Tuesday, 15 May 2012

LAPORAN BUKU: JALAN YANG LEBIH UTAMA LAGI: Etika Perjanjian Baru


Oleh: Sugiman

A.      Yesus: Etika Yang Eskhatologis

Dalam pemberitaan-Nya, Yesus mengajarkan tentang Kerajaan Allah yang dinamis, dan terlebih terlihat dalam hidup dan karya-Nya. Kasih menjadi penekanan Yesus yang utama pemberitaan-Nya. Kasih tidak bergantung pada suasana hati, tetapi membuka diri terhadap orang lain dan menjadikan sesama sebagai subjek, bukan sebagai objek. Ini tidak berarti mengabaikan hukum-hukum yang lainnya, tetapi justru untuk melindungi hukum kasih itu sendiri. Pemberitaan Yesus tentang yang asasi dengan tuntutan-tuntutan yang radikal tidak hanya bersifat perorangan, tetapi juga mempunyai dimensi-dimensi sosial etis dan bukan etika perorangan.

B.       Asal-Mula Etika Kristen Dalam Jemaat Purba

Peristiwa penyaliban dan kebangkitan Kristus di jadikan sebagai titik permulaan Kerajaan eskhatologis dan permulaan hidup baru, dan bahkan dijadikan sebagai dasar segala etika yang terwujud dalam jemaat Kristen purba, yang mencakup sikap dan perbuatan ditandai oleh sikap kewaspadaan, dan pengambilan keputusan etis sesuai dengan maksud dan kehendak Yesus. Selanjutnya, hukum Taurat juga merupakan sumber etika Kristen yang lebih jernih dalam menafsirkan perkataan Yesus yang kurang jelas, maka keabsahan hukum Taurat tetap dipertahankan, sampai pada seluk-beluknya yang paling kecil. Yang terakhir adalah etika Kristen diambil alih dari norma-norma non-Yahudi diambil alih oleh orang-orang Yahudi tinggal diaspora, di luar Palestina dan kemudian diberi makna baru untuk diterapkan sebagai media pemberitaan Injil dan pengajaran etika Kristen non-Kristen.

C.      Aspek-Aspek Etika Dari Injil-Injil Sinoptis

Perkataan dan perbuatan Yesus merupakan pangkal titik tolak bagi jemaat Kristen untuk hidup di dunia. Panggilan menjadi murid Yesus adalah sebuah tuntutan untuk mengambil bagian dalam kebangkitan dan kemuliaan-Nya ketika Dia datang kembali; serta mengambil bagian dalam perbuatan dan pemberitaan Yesus. Oleh sebab itu, kemunafikan seperti yang dilakukan oleh orang-orang Farisi harus dibuang, kemudian digantikan dengan kebenaran yang sesungguhnya, yang sesuai dengan Kerajaan Allah.

D.      Paulus: Etika Yang Eskhatologis

Asas-asas etika Paulus adalah kebenaran yang berkaitan erat dengan tuntutan-tuntutan Allah yang mutlak. Kristologi dijadikan dasar keselamatan dan kebenaran yang dinyatakan kepada dunia dengan bantuan Roh Kudus. Orang Kristen dituntut untuk melakukan perbuatan baik sebagai prinsip hidup dan tanggung jawabnya dalam menantikan kedatangan Kristus kembali yang  akan membawa, dan menarik orang-orang-Nya ke dalam persekutuan-Nya. Gaya dan struktur hidup baru harus benar-benar konkret dan utuh untuk melayani Kristus sebagai mana kehidupan rasuli dalam situasi serta kondisi yang serba aneka.

Kasih karunia Allah yang dinyatakan di dalam Kristus Yesus dipahami sebagai unsur-unsur yang menentukan etika paulus. Karya keselamatan di dalam Yesus dijadikan sebagai satu-satunya dasar atau patokan bagi kehidupan dan tingkah-laku orang Kristen terutama dalam hal mengasihi sesama manusia, yang mencakup kehidupan perseorangan, kesetiaan suami dan isteri dalam pernikahan. Terlebih dalam hal kerja, milik, perbudakan dan ketaatan orang Kristen terhadap pemerintah dan penguasa yang berlaku sesuai dengan ketetapan Allah.

