Tuesday, 15 May 2012

KONSEP “IMAN” MENURUT SURAT ROMA


Oleh: Sugiman

Adalah menarik untuk kita bicarakan apa itu “iman” khususnya dalam kitab Roma?. Ketika berbicara mengenai “iman” dalam kitab Roma, maka kita harus melihat mengapa Paulus memberi perhatian yang besar pada kata “iman”. Karena penekanan ini berbeda dengan apa yang Paulus katakan dalam surat-suratnya yang lain. Untuk memahami makna kata “iman” yang esensial dalam kitab Roma, maka kita harus memperhatikan bagaimana kehidupan jemaat Kristen di Roma? Apa tujuan rasul Paulus menuliskan kitab itu? Dan mengapa kata “iman” sangat dominan dalam kitab Roma? Demikianlah tulisan ini saya mencoba menelusuri kata “iman” khususnya dalam kitab Roma itu sendiri, yakni seberapa penting atau dominan kata itu digunakan oleh Paulus. Dengan demikian kita bisa memahaminya secara baik dan komprehensif, tanpa mengabaikan masalah penulisannya, yang mencakup siapa? Di mana? Dan kapan surat Roma ditulis?

PEMBAHASAN

a). Penulis, Tempat penulisan dan Kapan Surat Roma ditulis
David A. DeSilva, bahwa surat Roma ditulis di Korintus dekat dengan pelabuhan di Kengkrea antara tahun 55 dan 58 M.[1] Beberapa ahli lain juga memperkirakan bahwa surat Roma ditulis tahun 52 M, Cranfield (1979 : 13) mengatakan ini ditulis tahun 51 M, karena menurutnya Paulus saat itu berada di Korintus kira-kira tahun 51 atau 52 M (Kis 18:12-17), jika ditambahkan waktu dia berada di Efesus (Kis 19:10), maka jelaslah sangat mungkin itu ditulis pada awal tahun 54 M.[2] Barrett (1957: 5), and Morris (1988: 6-7) memberi kesan bahwa ini ditulis tahun 55. Pendapat yang lain lagi mengatakan bahwa saat itu adalah musim dingin atau musim semi dari tahun 55-56 atau tahun 56-57 (lih. Kummel 1975: 311; J. Robinson 1976: 55; Bruce 1977: 324; Cranfield 1979: 12-16; Hemer 1980: 9-12; Drane 1980: 209; Dunn 1988b:xIii; Bornkamm 1991: 16; Moo 1991: 3; Stuhlmacher 1994: 8; Mounce 1995: 26, memberi kesan bahwa surat Roma ini ditulis tahun 56 M). Ahli yang lain masih percaya bahwa surat Roma ditulis tahun 57-58 (Sanday and Headlam 1902: xiii; M. Black 1973: 20;  Fitzmyer (1993c: 87; Byrne 1996: 9). Kita melihat bahwa para ahli ternyata belum sepakat mengenai kapan surat Roma ini dituliskan, tetapi kita bisa melihat batas-batas periode antara tahun 55 dan 58 (walaupun C Dodd (1932: xxvi) memilih bahwa surat Roma ditulis tahun 59 M (lht. Thomas R. Schreiner, 2003: 5).

Tidak terlepas dari pengamatan di atas dengan batas-batas yang tidak jauh berbeda, maka saya lebih setuju jika surat Roma ini dituliskan sekitar tahun 57 M.[3] Karena mengenai jalan hidup Paulus dari sejumlah data seperti kitab Kisah Para Rasul dan surat-surat Paulus yang lain adalah jarang mengkaitkan dengan peristiwa-peristiwa sejarah umum, sehingga tidak mungkin menyajikan susunan waktu yang tepat (lht. Fitzmeyer, 1993c: 87;  Schener, 1998: 4; Th. van den End, 1995:1-2). Satu-satunya peristiwa yang sungguh dapat dijadikan bukti atau pegangan untuk menentukan jadwal pelayanan Paulus adalah munculnya Galio sebagai walinegeri di Korintus pada tahun 51- 52 M.[4] (atau selama beberapa waktu antara pertengahan tahun 50 dan pertengahan tahun 54M).

