Oleh: Sugiman
Lalu aku
mendengar suara Tuhan berkata: "Siapakah
yang akan Kuutus, dan siapakah yang mau pergi untuk Aku?" Maka
sahutku: "Ini aku, utuslah aku!" (Yesaya 6:8)[1]
Tidak jarang telinga kita mendengar
kicauan para
pemimpin (politik maupun pemimpin agama) yang mengembar-gemborkan janji-janji
palsu dan program-program politik maupun
keagamaan demi sebuah jabatan tertentu. Tetapi setelah itu, semuanya menjadi sirna, dilupakan dan hambar ketika telah
berhasil menduduki
kursi jabatan impian.
Bukan karena mereka tidak memiliki visi dan misi, tetapi
karena miskin dan rendahnya integritas. Artinya, visi dan misi saja tidak cukup
untuk dijadikan syarat kepemimpinan. Namun, tidak berarti visi dan misi itu tidak penting, tetapi tanpa
integritas maka keduanya hanyalah semboyan belaka. Rendahnya kualitas integritas yang dimiliki
seorang pemimpin dapat melumpuhkan visi dan misi serta kualitas moral seorang pemimpin itu sendiri. Oleh sebab itu, jangan heran jika rakyat atau masyarakat luas memandang dengan sinis dan meremehkan para pemimpin negara ataupun agama. Kehadiran seorang
pemimpin tidak lagi dipandangan sebagai public figur. Itu sebabnya, integritas dalam kepemimpinan yang
visioner dipandang sangat penting dimiliki oleh seorang pemimpin.
Pembahasan
a.
Apa itu integritas?
Jhon Stott pernah menuliskan demikian,
“Integritas adalah ciri orang-orang yang
terintegrasi secara selaras, yang di dalam dirinya tidak ada dikotomi antara
kehidupan pribadi dan kehidupan di muka umum, antara yang disaksikan dan yang
diterapkan, antara yang diucapkan dan yang dilakukan”.[2]
Maksudnya, keselarasan antara perkataan dan perbuatan itu harus menjadi ciri
khas orang-orang yang hidup terintegrasi. Selanjutnya, Jhon Poulton, yaitu
mantan penasihat Uskup Agung dalam bidang penginjilan mengatakan, “Kesaksian yang paling efektif berasal dari
mereka yang mewujudkan hal-hal yang mereka katakan. Mereka adalah perwujudan
dari pesan mereka sendiri. Orang Kristen harus konsisten dengan perkatan mereka
sendiri ... apa yang dikomunikasikannya pada dasarnya merupakan keaslian
pribadinya”.[3]
Maksudnya, pada dasarnya perkataan seseorang itu mencerminkan kepribadiannya.
Lalu jika demikian apa sebenarnya integritas itu? Integritas berasal dari bahasa Inggris, yaitu “Integration”
yang berarti kesempurnaan atau keseluruhan. Kemudian digunakan juga dalam dunia matematika yang kita kenal dengan “bilangan integral” atau bilangan bulat.
Dalam dunia komputer juga ada istilah “Integral
Data Type” yang menunjuk kepada tipe data apapun yang juga merepresentasikan
bilangan bulat itu sendiri. Menurut Jonathan Lamb kata “integral” adalah sebagai hal yang sangat mendasar atau sangat
penting untuk keadaan yang lengkap, yang utuh, yang tidak kurang, dan
menyeluruh.[4]
Maka dalam
konteks itu juga kita harus memahami makna kata integritas itu sendiri, yang
menunjuk kepada eksistensi manusia seutuhnya, yaitu antara perkataan dan
perbuatannya harus selaras dan diterapkan dengan tepat.
Dengan kata lain, jika perkataan diutamakan, tetapi
mengabaikan tindakan, maka itu tidak masuk
dalam kategori integral atau kebulatan atau keutuhan dari manusia itu sendiri, melainkan sebaliknya, yaitu ketimpangan
atau keganjilan.
