Friday, 28 December 2012

KARENA AKU MENGASIHIMU

Oleh: Sugiman

Konon, hiduplah seorang ayah yang kaya raya, beserta kedua anak laki-lakinya yang sangat ia kasihi. Adapun keluarga mereka adalah keluarga terkaya di daerahnya pada masa itu. Mereka tidak hanya memiliki kekayaan dalam bentuk materi, tetapi juga benda, seperti: emas, perak dan ternak yang berlimpah, ribuan hektar lahan perkebunan, ladang, sawah dan ribuan jumlah para pekerja dan pelayan. Semua itu kekayaan yang sudah pasti menjadi hak warisan kedua anaknya.

Adapun sang ayah di usianya yang sudah tidak lagi muda sangat bahagia menikmati masa tua hidupnya bersama kedua anaknya. Rumahnya megah dan mewah, dan di situlah mereka saling bercengkrama, bercanda, tertawa bersama kedua anaknya. Namun si bungsulah sering bersama sang ayah karena usianya yang masih muda dan belum diperkenankan untuk bekerja. Karena itu tak jarang sang ayah kuatir dengan anak bungsunya, yang masih sangat rawan akan pengaruh dan ajakan yang jahat dari teman-teman sebayanya maupun dari orang dewasa lainnya. Bahkan tidak jarang juga sang ayah mengontrol dan memperhatikan si bungsu dengan kasih tanpa harus menghilangkan haknya untuk membuat sebuah keputusan yang baik sesuai hati nuraninya.

Sementara anaknya yang sulung sangat sibuk mengurus lahan perkebunan, ladang dan sawah mereka. Selain itu, si sulung juga sibuk mengawasi, mengontrol dan mengarahkan para pekerja ayahnya supaya tetap bekerja dengan baik. Itulah sebabnya jarang berada di rumah seperti halnya adiknya (si bungsu). Setiap pagi, di pagi-pagi buta ia sudah berangkat. Bahkan ia sering pulang malam dari pekerjaannya, dan begitu seterusnya. Karena itu, sering juga sang ayah menyuruhnya untuk beristirahat yang cukup, menjaga pola makan demi kesehatannya.

Sang ayah merasa sangat bangga pada  kedua anaknya. Bahkan tidak jarang sang ayah terbangun di tengah malam, kemudian membuka pintu kamar anaknya satu persatu untuk melihat keadaan mereka. Saat anak-anaknya tidur dengan nyenyak, sang ayah juga sering memperbaiki selimut yang jatuh ke lantai, serta membelai rambut dan mencium kening mereka dengan kasih. Sang ayah selalu berharap supaya mereka selalu menjadi anak yang baik dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan kebenaran. Bahkan tidak jarang juga sang ayah meneteskan air mata karena rasa haru, sukacita, bahagia dan kasihnya yang amat besar, yang tak dapat diukur dan yang tak ternilai harganya dan yang tak terungkapkan dengan kata-kata.

Pada suatu ketika, di saat yang tak diduga-duga, saat yang tak terpikirkan oleh sang ayah, yaitu di mana anaknya yang bungsu meminta seluruh harta, hak dan warisan yang menjadi bagiannya secara paksa. Penulis buku Lukas mencatatkan kalimat yang diungkapkan si bungsu terhadap sang ayah secara gamblang demikian: Bapa, berikanlah kepadaku bagian harta milik kita yang menjadi hakku (Lukas 15:12). Mendengar kalimat itu, sang ayah terkejut dan bertanya mengapa si bungsu melakukannya. Tetapi dengan suara keras si bungsu langsung membentak sang ayah bahwa ia akan pergi ke negeri jauh. Kemudian sang ayah bertanya lagi: ke negeri jauh di mana nak, dan apa nama daerahnya? Tetapi lagi-lagi dengan nada keras dan membentak si bungsu berkata: bapa tidak perlu tahu negeri jauh yang akan aku tuju, cepat bagi harta kita untuk ku!!!.

