Oleh : Sugiman
“Orang-orang muda menjadi lelah dan lesu dan teruna-teruna jatuh
tersandung, tetapi orang-orang yang
menanti-nantikan TUHAN mendapat kekuatan baru: mereka seumpama rajawali yang
naik terbang dengan kekuatan sayapnya; mereka berlari dan tidak menjadi lesu,
mereka berjalan dan tidak menjadi lelah.”
(Yesaya
40:30-31).
Kitab Yesaya
40:30-13 merupakan khotbah penghiburan bagi umat Israel yang dibuang ke Babel
antara tahun 598 dan 582 SM. Di mana pada masa itu umat mengalami kekecewaan
dan keputusasaan yang mendalam. Karena Tuhan yang mereka imani dari sejak
dahulu kala ternyata telah dikalahkan oleh dewa Babel. Mereka merasa bahwa
Tuhan telah mengabaikan, membiarkan dan meninggalkan umat-Nya di saat mengalami
penderitaan dan penindasan yang dilakukan oleh para penguasa Babel.[1]
Penulis kitab Yeremia 52:28-30 memberi informasi, bahwa ada 4.600 orang Yehuda
yang dibuang ke Babel. Kemungkinan yang dihitung hanyalah kaum pria. Karena
itu, mungkin jumlah umat Tuhan yang ada di pembuangan di Babel mencapai sekitar
15-20 ribu orang. Babel berpusat di sungai Tigris dan Eufrat (yang kini disebut
Irak).
Kerja paksa
(rodi) seolah telah menjadi rutinitas hidup sehari-hari umat Tuhan di Babel.
Berbagai bentuk penyiksaan dan perlakuan kasar yang dilakukan para penguasa
Babel seakan tak terpisahkan dari kehidupan mereka. Ratapan menahan berbagai
penderitaan dan perlakuan kasar telah mereka serukan kepada Tuhan. Namun Tuhan
tak kunjung datang untuk menolong mereka. Klimaks dari kekecewaan dan
keputusasaan pecah ketika mereka mempertanyakan tentang keberadaan Tuhan. Ekspresi
kekecewaan dan keputusasaan itu terlihat jelas dalam Yesaya 40:27, yakni: “Hidupku tersembunyi dari Tuhan, dan hakku
tidak diperhatikan Allahku” (Yes. 40:27).
Dalam situasi dan
kondisi yang tidak setabil itulah nabi, yang juga ikut dibuang ke Babel
menyadari, bahwa pembuangan yang dialami umat Israel adalah karena
ketidaksetiaan mereka kepada Tuhan. Sewaktu di Yerusalem, mereka sering mendua
hati dan menghianati Tuhan dengan cara memberikan persembahan kepada para dewa
di bukit-bukit pengorbanan. Dalam kesengsaraan yang dialami umat Israel, sang
nabi yang tidak disebutkan namanya mengajak umat untuk menjadi pribadi yang
kuat. Sang nabi mengajak umat untuk introspeksi diri masing-masing. Karena
pembuangan yang mereka alami di Babel tidaklah lebih dari sebuah didikan Tuhan
atas umat yang dikasihi-Nya. Karena itu ia selalu yakin, bahwa Tuhan tidak
pernah meninggalkan mereka seorang diri di dalam penderitaan itu. Melainkan, Tuhan
selalu hadir dan menguatkan atau memberikan semangat baru kepada umat-Nya yang mulai
putus asa dan tak berdaya (baca Yes. 40:29).
Namun demikian,
tidak semua umat menyadari kehadiran Tuhan dalam setiap penderitaan atau
suka-duka yang mereka rasakan. Sehingga semangat hidup mereka melemah, cepat
menyerah, putus asa, kecewa, dan bahkan telah meninggalkan Tuhan. Mereka itulah
yang disebut, “orang-orang muda yang menjadi lelah dan lesu, dan taruna-taruna yang
tersandung” pada ayat 30. Artinya, pengenalan mereka akan keberadaan
Tuhan ternyata masih sangat dangkal (muda).