Apa kaitannya dengan visi dan misi? Seorang pemimpin yang
memiliki kualitas integritas pastilah tidak merancang visi dan
misi hanya untuk menuntut orang lain supaya mampu
melaksanakannya, sementara dirinya hanya tahu bersih dan tidak bisa memenuhi
tuntutannya sendiri. Melainkan, ia sendiri juga harus hidup
menyatu di dalam integritas itu sendiri. Jika tidak, maka tidak mungkin kepemimpinannya berdampak baik pada bawahannya
dan kedudukannya. Artinya, seorang pemimpin yang memiliki karakter dan kebiasaan buruk
yang demikian, maka ia sebenarnya adalah seorang pemimpin
yang mengalami krisis integritas atau lemahnya kualitas integritas yang dimilikinya. Lebih jauh dari itu
sebenarnya,
ia tidak mengerti ke mana arah dan tujuan kepemimpinan.
b.
Apa itu kepemimpinan?
Sebelum kita berbicara lebih jauh
mengenai kepemimpinan, maka ada baiknya kita melihat beberapa pendapat para
pakar kepemimpinan berikut ini: (1). Menurut George R. Terry (1998), kepemimpinan adalah hubungan yang ada dalam
diri seseorang atau pemimpin, mempengaruhi orang lain untuk bekerja secara
sadar dalam hubungan tugas untuk mencapai tujuan yang diinginkan; (2). Ordway Tead (1929), kepemimpinan
sebagai perpaduan perangai yang memungkinkan seseorang mampu mendorong pihak
lain menyelesaikan tugasnya; (3). Katz
& Kahn (1978), kepemimpinan adalah peningkatan pengaruh sedikit demi
sedikit pada, dan berada di atas kepatuhan mekanis terhadap
pengarahan-pengarahan rutin organisasi; (4). William G. Scott (1962), kepemimpinan adalah sebagai proses
mempengaruhi kegiatan yang diorganisir dalam kelompok di dalam usahanya
mencapai suatu tujuan yang telah ditentukan; (5). James M. Black (1961), kepemimpinan adalah kemampuan yang sanggup
meyakinkan orang lain supaya bekerja sama di bawah pimpinannya sebagai suatu
tim untuk mencapai tujuan tertentu. Dan masih banyak lagi pendapat para pakar
lainnya tentang kepemimpinan.
Jika disimpulkan beberapa pendapat di
atas, maka sebenarnya kepemimpinan itu adalah suatu “seni”. Artinya, setiap orang
memiliki cara dan gaya kepemimpinan tersendiri, tetapi mengarah pada sasaran,
goal atau tujuan bersama.[5]
Meskipun demikian, pelaksanaannya sangat mengenakan kepengaruhan dan memberikan
bimbingan kepada bawahan, sehingga
dari pihak yang dipimpin itu timbul kemauan kepercayaan, respek dan kepatuhan
serta ketaatan yang diperlukan dalam menunaikan tugas-tugas yang diembankan
tanpa banyak menggunakan waktu. Melainkan, dengan
banyak keserasian antara banyak yang menjadi objek kelompok atau apa yang
menjadi kesatuan untuk mencapai sebuah sasaran. Intinya, seorang pemimpin harus dapat memahami dengan jelas, apa
yang ingin dan harus ia capai; mengetahui dengan tepat apa yang mesti ia
lakukan untuk mencapainya; dan memiliki keterampilan untuk mengatur
pelaksanaannya.
Selanjutnya, dalam menjalankan fungsinya seorang pemimpin juga harus memiliki
kualitas hidup, yakni
mengutamakan nilai-nilai moral/ moril/ mental maupun kecakapan yang tinggi,
motivasi dan etiket yang baik, serta sifat-sifat kreatif, aktif, inovatif, konsumtif, berwibawa, bijaksana dan dinamis. Itulah sebabnya, seorang pemimpin
harus benar-benar dapat menjadi teladan, dalam menjunjung tinggi nilai-nilai
ketuhanan (kebenaran), kemanusiaan, persatuan,
kerakyatan, dan keadilan. Maka dari itu, integritas dalam kepemimpinan yang
visioner adalah hal sangat penting untuk dimiliki oleh seorang pemimpin.
c.
