum kopi bersama, tertawa bersama, ngobrol sebelum tidur di lantai dua di rumah paman dan tante hingga larut malam, aku ingat betul, bahwa bapak telah berjanji padaku untuk menghadiri hari wisudaku yang akan dilaksanakan pada tanggal 20 Mei 2011 di Cipanas – Jawa Barat. Dalam hati aku begitu girang dan bahagia, karena aku akan mengajak bapak melihat kampus Sekolah Tinggi Teologi Cipanas (STTC), tempat ku kuliah bersama teman-teman yang berasal dari berbagai belahan dunia. Dari Sabang sampai Marauke dan bahkan ada yang berasal dari Malaysia. Semuanya akan kuperkenalkan satu persatu pada bapak, termasuk para dosen yang selama ini mendidik aku.

Aku merasakan, betapa bangga dan beruntungnya aku menjadi anak bapak satu-satunya, yang bisa kuliah, yang di mana tidak semua orang dapat merasakannya. Tuhan telah menunjukan aku kepada dunia, bahwa meskipun tidak mampu, dilahirkan di desa terpencil dan terisolir, yaitu di desa Batu Hitam, Kec. Sajingan Besar, Kab. Sambas, tapi itu tidak menjadi alasan mutlak. Doa bapak begitu terasa dalam setiap detak jantungku, dan bahkan dalam setiap langkah kehidupanku, bapak begitu setia dan tekun mendoakanku. Selama 4½ aku menikmati kuliah di STT Cipanas, Tuhan begitu konsisten memberkati dan menuntun setiap langkah dan perjalanan hidupku. Hal itu sangat terbukti, yaitu di mana Tuhan telah mengirimkan seponsor yang begitu peduli dan mengasihi anak-anak asuhnya, termasuk di antaranya adalah aku. Itulah sebabnya, aku sangat bangga menjadi anak bapak, yaitu dapat menyelesakan kuliah yang tidak kalah baiknya seperti teman-temanku yang lain.

Tetapi sayang, tiga bulan sebelum hari yang dinantikan itu tiba, yaitu hari jadi wisudaku, bapak telah pergi meninggalkan aku seorang diri tanpa pesan apapun. Bahkan aku tidak sempat menceritakan semua pengalamanku selama kuliah di STT Cipanas, apalagi ingin memperkenalkan teman-temanku, para dosen yang selama ini mendidik aku, tentang donatur yang membiayai kuliahku di STT Cipanas hingga selesai, dan terlebih mengenai seseorang yang nantinya akan menjadi pasangan hidupku. Aku merasa, bahwa waktu terasa begitu singkat dan cepat berlalu, sehingga aku ketinggalan olehnya. Bahkan aku tidak dapat mengejarnya. Di dalam perjalanan aku berteriak dengan suara nyaring, dan aku menangis sangat keras. Tetapi tak seorangpun yang mendengarkan dan menolongku. Dalam hati aku bertanya di mana Tuhan saat hatiku galau? Mengapa peristiwa ini sangat menyakitkan? Mengapa bapak tega meninggalkan aku seorang diri dan hidup mengembara di dunia ini tanpa bimbingan?

Bapak, aku sangat lelah. Tulang-tulang terasa rapuh dan sendi-sendinya seakan-akan tidak berfungsi lagi. Mungkin karena itulah kakiku terasa sangat berat untuk melangkah, bahkan mataku seakan ingin tetap terpejam. Aku seolah sudah sangat bosan dengan hidup ini. Dunia begitu kejam dan suram. Tuhan tolong aku belajar menerima kenyataan hidup ini dengan ketulusan yang Engkau berikan! Peganglah tanganku saat aku merasa seorang diri, topanglah kakiku saat aku merasa lelah dan hampir terjatuh! Tuntunlah aku saat tersesat, buatlah mataku bercahaya, supaya jangan aku tertidur dan lelap, dan bisikan kata-kata di telingaku bahwa Engkau akan selalu bersama-sama dengan aku!

Tuhan berilah aku kekuatan untuk tetap menjalani hidup ini di bawah pengamatan-Mu! Berilah aku sayap seperti sayap pada burung raja wali yang terbang tinggi di atas sana! Dengan demikian aku dapat terbang tinggi dan melangkahkan kaki secara pasti, karena Engkau bersamaku. Tetapkanlah aku pada kasih-Mu, agar setia-Mu aku tetap percaya! Haruskah aku berkekuatiran dan bersedih di sepanjang hari? Tuhan, berapa lama lagi aku harus menanti? Berapa lama lagi kesedihan, kepiluan dan luka batin ini akan disembuhkan? Tuhan, tolong jawablah aku dengan kasih setia-Mu yang besar! Dengan demikian dapat melangkah dan menjalani hidup ini secara pasti, supaya aku tahu bahwa Engkaulah yang menolongku. 

No comments:

Post a Comment