Sebaliknya,
mereka yang tetap setia menanti-nantikan Tuhan mendapat kekuatan baru. Ini
adalah anti klimaks yang meruntuhkan pernyataan bahwa “Tuhan itu tersembunyi”
(Yes.40:27). Dengan kata lain, hanya mereka yang tidak setia lah yang melihat,
bahwa hukuman sebagai malapetaka yang mematikan. Tetapi tidak bagi mereka yang
tetap setia. Karena umat yang tetap setia selalu melihat, bahwa di dalam setiap
tantangan/ rintangan yang ada sebenarnya tersimpan kekuatan baru untuk
menghadapi tantangan berikutnya. Karena itulah pada ayat 31 mereka diumpamakan
sebagai “burung rajawali yang naik
terbang dengan kekuatan sayapnya”. Bahkan ditegaskan, bahwa mereka tidak akan
menjadi lesu ketika berlari, dan tidak menjadi lelah saat berjalan. Semua itu
adalah gambaran atas berkat-berkat yang diterima oleh orang-orang yang selalu
setia kepada Tuhan. Walaupun sebenarnya hidup yang mereka jalani tidak mudah, melainkan
berat, dan penuh dengan rintangan. Tetapi mereka yakin, bahwa Tuhan telah
memberikan semangat juang dan mental seorang pemenang, yang tidak pernah
menyerah saat menghadapi hidup yang sulit. Karena ia yakin, bahwa Tuhan selalu
hadir dalam setiap langkah hidupnya.
Refleksi
Bukankah hal
serupa juga sering kita rasakan? Bakankah tidak jarang juga kita mempertanyakan
keberadaan Tuhan dan meragukan kemahakuasaan-Nya di saat-saat sulit yang kita
alami dalam hidup ini. Memang, semua itu adalah reaksi yang wajar dan
manusiawi. Tetapi agak terlalu berlebihan jika kita harus mengukur kehendak
Tuhan dengan kehendak manusia. Dengan kata lain, terimalah secara jujur, bahwa
perjalanan hidup yang kita lalui bukanlah jalan yang mudah dan mulus. Melainkan
ada banyak rintangan yang turut menghiasinya. Entah itu suka maupun duka,
tangis maupun tawa, kesedihan maupun kebahagiaan, dan itulah hidup. Bahkan tak
jarang kaki kita terantuk pada batu, terpeleset pada lubang, tergelincir dan jatuh
karena kerikil-kerikil yang tajam dan tak terhindarkan. Yang paling parah lagi
bila kita terbentur pada tembok.
Akan tetapi, yang
terpenting adalah apa yang harus kita lakukan saat menghadapinya? Apakah kita sudah
siap menghadapinya? Atau apakah kita harus menyerah? Kita bisa saja menangis,
meratap, mengeluh, marah-marah, dan yang lebih ekstrim lagi adalah nekat bunuh
diri. Betapa tidak? Sering kita membaca surat kabar dengan berita-berita yang
menyedihkan dan memilukan hati nurani. Beratnya beban hidup yang terus menekan
dan menyumbat saluran pernapasan kita seolah menjadi alasan tunggal untuk
mengakhiri semuanya dengan tragis. Seolah-olah tembok yang berdiri di depan
kita terlalu kokoh untuk ditembus dan terlalu tinggi untuk dipanjat. Tebalnya kabut
di depan sana seolah-oleh sama dengan tembok baja yang tak mungkin ditembus.
Bukankah anggapan yang demikian yang ditanamkan oleh seorang pecundang atau
penghianat? Tetapi tidak untuk seorang pemenang.
Penulis kitab
Yesaya 40:30-31 mengambarkan, bahwa seorang pemenang adalah seumpama rajawali
yang terus naik terbang dengan kekuatan sayapnya. Dan itulah kekuatan yang
diberikan Tuhan padanya untuk mengatasi setiap rintangan dan tantangan dalam
hidupnya. Dengan kata lain, sebenarnya Tuhan telah memberikan kekuatan/
kemampuan kepada tiap-tiap orang untuk dapat mengatasi dan menaklukan setiap kesulitan,
tantangan maupun rintangan dalam hidupnya. Penulis kitab Yesaya 40:30-13 sangat
sadar bahwa hidup ini bukanlah sesuatu yang terjadi secara kebetulan, melainkan
sebuah rencana mulia dari Tuhan yang harus dijalani dengan kerja keras, dan
semangat juang yang tinggi. Mengapa harus berjuang? Karena jalan hidup ini
bukan jalan yang mudah. karena jika hidup ini menjadi mudah, maka sebenarnya
kita tidak akan pernah mendapatkan apa-apa darinya, kecuali kekecewaan dan
penyesalan.
Penting untuk
diketahui, bahwa kekecewaan dan penyesalan atas hidup sebenarnya hanya ada di
dalam pribadi seorang pecundang/ pengecut. Dan itu adalah bukti ketidakyakinan
mereka terhadap kemahakuasaan Tuhan. Padahal, jika kita yakin atas segala penyertaan-Nya,
maka tak satupun sesuatu terjadi di luar pengamatan-Nya. Itulah sebabnya Tuhan
ingin kita melakukan banyak hal penting secara dinamis dan yakin, bahwa di
balik setiap kesulitan yang ada tersimpan suatu rencana Tuhan yang abadi. Saya selalu
yakin, bahwa Tuhan tidak pernah memberikan berkatnya secara cuma-cuma untuk
dinikmati seorang pemalas, kecuali kepada seorang pejuang dan rajin. Burung,
semut dan binatang lainnya memang menuai dari hasil yang tidak mereka tanam,
tetapi Tuhan tidak pernah menyodorkan makanan secara gratis di depan mereka.