Maka tahun 51 M bisa kita jadikan titik tolak untuk dapat memberikan gambaran mengenai jadwal pelayanan Paulus sebagai berikut: tahun 46-48 M adalah Penginjilannya yang pertama; kemudian tahun 48 M Sidang di Yerusalem; tahun 48-52 M adalah perjalanannya yang ketiga; tahun 57-59 ia dipenjarakan di Kaisarea dan tahun 59 M Paulus tiba di Roma. Pada waktu itu, Kaisar yang memerintah Romawi adalah Nero (54M-58M).[5] Sebelum Nero memerintah, Romawi diperintah oleh Kaisar Claudius. Semasa pemerintahan Claudius, ia pernah mengusir orang-orang Yahudi keluar dari Roma (lih. Kis. 18:2) sekitar tahun 49M. Tindakan Claudius ini diduga menimbulkan sebuah gerakan “anti pemerintah.” Meskipun pada waktu itu terjadi “pengusiran” atas orang-orang Yahudi, namun masa penganiayaan terhadap orang Kristen belum terjadi, penganiayaan terjadi sekitar tahun 64M setelah Nero membakar kota Roma.

b). Tujuan Penulisan
Menurut Gurntur Bornkamm, surat Roma ditulis oleh Paulus untuk last will and testament.[6] Karena itu, menurut dia bahwa surat Roma manjadi kunci untuk memahami surat-surat Paulus yang lain. Surat Roma ditujukan kepada komunitas-komunitas orang Kristen di Roma. Tetapi pendapat di atas segera dibantah oleh David A. DeSilva, bahwa Surat Roma bukan ditulis untuk last will and testament, melainkan untuk meminta dukungan dalam pelayanannya dan termasuk supaya jemaat Kristen di Roma menerimanya jika dia berkunjung ke Roma.

Karena kita tahu bahwa jemaat Kristen di Roma bukanlah jemaat yang didirikan oleh Paulus, maka adalah wajar dia memaparkan pengajaran iman Kristen kepada jemaat di Roma. Ini mengindikasikan bahwa jemaat Kristen di Roma sudah dewasa dalam iman. Kabar tentang iman mereka telah tersiar ke seluruh dunia (1:8), dan Paulus berharap bahwa mereka dapat menguatkan imannya sebagaimana ia menguatkan iman mereka (1:12). Namun sebagai rasul bagi orang bukan Yahudi, Paulus merasa bertanggung jawab untuk mengunjungi jemaat di Roma dan membagikan kepada mereka pengertiannya atau pemahamannya tentang Injil dan iman Kristen (1:15). Melalui surat ini Paulus memperkenalkan diri dan dasar ajarannya kepada mereka, dengan pengharapan bahwa mereka bersedia menerima kunjungannya.

Tujuan selanjutnya adalah Paulus menginginkan supaya jemaat Roma dapat mendukung pelayanan misinya untuk penginjilan ke bagian barat dunia Mediterania, yaitu Spanyol (15:24, lht. Th van den End, 4). Hampir mirip dengan Willi Marxsen yang berpendapat, bahwa Paulus berniat menggunakan gereja di Roma sebagai basis kampanyenya untuk pekerjaan selanjutnya dan dalam suratnya ini ia bermaksud memperkenalkan dirinya kepada jemaat di sana.[7] Setelah Paulus menerima dukungan finansial dari jemaat Filipi (Flp 4:14-16), maka adalah wajar jika ia juga menginginkan dukungan dari jemaat-jemaat yang lainnya seperti jemaat Kristen yang ada di Roma (lht. 15:24). Tidak hanya dukungan keuangan, tetapi yang lebih penting lagi bagi Paulus adalah dukungan doa syafaat dari jemaat Roma, berhubung dengan konfrontasi dengan orang-orang Yahudi, ketidakpastian Paulus mengenai sikap jemaat Kristen di Yerusalem terhadap sumbangan jemaat-jemaat di Makedonia dan Akhaya yang dibawa Paulus ke Yerusalem (15:30-31). Oleh sebab itu rencana kunjungannya ke Roma tertunda karena ada hal yang lebih penting dari itu, yaitu mengantarkan bantuan kepada jemaat di Makedonia dan Akhaya bagi jemaat Kristen yang berkekurangan di Yerusalem (15:22, 25; bdk Gal 2:10).

