Friday 8 March 2013

JALAN YANG SEPI ITU MENUJU KE GOLGOTA

Oleh: Sugiman

Jalan untuk mewujudkan sebuah cita-cita mulia bukanlah jalan yang mudah. Perjuangan dan pergumulan tak pernah menyerahkan tubuhnya secara gratis untuk didekap. Air mata seolah-oleh menjadi syarat utamanya.  Bahkan penulis Mazmur pernah mengatakan bahwa air mata sering menjadi makanannya sehari-hari (Mazmur 42:3). Ini memperlihatkan bahwa betapa seringnya air mata turut serta membasahi jalan yang terjal dan sungsang itu, dengan segala kerikilnya yang tajam yang siap menghadang kita. Jatuh bangun perjuangan telah menjadi suatu harga yang harus dibayar lunas untuk mengapai mahkota kehidupan yang mulia.

Selain itu, bahkan tidak jarang hal-hal yang paling kita lindungi, sayangi dan kasihi di dalam dunia ini dirampas secara paksa dari dalam lubuk hati kita. Seiring berjalannya waktu dalam proses pemulihan, luka hati nurani yang baru mengering kembali dikoyakkan oleh duri dan onak dunia yang ganas bak harimau dan singa yang sedang kelaparan. Lutut yang masih gemetar berusaha bangkit dengan bantuan tongkat kayu yang rapuh. Itulah sebabnya ia tak mampu menahan beratnya pergumulan hidup anak manusia yang ditindih beban berat.

Ketika kaki tergelincir, seolah tak seorang pun yang menoleh dan berusaha mengulurkan tangan untuk membangunkannya. Yang ada hanyalah sebuah cercaan, cacian, makian, cemoohan dan dibenci oleh mereka yang menolak-Nya. Bahkan tidak jarang nyawa menjadi taruhan yang harus dibayarkan secara cuma-cuma. Begitulah potret anak manusia yang sedang mengumuli dan berjuang dalam mengeluti panggilan Tuhan yang tersalib di Golgota itu. Itulah sebabnya jalan itu menjadi jalan yang sepi karena menuju ke kalvari di Golgota.

Kehadiran Kristus di dalam dunia yang cemar adalah sebagai pribadi selanjutnya setelah para nabi yang membiarkan hidupnya dinodai, dilecehkan, direndahkan, dikhianati oleh pribadi yang lainnya, yaitu pribadi yang menolak kebenaran-Nya. Keteladanan Kristus yang telah meninggalkan keagungan surga, yang telah menjadikan diri-Nya sama dengan manusia, dan bahkan sampai mati di Golgota hanya untuk sebuah tujuan, yaitu mendamaikan manusia dengan Allah.

Kenyataan atau realita tersebut tidak berarti Kristus menyukai hidup yang penuh dengan penderitaan. Melainkan, untuk menghadirkan nilai-nilai kebaikan, kebenaran, kehidupan di tengah-tengah dunia yang cemar, dengan karut-marutnya memang dibutukan daya juang seorang martir. Meskipun harus diakui, bahwa tidak sedikit orang yang memandang dan menganggap-Nya sebagai suatu kebodohan. Tetapi justru karena alasan itulah, pengorbanan-Nya perlu dimaknai kembali dengan nalar atau akal budi yang sehat oleh para pengikut-Nya, yang sekaligus penuh penyerahan diri pada tuntunan Roh-Nya.

Keteladanan dan pengorbanan Kristus telah memberi makna hidup yang sesungguhnya pada eksistensi seutuhnya pada hidup manusia di tengah-tengah dunia yang cemar. Keteladanan dan pengorbanan-Nya sama maknanya bahwa Ia telah memberikan diri-Nya pada manusia supaya mereka hidup. Bersamaan dengan itu, kehadiran Kristus memperlihatkan bahwa peranan akal budi dalam kesalehan hidup orang beriman tidaklah identik dengan hidup bebas dari segala bentuk kejahatan, penderitaan dan pengorbanan. Melainkan, meninggalkan hal-hal yang dianggap berharga lebih dari kehadiran-Nya, serta fokus pada pekerjaan Tuhan dan kasih kepada sesama.

Sungguh, pengorbanan memerlukan suatu kerelaan, kesadaran dan kasih yang benar-benar tulus untuk menghadapi berbagai risiko demi sebuah tujuan hidup yang mulia bersama Kristus yang tersalib di Golgota. Jalan yang dirintis Kristus adalah jalan yang amat sepi dilalui orang-orang. Bahkan hanya segelintir orang yang bersedia melewatinya secara sengaja dengan meminta dituntun dari tangan Kristus yang kuat.

