Oleh: Sugiman
“Aku berkata kepadamu, hai sahabat-sahabat-Ku, janganlah kamu takut
terhadap mereka yang dapat membunuh tubuh dan kemudian tidak dapat berbuat
apa-apa lagi (Lukas 12:1).
Jika Tuhan yang diyakini dalam
ajaran agama kita masing-masing itu sumber kebenaran, mengapa kita sering
berkhianat, berdusta dan tidak memihak pada kebenaran? Apa sebenarnya yang kita
takutkan dalam hidup ini? Apakah segala sesuatu yang temporer itu lebih tangguh
dari yang abadi?
Seorang dokter yang mengabdikan hidupnya untuk Tuhannya pernah mencatatkan
kata-kata penguatan dari Yesus untuk para pengikutNya demikian, “Aku berkata kepadamu, hai
sahabat-sahabat-Ku, janganlah kamu takut terhadap mereka yang dapat membunuh
tubuh dan kemudian tidak dapat berbuat apa-apa lagi (Lukas 12:1). Kata-kata
itu telah menyihir dan memberikan kekuatan kepada para pengikutNya sehingga mereka
berani mati sebagai martir karena kesetiaan mereka pada ajaran Kristus.
Pengajaran Kristus kepada para murid dan kepada orang-orang yang bersedia merelakan
hidupnya untuk memihak pada kebenaran sebagaimana yang diajarkan Kristus. Betapa
tidak, yakni di mana pengajaranNya setidaknya telah memberikan insfirasi dan
makna kehidupan abadi yang tidak semestinya diabaikan. Hal itu jugalah yang
menguatkan dan mengubah pendirian Polikarpus untuk tetap setia pada kebenaran. Sehingga
ketika ia dipaksa oleh Gubernur Romawi supaya menyangkal dan mengkhianati
Yesus, tapi dengan tegas dan lantang ia mengatakan, “Selama delapan puluh enam
tahun aku telah mengabdi kepadaNya dan Ia tidak pernah menyakitiku. Bagaimana mungkin
aku dapat mencaci Raja yang telah menyelamatkanku?”.
Jika kita hubungkan frasa “janganlah kamu takut” dari ucapan Yesus yang
dicatat oleh Lukas 12:1 dengan pengakuan Polikarpus yang mengatakan bahwa Yesus
adalah Raja yang telah menyelamatkannya. Maka di sana tersirat makna kehidupan
abadi yang sering diabaikan oleh mereka yang menyandarkan hidupnya kepada
segala sesuatu yang sifatnya temporer.
Refleksi
Para pembaca yang budiman dan baik hatinya, bukankah pengkhianatan serupa
juga sering kita lakukan demi kenyaman pribadi yang sangat temporer atau
sementara? Bahkan tidak jarang kita mengabaikan nilai-nilai kebenaran karena sedikit
uang, setingkat jabatan, dank arena takut tidak popular? Jika hal itu tetap
kita biarkan terjadi dan terus-menerus dilakukan, maka suatu saat kita akan
kehilangan jati diri kita sebagai ciptaan Tuhan yang mulia, yang berbeda dari
ciptaanNya yang lain.
Para pembaca yang budiman dan baik hatinya, satu hal yang harus kita ingat
dan camkan, bahwa orang yang sering menunda untuk melakukan kebenaran dan bahkan
tidak memihak kepadanya adalah orang tidak mungkin setia pada Tuhannya. Mengapa?
Karena kebenaran abadi itu hanya berasal dari Tuhan. Oleh sebab itu, adalah
tidak mungkin seseorang mengatakan hidupnya atau agamanya bertuhan sementara ia
sendiri tidak memihak kepada nilai-nilai kebenaran. Artinya, hanya mereka yang
setia kepada kebenaranlah yang telah menemukan arti atau makna kehidupan yang
sesungguhnya. Oleh sebab itu, jangan takut untuk berbuat benar dan memihak
kepadanya selagi ada kesempatan untuk melakukannya.
Semoga bermanfaat, kiranya Tuhan Yesus selalu memberkati hidup kita dan menjadi
berkat bagi banyak orang selama kita hidup di dunia.