Jika kita melihat dari kaca mata surat Galatia 2:7-9, nampaknya pemberian ini erat kaitannya dengan legitimasi misi Paulus terhadap orang-orang non-Yahudi oleh gereja Yerusalem; jika persembahan ini mereka terima, berarti mereka mengakui keabsahan misi Paulus kepada orang-orang non-Yahudi, yang sebelumnya dipersoalkan oleh jemaat Yerusalem (Gal 2:11-12). Bahaya yang lain lagi adalah perlawanan orang Yahudi di Yerusalem yang memusuhi kekristenan (15:31a). Dengan demikian, tidak menutup kemungkinan juga, bahwa Paulus menekankan pokok-pokok iman Krieten kepada jemaat di Roma adalah supaya mereka mengetahui masalah-masalah yang bisa terjadi dan sering terjadi dalam jemaat, seperti masalah makanan dan hubungan antara orang lemah dengan yang kuat (pasal 14-15). Oleh sebab itu, ia mengingatkan mereka supaya tetap menguatkan iman di dalam Yesus Kristus yang telah mati di salib sebagai bukti keselamatan semua manusia berdosa.

c). Memahami Kata Iman dalam Surat Roma
Di atas telah dipaparkan mengenai kepenulisan, situasi dan tujuan penulisan surat Roma, maka sekarang kita akan melihat kata iman dan melihatnya di seluruh surat Roma dengan tanpa mengabaikan konteks Roma saat itu.

Dalam bahasa Yunaninya disebut pistis artinya iman, kebenaran dan kominten”, dalam bahasa Inggrisnya : faith, trust, commitment. Bible Works 7 memberikan penjelasan dalam konteks luas bahwa iman itu adalah 1. as a characteristic or quality faithfulness, reliability, loyalty, commitment Mt 23:23; Ro 3:3; Gal 5:22; Tit 2:10. 2. that which evokes confidence, solemn promise, oath 1 Ti 5:12; proof, pledge Ac 17:31; I have honored my obligation 2 Ti 4:7. 3. trust, confidence, faith in the active sense = ‘believing,’ esp. of relation to God and Christ Mt 9:2; Mk 11:22; Lk 18:42; Ac 14:9; 26:18; Ro 4:5, 9, 11–13; Gal 2:16; Eph 1:15; Col 2:12; Hb 12:2; Js 1:6; 1 Pt 1:21. Faith as commitment, Christianity Lk 18:8; Ro 1:5, 8; 1 Cor 2:5; 13:13; 2 Cor 1:24; Gal 3 passim; Js 1:3; 1 Pt 1:9. Conviction Ro 14:22f. Faith defined Hb 11:1. 4. That which is believed, body of faith or belief, doctrine Gal 1:23; Jd 3, 20; cf. 1 Ti 1:19.

Dari penjelasan di atas memberikan kita pemahaman secara umum, bahwa “iman” adalah sebuah karakteristik yang mencakup : kebenaran, komitmen, kesetiaan, kesungguh-sungguhan dalam keyakinan akan sesuatu yang memberi kepastian. Semua itu didasarkan pada sesuatu yang bisa dijadikan pegangan hidup atau andalan hidup untuk dipercayai atau yakini, dan pengertian itu berkaitan erat dengan kualitas hidup manusia. Dalam surat Roma kata iman muncul sebanyak 40 kali[8], ini membuktikan bahwa “iman” adalah sangat penting dalam penekanan Paulus, terutama bagi jemaat Kristen yang ada di Roma (1:7-8). Apalagi secara umum mereka berasal dari orang non-Yahudi (lih. 4:1; fasal 9-11). Maka sesuai dengan misi Paulus kepada orang-orang non-Yahudi. Tampaknya jumlah jemaat Kristen yang ada di Roma adalah kelompok minoritas setelah kebijakan Kaisar yang mendeportasi semua orang Yahudi dari Roma (Kis 18:2).

Sebagai kelompok yang minoritas, sesuatu yang bisa memberi jaminan hidup pasti adalah sangat penting. Itulah yang disebut dengan keyakinan, bahwa ada kekuatan yang lebih besar dari kekuatan atau kuasa yang dimiliki semua makhluk di dalam dunia. Paulus menjelaskan akan keyakinannya terhadap kekuatan yang besar itu, yaitu kuasa Kristus yang di dalam kematian-Nya semua orang telah dimerdekakan. Maka dari itu, iman adalah sesuatu yang sangat sentral bagi Paulus untuk hidup bersama-sama dengan Kristus. Iman adalah keyakinan akan kebenaran yang terkandung di dalam Kristus, yang memberikan jaminan hidup pasti di tengah-tengah kelompok yang mayoritas.

