Oleh: Sugiman
Pertanyaan menganai siapakah
manusia merupakan sebuah pergumulan besar sepanjang sejarah hidup manusia.
Sebagai makhluk yang bertanya
adalah salah satu keunikannya yang
tidak dimiliki oleh binatang,
karena itu ia menjulang tinggi di atas binatang. Sejak masih anak-anak pun ia
sudah mempertanyakan segala sesuatu, bahkan mengenai dari mana asalnya dan ke
mana arahnya. Manusia yang bertanya, tahu tentang keberadaannya dan ia sangat
menyadari bahwa dirinya sebagai penanya. Kemunkinan ultim
manusia adalah yang dapat dicapai manusia sebagai yang paling akhir dan paling
menentukan atau peruntukan dan tujuan. Itulah sebabnya, manusia
dipandang sebagai makhluk yang harus bertanggung jawab penuh atas kehidupannya.
Dalam pandangan politiknya, Plato (427-347) membayangkan tentang negara ideal di mana
hukum serta keadilan berkuasa sepenuhnya. Keadilan adalah harmoni atau
keselarasan. Keadilan berarti memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya. Karena itu negara yang benar
dan adil akan terwujud bila semua bagiannya (golongan-golongan) secara harmonis
bekerja sama sesuai dengan kesanggupan serta fungsi mereka masing-masing demi
kesejahteraan bersama. Menurut Plato manusia adalah makhluk berjiwa, dan jiwa manusia memiliki tiga fungsi, yaitu
keinginan, energik, dan rasional. Ketiganya sebagai puncak atau pelengkap.
Manusia yang harmonis dan adil akan timbul jika keinginan serta energik di bawah pimpinan rasio.
Menurutnya negara adalah Manusia Besar, sebagai organisme yang terdiri atas
tiga bagian atau golongan yang masing-masing sepadan dengan suatu bagian jiwa.
Pertama-tama terdapat golongan produktif yang terdiri dari buruh, petani, dan
pedagang, lalu ada golongan penjaga yang terdiri dari prajurit-prajurit, dan
akhirnya ada golongan pejabat yang memegang puncak pimpinan dan kekuasaan. Jadi
setiap orang diberikan tugas sesuai dengan kemampuannya dan mereka menunaikan
tugas itu dengan tekun dan penuh tanggung jawab, dengan demikian akan terbentuk
negara yang “adil” di mana setiap orang memberikan bagiannya dan menerima
bagiannya di bawah penguasa-penguasa yang arif bijaksana.
Sebelum manusia dilahirkan, ia sudah memperoleh suatu status badani, sudah
berada sebagai jiwa-jiwa murni, dan hidup di kawasan lebih tinggi di mana
manusia memandang suatu dunia rohani. Bahkan manusia pun pernah hidup pada
kawasan yang lebih tinggi dari
itu dan telah menikmati pengetahuan
mengenai idea-idea dalam suatu cara hidup kontemplatif. Namun ia jatuh karena ketidak-setiaannya, yaitu
tidak mewujudkan makna kehidupan yang menjadi kewajibannya, seperti melakukan
yang baik, yang benar, yang indah. Oleh sebab itu, jiwanya meringkuk dalam
penjara tubuh, terbuang dari daerah tinggi itu. Menurutnya, manusia adalah roh
murni yang hidup dari kontemplasi akan yang ideal dan yang ilahi. Selanjutnya,
ketidaksetiaan manusia
terhadap kehidupannya juga telah menjadikan dirinya sebagai bagaikan dari malaikat-malaikat
yang terjatuh dan sebagai hukuman dijelmakan dalam tubuh, dan jiwa manusia yang
dipenjarakan dalam tubuh (tubuh
sebagai penjara jiwa).
Untuk memulihkan kehidupan yang dulu lagi, kita harus berusaha naik ke atas
dan sekali lagi memperoleh perhatian dan cinta yang besar untuk dunia yang
ideal, sorgawi, dan ilahi itu. Serta harus memberikan kesempatan kepada roh
kita untuk mencari dan menemukan kembali pengetahuan dari masa surgawi dahulu.
Dengan demikian, manusia memiliki suatu daya yang kuat dan gemilang yang dapat
mendorong dia naik ke atas, yaitu cinta (eros). Eros adalah daya kreatif dalam
diri manusia, pencetus kehidupan, inspirator para penemu, seniman dan genius.