Jalan yang sepi, yang menuju ke Golgota itu dibenarkan Yesus, dengan sebuah pernyataan: “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku” (Matius 16:24; Lukas 9:23). Frasa “setiap orang” ditujukan kepada orang-orang yang merasa rela, sungguh-sungguh, serius dan bertekat penuh untuk mengikut Yesus ke mana pun ia diutus oleh-Nya. Sedangkan frasa “yang mau” menunjuk kepada makna kesadaran dan tak ada paksaan bagi setiap orang untuk menderita bersama Kristus. Selanjutnya frasa “ia harus menyangkal dirinya” mengacu kepada makna bahwa seorang pengikut Kristus harus berani mengorbankan hal-hal yang ia lindungi atau sayangi dan kepentingannya demi kepentingan Kristus. Ini adalah persoalan yang tidak mudah dilakukan dan tidak mudah diterima oleh akal sehat. Tetapi sekali lagi, di sini Kristus memperlihatkan bahwa jalan yang sunyi itu adalah jalan yang tidak mudah. Hal itu ditegaskan melalui frasa “memikul salibnya” dan “mengikut Aku”. Memikul salib dan mengikut Kristus adalah dua hal yang tak dapat dipisahkan. Artinya, mengikut jejak Kristus tidak berarti bebas dari segala penderitaan yang ada, melainkan menjadi pribadi yang kuat dalam menghadapinya.

Meskipun demikian, pernyataan Kristus di atas tidak serta merta membiarkan manusia mengalaminya seorang diri, karena walau pun Ia telah mengalami semua penderitaan yang ditakuti oleh manusia, tetapi Ia sendiri akan terus mendampingi, memberikan kekuatan, menopang, menuntun dan memampukan setiap pengikut-Nya untuk tetap hidup di bawah pengamatan-Nya. Karena itu, relasi yang harmonis dan persekutuan yang erat dengan Tuhan adalah kunci utama untuk dapat menjalani jalan yang sepi itu. Karena hanya mereka yang menjalin relasi harmonis dengan Tuhan lah yang sanggup melihat nilai kekal di penghujung jalan yang sepi itu. Tantangan demi tantangan berani mereka hadapi karena anugerah dan harapan akan sesuatu yang bernilai mulia dan kekal. Bahkan tidak jarang dipertontonkan di muka umum, bahwa para pengikut Kristus, yang melewati jalan yang sepi itu menyatakan imannya secara gamblang kepada dunia meski diperlakukan secara diskriminatif.

Melalui dukungan doa-doa dari pengikut Kristus lainnya, Yesus selalu menyapa para pengikut-Nya dengan penuh kasih, memberikan kekuatan, topangan, menjadi rekan kerja yang penuh kasih seorang terhadap yang lainnya. Sehingga pada saat yang sama juga kita melihat, bahwa kekuatan, keberanian dan kerelaan mereka untuk menempuh perjalanan yang panjang melalui jalan yang sepi, yang penuh dengan kesulitan demi menjadi berkat bagi sesama selalu bersinar. Dalam konteks itulah Bonhoeffer menyatakan, bahwa pengorbanan adalah lencana pemuridan. Pengorbanan demi sebuah tujuan mulia telah menjadi jati diri, atau simbol dan kebanggaan bagi setiap murid Kristus. Kristus yang tersalib, yang mati di kalvari di Golgota telah hidup menyatu di dalam diri para pengikut-Nya. Dengan kata lain, Kristus lah yang memampukan setiap pengikut-Nya sanggup menjalani jalan yang sepi, yang dihindari oleh banyak orang yang menolak-Nya. Sehingga, di balik jalan sepi itu mereka menemukan pribadi Kristus yang mengucapkan selamat datang kepada para pengikut-Nya yang setia hingga maut menjemputnya.

Semangat Kristus telah menghidupkan semangat hidup manusia yang telah memudar. Kasih, teladan, karya dan pengorbanan Kristus di kalvari di Golgota telah menjadi lencana kehormatan yang meneduhkan hati yang gelisah, jiwa yang haus dan dahaga. Wajah-Nya semasa di atas kayu salib telah terpampang di hati setiap para pengikut setia-Nya untuk terus menghadirkan kedamaian di dunia, walaupun jalannya penuh dengan rintangan, ranjau, duri, dan bahkan maut. Namun tak ada yang perlu ditakutkan demi sebuah kebaikan dan kebenaran yang harus diberikan kepada sesama. Karena di wajah setiap orang terpancar kemuliaan Kristus yang tersalib di Golgota pada dua ribu tahun yang lalu.

No comments:

Post a Comment