Iman di dalam Yesus memberi penghiburan, kekuatan untuk mencapai ucapan syukur atas kehidupan jemaat Kristen di Roma. Sehingga iman di dalam Kristus adalah satu-satunya jalan menuju keselamatan bagi jemaat Kristen yang minoritas. Namun tidak berarti “iman” tidak penting di tengah-tengah orang Kristen yang mayoritas. Tetapi pemahaman akan iman menjadi berbeda antara orang Kristen yang hidup di tengah-tengah kesulitan dengan orang Kristen yang hidup di dalam ketenangan dan kedamaian. Inilah gambaran sederhana mengapa iman itu sangat penting bagi Paulus untuk dijelaskan kepada jemaat Kristen yang ada di Roma, sekalipun ia sendiri tidak pernah ke Roma karena berhalangan, yaitu mengantarkan bantuan ke Yerusalem (15:22-29).[9]

Hal senada juga diungkapkan oleh David A. DeSilvia, bahwa Paulus memberi penekanan yang sangat besar pada peranan “iman” khususnya pada pasal 3:21-31.[10] DeSilvia mengatakan lebih lanjut, bahwa “iman-lah” yang menyebabkan kita percaya kepada Allah. Percaya kepada Allah berarti kita tinggal bersama-sama dengan Dia di dalam kebenaran-Nya. Kebenaran Allah menjadi nyata di dalam Kristus yang mati di salib akibat ketidakbenaran manusia. Kristus mengorbankan diri-Nya untuk menebus manusia dari ketidakbenaran dan perbuatan dosanya. Oleh sebab itu, peranan iman berkaitan erat dengan penebusan Kristus, karena dengan demikian manusia yang dulunya hidup dalam dosa dan ketidakbenaran, kini diterima kembali oleh Allah untuk tinggal di dalam kebenaran-Nya.

Leon Morris mengatakan, bahwa bagi Paulus hanya iman-lah yang menjadi dasar pembenaran manusia di hadapan Allah.[11] Oleh sebab itu, iman bagaikan sebuah berlian atau intan yang sangat mahal. Paulus menjelaskan, bahwa kematian Kristus memperlihatkan pembayaran harga yang sangat mahal hanya supaya manusia memperoleh kebenaran Allah, dengan demikian ia dibenarkan. Maka beriman kepada Allah yang hadir di dalam Kristus berarti sebuah komitmen untuk hidup sesuai dengan standar kebenaran yang ditetapkan Allah. Paulus menegaskan bahwa semua orang telah berdosa, tetapi serentak dengan keberdosaannya manusia juga telah menyaksikan bagaimana kematian Kristus mengatasi dosa manusia, untuk itu mau tidak mau manusia harus datang atau menghampiri Allah dalam imannya ketika menyaksikan karya penyelamatan itu.

Di dalam Kristus Allah membenarkan manusia yang percaya kepada-Nya (3:26). Maka tepat apa yang dikatakan Morris, bahwa “The Death Of Christ” (ay. 21-26) tidak bisa dilepaskan dari “Faith” (ay. 27-31)[12], karena keduanya adalah satu kesatuan yang menghasilkan “Justification”. Lebih lanjut Morris mengatakan, bahwa di dalam kematian Kristus menyangkut tiga aspek penting yaitu, pembenaran, penebusan, dan pendamaian. Artinya, ketidakbenaran adalah musuh Allah, maka supaya manusia tidak menjadi musuh Allah ia harus dibenarkan, ditebus dan diperdamaikan di dalam Kristus. Itulah esensi dari pengorbanan Yesus di kayu salib dan itu haruslah menjadi motivasi dan dasar iman orang percaya untuk hidup di dalam kebenaran-Nya.