Apa itu visi?
Dalam bahasa Ibrani visi adalah házôn: “vision” atau
penglihatan, atau bayangan “of a great
future”, atau “impian yang besar”, atau harapan yang besar akan sesuatu
yang lebih baik di masa mendatang (Yesaya 1:1). Dapat dikatakan, bahwa hal
itulah yang menjadi dasar atau pondasi yang kokoh yang membuat nabi Yesaya
bersedia menerima panggilan Tuhan atas dirinya. Nabi Yesaya sangat sadar bahwa
panggilan Tuhan atas dirinya bukanlah pekerjaan yang ringan. Sebagai manusia
tentu ia memiliki kekurangan dan kelemahan sama seperti kita saat ini. Bahkan
dengan jujur ia mengakui kelemahannya bahwa ia adalah seorang yang najis bibir
karena tinggal di tengah-tengah bangsa yang najis bibir (Yesaya 6:5). Kata yang
diterjemahkan dengan najis adalah tame': “unclean”, “kotor/ tak bersih”. Yesaya
menyadari bahwa dirinya tidak pantas dan tidak layak untuk menjadi seorang
pemimpin. Tetapi kenapa Tuhan mau memakai Yesaya?
Pengakuan nabi Yesaya atas
ketidaklayakannya memperlihatkan, bahwa ternyata pemimpin yang layak bukanlah
pemimpin yang tanpa cacat. Karena pada dasarnya tak seorang pun yang sempurna
seratus persen. Hanya saja dalam perjalanan hidupnya, ada yang serius dan
bersedia sepenuhnya membereskan masa lalunya yang kelam, tetapi ada juga yang
tetap mengeraskan hatinya. Inilah juga yang membedakan kepemimpinan Daud dengan
Saul, kehidupan Petrus dan Yudas. Sekali lagi, Tuhan memakai Yesaya bukan
karena ia tanpa cacat, tetapi karena ia bersedia membangun sebuah relasi yang
harmonis dengan Tuhan. Hal itu ditegaskan lewat kalimat “namun mataku telah melihat Sang Raja, yakni Tuhan semseta alam”. Perhatikan kata yang
diterjemahkan LAI dengan “semesta alam” adalah kata “tsaba'ot” dari kata dasar tsaba' (NIV menterjemahkan
“Almighty”. Sedangkan KJV, NAS dan RSV menterjemahkan “of hosts” (penghuni). Sebenarnya jika diterjemahan secara
harfiah: “tentara, perang atau peperangan”
(army, war or warfare). Jika
demikian apa hubungannya dengan panggilan nabi Yesaya?
Penggunaan kata “tsaba'ot” di atas bukanlah tanpa alasan. Kalau
kita melihat konteks pada masa Yesaya dipanggil Tuhan untuk memberitakan
firman-Nya, maka sebenarnya pengertian kata itu menjadi sangat jelas. Pada masa
itu para pemimpin[6]
politik merasa aman dan nyaman dengan masa-masa kejayaan, kemakmuran dan
keberhasilan mereka di bidang sosial politik dan ekonomi. Fohrer mengatakan, “before the Syiro-Efhraimite war he (Isaiah)
is concerned mostly with the internal situation in Judah following a period of
considerabel political and economic prosperity”.[7]
Ini memperlihatkan, bahwa Yesaya pun sempat menikmati masa-masa kejayaan dan
kemakmuran Yehuda pada saat itu. Peralatan perang pun lengkap, sehingga
bangsa-bangsa sekitar Yehuda seperti Filistin, Babel Hamat, Tirus, Biblos,
Damsyik hingga Gaza dan Wadi Mesir pun takut dan tunduk.
