Friday, 18 May 2012

MANUSIA, CINTA YANG BERPADU DENGAN TUHAN


Oleh: Sugiman

Pertanyaan menganai siapakah manusia merupakan sebuah pergumulan besar sepanjang sejarah hidup manusia. Sebagai makhluk yang bertanya adalah salah satu keunikannya yang tidak dimiliki oleh binatang, karena itu ia menjulang tinggi di atas binatang. Sejak masih anak-anak pun ia sudah mempertanyakan segala sesuatu, bahkan mengenai dari mana asalnya dan ke mana arahnya. Manusia yang bertanya, tahu tentang keberadaannya dan ia sangat menyadari bahwa dirinya sebagai penanya. Kemunkinan ultim manusia adalah yang dapat dicapai manusia sebagai yang paling akhir dan paling menentukan atau peruntukan dan tujuan. Itulah sebabnya, manusia dipandang sebagai makhluk yang harus bertanggung jawab penuh atas kehidupannya.

Dalam pandangan politiknya, Plato (427-347) membayangkan tentang negara ideal di mana hukum serta keadilan berkuasa sepenuhnya. Keadilan adalah harmoni atau keselarasan. Keadilan berarti memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya. Karena itu negara yang benar dan adil akan terwujud bila semua bagiannya (golongan-golongan) secara harmonis bekerja sama sesuai dengan kesanggupan serta fungsi mereka masing-masing demi kesejahteraan bersama. Menurut Plato manusia adalah makhluk berjiwa, dan jiwa manusia memiliki tiga fungsi, yaitu keinginan, energik, dan rasional. Ketiganya sebagai puncak atau pelengkap. Manusia yang harmonis dan adil akan timbul jika keinginan serta energik di bawah pimpinan rasio.

Menurutnya negara adalah Manusia Besar, sebagai organisme yang terdiri atas tiga bagian atau golongan yang masing-masing sepadan dengan suatu bagian jiwa. Pertama-tama terdapat golongan produktif yang terdiri dari buruh, petani, dan pedagang, lalu ada golongan penjaga yang terdiri dari prajurit-prajurit, dan akhirnya ada golongan pejabat yang memegang puncak pimpinan dan kekuasaan. Jadi setiap orang diberikan tugas sesuai dengan kemampuannya dan mereka menunaikan tugas itu dengan tekun dan penuh tanggung jawab, dengan demikian akan terbentuk negara yang “adil” di mana setiap orang memberikan bagiannya dan menerima bagiannya di bawah penguasa-penguasa yang arif bijaksana.

Sebelum manusia dilahirkan, ia sudah memperoleh suatu status badani, sudah berada sebagai jiwa-jiwa murni, dan hidup di kawasan lebih tinggi di mana manusia memandang suatu dunia rohani. Bahkan manusia pun pernah hidup pada kawasan yang lebih tinggi dari itu dan telah menikmati pengetahuan mengenai idea-idea dalam suatu cara hidup kontemplatif. Namun ia jatuh karena ketidak-setiaannya, yaitu tidak mewujudkan makna kehidupan yang menjadi kewajibannya, seperti melakukan yang baik, yang benar, yang indah. Oleh sebab itu, jiwanya meringkuk dalam penjara tubuh, terbuang dari daerah tinggi itu. Menurutnya, manusia adalah roh murni yang hidup dari kontemplasi akan yang ideal dan yang ilahi. Selanjutnya, ketidaksetiaan manusia terhadap kehidupannya juga telah menjadikan dirinya sebagai bagaikan dari malaikat-malaikat yang terjatuh dan sebagai hukuman dijelmakan dalam tubuh, dan jiwa manusia yang dipenjarakan dalam tubuh (tubuh sebagai penjara jiwa).

Untuk memulihkan kehidupan yang dulu lagi, kita harus berusaha naik ke atas dan sekali lagi memperoleh perhatian dan cinta yang besar untuk dunia yang ideal, sorgawi, dan ilahi itu. Serta harus memberikan kesempatan kepada roh kita untuk mencari dan menemukan kembali pengetahuan dari masa surgawi dahulu. Dengan demikian, manusia memiliki suatu daya yang kuat dan gemilang yang dapat mendorong dia naik ke atas, yaitu cinta (eros). Eros adalah daya kreatif dalam diri manusia, pencetus kehidupan, inspirator para penemu, seniman dan genius. Kemungkinan ultim adalah bahwa kematian hanyalah permulaan reinkarnasi baru yang lebih rendah atau lebih tinggi dari keberadaannya sebelumnya.

