Thursday, 25 April 2013

MEREKA SEUMPAMA RAJAWALI


Oleh : Sugiman

Orang-orang muda menjadi lelah dan lesu dan teruna-teruna jatuh tersandung,  tetapi orang-orang yang menanti-nantikan TUHAN mendapat kekuatan baru: mereka seumpama rajawali yang naik terbang dengan kekuatan sayapnya; mereka berlari dan tidak menjadi lesu, mereka berjalan dan tidak menjadi lelah.
(Yesaya 40:30-31).

Kitab Yesaya 40:30-13 merupakan khotbah penghiburan bagi umat Israel yang dibuang ke Babel antara tahun 598 dan 582 SM. Di mana pada masa itu umat mengalami kekecewaan dan keputusasaan yang mendalam. Karena Tuhan yang mereka imani dari sejak dahulu kala ternyata telah dikalahkan oleh dewa Babel. Mereka merasa bahwa Tuhan telah mengabaikan, membiarkan dan meninggalkan umat-Nya di saat mengalami penderitaan dan penindasan yang dilakukan oleh para penguasa Babel.[1] Penulis kitab Yeremia 52:28-30 memberi informasi, bahwa ada 4.600 orang Yehuda yang dibuang ke Babel. Kemungkinan yang dihitung hanyalah kaum pria. Karena itu, mungkin jumlah umat Tuhan yang ada di pembuangan di Babel mencapai sekitar 15-20 ribu orang. Babel berpusat di sungai Tigris dan Eufrat (yang kini disebut Irak).

Kerja paksa (rodi) seolah telah menjadi rutinitas hidup sehari-hari umat Tuhan di Babel. Berbagai bentuk penyiksaan dan perlakuan kasar yang dilakukan para penguasa Babel seakan tak terpisahkan dari kehidupan mereka. Ratapan menahan berbagai penderitaan dan perlakuan kasar telah mereka serukan kepada Tuhan. Namun Tuhan tak kunjung datang untuk menolong mereka. Klimaks dari kekecewaan dan keputusasaan pecah ketika mereka mempertanyakan tentang keberadaan Tuhan. Ekspresi kekecewaan dan keputusasaan itu terlihat jelas dalam Yesaya 40:27, yakni: “Hidupku tersembunyi dari Tuhan, dan hakku tidak diperhatikan Allahku” (Yes. 40:27).

Dalam situasi dan kondisi yang tidak setabil itulah nabi, yang juga ikut dibuang ke Babel menyadari, bahwa pembuangan yang dialami umat Israel adalah karena ketidaksetiaan mereka kepada Tuhan. Sewaktu di Yerusalem, mereka sering mendua hati dan menghianati Tuhan dengan cara memberikan persembahan kepada para dewa di bukit-bukit pengorbanan. Dalam kesengsaraan yang dialami umat Israel, sang nabi yang tidak disebutkan namanya mengajak umat untuk menjadi pribadi yang kuat. Sang nabi mengajak umat untuk introspeksi diri masing-masing. Karena pembuangan yang mereka alami di Babel tidaklah lebih dari sebuah didikan Tuhan atas umat yang dikasihi-Nya. Karena itu ia selalu yakin, bahwa Tuhan tidak pernah meninggalkan mereka seorang diri di dalam penderitaan itu. Melainkan, Tuhan selalu hadir dan menguatkan atau memberikan semangat baru kepada umat-Nya yang mulai putus asa dan tak berdaya (baca Yes. 40:29).

Namun demikian, tidak semua umat menyadari kehadiran Tuhan dalam setiap penderitaan atau suka-duka yang mereka rasakan. Sehingga semangat hidup mereka melemah, cepat menyerah, putus asa, kecewa, dan bahkan telah meninggalkan Tuhan. Mereka itulah yang disebut, “orang-orang muda yang menjadi lelah dan lesu, dan taruna-taruna yang tersandung” pada ayat 30. Artinya, pengenalan mereka akan keberadaan Tuhan ternyata masih sangat dangkal (muda).