Tetapi sayang, di balik kejayaan,
kesuksesan dan kemakmuran itu ternyata kehidupan umat dan para pemimpin
politik, ekonomi dan keagamaan Yehuda sangat bobrok. Penyalahgunaan kekuasaan
dan kepemimpinan mencuat. Berbagai macam tindakan kekerasan atau penindasan,
pemerasan, korupsi dan tindakan kelaliman lainnya yang mereka lakukan
berkecambuk di tengah-tengah situasi kemakmuran yang ada. Misalnya, penindasan
yang dilakukan dengan cara merampas hak-hak orang miskin (awen)=trouble, sorrow,
wickedness (lih. 1:13; 10:1; 29:20; 31:2; 32:6); Penindasan secara fisik di
tempat kerja (nagas)= to press, drive, oppress, exact lih. 3:5, 12; 9:3; 14:2; 29:13); Penindasan yang dilakukan dengan berbagai macam tekanan atas masyarakat
lemah (lemah secara hukum maupun ekonomi dan politik (lachats)= to press, oppress
(lih. 19:20; 30:20);
Selanjutnya, penindasan yang bersifat
memperlakukan orang lain secara tidak adil (“aon” =iniquity, guilt, atau
punishment of iniquity (lih. 14:21); Penindasan yang bersifat pemerasan (osheq)=oppression, extortion lih. 30:12); Penindasan yang bersifat kasar dan bahkan hingga menyebabkan
kematian (mispach)=bloodshed, outpouring (lih.
5:7b), hal itu semakin jelas ditegaskan oleh kata (tsa`aqah)= a cry, outcry, cry of wailing, call for help); Penindasan yang dilakukan secara kasar dan tidak ramah yang menyebabkan
orang lain menjadi menderita, miskin atau ketiadaan dan ketakutan (tsar)= straits, distress, dread, want (lih. 5:30;
23:1, 5, 8, 15,17; 30:20); dan penindasan secara psikologis atau penindasan
yang menyebabkan orang lain terhina, dipermalukan dan direndahkan (anah)=answer respond, be humble bnd. Septuaginta/ LXX menterjemahkan (anteste)= set
oneself against, oppose, resist, withstand). Sedangkan istilah korupsi menggunakan kata (sahat)= be marred, spoiled,
ruin, corrupt. Kata (sahat)
sendiri muncul tujuh kali dalam proto Yesaya: pasal 1-39 (tidak termasuk
deutero (40-55) dan trito Yesaya (56-66).
Secara manusia, dengan keadaan dan
situasi yang demikian nabi Yesaya sebenarnya juga takut untuk menyampaikan
kebenaran firman Tuhan. Tetapi kata “tsaba'ot” di atas menegaskan bahwa tidak ada yang perlu ditakutkan
jika kita melibatkan Tuhan. Selanjutnya, kata “tsaba'ot” juga memperlihatkan bahwa Tuhan
sebenarnya tidak hanya menyampaikan visi-Nya kepada Yesaya, tetapi Ia juga
hidup di dalam visi-Nya, yaitu menyertai pemberitaan Yesaya untuk memerangi
kebobrokan hidup umat Tuhan saat itu.
