Oleh: Sugiman
Dalam bukunya Selamat Berteman, Andar Ismail
menuliskan demikian: “Mengapa orang menikah? Karena jatuh cinta. Mengapa rumah
tangganya bahagia? Bukan karena jatuh cinta, melainkan karena bangun cinta.
Jatuh cinta berbeda dengan bangun cinta. Jatuh cinta itu gampang, dalam sepuluh
menit juga bisa jatuh cinta. Tetapi membangun cinta itu susah dan perlu waktu
seumur hidup.”
Mengapa bisa demikian? Karena ketika jatuh
cinta, kita buta, bisu dan tuli. Itulah sebabnya kita sengaja tidak melihat
keburukan si dia. Kita juga pun tidak mungkin mencela keburukannya. Bahkan ketika
dia mencela pun, kita tidak mendengarnya sebab kita bisu. Ketika bepergiaan
dunia seolah-olah milik berdua, sedangkan yang lainnya ngontrak. Percaya atau tidak,
itulah yang dialami orang yang sedang jatuh cinta. Terkesan berlebihan memang,
tetapi ini adalah realita kehidupan orang yang sedang jatuh cinta.
Puncak dari kebutaan, kebisuan dan tuli yang
dialami adalah ketika bersanding dipelaminan, atau setelah janur kuning
melengkung. Namun setelah malam pertama berakhir dan bulan madu berakhir,
suasana pun mulai berubah. Mata kita mulai melihat keburukan si dia, bahkan
sebesar butiran debu pun kesalahannya menjadi tampak dengan jelas. Mulut kita
yang tadinya bisu mulai mengeluarkan kata-kata pedas, menyakiti, mengkritik dan
ia pun membela diri, sehingga terjadilah pertengkaran. Emosi yang jahat pun
tidak terkendali, sehingga piring, gelas, kuali, periuk pun berhamburan di
halaman rumah.
Memang kedengarannya sedikit lucu dan terkesan didramatisir,
karena setiap kali saya mengatakannya kepada banyak orang hal ini sering
menjadi bahan tertawaan sejenak. Tetapi hal ini tetaplah fakta dan bukan karangan belaka. Ini adalah
realita. Apalagi kalau sudah memiliki anak, masalah
kecil pun dapat menjadi besar dan serius.
Jika demikian, apakah kita harus berdiam diri
dan tidak boleh marah? O jangan! Bukan itu maksud saya. Karena tidak mungkin
dalam sepanjang kehidupan rumah tangga tanpa kemarahan. Tetapi maksud saya adalah,
marahlah seperlunya, sewajarnya, yang mendidik, yang terukur dan yang membangun
satu sama lain. Dengan kata lain, setiap kesalahan atau kekeliruan yang
dilakukan oleh si dia memang harus ditegur dan diperbaiki. Maka dari itu, dalam
situasi ini dibutuhkan komunikasi yang sehat. Bukan untuk mencari-cari
kesalahannya.
Interaksi dengan teman hidup memang sangat berbeda
dengan teman sekolah, teman minum kopi, teman memancing, teman kerja di kantor yang hanya
berlangsung dalam beberapa jam saja dalam sehari. Sedangkan dengan teman hidup
kita berinteraksi jarang ada yang kurang dari 24 jam sehari selama seminggu. Interaksi yang
intensif itu membawa dua dampak yang sangat signifikan dalam kehidupan kita,
yaitu positif atau negatif.
Kedua dampak di atas dijelaskan
secara gamblang oleh Andar Ismail demikian, positifnya adalah
“kita betul-betul saling mengenal watak dan kebiasaan masing-masing. Semua
belang kita tersingkap. Tidak ada sifat buruk yang bisa disembunyikan di
belakang topeng. Negatifnya, kita jadi saling mudah kecewa dan jengkel terhadap
segala keburukan itu.”
Di sinilah letak perbedaan mendasar atnata orang sedang jatuh cinta
dan membangun cinta. Kita jatuh cinta pada seseorang karena kita menyukainya, sedangkan membangun cinta diperlukan itikad baik untuk memahami
setiap persoalan yang ada dan mencari solusinya secara bersama. Itulah
sebabnya, kerendahan hati, sikap yang tidak mementingkan diri sendiri dan
kedewasaan pola pikir sangatlah dibutuhkan atau diperlukan dalam hal ini.
Jika tiap-tiap orang hanya mementingkan dirinya
sendiri, maka keharmonisan tidak akan pernah tercapai secara total dan utuh.
Komunikasi pun tidak pernah menemukan titik temu untuk perdamaian keduanya.
Yang ada hanya bara yang semakin membara. Akibatnya kata-kata yang dikeluarkan
tidak memberikan makna positif sedikitpun, dan keduanya saling melukai hati. Makin larut luka
itu makin mendalam dan mengkristal, sehingga
keduanya saling memusuhi. Suasana pun
terasa sangat
menyiksa.
Yang seharusnya si dia
jadi teman hidup, tetapi malah menjadi musuh hidup. Pernikahan dan
rumah tangga seharusnya
menghadirkan suasana surge, tetapi malah terasa di neraka. Mengapa demikian?
Karena keduanya berusaha saling membela dan membenarkan kesalahannya satu sama lain.
Pertanyaannya adalah, apa yang kita cari dulu
semasa masih berpacaran? Apakah kita mencari teman hidup atau musuh hidup? Jika
memang benar mencari teman hidup, mengapa kita menyakiti, memusuhi dan
menjadikannya sebagai seteru? Atau kita merasa ia bukan orang yang pantas untuk
dicintai? Atau kita merasa si dia tidak cocok, tidak sepadan dan tidak seperti
yang diharapkan? Atau kita merasa si dia memiliki banyak kekurangan, tidak
sempurna dibandingkan diri kita?
Ketika Tuhan menciptakan manusia, kemudian Ia
menanamkan cinta dan kasih sayang-Nya di dalam lubuk hati setiap orang bukan
karena mereka pantas menerimanya. Tetapi karena kasih dan anugerah-Nya semata,
yakni supaya kita hidup saling mengasihi seperti Tuhan telah mengasihi kita.
Kasih yang Tuhan berikan itulah yang dapat menyatukan dua insan/ pribadi yang
memiliki karakter, sifat, sikap yang tidak sama seorang dengan yang lainnya.
Cinta bukan menolak ketidaksempurnaan atau kekurangan yang ada pada si dia,
tetapi menerima dan melengkapi apa yang menurut kita tidak sempurna. Cinta
bukan mencari orang yang sempurna untuk dicintai, melainkan menciptakan
cara-cara yang sempurna untuk mencintai dan menerima kekurangan atau
ketidaksempurnaan yang ada pada pribadi itu sendiri.
Jatuh cinta adalah langkah awal dari seseorang
untuk membangun cinta. Sedangkan membangun cinta berarti membangun hidup dengan
cinta yang lebih dewasa. Sehingga kedua belah pihak dapat saling menghargai,
menopang, menguatkan, mendengarkan, bertanggung jawab, mengoreksi, menegur
kesalahan, memperbaiki kelakuan, mengasihi, mengalah, memahami, memperhitungkan
perasaan atau memperhatikan kepentingan. Karena itu bangunlah cinta di atas
dasar kasih yang tulus nan kokoh, maka Anda pasti merasakan manfaat dan
kebahagiaan yang belum pernah Anda rasakan sebelumnya!.
No comments:
Post a Comment