Sebaliknya, mereka yang tetap setia menanti-nantikan Tuhan mendapat kekuatan baru. Ini adalah anti klimaks yang meruntuhkan pernyataan bahwa “Tuhan itu tersembunyi” (Yes.40:27). Dengan kata lain, hanya mereka yang tidak setia lah yang melihat, bahwa hukuman sebagai malapetaka yang mematikan. Tetapi tidak bagi mereka yang tetap setia. Karena umat yang tetap setia selalu melihat, bahwa di dalam setiap tantangan/ rintangan yang ada sebenarnya tersimpan kekuatan baru untuk menghadapi tantangan berikutnya. Karena itulah pada ayat 31 mereka diumpamakan sebagai “burung rajawali yang naik terbang dengan kekuatan sayapnya”. Bahkan ditegaskan, bahwa mereka tidak akan menjadi lesu ketika berlari, dan tidak menjadi lelah saat berjalan. Semua itu adalah gambaran atas berkat-berkat yang diterima oleh orang-orang yang selalu setia kepada Tuhan. Walaupun sebenarnya hidup yang mereka jalani tidak mudah, melainkan berat, dan penuh dengan rintangan. Tetapi mereka yakin, bahwa Tuhan telah memberikan semangat juang dan mental seorang pemenang, yang tidak pernah menyerah saat menghadapi hidup yang sulit. Karena ia yakin, bahwa Tuhan selalu hadir dalam setiap langkah hidupnya.

Refleksi

Bukankah hal serupa juga sering kita rasakan? Bakankah tidak jarang juga kita mempertanyakan keberadaan Tuhan dan meragukan kemahakuasaan-Nya di saat-saat sulit yang kita alami dalam hidup ini. Memang, semua itu adalah reaksi yang wajar dan manusiawi. Tetapi agak terlalu berlebihan jika kita harus mengukur kehendak Tuhan dengan kehendak manusia. Dengan kata lain, terimalah secara jujur, bahwa perjalanan hidup yang kita lalui bukanlah jalan yang mudah dan mulus. Melainkan ada banyak rintangan yang turut menghiasinya. Entah itu suka maupun duka, tangis maupun tawa, kesedihan maupun kebahagiaan, dan itulah hidup. Bahkan tak jarang kaki kita terantuk pada batu, terpeleset pada lubang, tergelincir dan jatuh karena kerikil-kerikil yang tajam dan tak terhindarkan. Yang paling parah lagi bila kita terbentur pada tembok.

Akan tetapi, yang terpenting adalah apa yang harus kita lakukan saat menghadapinya? Apakah kita sudah siap menghadapinya? Atau apakah kita harus menyerah? Kita bisa saja menangis, meratap, mengeluh, marah-marah, dan yang lebih ekstrim lagi adalah nekat bunuh diri. Betapa tidak? Sering kita membaca surat kabar dengan berita-berita yang menyedihkan dan memilukan hati nurani. Beratnya beban hidup yang terus menekan dan menyumbat saluran pernapasan kita seolah menjadi alasan tunggal untuk mengakhiri semuanya dengan tragis. Seolah-olah tembok yang berdiri di depan kita terlalu kokoh untuk ditembus dan terlalu tinggi untuk dipanjat. Tebalnya kabut di depan sana seolah-oleh sama dengan tembok baja yang tak mungkin ditembus. Bukankah anggapan yang demikian yang ditanamkan oleh seorang pecundang atau penghianat? Tetapi tidak untuk seorang pemenang.

Penulis kitab Yesaya 40:30-31 mengambarkan, bahwa seorang pemenang adalah seumpama rajawali yang terus naik terbang dengan kekuatan sayapnya. Dan itulah kekuatan yang diberikan Tuhan padanya untuk mengatasi setiap rintangan dan tantangan dalam hidupnya. Dengan kata lain, sebenarnya Tuhan telah memberikan kekuatan/ kemampuan kepada tiap-tiap orang untuk dapat mengatasi dan menaklukan setiap kesulitan, tantangan maupun rintangan dalam hidupnya. Penulis kitab Yesaya 40:30-13 sangat sadar bahwa hidup ini bukanlah sesuatu yang terjadi secara kebetulan, melainkan sebuah rencana mulia dari Tuhan yang harus dijalani dengan kerja keras, dan semangat juang yang tinggi. Mengapa harus berjuang? Karena jalan hidup ini bukan jalan yang mudah. karena jika hidup ini menjadi mudah, maka sebenarnya kita tidak akan pernah mendapatkan apa-apa darinya, kecuali kekecewaan dan penyesalan.