Kebobrokan hidup yang dinikmati oleh
para pemimpin Yehuda menjadi tugas besar dan berat yang harus dibenahi dan
diluruskan oleh Yesaya. Pemimpin politik dan pemimpin agama bekerja sama
merampok harta warisan yang dimiliki oleh masyarakat lemah dan miskin. Bahkan
tidak sedikit dari golongan “kapitalis” itu yang menjadi tuan tanah hasil rampasan
atas hak-hak orang miskin dan lemah. Kemudian mereka juga mempekerjakan orang
miskin dan lemah secara kasar dengan upah yang rendah (lih. kata “aniy” = poor,
afflicted (kaum miskin, orang yang
melarat, menderita): 3:14; 10:2, 30; 14:32; 26:6; 32:7). Bahkan Gottwald
berpendapat bahwa studi kata “aniy” memperlihatkan bahwa banyak dari para pekerja miskin dan
lemah itu yang tidak diberi upah sama sekali, tetapi dipekerjakan secara kasar
sama dengan buruh kasar atau budak.[8]
Jika dikaitkan dengan konteks kita saat
ini, maka sebanarnya tak ada bedanya dengan konteks pada masa nabi Yesaya. Para
pemimpin politik tidak lagi menjadi teladan dan pejuang atas hak-hak orang
lemah dan miskin. Terlebih khusus apa yang dialami oleh masyarakat suku Dayak
di Kalimantan Barat, yakni tanah warisan nenek moyang kini telah banyak yang
berpindah tangan dan menjadi hak milik orang “asing”. Saat ini kita
diperhadapkan dengan realita kehidupan yang serupa dengan masa yang pernah
dialami oleh Yesaya saat itu. Kalau bukan kita yang memperjuangkannya, dan
membenahinya maka siapa lagi? Visi yang Tuhan berikan kepada Yesaya adalah visi
yang sama yang Tuhan berikan kepada kita saat ini. Karena itulah integritas
menjadi hal yang sangat penting, yang dapat menuntun kita dalam menjalankan
visi-Nya. Visi yang Tuhan berikan kepada kita harus diterjemahkan dalam konteks
kita saat ini. Kita adalah para calon pemimpin di masa depan yang membutuhkan
integritas untuk menjalani kepemimpinan yang visioner seperti halnya yang
dilakukan Yesaya atas umat Israel di Yehuda.
Itulah sebabnya, dalam dunia
kepemimpinan integritas untuk menjalankan visi dan misi yang terarah dan tepat
sasaran. Kita harus mengikuti perkembangan jaman yang ada. Karena bagai mana
pun, maju mundurnya kehidupan berbangsa dan bernegara adalah tanggung jawab
kita bersama. Hanya mereka yang sungguh-sungguh menanamkan integritas di dalam
kepemimpinan yang visionerlah yang sanggup melihat jauh ke depan, yakni
membayangkan seperti apa kehidupan di masa mendatang. Jangan biarkan orang lain
memandang kita dengan sebelah mata, atau menjadikan kita sebagai warga negara
kelas dua atau anak tiri.
Charles Handy, seorang mahaguru bisnis pernah mengungkapkan
statement demikian: “Seorang pemimpin haruslah menjalani
kehidupan yang memperlihatkan visinya”. Sebuah kalimat pendek dan sederhana, tetapi sarat dengan makna. Visi yang besar
harus disertai misi yang besar pula. Apa itu misi? Misi adalah suatu instrument
untuk mencapai visi. Seorang pemimpin yang visioner harus senantiasa hidup di
dalam visi dan misinya. Dengan kata lain, seorang pemimpin tidak hanya bisa merancang pernyataan visi atau misinya, melainkan ia
juga harus bisa menjalaninya. Seharusnya
inilah yang membedakan kepemimpinan kristiani dan kepemimpinan sekuler. Tetapi
realita yang ada justru memperlihatkan sebaliknya. Mengapa? Karena visi sering
dilihat sebagai formalitas belaka. Maka tidak heran jika kepincangan sosial
politik, ekonomi dan keagamaan merambat, menjelajahi hampir seluruh sisi
kehidupan kepemimpinan.
Seorang pemimpin yang tidak hidup menyatu di dalam
visinya akan mustahil dapat menghasilkan suatu misi yang hidup pula. Sebaliknya
itu adalah awal terbentuknya jiwa kepemimpinan seorang pecundang, pengecut dan
penghianat.
Pemimpin yang memiliki integritas pasti memiliki visi dan misi yang jelas, terarah dan
memungkinkan keterlibatannya di dalam kepemimpinan itu sendiri. Itulah yang
dimaksudkan dengan pemimpin yang visioner, yaitu pemimpin yang melihat jauh ke
depan, yang rasional dan visibel untuk direalisasikan atau diwujudkan.
Penglihatan yang jauh ke depan itu tidak ditumbuhkan secara paksa, tetapi ia
tumbuh sendiri dari berbagai pengalaman, intelektualitas, etiket dan moral baik yang ditanamkan dalam hidup kesehariannya, dan
itulah yang disebut dengan integritas.
