Oleh: Sugiman
Jalan untuk mewujudkan
sebuah cita-cita mulia bukanlah jalan yang mudah. Perjuangan dan pergumulan tak
pernah menyerahkan tubuhnya secara gratis untuk didekap. Air mata seolah-oleh
menjadi syarat utamanya. Bahkan penulis
Mazmur pernah mengatakan bahwa air mata sering menjadi makanannya sehari-hari
(Mazmur 42:3). Ini memperlihatkan bahwa betapa seringnya air mata turut serta
membasahi jalan yang terjal dan sungsang itu, dengan segala kerikilnya yang tajam
yang siap menghadang kita. Jatuh bangun perjuangan telah menjadi suatu harga
yang harus dibayar lunas untuk mengapai mahkota kehidupan yang mulia.
Selain itu,
bahkan tidak jarang hal-hal yang paling kita lindungi, sayangi dan kasihi di
dalam dunia ini dirampas secara paksa dari dalam lubuk hati kita. Seiring
berjalannya waktu dalam proses pemulihan, luka hati nurani yang baru mengering
kembali dikoyakkan oleh duri dan onak dunia yang ganas bak harimau dan singa
yang sedang kelaparan. Lutut yang masih gemetar berusaha bangkit dengan bantuan
tongkat kayu yang rapuh. Itulah sebabnya ia tak mampu menahan beratnya pergumulan
hidup anak manusia yang ditindih beban berat.
Ketika kaki
tergelincir, seolah tak seorang pun yang menoleh dan berusaha mengulurkan tangan
untuk membangunkannya. Yang ada hanyalah sebuah cercaan, cacian, makian,
cemoohan dan dibenci oleh mereka yang menolak-Nya. Bahkan tidak jarang nyawa
menjadi taruhan yang harus dibayarkan secara cuma-cuma. Begitulah potret anak
manusia yang sedang mengumuli dan berjuang dalam mengeluti panggilan Tuhan yang
tersalib di Golgota itu. Itulah sebabnya jalan itu menjadi jalan yang sepi
karena menuju ke kalvari di Golgota.
Kehadiran Kristus
di dalam dunia yang cemar adalah sebagai pribadi selanjutnya setelah para nabi
yang membiarkan hidupnya dinodai, dilecehkan, direndahkan, dikhianati oleh
pribadi yang lainnya, yaitu pribadi yang menolak kebenaran-Nya. Keteladanan
Kristus yang telah meninggalkan keagungan surga, yang telah menjadikan diri-Nya
sama dengan manusia, dan bahkan sampai mati di Golgota hanya untuk sebuah
tujuan, yaitu mendamaikan manusia dengan Allah.
Kenyataan atau
realita tersebut tidak berarti Kristus menyukai hidup yang penuh dengan
penderitaan. Melainkan, untuk menghadirkan nilai-nilai kebaikan, kebenaran,
kehidupan di tengah-tengah dunia yang cemar, dengan karut-marutnya memang
dibutukan daya juang seorang martir. Meskipun harus diakui, bahwa tidak
sedikit orang yang memandang dan menganggap-Nya sebagai suatu kebodohan. Tetapi
justru karena alasan itulah, pengorbanan-Nya perlu dimaknai kembali dengan
nalar atau akal budi yang sehat oleh para pengikut-Nya, yang sekaligus penuh penyerahan
diri pada tuntunan Roh-Nya.
Keteladanan dan
pengorbanan Kristus telah memberi makna hidup yang sesungguhnya pada eksistensi
seutuhnya pada hidup manusia di tengah-tengah dunia yang cemar. Keteladanan dan
pengorbanan-Nya sama maknanya bahwa Ia telah memberikan diri-Nya pada manusia
supaya mereka hidup. Bersamaan dengan itu, kehadiran Kristus memperlihatkan bahwa
peranan akal budi dalam kesalehan hidup orang beriman tidaklah identik dengan
hidup bebas dari segala bentuk kejahatan, penderitaan dan pengorbanan.
Melainkan, meninggalkan hal-hal yang dianggap berharga lebih dari
kehadiran-Nya, serta fokus pada pekerjaan Tuhan dan kasih kepada sesama.
Sungguh,
pengorbanan memerlukan suatu kerelaan, kesadaran dan kasih yang benar-benar
tulus untuk menghadapi berbagai risiko demi sebuah tujuan hidup yang mulia
bersama Kristus yang tersalib di Golgota. Jalan yang dirintis Kristus adalah
jalan yang amat sepi dilalui orang-orang. Bahkan hanya segelintir orang yang
bersedia melewatinya secara sengaja dengan meminta dituntun dari tangan Kristus
yang kuat.