Ketika manusia percaya kepada Kristus, maka saat itu juga ia telah memperoleh kembali eksistensinya sebagai manusia ciptaan Allah yang mulia dan utuh. Dalam konteks inilah Thomas R. Schreiner memaparkan pemahaman Paulus akan iman yang menyelamatkan.[13] Dengan demikian, inilah perbedaan yang sangat mendasar mengenai keselamatan yang dipahami Paulus dengan keselamatan yang dipahami oleh orang Yahudi.  Bagi orang Yahudi keselamatan akan terjadi jika manusia melakukan Hukum Taurat dengan setia, tetapi bagi Paulus keselamatan bukan diperoleh dengan melakukan Hukum Taurat, tetapi karena iman di dalam Kristus. Beriman kepada Kristus berarti manusia menerima kembali pembenaran yang mulia dari Allah. Inilah yang disebut “The Saving Righteousness Of God” oleh Schreiner. Keselamatan yang dijanjikan Allah tidaklah digenapi dengan jalan melakukan atau ketaatan pada hukum Taurat seperti yang dipahami oleh orang Yahudi, melainkan hanya beriman kepada Yesus. Keselamatan yang dikerjakan Allah di dalam Kristus tidak hanya untuk orang Yahudi, tetapi juga untuk Gentiles (orang kafir).

Ada tiga point yang harus kita diperhatikan untuk memahami keselamatan yang dikerjakan Yesus di kayu salib:  Pertama, tidak seorang pun yang bisa melakukan atau mengerjakan kebenaran itu terutama Israel. Oleh sebab itu, tidak ada peluang bagi manusia untuk menyombongkan diri karena melakukan kebenaran. Selama Allah mendemonstrasikan keselamatan yang dikerjakan-Nya, maka sekalipun umat Israel taat pada hukum, tetapi tidak beriman, maka mereka tidak akan dibenarkan. Hanya iman secara pribadi di dalam Yesus-lah yang membuat manusia dibenarkan di hadapan Allah (3:27-28). Kedua, terlepasnya dari orang Yahudi yang menyombongkan peraturan atau kebiasaan di luar etnik yang banyak adalah satu alasan bagi mereka untuk mengklaim diri mereka sebagai orang yang pasti diselamatkan karena sunat, tetapi hal itu tidak berlaku karena Allah bukan hanya untuk orang Yahudi, tetapi juga untuk orang Gentiles (3:29-30). Terakhir, pembenaran dan masuknya Gentiles ke dalam perjanjian tidak dapat dibatalkan keluar kebenaran hukum, karena kematian Yesus telah meruntuhkan tembok-tembok pemisah yang dibuat atau diciptakan oleh orang Yahudi sendiri (3:31).

Iman bukanlah sebuah alat untuk menuju atau mencapai keberhasilan, tetapi iman adalah sebuah respons manusia atas keselamatan yang ditawaran Allah baginya. Maka, David L. Bartlett[14] mengatakan, bahwa ketika kita beriman kepada Yesus berarti kita meresponi atau menerima anugerah karya keselamatan yang ada ditangan Allah. Allah telah mengulurkan tangan-Nya, tinggal bagaimana respons manusia terhadap tawaran Allah yang mulia itu. Dalam hal ini, tidak semua manusia mengulurkan tangannya untuk memegang tangan Allah karena mata imannya masih diselimuti oleh kekerasan hatinya sendiri dan masih mengikat relasi dengan perbuatan dosa yang ada di depannya.

Bartlett mengatakan juga, beriman berarti memuja Anak di dalam palungan. Standar iman adalah Kalvari dan mengatakan: Sungguh Dia adalah Anak Allah. Kalvari adalah bukti kasih Allah untuk membawa manusia masuk kepada sebuah hubungan atau relasi yang benar dengan diri-Nya. Semua orang membutuhkan hubungan yang baik, karena semua orang telah berdosa dan jatuh deri kemuliaan Allah. Manusia telah gagal menyembah Allah sebagai satu-satunya kebenaran. Semua manusia telah melakukan pemujaan kepada berhala yang tidak memberikan kepastian, karena itu Allah menawarkan kepastian hidup, yaitu beriman kepada Kristus. Artinya, Kalvari adalah standar iman yang diberikan Allah melalui Kristus. Dengan kata lain itulah nilai iman yang mahal dan mulia dari Allah.

Dalam Roma 1:23 Paulus menyampaikan salamnya, bahwa dosa orang yang tidak mengenal Allah adalah menukar kemuliaan Allah dengan hal yang tidak bermoral untuk gambar Allah. Kita telah jatuh dari kemuliaan Allah, oleh sebab itu, hanya kemuliaan Allah-lah yang dapat membuat kita benar kembali di hadapan-Nya. Allah melakukannya sebagai sebuah anugerah atau pemberian yang cuma-cuma. Perkataan Allah adalah anugerah bagi kita. Maksud anugerah adalah pemberian, pemberian yang berlebih-lebihan atau melimpah, tidak semestinya diberikan kepada kita, pemberian membuat segala sesuatu yang salah menjadi kebenaran yang menakjubkan. Bagi Paulus, Yesus telah menjadi korban yang membebaskan, menebus dosa dengan darah-Nya dan Dia berhasil membawa kita untuk beriman kepada Allah atau mengikat kembali hubungan yang telah putus.