Penting untuk diketahui, bahwa kekecewaan dan penyesalan atas hidup sebenarnya hanya ada di dalam pribadi seorang pecundang/ pengecut. Dan itu adalah bukti ketidakyakinan mereka terhadap kemahakuasaan Tuhan. Padahal, jika kita yakin atas segala penyertaan-Nya, maka tak satupun sesuatu terjadi di luar pengamatan-Nya. Itulah sebabnya Tuhan ingin kita melakukan banyak hal penting secara dinamis dan yakin, bahwa di balik setiap kesulitan yang ada tersimpan suatu rencana Tuhan yang abadi. Saya selalu yakin, bahwa Tuhan tidak pernah memberikan berkatnya secara cuma-cuma untuk dinikmati seorang pemalas, kecuali kepada seorang pejuang dan rajin. Burung, semut dan binatang lainnya memang menuai dari hasil yang tidak mereka tanam, tetapi Tuhan tidak pernah menyodorkan makanan secara gratis di depan mereka. Melainkan mereka harus berjuang dan bekerja keras untuk mendapatkannya. Bahkan, mereka harus berhadapan dengan berbagai tantangan dan bahkan musuh yang siap memangsa mereka. Itulah harga sebuah perjuangan yang harus mereka bayar.

Bukankah hal serupa juga berlaku bagi orang-orang yang percaya kepada Tuhan? Takut, kuatir dan gemetar adalah manusiawi, tetapi tidak berarti kita harus menghindar atau menyerah. Justru seharusnya di dalam ketakutan, kekuatiran dan kegemetaran itulah kesempatan kita memohon pertolongan dari Tuhan untuk menguatkan kita saat menghadapi berbagai rintangan hidup ini. Penulis kitab Yesaya mengatakan bahwa “orang-orang yang menanti-nantikan TUHAN mendapat kekuatan baru” (Yesaya 40:31). Kata “menanti-nantikan” sama artinya dengan “kesetiaan pada Tuhan”. Itu adalah suatu pengharapan yang aktif dan dinamis bahwa Tuhan tidak pernah membiarkan umat-Nya menghadapi segala kesulitan itu seorang diri. Melainkan terus menyertainya. Itulah jiwa dan mental yang memiliki seorang pemenang. Selalu ada harapan di balik ketiadaan harapan.

Seorang pemenang selalu optimis dan yakin, bahwa pancing bukanlah alat satu-satunya untuk menangkap ikan di sungai/laut. Tetapi ada banyak cara dan alat lain yang dapat digunakan. Hanya saja tingkat kesulitannyalah yang berbeda. Itulah sebabnya mereka tidak pernah menyerah. Jiwa seorang pemenang selalu yakin, bahwa manusialah yang menutup pintu keberhasilan dan kebahagiaan hidupnya, bukan Tuhan. Mungkin, pintu depan, samping dan belakang tertutup rapat, tetapi sebenarnya tak terkunci. Kabut memang tebal di depan, tetapi itu bukan tembok baja yang tak dapat ditembus. Ada sebuah ungkapan berbunyi demikian: “The importan thing about a problem is not its solution, but the strenght we gain in finding solution.” Artinya, hal terpenting dari sebuah masalah bukanlah penyelesaiannya, tetapi kekuatan yang kita peroleh untuk mencari solusi. Satu hal lagi harus diingat, bahwa saat kita merasa tak ada harapan lagi, tetapi bagi Tuhan selalu ada harapan jika kita tetap percaya.

Di satu sisi, musuh terkuat manusia bukan apa yang ada di luar dirinya, melainkan apa yang ada di dalam dirinya, yaitu: kemalasan, cepat menyerah, takut gagal, dan tidak yakin pada kekuatan yang telah Tuhan berikan padanya. Tetapi di sisi yang lain, sahabat dan kekuatan seorang pemenang sebenarnya juga ada pada dirinya, yakni: rajin, tekun, berani mencoba walaupun gagal, tidak gampang menyerah, dan selalu yakin atas kemampuan yang telah Tuhan berikan dalam hidupnya. Itulah senjata utama yang diberikan Tuhan kepada setiap orang yang percaya. Hanya saja tak semua orang dapat menggunakannya dengan baik, karena ia tidak pernah bertanya kepada Tuhan, apa gunanya dan bagaimana menggunakannya. Maka dari itu, relasi/ hubungan yang harmonis dan akrab bersama Tuhan adalah kunci utama manusia untuk membuka gembok-gembok pintu yang tertutup dengan rapat; jembatan penyebrangan dan jalan keluar yang tersembunyi bagi seorang pecundang.

Maka dari itu:

1.      Lakukanlah banyak hal penting yang dapat kita lakukan, yang mendatangkan kebaikan bagi banyak orang. Rayakan dan nikmatilah hari-hari hidup ini dengan kasih yang tulus mesra bersama banyak orang yang kita kasihi, yang selalu menguatkan semangat kita saat hampir kendor, dan mengobati luka-luka batin kita, serta memberi pengharapan saat kita putus asa.