E.       Etika Para Penerus Paulus

Penulis surat Kolose dan surat Efesus sangat menekankan hidup baru. Hidup baru berarti meninggalkan kefasikan dan keinginan-keinginan duniawi, atau melakukan kehidupan bijaksana, terhormat, kasih, adil dan beribadah. Dalam kehidupan rumah tangga, seorang isteri harus mengasihi suami dan anak-anaknya, demikian sebaliknya. Surat pertama Petrus juga memperlihatkan tentang kehidupan Kristen untuk hidup secara bertanggung jawab atas kehidupannya sebagai manusia yang telah ditebus Kristus melalui kematian-Nya di kayu salib. Oleh sebab itu, baptisan harus diterima para pengikut Kristus, untuk memberikan keberanian, kekuatan dan penghiburan dalam segala aspek kehidupan bersama Kristus. Dengan perkataan lain, orang Kristen harus mengikuti jejak-jejak Yesus: pengajaran-Nya, perkataan-Nya dan perbuatan atau karya-Nya.

Penderitaan Yesus menjadi titik tolak awal untuk kesaksian hidup orang Kristen. Sehingga, melalui kesaksian hidupnya orang kafir pun diyakinkan bahwa mereka harus memuliakan Allah. Dalam jemaat, kasih persaudaraan harus sungguh-sungguh menjadi ciri kehidupan orang Kristen dalam situasi dunia yang penuh kejahatan. Dengan demikian, tidak ada yang dipandang tinggi dan rendah, terutama dalam kedudukan pria dan wanita. Wanita dan pria adalah setaraf, sebab keduanya bersama-sama diciptakan sebagai manusia, dan dipanggil untuk menyaksikan tentang Injil melalui kelakuan mereka. Dalam hal perbudakan juga dianjurkan sikap tunduk terhadap tuannya yang baik, maupun yang bengis atau jahat. Dan terhadap para penguasa, orang Kristen harus bersikap sebagai orang yang merdeka di dalam Kristus, bukan ketaatan yang membabi buta. Pemerintah tidak perlu ditakuti, karena hanya Allah yang berkuasa, tetapi pemerintah hanya berhak untuk dihormati sama seperti makhluk yang lainnya.

F.       Etika Peziarah Dalam Surat Ibrani
Pertama-tama Yesus adalah Anak Allah, yang ditinggikan melebihi malaikat-malaikan, dan sebagai Imam Agung yang ditunjuk oleh Allah menutut peraturan Melkisedek. Dan serentak dengan itu, Yesus juga dikenal sebagai orang yang menderita sama seperti manusia. Penghiburan dan solidaritas Kristus dengan manusia baru, sungguh-sungguh meyakinkan, bahwa di dalam kemuliaan Kristus, manusia menemukan belas kasihan Allah dan kasih sayang Imam Agung yang kekal. Demikian juga dengan eskhatologis yang memegang peranan penting, yang menyimpan sebuah pengharapan pasti dan kekal bagi orang percaya.

Kedatangan Kristus kembali yang sangat dinantikan itu berisikan keselamatan dan pembebasan bagi orang percaya. Maka, sebagai kaum musafir, keberadaan orang Kristen diajak untuk bertekun dan rela menanggung sengsara. Orang Kristen tidaklah berziarah seorang diri saja, melainkan, sebagai anggota umat Allah yang berjalan bersama-sama dengan semua orang percaya menuju hidup yang kekal. Oleh sebab itu, rasa solidaritas seorang dengan yang lain sangat dipentingkan dan ditegaskan supaya tidak ada yang ketinggalan untuk menjadi umat Allah. Artinya, peziarah-peziarah harus saling menasihati “seorang akan yang lain”.

G.      Nasihat-Nasihat Dalam Surat Yakobus
Bagi penulis surat Yakobus, Iman dan perbuatan merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan, karena tanpa perbuatan iman menjadi tidak berguna. Namun tidak berarti perbuatan lebih penting dari iman, melainkan iman yang tidak nyata dalam kehidupan sehari-hari adalah iman yang mati atau tidak ada gunanya. Oleh sebab itu, kehidupan Kristen konkret atau nyata dalam perbuatan. Kasih kepada sesama manusia merupakan tuntutan-tuntutan etis yang membebaskan manusia.

Mengunjungi anak yatim piatu dan janda-janda yang berada dalam kesusahan merupakan bukti dari ibadah Kristen yang sejati. Ibadah yang murni hanya menjadi nyata dalam kehidupan bermasyarakat dan melibatkan diri dengan mereka yang menderita kesusahan. Dengan demikian jelaslah, bahwa dalam kehidupan orang Kristen, perbuatan-perbuatan tidak boleh dipisahkan dari perkataan-perkataan, sebab keduanya adalah seperti dua sisi dari satu mata uang; perkatan yang tidak disertai perbuatan adalah “omong kosong”. Orang yang menderita tidak membutuhkan kata-kata manis, melainkan bantuan yang konkret dalam bentuk material.