Kita telah melihat situasi sosial
politik, ekonomi dan keagamaan yang sangat bobrok pada masa pemberitaan nabi
Yesaya. Para pemimpin tidak lagi menjadi pemimpin yang sesungguhnya.
Penyalahgunakan kekuasaan telah meruntuhkan nilai-nilai kemanusiaan dan keagamaan.
Tempat ibadah kerap dijadikan mesin politik para “kapitalis”. Orintasi
kepemimpinan tidak lagi didasarkan pada kebenaran firman Tuhan, melainkan pada
kekuasaan itu sendiri. Bukankah situasi dan kondisi serupa juga yang melanda
bangsa Indonesia saat ini? Korupsi, ketidakadilan, penindasan, kekerasan,
kemiskinan, premanisme dan bentuk-bentuk kejahatan lainnya bertumbuh dengan
subur di negara kita. Salah satu penyebab semuanya itu adalah karena rendah dan
miskinnya integritas seorang pemimpin kita. Mereka tidak lagi hidup di dalam
visi dan misi yang telah ditetapkan bersama dan untuk kepentingan bersama.
Tuhan telah memperlihatkan semuanya kepada nabi Yesaya, tetapi juga kepada kita
saat ini. Bahkan, pertanyaan yang sama juga telah Tuhan ajukan kepada kita, "Siapakah
yang akan Kuutus, dan siapakah yang mau pergi untuk Aku?" Kini Ia menunggu jawaban kita untuk mengatakan “Ini
aku, utuslah aku!”
d.
Beberapa kesimpulan:
1.
Dalam
menjalankan roda kepemimpinan, relasi seorang pemimpin dengan Tuhan sangat
penting.
2.
Seorang pemimpin harus mengenal siapa dirinya. Dengan
demikian ia mengerti tujuan pokoknya, mengerti apa tugas pokonya dan mengetahui sejauh mana kemampuan
dan apa kelemahannya.
3.
Seorang pemimpin harus memiliki pandangan yang luas tentang
eksistensi manusia seutuhnya. Dengan demikian ia menyadari bahwa dirinya sangat
membutuhkan pertolongan mereka terutama para bawahannya untuk menangani setiap
permasalahan yang menyangkut hak dan kepentingan publik.
4.
Seorang pemimpin harus selalu bersikap komunikatif dalam arti
yang tulus, ikhlas, benar dan sangat memperhatikan kualitas kata-kata yang
digunakan. Dengan demikian, ia tidak menjadikan dirinya manusia setengah dewa, yaitu merencanakan hal-hal yang tidak
mungkin dilakukannya.
5.
Seorang pemimpin harus peka dengan keadaan, cepat tanggap,
selalu percaya diri dan optimis dalam segala situasi.
Bahkan sesulit apapun situasinya ia tetap melangkah dengan tenang, teduh dan
bijaksana. Walaupun sebenarnya ia merasakan apa
yang dirasakan bawahannya. Misalnya dalam hal pengambilan keputusan.
6.
Seorang pemimpin harus memiliki sikap pengendalian
emosional, supaya ia dapat merasakan hal yang sama seperti apa yang dirasakan
bawahan maupun masyarakat luas tentang
sebuah krisis. Karena itu, kecerdasan emosional itu sangat dibutuhkan, guna
mengantarkan seseorang pada kesuksesan.
7.
Seorang pemimpin harus selalu belajar menepati janji, meski
ada beraneka-ragam perubahan, tetapi ia harus tetap konsisten dan tetap bisa diandalkan. Karena
kemampuannya dalam menepati janjilah dirinya tetap menjadi andalan, panutan,
teladan dan jalan yang patut diikuti. Kemampuan menepati janji adalah lahir dari kesetiaan terhadap
diri sendiri, terhadap orang
lain dan terlebih kepada Tuhan, dan dari situlah lagi akan lahir sikap solidaritas.
8.
