Oleh: Sugiman
Keberanian Yesus
yang disebut Kristus mengecam kekeliruan hidup dan pengajaran orang-orang
Farisi, Imam-imam kepala, tua-tua dan para pemimpin agama Yahudi lainnya
membuat orang-orang Yahudi dari golongan marginal merasa terbela dan
terlindungi. Seiring berjalannya waktu, orang-orang yang mengikuti Yesus pun
semakin banyak dan kelompok mereka semakin besar. Perasaan takjub dan heran
yang dirasakan oleh orang banyak terhadap pengajaran dan perbuatan Yesus yang
ajaib atas berbagai penyakit menjadikan mereka semakin yakin akan kemesiasan
Yesus. Karena itulah, orang banyak yang mengikuti-Nya menyanjung tinggi dan
mengelu-elukan Yesus dengan semangat yang berapi-api sembari meneriakan:
“Hosana bagi anak Daud!”, “Hosana di tempat yang mahatinggi!” (Mat.21:9,
“Inilah nabi Yesus dari Nazaret di Galilea” (Mat.21:11); “Hosana bagi anak
Daud!” (Mat.21:15).
Seruan-seruan di
atas diteriakan secara lantang mulai dari Yerikho menuju ke Yerusalem. Secara
tidak langsung sebenarnya seruan-seruan itu mengacu kepada penerimaan yang sah
orang banyak akan kehadiran Yesus, dan pengakuan yang penuh harapan, serta
sekaligus sebagai pentahbisan atas kedudukan Yesus sebagai Mesias. Tidak
sedikit dari orang Yahudi yang tertindas pada masa itu menyandarkan hidup,
harapan dan masa depan mereka kepada Yesus sebagai pembela. Namun sayang,
harapan mereka kandas setelah kehadiran Yesus ternyata tidak mencerminkan
otoritas seorang Mesias sebagai mana yang mereka harapkan dan pahami.
Di dalam
pemahaman orang banyak dan para murid-Nya, Mesias adalah pemimpin perang yang
tangguh, memiliki semangat perang yang membara, pemberani dan harus memegang
senjata perang yang tanpa belas-kasihan terhadap musuh. Sedangkan kehadiran
Yesus sangat kontras dan bertolak belakang dengan pemahaman yang selama ini
tertanam di dalam benak para murid dan orang banyak. Itulah alasan yang paling
mendasar mengapa orang-orang Yahudi kecewa dengan kepemimpinan Yesus saat itu.
Karena itu juga, satu-persatu dari para pengikut-Nya mulai meninggalkan dan
melupakan jasa-jasa-Nya. Bahkan salah satu murid-Nya, yakni Yudas rela
menjual-Nya seharga 30 keping perak.
Bahkan Petrus,
salah seorang murid yang sangat dekat dan dikasihi oleh Yesus, yang pernah
menyatakan dirinya siap mengikut Yesus ke manapun Ia pergi, dan apapun resiko
atau konsekwensinya (Mat.26:30-34). Tetapi tatkala Yesus ditangkap, Petrus
menyangkal-Nya ketika dirinya dinyatakan sebagai salah satu pengikut Yesus oleh
orang-orang yang mengenalinya. Puncak penyangkalan Petrus terhadap Yesus adalah
ketika ia dengan berani bersumpah, bahwa dirinya sama sekali tidak pernah
mengenal Yesus (Mat.26:69-75).
Kekecewaan orang
banyak dan para murid-Nya meruncing tatkala Yesus diserahkan kepada Pilatus.
Teriakan dan seruan “hosana, hosana, hosana” berubah secara drastis menjadi
“salibkan Dia! Salibkan Dia!, Salibkan Dia!”. Bahkan yang lebih memilukan lagi
adalah orang banyak lebih memilih Barabas yang terkenal kejahatannya supaya
dibebaskan. Sedangkan Kristus harus disalibkan karena kedengkian para imam,
tua-tua dan orang-orang Farisi atas kehadiran Kristus (Mat.27:11-26). Itulah
alasan utama mereka menghasut orang banyak supaya meneriakkan penyaliban-Nya.
Penyaliban Kristus merupakan puncak dari kedengkian para pemimpin agama Yahudi
terhadap kehadiran Kristus.