H.      Surat-Surat dan Injil Yohanes

Kristologi adalah dasar etika Injil Yohanes. Bagi penulis Injil Yohanes Kristus adalah Juruselamat, Roti kehidupan, Pokok Anggur yang Benar, Terang dunia, Sumber kehidupan, Kebenaran sejati, Jalan kebenaran dan hidup yang kekal. Pada pihak lain, Yesus juga digambarkan sebagai manusia yang merendahkan diri melalui pembasuhan kaki para murid-Nya. Dari ungkapan Yesus, yang mengatakan diri-Nya adalah Pokok Anggur yang benar adalah memperlihatkan bahwa hanya hidup dalam persekutuan dengan-Nyalah manusia bisa menghasilkan buah atau perbuatan baik, dan hidup bersekutu dengan Allah.

Mereka yang hidup di luar persekutuan-Nya adalah sama seperti ranting-ranting yang layu dan mati. Orang Kristen dituntut supaya saling mengasihi satu dengan yang lainnya, karena Kristus yang terlebih dahulu mengasihi manusia melalui kematian-Nya di kayu salib. Dan hanya sebagai orang yang dikasihi Yesus, murid-murid mampu mengasihi sesamanya manusia. Oleh sebab itu, percaya kepada Yesus, mengasihi Dia, mendengarkan suara-Nya, tetap tinggal di dalam Dia, datang kepada-Nya, melayani dan mengikut-Nya merupakan penekanan penting Injil Yohanes. Percaya berarti sama dengan mendengarkan suara Yesus dan menuruti perintah-perintah-Nya. Ungkapan jangan mengasihi dunia memperlihatkan bahwa hanya Allah-lah yang menjadi sumber kehidupan manusia. Maka, saling mengasihi seperti Kristus mengasihi umat-Nya adalah kewajiban utama dan nilai tertinggi bagi orang Kristen.

I.         Panggilan Untuk Bertobat Kembali Di Wahyu Yohanes
Penulisan Wahyu Yohanes berhadapan dengan keadaan jemaat Kristen yang menghadapi penganiayaan di bawah penganiayan Kaisar Domitianus. Kaisar menganggap dirinya sebagai allah (antikkrist) yang harus disembah. Dalam situasi demikian jemaat Kristen dituntut untuk mengambil sikap atau keputusan, yaitu apakah harus menyembah Kaisar atau tetap setia pada Kristus. Maka panggilan pertobatan yang dimaksud Wahyu Yohanes adalah penghiburan bagi jemaat supaya tetap setia pada Kristus.

Di dalam Kristus ada pengharapan yang tidak hanya diarahkan kepada masa depan, tetapi sudah nyata dalam kehidupan jemaat kini dan di sini. Maka yang berbahagia adalah mereka yang tetap setia pada Kristus, karena hanya di dalam Yesus-lah mereka memperoleh diselamatkan. Oleh sebab itu, jemaat Kristen dituntut untuk tetap mengerjakan pekerjaan Kristus, dan meninggalkan perbuatan-perbuatan jahat atau cara hidup yang lama. Berkaitan dengan ajakan untuk bertobat, jemaat dituntut supaya bersikap tabah dan tegas dalam mengambil keputusan yang sesuai dengan kehendak Allah. Maka, yang lebih penting di sini adalah ketabahan dan iman di dalam Kristus Yesus.

Tanggapan Kritis
1.        Kekuatan

Buku ini menguraikan dengan sangat baik mengenai sikap atau keputusan-keputusan yang harus diambil oleh orang Kristen untuk menjalani kehidupan di dalam dunia yang penuh dengan dilematis. Maka, kehidupan, pengajaran dan karya Yesus menjadi titik tolak yang utama bagi orang Kristen dalam menjalani kehidupannya. Dalam kehidupan Yesus, kasih adalah dasar dari semua tindakan atau perbuatan-perbuatan-Nya. Artinya, tidak ada satupun tindakan-Nya yang terlepas dari kasih. Maka, sebagai pengikut Kristus yang setia, terlebih bagi orang Kristen, juga dituntut untuk menerapkan kasih sebagai mana yang diterapkan Yesus untuk semua orang. Sehingga dengan demikian, orang yang belum percaya atau tidak percaya sekalipun bisa mengambil bagian untuk memuliakan Allah. Sedangkan kehidupan komunitas orang Kristen, kasih persaudaraan sangat ditekankan.