Seorang pemimpin harus berani jujur,
mengakui dan mengukur sejauh mana kapasitas dan keterbatasan pengetahuannya.
9.
Seorang
pemimpin juga harus berani mengakui
kekeliruannya dan memiliki tekat baik untuk memperbaikinya. Artinya, setiap masukan adalah penting, yang dapat menuntunnya menemukan jalan lurus menuju kebijaksanaan.
e.
Refleksi
Nabi Yesaya di panggil Tuhan untuk
menyampaikan kebenaran firman-Nya dalam situasi dan kondisi yang tidak mudah.
Tuhan memberikannya visi atau penglihatan mengenai realita kehidupan umat Israel
di Yehuda saat itu yang sangat pelik dan rumit (complicated). Para pemimpin politik dan agama
tidak lagi menjadi teladan yang harus dijadikan panutan. Mereka hidup menikmati
kebobrokan hidup, korupsi, kekerasan, ketidakadilan, berbagai macam penindasan
dan singkretisme yang mereka lakukan. Inilah tantangan terberat bagi nabi
Yesaya. Meskipun demikian, ketika Tuhan bertanya kepadanya: "Siapakah
yang akan Kuutus, dan siapakah yang mau pergi untuk Aku?", maka jawab Yesaya adalah “Ini aku, utuslah aku!”
Jika kita perhatikan baik-baik dua
kalimat tanya yang dihubungkan oleh kata “dan”, maka yang pertama menyiratkan
makna bahwa pada saat itu “tidak ada lagi
seorang pemimpin yang berjalan lurus di bawah pengamatan Tuhan dan mendengarkan
suara-Nya”. Semuanya telah menyimpang dari kebenaran-Nya. Kedua menyiratkan
makna, bahwa “tidak seorang pun yang mau
pergi menyampaikan kebenaran firman-Nya”. Mengapa? Karena para pemimpin
telah merasa aman, nyaman dan tenang menikmati masa kejayaan dan kemakmuran.
Sehingga mereka tidak lagi merasa membutuhkan Tuhan. Dalam keadaan itu, Yesaya
memberanikan diri untuk mengatakan “Ini aku, utuslah aku!” Dalam jawaban
Yesaya tersirat makna bahwa ia bersedia berjalan di bawah pengamatan/ pimpinan
Tuhan. Artinya, Yesaya menjadikan Tuhan sebagai sentral kepemimpinannya, dan
itulah esensi terdalam dari integritas kepemimpinan Yesaya. Dalam konteks
itulah Eka Darmaputera mengatakan, bahwa kepemimpinan manusia harus
mencerminkan kepemimpinan Allah, yaitu yang menghidupkan dan menghidupi, bukan
yang menindas, karena manusia adalah Gambar Allah (Imago Dei).[9]
Seharusnya kita mau belajar dari
Yesaya, yang tetap konsisten hidup di dalam visi yang Tuhan berikan.
Kekonsistennannya itulah yang menjadikan dirinya menjunjung tinggi integritas
dalam kepemimpinan yang visioner dengan berjalan di bawah pengamatan Tuhan. Kepemimpinan
tanpa integritas adalah sama dengan orang yang mendirikan rumah di atas pasir, yakni tinggal menunggu badai datang untuk merobohkan dan menghancurkannya.[10] Sehebat apapun kepemimpinan seseorang, jika ia mengabaikan
integritas, maka cepat atau lambat kepemimpinannya akan hancur.
Integritas adalah salah satu alat Tuhan
untuk menuntun setiap orang menemukan kebenaran-Nya. Karena itu, membangun
relasi yang baik dan harmonis dengan Tuhan harus menjadi tujuan utama dalam
menjalankan roda kepemimpinannya yang diemban. Dengan demikian dapat menjadi
berkat bagi banyak orang. Integritas adalah karunia yang Tuhan titipkan kepada setiap
orang sesuai dengan kemampuannya masing-masing. Jika
integritas adalah titipan, berarti ada saatnya
ia akan diambil oleh-Nya dari pada kita. Karena itu, jangan pernah mengabaikan integritas dalam sepanjang hidup
kita.