Akan tetapi sang ayah tetap menjawab dengan nada sopan dan lembut serta penuh dengan belas kasihan. Namun, setelah beberapa hari merayu, memohon, menasihati dan mempertimbangkan matang-matang keputusan si bungsu yang akan pergi jauh meninggalkan ayahnya, kakak sulungnya dan tempat kelahiran, akhirnya sang ayah membagi dan memberikan harta yang menjadi hak warisan sesuai permintaan si bungsu. Dengan berat hati sang ayah merelakan dan mengizinkan kepergian anak bungsunya yang sangat ia dikasihi. Sang ayah sangat kuatir pada anaknya itu, karena ia belum bisa bekerja seperti anak sulungnya. Si bungsu juga belum bisa mengarahkan hidupnya sendiri pada hal-hal yang dapat merusak masa depannya.

Meskipun demikian, sang ayah tetap menghormati dan menghargai keputusan si bungsu untuk pergi ke negeri jauh sesuai keinginannya. Sebelum pergi, si bungsu terlebih dahulu menjual harta benda. Penulis buku Lukas menuliskan demikian: Beberapa hari kemudian anak bungsu itu menjual seluruh bagiannya itu lalu pergi ke negeri yang jauh. Di sana ia memboroskan harta miliknya itu dengan hidup berfoya-foya (Lukas 15:13). Di negeri jauh itu, si bungsu memuaskan hawa nafsunya bersama para pelacur dan hidup dalam perjudian hingga semua hartanya habis total sehingga ia menjadi melarat dan hidup dalam kelaparan. Akhirnya, ia mengemis ke sana sini, memungut makanan-makanan sisa di tempat-tempat sampah. Hidupnya sangat menderita. Itulah sebabnya, ia berusaha mencari pekerjaan yang layak supaya dapat hidup. Dari satu tempat ke tempat yang lain ia melamar pekerjaan, namun tak seorang pun yang memberinya kesempatan untuk bekerja.

Sedangkan, ayahnya di rumah, setiap hari, sepanjang waktu dan bahkan bertahun-tahun selalu menantikan dan mengharapkan anaknya yang bungsu itu pulang atau kembali rumah. Setiap hari sang ayah duduk dan berdiri di depan rumah dan menajamkan pandangan matanya yang sudah rabun ke ujung jalan. Bertahun-tahun di setiap harinya sang ayah menunggu anaknya yang bungsu pulang itu pulang ke rumah, tetapi tak juga kunjung datang. 

Sementara si bungsu sudah merasa pasrah akan hidup di negeri jauh. Ia merasa sudah tak ada lagi harapan hidup. Itulah sebabnya, ia memutuskan untuk bekerja sebagai penjaga ternak babi di ladangnya. Tetapi ia pun tidak diberi makan oleh majikannya. Ia sangat kelaparan dan melarat. Penulis buku Lukas mengatakan, bahwa ia (si bungsu) berusaha mengisi perutnya dengan ampas yang menjadi makanan babi, tetapi tak seorang pun memberikannya kepadanya (Lukas 15:14-16).

Di dalam kemelaratan, kesusahan dan penderitaan yang dialaminya ia menyesal, sadar dan berkata pada dirinya: Betapa banyaknya orang upahan bapaku yang berlimpah-limpah makanannya, tetapi aku di sini mati kelaparan. Aku akan bangkit dan pergi kepada bapaku dan berkata kepadanya: Bapa, aku telah berdosa terhadap surga dan terhadap bapa, aku tidak layak lagi disebutkan anak bapa; jadikanlah aku sebagai salah seorang upahan bapa (Lukas: 15: 17-19). Setelah ia mengatakan demikian, penulis buku Lukas melanjutkan ceritanya: Maka bangkitlah ia dan pergi kepada bapanya. Ketika ia masih jauh, ayahnya telah melihatnya, lalu tergeraklah hatinya oleh belas kasihan. Ayahnya itu berlari mendapatkan dia lalu merangkul dan mencium dia (Lukas 15:20).