Refleksi
Sebagai umat Kristen, orang yang mengaku
percaya kepada Kristus. Mungkin kita adalah salah satu dari orang memahami
kehadiran Kristus secara keliru. Di saat keadaan terasa tenang, nyaman, aman,
damai, sesuai harapan, tak ada penderitaan dan kejahatan lainnya adalah situasi
yang sangat tepat untuk mengucap syukur kepada Tuhan. Dalam kehidupan
sehari-hari kita selalu mengatasnamakan Kristus sebagai Tuhan yang tak ada
duanya. Tetapi, tatkala situasi mencekam, mengecewakan, tak sesuai, adanya
berbagai penderitaan yang terjadi dalam hidup kita, dan pada saat yang sama
kita menyangkal keberadaan Kristus sebagai Tuhan.
Mungkin juga,
kita adalah salah satu orang yang berapi-api menyerukan puji-pujian,
menyanjung-nyanjung nama Yesus sebagai juruselamat kita. Secara lantang kita
meneriakkan “hosana bagi Allah”, “hosana bagi Yesus di tempat yang Mahatinggi”.
Tetapi serentak dengan itu, mungkin kita juga adalah salah seorang yang
meneriakkan penyaliban-Nya di atas bukit Golgota.
Kekecewaan kita
terhadap Kristus Yesus bukan karena kita tidak tahu siapa Dia. Tetapi karena
kita berusaha mengatur Kristus sesuai dengan harapan dan kemauan kita. Itu
adalah ciri-ciri orang yang memahami kehadiran Kristus dalam hidupnya secara
keliru. Kekeliruan itulah yang membuat seseorang jatuh pada lumpur kekecewaan
yang mungkin sulit untuk dipulihkan oleh akal sehat kita.
Hal itu
membuktikan, bahwa dengan kekuatan rasio saja tidak cukup untuk memahami
keberadaan Kristus dalam kehidupan kita. Hanya imam yang mampu memahami apa
yang tak terjangkau oleh rasio. Namun demikian, tidak berarti iman mengabaikan
rasio, karena rasio anugerah Allah. Rasio yang berjalan di bawah kendali-Nya
pasti menghasilkan iman yang kritis, yang tak mudah tertipu dan tak mudah
terombang-ambingkan. Karena ia didasarkan pada kebenaran-Nya.
Iman tidak datang
dengan sendirinya, tetapi ia lahir dari berbagai pengalaman hidup kita, yang
tak terjangkau oleh kekuatan rasio atau akal budi kita. Karena pada dasarnya,
rasio atau akal budi selalu melihat apa yang terlihat oleh mata kita dan
menjawab segala sesuatu yang dapat dijelaskan dengan kata-kata. Sedangkan iman
melihat yang tak terlihat oleh mata manusia. Itulah sebabnya, tidak semua
kebenaran dapat dijelaskan dengan kata-kata. Itulah bagian yang dapat
dijelaskan oleh iman. Dengan kata lain, hanya iman yang sanggup menjangkau-Nya.
Dalam konteks itulah penulis kitab Ibrani mengatakan, bahwa iman adalah dasar
dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak
kita lihat (Ibrani 11:1).
Yesus yang
disebut Kristus telah menggantikan posisi Barabas untuk dihukum mati. Seharusnya
Barabas yang dihukum mati di atas kayu salib di Golgota, tetapi orang banyak
secara serentak meneriakkan, “biarlah
darah-Nya ditanggungkan atas kami dan anak-anak kami” (Mat.27:25). Ini
memperlihatkan, bahwa Barabas telah dibebaskan oleh darah Kristus. Pembebasan
Barabas telah mewakili pembebasan kita dari belenggu kuasa dosa. Seharusnya
kitalah yang mati, tetapi karena kasih dan anugerah-Nya kita diselamatkan oleh
darah-Nya yang kudus dan mahal itu. Dan hanya darah Kristus-lah yang dapat
membayar lunas utang kita kepada maut. Artinya, hanya karena darah-Nyalah kita
telah dihidupkan kembali. Darah-Nya terus mengalir di dalam kehidupan kita
untuk selama-lamanya.