KEPUSTAKAAN
Alkitab:
-
Bible Works 7
-
LAI TB 2008.
Buku:
Fohrer, Sellin. Introduction
to the Old Testament. Nashville: Abingdon Press, (ed. 4), 1978.
Gottwald, Norman K. The Hebrew Bible
– A Socio – Liteary Introduction. Philadelphia: Fortress Press, 1985.
Lamb, Jonathan. Integritas – Memimpin
di Bawah Pengamatan Tuhan. Jakarta: Perkantas – Divisi Literatur, 2008.
Poulton, John. A Today Sort of Evangelism. Lutterworth, 1977.
STT Jakarta. Kepemimpinan Kristiani –
Spiritualitas, Etika, dan Teknik-teknik Kepemimpinan dalam Era Penuh Perubahan.
Jakarta: Sekolah Tinggi Teologia Jakarta, 2001.
Westermann, Claus. Handbook
To The Old Testament. Augsburg: Publishing Hous, 1976.
Surat
Kabar:
Tribun Pontianak–Spirit Baru Kal-Bar, SBY
Kuasai Seluruh DPD – Pimpinan Tandatangani Pakta Integritas (edisi 189
tahun V - Senin, 11 Februari 2013). Pontianak: Kompas Gramedia, 2013.
[1]
Tulisan ini pernah
diseminarkan oleh penulis di STT Abdi Wacana Pontianak pada hari Sabtu, 16
Februari 2013.
[2]
Jhon Stott, dalam Jonathan
Lamb, Integritas – Memimpin di Bawah
Pengamatan Tuhan (Jakarta: Perkantas – Divisi Literatur, 2008), 15
[3]
John Poulton, A Today Sort of Evangelism (Lutterworth, 1977), 60-61, 79.
[4]
Baca Jonathan Lamb, Integritas..., 25-26
[5]
Pendapat senada juga dikemukakan
oleh Joko Widodo mengenai gaya kepemimpinan Ahok yang akrab disapa Basuki itu
marah saat perwakilan dari PT. Honda Pluit, Jakarta Utara yang meminta keadilan
atas Jembatan Penyebrangan Orang (JPO) mendatanginya pada Senin, 17 Desember
2012 malam.
[6]
Yesaya 1:1 dengan sangat jelas
menyebutkan raja-raja atau para pemimpin politik saat itu, yaitu Uzia (783-742
SM), Yotam (750-742 SM. sudah berperan, tapi baru dilantik tahun 742-735 SM.),
Ahas (735-715 SM.) dan Hizkia (715-686 SM.). Tetapi puncak kebobrokan hidup
umat Israel adalah pada masa pemerintahan raja Ahas, yaitu penindasan, korupsi
dan sinkretisme berkembang dengan pesat.
[7] Sellin-Fohrer, Introduction to the Old Testament (Nashville: Abingdon Press, ed.
4, 1978), 66
[8]
Lih. Norman K. Gottwald, The Hebrew Bible – A Socio – Liteary
Introduction (Philadelphia: Fortress Press, 1985), 377, 380; bnd. Claus
Westermann, Handbook To The Old Testament
(Augsburg: Publishing Hous, 1976), 136.
[9]
Eka Darmaputera dalam Kepemimpinan Kristiani – Spiritualitas,
Etika, dan Teknik-teknik Kepemimpinan dalam Era Penuh Perubahan (Jakarta:
Sekolah Tinggi Teologia Jakarta, 2001), 4-6
[10]
Kesadaran akan peningnya
integritas juga dirasakan oleh para pemimpin Partai Demokrat (PD), yakni
sebanyak 33 Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) se-Indonesia menandatangani Pakta
Integritas (PI). Baca Tribun Pontianak –
Spirit Baru Kal-Bar - edisi 189
tahun V - Senin, 11 Februari 2013 (Pontianak: Kompas Gramedia, 2013), 1 dan 7