Kemungkinan ultim adalah bahwa kematian hanyalah permulaan reinkarnasi baru
yang lebih rendah atau lebih tinggi dari keberadaannya sebelumnya.
Sebagai penerus, Plotinos adalah filsuf yang Berkontemplasi (204-269) mengambil alih
gambaran manusia dari gurunya, Plato, yaitu individualitas manusia terdapat
banyak jiwa yang sudah hadir dalam kosmos
noetos (dunia pemikiran) itu tanpa tubuh. Jiwa manusia itu ambivalen serta
bipolar karena di satu pihak jiwa-jiwa individual mengalami suatu dorongan
rohani untuk mengarahkan perhatian dan cintanya kepada asal usulnya, yaitu Jiwa
Dunia. Pada pihak lain terdapat juga suatu daya dalam dirinya untuk berkiblat
pada dunia yang lebih rendah. Bila jiwa-jiwa itu tetap bersatu dengan Jiwa
Dunia, maka mereka bebas dari penderitaan serta nafsu dan bahkan dapat membantu
Jiwa Dunia dalam mengatur alam semesta.
Akan tetapi, perhatian dan cinta jiwa-jiwa itu ternyata kendor,
“seolah-olah mereka jenuh dengan persekutuan”, dan mereka menarik diri dalam
individualitas yang menyendiri dan menjadi budak tubuh. Oleh sebab itu, ia
harus mendapat hasrat yang surgawi sekali lagi, dan menyucikan diri dari segala
kotoran duniawi, yaitu mengabaikan sesuatu yang lain untuk berpaling kepada
Tuhan dan mempersatukan diri dengan-Nya, karena semua pembungkus dunia akan
musnah. Maka, kita harus bergegas untuk melepaskan diri dari dunia, kemudian
berkabung dan mengasihi Tuhan dengan segenap hati supaya melekat pada-Nya.
Semua makhluk berasio akan kembali kepada Allah, yang adalah asal usul
mereka yang pertama. Apabila jiwa telah melampawi segala sesuatu yang ada, maka
ia sampai kepada kontemplasi akan apa yang letaknya lebih jauh. Bila kerinduan
itu terpenuhi, maka jiwa tidak lagi merupakan suatu makhluk yang berdiri
sendiri dan ia melampawi hakikatnya sendiri sejauh ia berpadu dengan Tuhan.
Refleksi
Sebagai makhluk mulia manusia dipandang
sebagai pribadi yang menjulang tinggi dari binatang. Betapa tidak? Ia adalah
makhluk yang bertanya dan memiliki rasio untuk mengukur, mempertimbangkan
segala sesuatu demi sebuah tujuan hidup yang harmonis, damai sejahtera, adil
dan saling mengasihi satu sama lain. Namun demikian, manusia lebih cenderung
menghianati eksistensi kehidupannya sebagai makhluk yang mulia.
Ketidaksetiaannya atas tugas dan tanggung jawabnya untuk mewujudkan makna kehidupan yang menjadi
kewajibannya, seperti melakukan yang baik, yang benar, yang indah telah
membuat manusia jatuh dari tempat tinggi, dan menjadikan dirinya sama
dengan budak dunia kejahatan. Untuk
memulihkannya maka manusia harus berusaha semaksimal mungkin sebuah tujuan
yaitu hidup mencintai, serta memberikan kesempatan sekali lagi kepada rohnya
untuk mencari dan menemukan pengetahuan sorgawi di bawah pengamatan Tuhan.
Oleh sebab itu, manusia harus hidup secara manusiawi, secara positif sesuai
dengan kodratnya sebagai
manusia, dan itulah kewajiban pertamanya. Hidup sesuai dengan kodrat, rasio
berarti hidup sesuai kehendak dan maksud Tuhan. Rasio merupakan daya tertinggi
manusia, jika manusia tidak lagi memiliki rasio, maka ia sama dengan binatang yang
tidak berkeprikemanusiaan. Untuk
itulah sesuatu yang bersifat
irasional harus hindari, termasuk naluri-naluri dan hawa nafsu dapat
menyeret manusia keluar dari kodratnya. Manusia harus hanya mencari kebijaksanaan yang bersifat
rasional dan berkeutamaan atas eksistensinya sebagai manusia mulia dan
berpadu dengan Tuhan sebagai pemilik hidupnya.
No comments:
Post a Comment