Refleksi:
Bukankah dalam kehidupan ini kita juga sering menyakiti dan menghianati Tuhan seperti yang dilakukan oleh si bungsu di atas? Tidak jarang kita memaksa Tuhan untuk memberikan segala sesuatu yang kita inginkan sesuai yang kita harapkan. Setelah mendapatkannya kemudian kita pergi jauh melupakan, meninggalkan dan menghianati-Nya. Bahkan tidak jarang Tuhan menangis karena kelakukan dan perbuatan kita yang sering menyakiti hati-Nya. Namun begitu, apapun keadaan kita, seberapa sering kita mendustai dan menghianati-Nya, Dia tetap dan selalu menunggu kita kembali kepada-Nya. Dia pasti sangat merindukan kita.

Begitulah juga Tuhan memperlakukan kita. Semua dilakukan karena Dia sangat mengasihi kita, dan Dia berharap kita juga seharusnya melakukannya (mengasihi-Nya). Bagaimana caranya kita dapat mengasihi Tuhan? Yesus mengatakan: Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku (Matius 25:40). Karena itu janganlah pernah berhenti mengasihi seorang akan yang lain! Itulah pesan Natal yang Yesus titipkan kepada para pengikut-Nya.

Thursday, 20 December 2012

MENIKAH: MENCARI TEMAN HIDUP ATAU MUSUH HIDUP?

Oleh: Sugiman

Dalam bukunya Selamat Berteman, Andar Ismail menuliskan demikian: “Mengapa orang menikah? Karena jatuh cinta. Mengapa rumah tangganya bahagia? Bukan karena jatuh cinta, melainkan karena bangun cinta. Jatuh cinta berbeda dengan bangun cinta. Jatuh cinta itu gampang, dalam sepuluh menit juga bisa jatuh cinta. Tetapi membangun cinta itu susah dan perlu waktu seumur hidup.”

Mengapa bisa demikian? Karena ketika jatuh cinta, kita buta, bisu dan tuli. Itulah sebabnya kita sengaja tidak melihat keburukan si dia. Kita juga pun tidak mungkin mencela keburukannya. Bahkan ketika dia mencela pun, kita tidak mendengarnya sebab kita bisu. Ketika bepergiaan dunia seolah-olah milik berdua, sedangkan yang lainnya ngontrak. Percaya atau tidak, itulah yang dialami orang yang sedang jatuh cinta. Terkesan berlebihan memang, tetapi ini adalah realita kehidupan orang yang sedang jatuh cinta.

Puncak dari kebutaan, kebisuan dan tuli yang dialami adalah ketika bersanding dipelaminan, atau setelah janur kuning melengkung. Namun setelah malam pertama berakhir dan bulan madu berakhir, suasana pun mulai berubah. Mata kita mulai melihat keburukan si dia, bahkan sebesar butiran debu pun kesalahannya menjadi tampak dengan jelas. Mulut kita yang tadinya bisu mulai mengeluarkan kata-kata pedas, menyakiti, mengkritik dan ia pun membela diri, sehingga terjadilah pertengkaran. Emosi yang jahat pun tidak terkendali, sehingga piring, gelas, kuali, periuk pun berhamburan di halaman rumah.

Memang kedengarannya sedikit lucu dan terkesan didramatisir, karena setiap kali saya mengatakannya kepada banyak orang hal ini sering menjadi bahan tertawaan sejenak. Tetapi hal ini tetaplah fakta dan bukan karangan belaka. Ini adalah realita. Apalagi kalau sudah memiliki anak, masalah kecil pun dapat menjadi besar dan serius.

Jika demikian, apakah kita harus berdiam diri dan tidak boleh marah? O jangan! Bukan itu maksud saya. Karena tidak mungkin dalam sepanjang kehidupan rumah tangga tanpa kemarahan. Tetapi maksud saya adalah, marahlah seperlunya, sewajarnya, yang mendidik, yang terukur dan yang membangun satu sama lain. Dengan kata lain, setiap kesalahan atau kekeliruan yang dilakukan oleh si dia memang harus ditegur dan diperbaiki. Maka dari itu, dalam situasi ini dibutuhkan komunikasi yang sehat. Bukan untuk mencari-cari kesalahannya.

Interaksi dengan teman hidup memang sangat berbeda dengan teman sekolah, teman minum kopi, teman memancing, teman kerja di kantor yang hanya berlangsung dalam beberapa jam saja dalam sehari. Sedangkan dengan teman hidup kita berinteraksi jarang ada yang kurang dari 24 jam sehari selama seminggu. Interaksi yang intensif itu membawa dua dampak yang sangat signifikan dalam kehidupan kita, yaitu positif atau negatif.