2.    Terimalah segala rintangan dan kesulitan hidup dengan pikiran yang positif. Yakinlah, bahwa semua itu terjadi bukan tanpa alasan, makna dan tujuan mulia atas hidup kita. Melainkan di dalamnya tersimpan suatu kekuatan baru, yang memampukan kita maju ke tahap kesulitan hidup berikutnya. Karena itu, jangan pernah meremehkan, mengabaikan, apalagi melupakan hal-hal kecil yang pernah terjadi dalam hidup kita. Sebab semuanya itu telah turut serta menghiasi perjalanan hidup kita.

3.     Tanamkanlah pemahaman, bahwa sebenarnya hidup ini bukanlah sesuatu yang terjadi secara kebetulan, melainkan suatu rencana mulia yang telah dirancang dan diberikan oleh Tuhan kepada setiap orang untuk terus diperjuangkan.

4.      Memiliki pengharapan yang teguh kepada Tuhan, karena hanya Dialah yang sanggup memampukan dan menguatkan kita untuk menghadapi berbagai kesulitan dan tantangan hidup yang ada. Pengharapan itu melahirkan kesetiaan, yang terus menanti-nantikan TUHAN, dan kepada merekalah kekuatan baru itu diberikan. Sehingga mereka dapat mengatasi setiap kesulitan hidupnya. Karena itulah mereka diumpamakan seperti burung rajawali yang naik terbang dengan kekuatan sayapnya. Bahkan ketika mereka berlari, namun tidak menjadi lesu, dan mereka berjalan, namun tidak menjadi lelah.

5.  Dengarkan suara-Nya melalui orang-orang yang dengan ketulusan hatinya mengasihi kita. Rasakan kelembutan belaian tangan-Nya melalui pertolongan banyak orang yang dengan rela mengorbankan banyak hal penting untuk hidup kita. Entah itu doa, uluran tangan, waktu, tenaga, pikiran, perasaan, atau moral maupun moril. Masih banyak lagi sarana yang dapat Tuhan pakai untuk menolong setiap orang yang percaya pada-Nya.

6.   Bersyukurlah atas banyak hal yang kita alami dalam hidup ini. Entah itu suka, maupun duka, tangis maupun tawa. Karena hanya dengan hati bersyukurlah segala beban hidup ini dapat ditanggung. Hati yang bersyukur adalah hati yang damai, dan kedamaian hati itu yang sering dijadikan Tuhan sebagai sara kesembuhan atas luka-luka batin kita, kekecewaan yang menekan hidup kita dan mengurangi segala beban hidup yang kita pikul. Melalui hati yang terus bersyukur juga Tuhan telah memberikan semangat hidup yang baru untuk kita bagikan kepada banyak orang.

7.   Jangan berdoa kepada Tuhan supaya hidup ini menjadi mudah. Tetapi berdoalah supaya kita menjadi pribadi yang lebih kuat untuk menghadapi segala bentuk kesulitan dan tantangan atas hidup kita. Mungkin di mata banyak orang segala kesulitan adalah musuh yang menakutkan, tetapi di mata seorang pemenang, semua itu adalah teman seperjuangan dalam menggapai impian yang mulia dari Tuhan.

8.    Jangan pernah menunda apalagi berhenti untuk melakukan kebaikan. Karena masih banyak orang yang membutuhkan pertolongan dan uluran tangan kita. Ingat! apa yang kita tabur itulah yang pasti kita tuai. Semua itu sangat membutuhkan kerja keras, semangat juang dan jiwa seorang pemenang. Kalau kita ingin menjalani hidup tanpa kerja keras, maka sebenarnya kita sama seperti seorang petani yang mengharapkan hasil panen besar tetapi ia sendiri tidak pernah menanam.




[1] Orang-orang buangan terdiri dari kaum bangsawan, ahli-ahli bangunan, orang-orang kaya, pintar/terpelajar, imam-imam dan pegawai tinggi umat Israel. Mereka memang diberi kebebasan untuk tinggal di sana, membuat rumah, berdagang, memelihara agama dan tradisi nenek moyang mereka. Tetapi mereka harus menjalankan kerja rodi/paksa oleh penguasa-penguasa Babel untuk membangun kota Babel. Tidak hanya sebatas kerja rodi, tetapi mereka juga sering mendapat perlakuan kasar dari para penguasa Babel. Bnd. Marie – Claire Barth, Tafsiran Alkitab: Kitab Nabi Yesaya Pasal 40-55, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1983, 11.