Kasih persaudaraan adalah kasih yang bersifat timbal balik (saling mengasihi). Selanjutnya, pengajaran Yesus dijadikan dasar untuk pengajaran orang Kristen dan non-Kristen. Kerajaan Allah merupakan inti dari pengajaran Yesus yang harus diikuti oleh para murid hingga kepada orang Kristen saat ini. Selain hidup dan pengajaran Yesus, karya Yesus juga menemapti tempat yang sangat sentral dan penting. Dalam karya-Nya memperlihatkan bahwa Dia adalah Raja dan satu-satunya Juruselamat dunia. Kematian-Nya di kayu salib dan kebangkitan-Nya menjadi klimaks dari semua karya-Nya. Jadi, ketiga hal itu, yaitu hidup-Nya, pengajaran-Nya dan karya-Nya erat kaitannya dengan kehidupan para murid saat itu hingga ke para murid-Nya saat ini dan para murid-Nya yang akan datang.

Dari uraian di atas jelaslah bahwa orang Kristen harus menjadi murid Kristus. Karena seseorang atau sekelompok orang disebut sebagai murid Kristus, ia tidak hanya menjadi pendengar, tetapi lebih jauh dari itu, yaitu menjadi pelaku Firman, yang berintikan hidup, pengajaran dan karya Yesus. Dari semuanya itu dihubungkan oleh “Kasih Allah” yang dinyatakan di dalam Kristus Yesus di atas kayu salib sebagai tebusan atas semua dosa umat manusia. Dengan demikian, orang Kristen sebagai pengikut Yesus dibebaskan belenggu dosa, tetapi serentak dengan kebebasan yang diberikan Allah kepada manusia melalui kematian Yesus, orang Kristen juga dituntut Allah secara mutlak untuk bertanggung jawab atas kehidupannya secara pribadi. Baik perkataan, perbuatan maupun tingkah laku dalam mengambil keputusan dalam situasi apapun. Jadi jelaslah, bahwa dengan adanya kebebasan, maka juga ada tanggung jawab. Karena kebebasan tidak bisa dilepaskan dari tanggung jawab etis kepada Allah.

2.        Kelemahan
Di samping kekuatan, tentu ada kelemahan juga. Maka harus diakui tidak seorang pun yang luput dari kelemahannya sebagai ciptaan Tuhan. Adanya kelemahan bukan berarti untuk mencari-cari kesalahan atau kelemahan dengan tujuan menjatuhkan, melainkan untuk saling mengisi dan melengkapi terhadap kekurangan dan kelemahan yang ada.
Adapun kelemahan dari buku ini:

a.      Pada bahasan bab 2 mengenai Yesus: etika yang eskatologis, khususnya mengenai hukum Taurat dan Yesus. Penulis tidak memperlihatkan hubungan Yesus dan hukum Taurat secara jelas. Karena bagai mana pun hidup, pengajaran dan karya Yesus tidak bisa terlepas dari pengajaran hukum Taurat. Artinya, apa yang telah diajarkan Yesus sebenarnya bukanlah suatu kebenaran yang baru, melainkan kebenaran yang telah ada dalam hukum Taurat. Hanya penerapannya yang berbeda, yaitu Yesus menerapkan inti dari kebenaran hukum Taurat secara benar, dengan makna kontekstual pada masa-Nya hidup. Berbeda dengan apa yang diperlihatkan oleh para pemimpin agama Yahudi dan ahli-ahli Taurat yang hanya menuntut.

b.      Kemudian pada bab 4, mengenai aspek-aspek etika dari Injil sinoptis, penulis tidak memperlihatkan alasan-alasan mengapa Markus menekankan panggilan menjadi murid, Matius menekankan kebenaran yang lebih benar dan Lukas menekankan memelihara dan menghormati sesama. Dengan kata lain, ketika sumber berbeda itu tidak bisa dilepaskan dari konteks saat teks itu ditulis.

c.       Kemudian pada bab 6, saya kira penulis tidak konsisten mengatakan mengenai “etika penerus Paulus”, sementara dalam pembahasan surat Kolose, surat Efesus dan surat pertama Petrus, penulis mengatakan perbedaan yang mencolok dengan etika Paulus dalam surat-surat-Nya. Artinya, dengan adanya perbedaan yang menonjol, maka belum tentu penulis surat Kolose, Efesus dan surat pertama Petrus meneruskan etika Paulus. Kemudian penulis buku ini juga tidak memperlihatkan bukti-bukti yang kuat selain bukti kesejajaran yang diperlihatkan antara surat-surat Paulus dengan surat Kolose, Efesus, surat-surat Pastoral dan surat pertama Petrus.

No comments:

Post a Comment