Beriman kepada Kristus berarti membangun sebuah komitmen untuk tidak mengulangi kesalahan atau dosa-dosa di masa lalu. Maka frasa “Tetapi sekarang” dalam 3:21 menjadi kunci untuk memahami kehidupan manusia dan kejahatan-kejahatan dilakukannya di masa lampau[15]. Melalui frasa ini Paulus seolah-olah hendak mempertentangkan kelompok ketiga, yaitu kelompok orang Kristen dengan kelompok yang sudah kedapatan bersalah, yaitu orang kafir (Gentiles). Tetapi jika kita amati dengan teliti, sebenarnya tidak demikian, frasa “Tetapi sekarang” untuk memperlihatkan bahwa anugerah keselamatan dari Allah semata yang ditawarkan kepada Gentiles atau orang kafir dan bukan kepada orang Kristen-Yahudi yang menganggap bahwa melakukan hukum Taurat untuk memperoleh keselamatan. Hanya mereka yang beriman kepada Yesus sajalah yang memberoleh bagian dalam karya keselamatan Allah.

Manusia dibenarkan dan diterima kembali menjadi anggota keluarga Allah karena beriman kepada Yesus yang tersalib, dan itulah anugerah yang cuma-Cuma dari Allah. Anugerah itu adalah milik semua orang yang mau percaya dan bertobat dari dosa-dosanya. Ketika manusia melakukan perbuatan dosa, maka saat itu sebenarnya ia telah kehilangan kemuliaan Allah. Tetapi karena imannya kepada Kristus Yesus, maka ia dipulihkan kembali sehingga manusia bisa berkomunikasi kembali dengan Allah lewat permohonan-permohonan doanya. Sesudah Paulus memaparkan keyakinan yang mengungkapkan bahwa “manusia dibenarkan hanya karena iman” kembali ia berbicara kepada lawan bicaranya, yaitu orang Kristen Yahudi, yakni yang diawali dengan frasa “Jika demikian” (3:27). Frasa ini merupakan awal bantahan Paulus atas paham Yahudi Kristen yang menganggap bahwa mereka akan dibenarkan di hadapan Allah karena melakukan hukum Tahurat.

d). Kesimpulan
Di atas telah dipaparkan dengan panjang lebar, maka sekarang sampailah kita pada kesimpulan mengenai kata “iman” menurut surat Roma. Iman adalah sebuah kebenaran yang ditentukan dan dinyatakan Allah di dalam Kristus. Jika kita melihat Rm 3:21, maka di situ dimulai dengan pernyataan “resmi” yaitu “sekarang” menurut Tom Jacobs[16], pernyataan ini adalah berhubungan pernyataan yang dituliskan pada 1:7, yaitu “Kebenaran Allah dinyatakan di dalam Injil berpangkal pada iman menuju kepada iman”. Karena Allah menyatakan kebenaran, maka “Ia sendiri adalah benar dan membenarkan orang yang percaya kepada Yesus” (3:26). Dengan demikian, kata benar dalam Alkitab berarti bertindak “sesuai dengan kewajiban”. “Kebenaran Allah” adalah kesetiaan pada sabda atau perjanjian-Nya sendiri.

Beriman kepada Allah bererti membangun sebuah komitmen, karakter hidup, kesetiaan akan hidup di dalam kebenaran yang mutlak, yakni sesuai dengan kebenaran yang ditetapkan oleh Allah. Maka adalah keliru jika seseorang mengatakan dirinya beriman tetapi tidak hidup di dalam kebenaran Allah. Iman bukanlah sesuatu yang abstrak. Iman menjadi nyata ketika seseorang memulai hidupnya dengan melakukan kebenaran Allah yang hadir di dalam Yesus Kristus di dalam hidupnya. Iman itu membuat orang lain menjadi aman, nyaman, tentram dan damai disekitarnya. Lebih jauh dari itu, iman juga membuat seseorang merasa aman dan nyaman di dalam situasi yang sebenarnya tidak aman dan nyaman. Iman adalah hubungan antara manusia dengan Tuhan.