Kedua dampak di atas dijelaskan secara gamblang oleh Andar Ismail demikian, positifnya adalah “kita betul-betul saling mengenal watak dan kebiasaan masing-masing. Semua belang kita tersingkap. Tidak ada sifat buruk yang bisa disembunyikan di belakang topeng. Negatifnya, kita jadi saling mudah kecewa dan jengkel terhadap segala keburukan itu.”

Di sinilah letak perbedaan mendasar atnata orang sedang jatuh cinta dan membangun cinta. Kita jatuh cinta pada seseorang karena kita menyukainya, sedangkan membangun cinta diperlukan itikad baik untuk memahami setiap persoalan yang ada dan mencari solusinya secara bersama. Itulah sebabnya, kerendahan hati, sikap yang tidak mementingkan diri sendiri dan kedewasaan pola pikir sangatlah dibutuhkan atau diperlukan dalam hal ini.

Jika tiap-tiap orang hanya mementingkan dirinya sendiri, maka keharmonisan tidak akan pernah tercapai secara total dan utuh. Komunikasi pun tidak pernah menemukan titik temu untuk perdamaian keduanya. Yang ada hanya bara yang semakin membara. Akibatnya kata-kata yang dikeluarkan tidak memberikan makna positif sedikitpun, dan keduanya saling melukai hati. Makin larut luka itu makin mendalam dan mengkristal, sehingga keduanya saling memusuhi. Suasana pun terasa sangat menyiksa.

Yang seharusnya si dia jadi teman hidup, tetapi malah menjadi musuh hidup. Pernikahan dan rumah tangga seharusnya menghadirkan suasana surge, tetapi malah terasa di neraka. Mengapa demikian? Karena keduanya berusaha saling membela dan membenarkan kesalahannya satu sama lain.

Pertanyaannya adalah, apa yang kita cari dulu semasa masih berpacaran? Apakah kita mencari teman hidup atau musuh hidup? Jika memang benar mencari teman hidup, mengapa kita menyakiti, memusuhi dan menjadikannya sebagai seteru? Atau kita merasa ia bukan orang yang pantas untuk dicintai? Atau kita merasa si dia tidak cocok, tidak sepadan dan tidak seperti yang diharapkan? Atau kita merasa si dia memiliki banyak kekurangan, tidak sempurna dibandingkan diri kita?

Ketika Tuhan menciptakan manusia, kemudian Ia menanamkan cinta dan kasih sayang-Nya di dalam lubuk hati setiap orang bukan karena mereka pantas menerimanya. Tetapi karena kasih dan anugerah-Nya semata, yakni supaya kita hidup saling mengasihi seperti Tuhan telah mengasihi kita. Kasih yang Tuhan berikan itulah yang dapat menyatukan dua insan/ pribadi yang memiliki karakter, sifat, sikap yang tidak sama seorang dengan yang lainnya. Cinta bukan menolak ketidaksempurnaan atau kekurangan yang ada pada si dia, tetapi menerima dan melengkapi apa yang menurut kita tidak sempurna. Cinta bukan mencari orang yang sempurna untuk dicintai, melainkan menciptakan cara-cara yang sempurna untuk mencintai dan menerima kekurangan atau ketidaksempurnaan yang ada pada pribadi itu sendiri.

Jatuh cinta adalah langkah awal dari seseorang untuk membangun cinta. Sedangkan membangun cinta berarti membangun hidup dengan cinta yang lebih dewasa. Sehingga kedua belah pihak dapat saling menghargai, menopang, menguatkan, mendengarkan, bertanggung jawab, mengoreksi, menegur kesalahan, memperbaiki kelakuan, mengasihi, mengalah, memahami, memperhitungkan perasaan atau memperhatikan kepentingan. Karena itu bangunlah cinta di atas dasar kasih yang tulus nan kokoh, maka Anda pasti merasakan manfaat dan kebahagiaan yang belum pernah Anda rasakan sebelumnya!.