Friday, 11 May 2012

MENJADI PRIBADI YANG POSITIF ITU TIDAK MUDAH


Oleh: Sugiman

Ketika seorang dokter menyatakan, bahwa beberapa bagian dari anggota tubuh kita sudah tidak berfungsi lagi, maka jalan satu-satunya adalah membuangnya secara paksa. Misalnya, kedua tangan dan kaki kita harus diamputasi karena sudah tidak berfungsi lagi akibat penyakit tertentu. Jika tidak, maka hal itu dapat menyebabkan anggota tubuh yang lain mengalami nasib yang sama atau bahkan dapat merenggut nyawa, yaitu membawa seseorang kepada jalan kematian.

Menyakitkan memang tapi harus dilakukan demi sebuah kebaikan. Bahkan mungkin sebelum team dokter melakukan proses operasi, pribadi yang bersangkutan pasti merasakan tekanan batin yang sangat mendalam, menyesali nasibnya, menangis dan merintih dengan suara yang keras, dan bahkan kehilangan harapan hidup. Saya kira begitulah gambaran ekstrimnya tentang sebuah proses seseorang untuk menjadi pribadi yang positif.

Untuk menjadi pribadi yang positif, seseorang harus berani membayar harga sebuah penderitaan yang sangat menyakitkan dirinya. Menjadi pribadi yang positif adalah sama halnya dengan memangkas ranting-ranting yang tidak menghasilkan buah kebaikan dalam diri pribadi yang bersangkutan. Betapa tidak? Jika kebiasaan buruk atau negatif sudah menjadi sabahat karib dalam kurun waktu tertentu, yang dipelihara dan dilindungi, tetapi tiba-tiba harus dipangkas secara paksa, kemudian harus diganti dengan kebiasaan-kebiasaan yang positif atau yang mendatangkan kebaikan dalam pribadi yang bersangkutan.

Mengganti pikiran yang negatif dengan pikiran yang positif adalah tidak semudah melepaskan pakaian yang kotor kemudian mengantinya dengan pakaian yang bersih dan baru. Melainkan harus berani mengambil sebuah keputusan pribadi, yaitu merendam pakaian yang kotor tersebut dengan deterjen supaya kotorannya terangkat, kemudian menyikatnya dengan sikat kain dan mencucinya berulang-ulang dengan air yang jernih hingga menjadi bersih.

Pada intinya, hidup manusia itu bersih, tetetapi kecenderungan manusia untuk mengotorinya adalah lebih besar dari pada memeliharanya. Misalnya, nilai kebaikan seorang perampok adalah setara dengan nilai kebaikan orang-orang yang suka berbuat baik sebelum mereka menjadi seorang perampok. Tetapi dalam perjalanan selanjutnya, kedua kelompok tersebut memilih jalan yang berbeda, yaitu ada yang menyimpang ke kiri dan ada yang menyimpang ke kanan. Tetapi mereka yang memilik ke kanan telah menemukan jalan yang lurus dan membahagiakan. Sedangkan mereka yang memilih ke kiri pada akhirnya mengalami jalan buntu atau stagnasi. Maka tidak ada jalan lain selain berbalik arah dan mencari persimpangan di mana mereka terpisah sebelumnya. Tetapi tidak semua dari mereka yang memilih jalan ke kiri itu bersedia untuk kembali ke jalan semula dan mengikuti jalan ke kanan. Melainkan ada yang memilih untuk tetap bertahan dan tinggal di jalan buntu tersebut karena sudah terlanjur jauh untuk kembali.

Dalam kehidupan manusia Tuhan telah menanamkan sifat-sifat atau nilai-nilai kebaikan yang mulia dan luhur. Tetapi serentak dengan itu, Tuhan tidak membuang kecenderungan jahat atau buruk yang ada pada manusia, dan itulah yang disebut dengan keterbatasan. Mengapa demikian? Jawabannya tidak seorang pun yang tahu maksud-Nya. Namun, tidak tahu bukan berarti tanpa jawaban. Menurut saya, kemungkinan hal itulah membedakan antara manusia dan Tuhan, yaitu manusia terbatas dan Tuhan tak terbatas.

Selanjutnya, karena Tuhan memperlakukan manusia sebagai makhluk yang demokratis, yaitu memiliki kebebasan untuk memilih. Selanjutnya, karena Tuhan telah menanamkan nilai tanggung jawab dalam diri manusia, jadi apapun yang dilakukannya harus dipertanggungjawabkannya kepada dirinya sendiri, kepada sesamanya dan terlebih kepada Tuhan. Artinya, apapun risiko atau akibatnya manusia harus berani dan bersedia menerimanya demi sebuah pribadi yang positif. Saya kira ketiga alasan itu sangat masuk akal dan dapat dipertanggung jawabkan secara teologis, tetapi tidak menutup kemungkinan juga akan berbeda dengan maksud Tuhan.

Untuk menjadi pribadi yang positif adalah dibutuhkan kecerdasan intelektual yang tinggi, kecerdasan emosional yang melibatkan hati nurani, dan sikap pemberani untuk menyatakan ini baik dan itu jahat bagi diri sendiri dan sesama serta ajaran Tuhan. Untuk menjadi pribadi yang positif juga dibutuhkan cara pandang yang tajam, visioner, luas dan beragam, tetapi fokusnya tetap satu, yaitu nilai kebaikan yang tidak merugikan pihak manapun. Karena segala sesuatu yang baik adalah berasal dari kebaikan. Dengan kata lain, kebaikan tidak mungkin dihasilkan oleh kejahatan, sebab keduanya memiliki substansi yang sangat berbeda atau tidak ada kesamaan sedikitpun. Itulah sebabnya, pribadi yang positif adalah pribadi yang berfokus pada hal-hal yang positif, baik, kuat, dan mulia atau luhur.

No comments:

Post a Comment