Oleh: Sugiman
Ketika seorang dokter menyatakan, bahwa
beberapa bagian dari anggota tubuh kita sudah tidak berfungsi lagi, maka jalan
satu-satunya adalah membuangnya secara paksa. Misalnya, kedua tangan dan kaki
kita harus diamputasi karena sudah tidak berfungsi lagi akibat penyakit
tertentu. Jika tidak, maka hal itu dapat menyebabkan anggota tubuh yang lain
mengalami nasib yang sama atau bahkan dapat merenggut nyawa, yaitu membawa
seseorang kepada jalan kematian.
Menyakitkan memang tapi harus dilakukan demi
sebuah kebaikan. Bahkan mungkin sebelum team dokter melakukan proses operasi,
pribadi yang bersangkutan pasti merasakan tekanan batin yang sangat mendalam,
menyesali nasibnya, menangis dan merintih dengan suara yang keras, dan bahkan
kehilangan harapan hidup. Saya kira begitulah gambaran ekstrimnya tentang sebuah
proses seseorang untuk menjadi pribadi yang positif.
Untuk menjadi pribadi yang positif, seseorang
harus berani membayar harga sebuah penderitaan yang sangat menyakitkan dirinya.
Menjadi pribadi yang positif adalah sama halnya dengan memangkas
ranting-ranting yang tidak menghasilkan buah kebaikan dalam diri pribadi yang
bersangkutan. Betapa tidak? Jika kebiasaan buruk atau negatif sudah menjadi
sabahat karib dalam kurun waktu tertentu, yang dipelihara dan dilindungi,
tetapi tiba-tiba harus dipangkas secara paksa, kemudian harus diganti dengan kebiasaan-kebiasaan
yang positif atau yang mendatangkan kebaikan dalam pribadi yang bersangkutan.
Mengganti pikiran yang negatif dengan pikiran
yang positif adalah tidak semudah melepaskan pakaian yang kotor kemudian
mengantinya dengan pakaian yang bersih dan baru. Melainkan harus berani
mengambil sebuah keputusan pribadi, yaitu merendam pakaian yang kotor tersebut
dengan deterjen supaya kotorannya terangkat, kemudian menyikatnya dengan sikat
kain dan mencucinya berulang-ulang dengan air yang jernih hingga menjadi bersih.
Pada intinya, hidup manusia itu bersih,
tetetapi kecenderungan manusia untuk mengotorinya adalah lebih besar dari pada memeliharanya.
Misalnya, nilai kebaikan seorang perampok adalah setara dengan nilai kebaikan
orang-orang yang suka berbuat baik sebelum mereka menjadi seorang perampok.
Tetapi dalam perjalanan selanjutnya, kedua kelompok tersebut memilih jalan yang
berbeda, yaitu ada yang menyimpang ke kiri dan ada yang menyimpang ke kanan. Tetapi
mereka yang memilik ke kanan telah menemukan jalan yang lurus dan
membahagiakan. Sedangkan mereka yang memilih ke kiri pada akhirnya mengalami
jalan buntu atau stagnasi. Maka tidak ada jalan lain selain berbalik arah dan
mencari persimpangan di mana mereka terpisah sebelumnya. Tetapi tidak semua
dari mereka yang memilih jalan ke kiri itu bersedia untuk kembali ke jalan
semula dan mengikuti jalan ke kanan. Melainkan ada yang memilih untuk tetap bertahan
dan tinggal di jalan buntu tersebut karena sudah terlanjur jauh untuk kembali.
Dalam kehidupan manusia Tuhan telah menanamkan sifat-sifat
atau nilai-nilai kebaikan yang mulia dan luhur. Tetapi serentak dengan itu,
Tuhan tidak membuang kecenderungan jahat atau buruk yang ada pada manusia, dan
itulah yang disebut dengan keterbatasan. Mengapa demikian? Jawabannya tidak
seorang pun yang tahu maksud-Nya. Namun, tidak tahu bukan berarti tanpa jawaban.
Menurut saya, kemungkinan hal itulah membedakan antara manusia dan Tuhan, yaitu
manusia terbatas dan Tuhan tak terbatas.
Selanjutnya, karena Tuhan memperlakukan manusia
sebagai makhluk yang demokratis, yaitu memiliki kebebasan untuk memilih.
Selanjutnya, karena Tuhan telah menanamkan nilai tanggung jawab dalam diri
manusia, jadi apapun yang dilakukannya harus dipertanggungjawabkannya kepada
dirinya sendiri, kepada sesamanya dan terlebih kepada Tuhan. Artinya, apapun
risiko atau akibatnya manusia harus berani dan bersedia menerimanya demi sebuah
pribadi yang positif. Saya kira ketiga alasan itu sangat masuk akal dan dapat
dipertanggung jawabkan secara teologis, tetapi tidak menutup kemungkinan juga akan
berbeda dengan maksud Tuhan.
Untuk menjadi pribadi yang positif adalah
dibutuhkan kecerdasan intelektual yang tinggi, kecerdasan emosional yang
melibatkan hati nurani, dan sikap pemberani untuk menyatakan ini baik dan itu
jahat bagi diri sendiri dan sesama serta ajaran Tuhan. Untuk menjadi pribadi
yang positif juga dibutuhkan cara pandang yang tajam, visioner, luas dan
beragam, tetapi fokusnya tetap satu, yaitu nilai kebaikan yang tidak merugikan
pihak manapun. Karena segala sesuatu yang baik adalah berasal dari kebaikan.
Dengan kata lain, kebaikan tidak mungkin dihasilkan oleh kejahatan, sebab
keduanya memiliki substansi yang sangat berbeda atau tidak ada kesamaan
sedikitpun. Itulah sebabnya, pribadi yang positif adalah pribadi yang berfokus
pada hal-hal yang positif, baik, kuat, dan mulia atau luhur.
No comments:
Post a Comment