Melainkan mereka harus berjuang dan bekerja keras untuk mendapatkannya. Bahkan,
mereka harus berhadapan dengan berbagai tantangan dan bahkan musuh yang siap
memangsa mereka. Itulah harga sebuah perjuangan yang harus mereka bayar.
Bukankah hal
serupa juga berlaku bagi orang-orang yang percaya kepada Tuhan? Takut, kuatir
dan gemetar adalah manusiawi, tetapi tidak berarti kita harus menghindar atau menyerah.
Justru seharusnya di dalam ketakutan, kekuatiran dan kegemetaran itulah
kesempatan kita memohon pertolongan dari Tuhan untuk menguatkan kita saat
menghadapi berbagai rintangan hidup ini. Penulis kitab Yesaya mengatakan bahwa
“orang-orang yang
menanti-nantikan TUHAN mendapat kekuatan baru” (Yesaya 40:31). Kata “menanti-nantikan” sama artinya dengan “kesetiaan pada Tuhan”. Itu adalah suatu pengharapan yang aktif dan
dinamis bahwa Tuhan tidak pernah membiarkan umat-Nya menghadapi segala
kesulitan itu seorang diri. Melainkan terus menyertainya. Itulah jiwa dan
mental yang memiliki seorang pemenang. Selalu ada harapan di balik ketiadaan
harapan.
Seorang pemenang
selalu optimis dan yakin, bahwa pancing bukanlah alat satu-satunya untuk
menangkap ikan di sungai/laut. Tetapi ada banyak cara dan alat lain yang dapat
digunakan. Hanya saja tingkat kesulitannyalah yang berbeda. Itulah sebabnya
mereka tidak pernah menyerah. Jiwa seorang pemenang selalu yakin, bahwa
manusialah yang menutup pintu keberhasilan dan kebahagiaan hidupnya, bukan
Tuhan. Mungkin, pintu depan, samping dan belakang tertutup rapat, tetapi
sebenarnya tak terkunci. Kabut memang tebal di depan, tetapi itu bukan tembok
baja yang tak dapat ditembus. Ada sebuah ungkapan berbunyi demikian: “The importan thing about a problem is not
its solution, but the strenght we gain in finding solution.” Artinya, hal
terpenting dari sebuah masalah bukanlah penyelesaiannya, tetapi kekuatan yang
kita peroleh untuk mencari solusi. Satu hal lagi harus diingat, bahwa saat kita
merasa tak ada harapan lagi, tetapi bagi Tuhan selalu ada harapan jika kita
tetap percaya.
Di satu sisi,
musuh terkuat manusia bukan apa yang ada di luar dirinya, melainkan apa yang
ada di dalam dirinya, yaitu: kemalasan, cepat menyerah, takut gagal, dan tidak
yakin pada kekuatan yang telah Tuhan berikan padanya. Tetapi di sisi yang lain,
sahabat dan kekuatan seorang pemenang sebenarnya juga ada pada dirinya, yakni:
rajin, tekun, berani mencoba walaupun gagal, tidak gampang menyerah, dan selalu
yakin atas kemampuan yang telah Tuhan berikan dalam hidupnya. Itulah senjata
utama yang diberikan Tuhan kepada setiap orang yang percaya. Hanya saja tak
semua orang dapat menggunakannya dengan baik, karena ia tidak pernah bertanya
kepada Tuhan, apa gunanya dan bagaimana menggunakannya. Maka dari itu, relasi/
hubungan yang harmonis dan akrab bersama Tuhan adalah kunci utama manusia untuk
membuka gembok-gembok pintu yang tertutup dengan rapat; jembatan penyebrangan dan
jalan keluar yang tersembunyi bagi seorang pecundang.
Maka dari itu:
1.
Lakukanlah
banyak hal penting yang dapat kita lakukan, yang mendatangkan kebaikan bagi
banyak orang. Rayakan dan nikmatilah hari-hari hidup ini dengan kasih yang
tulus mesra bersama banyak orang yang kita kasihi, yang selalu menguatkan
semangat kita saat hampir kendor, dan mengobati luka-luka batin kita, serta
memberi pengharapan saat kita putus asa.