Jalan yang sepi,
yang menuju ke Golgota itu dibenarkan Yesus, dengan sebuah pernyataan: “Setiap orang yang mau mengikut
Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku” (Matius 16:24; Lukas 9:23). Frasa “setiap orang” ditujukan kepada
orang-orang yang merasa rela, sungguh-sungguh, serius dan bertekat penuh untuk
mengikut Yesus ke mana pun ia diutus oleh-Nya. Sedangkan frasa “yang mau” menunjuk kepada makna
kesadaran dan tak ada paksaan bagi setiap orang untuk menderita bersama
Kristus. Selanjutnya frasa “ia harus
menyangkal dirinya” mengacu kepada makna bahwa seorang pengikut Kristus
harus berani mengorbankan hal-hal yang ia lindungi atau sayangi dan
kepentingannya demi kepentingan Kristus. Ini adalah persoalan yang tidak mudah
dilakukan dan tidak mudah diterima oleh akal sehat. Tetapi sekali lagi, di sini
Kristus memperlihatkan bahwa jalan yang sunyi itu adalah jalan yang tidak mudah.
Hal itu ditegaskan melalui frasa “memikul
salibnya” dan “mengikut Aku”.
Memikul salib dan mengikut Kristus adalah dua hal yang tak dapat dipisahkan.
Artinya, mengikut jejak Kristus tidak berarti bebas dari segala penderitaan
yang ada, melainkan menjadi pribadi yang kuat dalam menghadapinya.
Meskipun
demikian, pernyataan Kristus di atas tidak serta merta membiarkan manusia
mengalaminya seorang diri, karena walau pun Ia telah mengalami semua penderitaan
yang ditakuti oleh manusia, tetapi Ia sendiri akan terus mendampingi,
memberikan kekuatan, menopang, menuntun dan memampukan setiap pengikut-Nya
untuk tetap hidup di bawah pengamatan-Nya. Karena itu, relasi yang harmonis dan
persekutuan yang erat dengan Tuhan adalah kunci utama untuk dapat menjalani
jalan yang sepi itu. Karena hanya mereka yang menjalin relasi harmonis dengan
Tuhan lah yang sanggup melihat nilai kekal di penghujung jalan yang sepi itu.
Tantangan demi tantangan berani mereka hadapi karena anugerah dan harapan akan
sesuatu yang bernilai mulia dan kekal. Bahkan tidak jarang dipertontonkan di
muka umum, bahwa para pengikut Kristus, yang melewati jalan yang sepi itu menyatakan
imannya secara gamblang kepada dunia meski diperlakukan secara diskriminatif.
Melalui dukungan
doa-doa dari pengikut Kristus lainnya, Yesus selalu menyapa para pengikut-Nya
dengan penuh kasih, memberikan kekuatan, topangan, menjadi rekan kerja yang
penuh kasih seorang terhadap yang lainnya. Sehingga pada saat yang sama juga
kita melihat, bahwa kekuatan, keberanian dan kerelaan mereka untuk menempuh
perjalanan yang panjang melalui jalan yang sepi, yang penuh dengan kesulitan
demi menjadi berkat bagi sesama selalu bersinar. Dalam konteks itulah Bonhoeffer menyatakan, bahwa
pengorbanan adalah lencana pemuridan. Pengorbanan demi sebuah tujuan mulia
telah menjadi jati diri, atau simbol dan kebanggaan bagi setiap murid Kristus.
Kristus yang tersalib, yang mati di kalvari di Golgota telah hidup menyatu di dalam
diri para pengikut-Nya. Dengan kata lain, Kristus lah yang memampukan setiap
pengikut-Nya sanggup menjalani jalan yang sepi, yang dihindari oleh banyak
orang yang menolak-Nya. Sehingga, di balik jalan sepi itu mereka menemukan
pribadi Kristus yang mengucapkan selamat datang kepada para pengikut-Nya yang
setia hingga maut menjemputnya.
Semangat Kristus
telah menghidupkan semangat hidup manusia yang telah memudar. Kasih, teladan,
karya dan pengorbanan Kristus di kalvari di Golgota telah menjadi lencana
kehormatan yang meneduhkan hati yang gelisah, jiwa yang haus dan dahaga.
Wajah-Nya semasa di atas kayu salib telah terpampang di hati setiap para
pengikut setia-Nya untuk terus menghadirkan kedamaian di dunia, walaupun
jalannya penuh dengan rintangan, ranjau, duri, dan bahkan maut. Namun tak ada
yang perlu ditakutkan demi sebuah kebaikan dan kebenaran yang harus diberikan
kepada sesama. Karena di wajah setiap orang terpancar kemuliaan Kristus yang
tersalib di Golgota pada dua ribu tahun yang lalu.
No comments:
Post a Comment