Catatan Kaki:

[1] Paul can be confidently located in Corinth/ Cenchereae if chapter 16 is taken as integral to the letter. Gaius and Erastus, both known from Corinth, are able to send their greetings with Paul to Rome (Rom 16:23) and, moreover, it is Phoebe of Cenchreae who will be delivering the letter to the Christians in Rome, hence the word of commendation for her (Rom 16:1). There is marked preference for a date between 56 and 58 C.E. David A. DeSilva, An Introducation To The New Testament, Contexts. Methods & Ministry Formation (Lht. Dunn, Romans 1-8, p. Xliii; C. E. B. Cranfield, A Critical and Exegetical Commentary on the Epistel to the Romans, ICC (Edinburgh: T & T Clark, 1975), 1:12-16; Byrne, Romans, p. 8; Fitzmyer, Romans, pp. 85-88; bnd. Thomas R. Schreiner, Romans (Grand Rapids, Michigan: Baker Academic - A Division Of Baker House Co, 2003), 3.
[2] This Would rule out Luedemannn’s (1984: 263) proposal that the letter was posibly written in A.D. 51-51 (although 54-55 is also suggested), or Buck and Taylor’s (1969: 170-71) suggestion of A.D. 47. J. Richards (1966-67: 14-30) opts for 52-54. It should be noted that the reliability of Acts as a historical source is not granted in these proposals.
[3] Donald Guthrie, New Testament Introducation (Leicester, England: Apolos Interversity Press, 1999), 458; bnd. Pelita Hati Surbakti, Diktat Kuliah PHPB 2 Surat Roma (Cipanas: 2010).
[4] Thomas R. Schreiner, 1993, 4; Joseph A. Fitzmyer, The Anchor Bible Romans, A New Translation With Introducation and Commentary (New York London Tronto Sydney Auckland: Doubleday,  1993), 87. bnd. Th. van den End, Tafsiran Alkitab Surat Roma (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1995), 2.
[5] Bnd. Joseph A. Fitzmyer, 1993, 26.
[6] Gunther Bornkamm, “The Letter to the Romans as Paul’s Last Will adn Testament,” AusBR 11 (1963-1964): 2-14 (reprinted in the Romans Debate, ed. Karl P. Donfriend, rev. Ed. [Peabody, Mass: Hendrickson, 1991], pp. 16-28).
[7] Willi Marxsen, Pengantar Perjanjian Baru – Pendekatan Kritis Terhadap Masalah-Masalahnya (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008), 107. Bnd. Th van den End, 1995, 4
[8] Kata iman dalam surat Roma muncul sebanyak 40 kali, yaitu dalam (1: 5, 8, 12, 17 ada 3x), (3: 3, 22, 25, 26, 27, 28, 30 ada 2x dan 31), (4:5, 9, 11, 12, 13, 14, 16 ada 2x, 19 dan 20), (5: 1, 2), (9: 30 dan 32), (10: 6, 8), (11: 20), (12: 3, 6), (14: 1, 22 23 ada 2x), (16: 26).
[9] Lih. Neil Elliott, Rhetoric Of Romans, hal 87 mengatakan bahwa Paulus tidak jadi Roma karena berhalangan, yaitu ia pergi ke Yerusalem untuk membawa bantuan yang dikumpulkan jemaat non-Yahudi (15:13-15). Itu artinya, jemaat Roma bukanlah jemaat yang didiikan oleh Paulus.
[10] David A. DeSilva, An Introducation To The New Testament, Contexts. Methods & Ministry Formation, (Apollos Leicester, England: InterVarsity Press, 2004), 612-613.
[11] Leon Morris, The Epistel To The Romans (Grand Rapids, Michigan: William B. Eerdmans Publishing Company, Leicester, England: Inter-Varsity Press, 1992), 172-173.
[12] Leon Morris, 184-185.
[13] Thomas R. Schreiner, 176-244.
[14] David L. Bartlett, Romans (Louisville, Kentucky: Westminster John Knox Press, 1995), 37-40.
[15] Th. van den End, 149-178
[16] Tom Jacobs, Iman & Agama – Kekhasan Agama Kristiani Menurut Santo Paulus Dalam Surat Galatia dan Roma (Yogyakarta: Lembaga Biblika Indonesia Kanisius, 1992), 70-72.

No comments:

Post a Comment