Sebagai penerus, Plotinos adalah filsuf yang Berkontemplasi (204-269) mengambil alih gambaran manusia dari gurunya, Plato, yaitu individualitas manusia terdapat banyak jiwa yang sudah hadir dalam kosmos noetos (dunia pemikiran) itu tanpa tubuh. Jiwa manusia itu ambivalen serta bipolar karena di satu pihak jiwa-jiwa individual mengalami suatu dorongan rohani untuk mengarahkan perhatian dan cintanya kepada asal usulnya, yaitu Jiwa Dunia. Pada pihak lain terdapat juga suatu daya dalam dirinya untuk berkiblat pada dunia yang lebih rendah. Bila jiwa-jiwa itu tetap bersatu dengan Jiwa Dunia, maka mereka bebas dari penderitaan serta nafsu dan bahkan dapat membantu Jiwa Dunia dalam mengatur alam semesta.

Akan tetapi, perhatian dan cinta jiwa-jiwa itu ternyata kendor, “seolah-olah mereka jenuh dengan persekutuan”, dan mereka menarik diri dalam individualitas yang menyendiri dan menjadi budak tubuh. Oleh sebab itu, ia harus mendapat hasrat yang surgawi sekali lagi, dan menyucikan diri dari segala kotoran duniawi, yaitu mengabaikan sesuatu yang lain untuk berpaling kepada Tuhan dan mempersatukan diri dengan-Nya, karena semua pembungkus dunia akan musnah. Maka, kita harus bergegas untuk melepaskan diri dari dunia, kemudian berkabung dan mengasihi Tuhan dengan segenap hati supaya melekat pada-Nya.

Semua makhluk berasio akan kembali kepada Allah, yang adalah asal usul mereka yang pertama. Apabila jiwa telah melampawi segala sesuatu yang ada, maka ia sampai kepada kontemplasi akan apa yang letaknya lebih jauh. Bila kerinduan itu terpenuhi, maka jiwa tidak lagi merupakan suatu makhluk yang berdiri sendiri dan ia melampawi hakikatnya sendiri sejauh ia berpadu dengan Tuhan.

Refleksi

Sebagai makhluk mulia manusia dipandang sebagai pribadi yang menjulang tinggi dari binatang. Betapa tidak? Ia adalah makhluk yang bertanya dan memiliki rasio untuk mengukur, mempertimbangkan segala sesuatu demi sebuah tujuan hidup yang harmonis, damai sejahtera, adil dan saling mengasihi satu sama lain. Namun demikian, manusia lebih cenderung menghianati eksistensi kehidupannya sebagai makhluk yang mulia. Ketidaksetiaannya atas tugas dan tanggung jawabnya untuk mewujudkan makna kehidupan yang menjadi kewajibannya, seperti melakukan yang baik, yang benar, yang indah telah membuat manusia jatuh dari tempat tinggi, dan menjadikan dirinya sama dengan  budak dunia kejahatan. Untuk memulihkannya maka manusia harus berusaha semaksimal mungkin sebuah tujuan yaitu hidup mencintai, serta memberikan kesempatan sekali lagi kepada rohnya untuk mencari dan menemukan pengetahuan sorgawi di bawah pengamatan Tuhan.

Oleh sebab itu, manusia harus hidup secara manusiawi, secara positif sesuai dengan kodratnya sebagai manusia, dan itulah kewajiban pertamanya. Hidup sesuai dengan kodrat, rasio berarti hidup sesuai kehendak dan maksud Tuhan. Rasio merupakan daya tertinggi manusia, jika manusia tidak lagi memiliki rasio, maka ia sama dengan binatang yang tidak berkeprikemanusiaan. Untuk itulah sesuatu yang bersifat irasional harus hindari, termasuk naluri-naluri dan hawa nafsu dapat menyeret manusia keluar dari kodratnya. Manusia harus hanya mencari kebijaksanaan yang bersifat rasional dan berkeutamaan atas eksistensinya sebagai manusia mulia dan berpadu dengan Tuhan sebagai pemilik hidupnya.

No comments:

Post a Comment