2. Terimalah
segala rintangan dan kesulitan hidup dengan pikiran yang positif. Yakinlah,
bahwa semua itu terjadi bukan tanpa alasan, makna dan tujuan mulia atas hidup
kita. Melainkan di dalamnya tersimpan suatu kekuatan baru, yang memampukan kita
maju ke tahap kesulitan hidup berikutnya. Karena itu, jangan pernah meremehkan,
mengabaikan, apalagi melupakan hal-hal kecil yang pernah terjadi dalam hidup
kita. Sebab semuanya itu telah turut serta menghiasi perjalanan hidup kita.
3. Tanamkanlah
pemahaman, bahwa sebenarnya hidup ini bukanlah sesuatu yang terjadi secara kebetulan,
melainkan suatu rencana mulia yang telah dirancang dan diberikan oleh Tuhan kepada
setiap orang untuk terus diperjuangkan.
4.
Memiliki
pengharapan yang teguh kepada Tuhan, karena hanya Dialah yang sanggup
memampukan dan menguatkan kita untuk menghadapi berbagai kesulitan dan
tantangan hidup yang ada. Pengharapan itu melahirkan kesetiaan, yang terus
menanti-nantikan TUHAN, dan kepada merekalah kekuatan baru itu diberikan.
Sehingga mereka
dapat mengatasi setiap kesulitan hidupnya. Karena itulah mereka diumpamakan
seperti burung rajawali yang naik terbang dengan kekuatan sayapnya. Bahkan ketika mereka berlari, namun tidak menjadi lesu, dan mereka berjalan, namun tidak menjadi lelah.
5. Dengarkan
suara-Nya melalui orang-orang yang dengan ketulusan hatinya mengasihi kita.
Rasakan kelembutan belaian tangan-Nya melalui pertolongan banyak orang yang
dengan rela mengorbankan banyak hal penting untuk hidup kita. Entah itu doa, uluran
tangan, waktu, tenaga, pikiran, perasaan, atau moral maupun moril. Masih banyak
lagi sarana yang dapat Tuhan pakai untuk menolong setiap orang yang percaya
pada-Nya.
6. Bersyukurlah
atas banyak hal yang kita alami dalam hidup ini. Entah itu suka, maupun duka,
tangis maupun tawa. Karena hanya dengan hati bersyukurlah segala beban hidup
ini dapat ditanggung. Hati yang bersyukur adalah hati yang damai, dan kedamaian
hati itu yang sering dijadikan Tuhan sebagai sara kesembuhan atas luka-luka
batin kita, kekecewaan yang menekan hidup kita dan mengurangi segala beban hidup
yang kita pikul. Melalui hati yang terus bersyukur juga Tuhan telah memberikan
semangat hidup yang baru untuk kita bagikan kepada banyak orang.
7. Jangan berdoa kepada Tuhan supaya hidup
ini menjadi mudah. Tetapi berdoalah supaya kita menjadi pribadi yang lebih kuat
untuk menghadapi segala bentuk kesulitan dan tantangan atas hidup kita. Mungkin
di mata banyak orang segala kesulitan adalah musuh yang menakutkan, tetapi di
mata seorang pemenang, semua itu adalah teman seperjuangan dalam menggapai
impian yang mulia dari Tuhan.
8. Jangan pernah menunda apalagi berhenti untuk
melakukan kebaikan. Karena masih banyak orang yang membutuhkan pertolongan dan
uluran tangan kita. Ingat! apa yang kita tabur itulah yang pasti kita tuai.
Semua itu sangat membutuhkan kerja keras, semangat juang dan jiwa seorang
pemenang. Kalau kita ingin menjalani hidup tanpa kerja keras, maka sebenarnya
kita sama seperti seorang petani yang mengharapkan hasil panen besar tetapi ia
sendiri tidak pernah menanam.
[1] Orang-orang buangan terdiri dari kaum bangsawan,
ahli-ahli bangunan, orang-orang kaya, pintar/terpelajar, imam-imam dan pegawai
tinggi umat Israel. Mereka memang diberi kebebasan untuk tinggal di sana,
membuat rumah, berdagang, memelihara agama dan tradisi nenek moyang mereka.
Tetapi mereka harus menjalankan kerja rodi/paksa oleh penguasa-penguasa Babel
untuk membangun kota Babel. Tidak hanya sebatas kerja rodi, tetapi mereka juga
sering mendapat perlakuan kasar dari para penguasa Babel. Bnd. Marie – Claire
Barth, Tafsiran Alkitab: Kitab Nabi
Yesaya Pasal 40-55, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1983, 11.