Monday, 1 April 2013

KASIH YANG TERABAIKAN



Oleh: Sugiman

“Ya Bapa ke dalam tangan-Mu Kuserahkan nyawa-Ku” (Lukas 23:46), begitulah bunyi sabda keenam yang diucapkan Yesus di atas kayu salib menjelang detik-detik kematian-Nya. Meskipun kata-kata itu telah diungkapkan dua ribu tahun yang lalu, namun gaung atau gemanya masih terngiang-ngiang di telinga kita sebagai umat-Nya. Kalimat di atas adalah suatu uangkapan penyerahan total Yesus Kristus kepada otoritas Allah yang telah mengutus-Nya.

Sebutan “Bapa” di atas secara eksplisit adalah mengacu kepada sebuah kedudukan yang Yesus pangku, yaitu sebagai Anak Allah. Sebutan “Bapa” juga adalah untuk menggambarkan sebuah relasi khusus antara “Bapa” dan “Anak”.  Artinya, kata “Bapa” di sini menunjuk kepada sebuah otoritas mutlak Allah sebagai pencipta alam semesta dan segala isinya. Sedangkan kedudukan Yesus sebagai “Anak” adalah untuk melaksanakan otoritas mutlak “Bapa”. Sebutan “Anak” tidaklah dipahami sebagai anak hasil biologis antara seorang laki-laki dan wanita, melainkan murni menunjuk kepada kemanusiaan Yesus.

Penulis surat Filipi membuka sedikit rahasia kemanusiaan Yesus dengan ungkapan bahwa kehadiran Yesus ke dalam dunia sebagai bukti Ia telah mengosongkan diri-Nya (meninggalkan keilahian-Nya) dan mengambil rupa seorang hamba, serta menjadikan diri-Nya sama dengan manusia (Filipi 2:5-7). Artinya, kehadiran Yesus sebagai utusan Allah ke dalam dunia saat itu adalah murni sebagai manusia biasa 100%. Tujuan-Nya hanya satu, yaitu untuk menjalankan otoritas, amanat/perintah Bapa-Nya. Itulah sebabnya Yesus bisa merasakan haus, lapar, lelah, ngantuk, menangis sebagai mana layaknya manusia. Karena Yesus sama dengan manusia lainnya, kecuali satu yang membedakan-Nya dengan manusia lainnya, yaitu Yesus tidak berdosa.

Ketidakberdosaan Yesus itulah yang membuat diri-Nya disebut sebagai Putra Tunggal Bapa. Artinya, hanya Yesus yang kudus, yang tidak hidup di dalam dosa seperti manusia lainnya. Ketidakberdosaan Yesus juga menjadikan diri-Nya sebagai manusia satu-satunya yang layak dan berkenan menjadi tebusan atas hidup manusia yang telah berdosa. Dosa telah membuat manusia meninggalkan Allah, dan akibatnya manusia ditinggalkan oleh Allah. Dosa juga membuat relasi manusia dengan Allah rusak, putus, terhalang dan jauh. Karena dosanyalah manusia kehilangan persekutuan dengan Allah.

Kerinduan Allah untuk bersekutu kembali dengan manusia ciptaan-Nya menuntut sebuah pengorbanan yang besar, yang tak dapat dilakukan oleh manusia yang berdosa. Karena mustahil manusia yang berdosa dapat membebaskan sesamanya dari belenggu dosa. Itulah sebabnya dibutuhkan seorang manusia yang kudus, suci dan tidak berdosa. Namun, karena semua manusia telah berdosa dan kehilangan kemuliaan Allah, maka mau tidak mau Allah harus turun ke dalam dunia, meninggalkan keilahian-Nya, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadikan diri-Nya sama dengan manusia (Filipi 2:5-7). Semua itu dilakukan-Nya dengan satu alasan mutlak, yaitu karena Ia mengasihi manusia.

Melalui pengorbanan Kristus di atas kayu salib sebagai Putra Tunggal-Nya, Allah mengulurkan tangan-Nya untuk menyalurkan kasih-Nya dan menganugerahkan keselamatan kepada manusia. Namun demikian, tidak jarang uluran tangan-Nya dipandang sebelah mata dan bahkan diabaikan oleh manusia. Kecenderungan manusia menolak uluran tangan Allah, yang menyelamatkan itu begitu kuat menguasai hidup manusia. Manusia seolah telah merasa nyaman hidup di dalam dosanya, sehingga seolah-olah ia tidak membutuhkan Tuhan lagi. Karena itulah manusia cenderung mengabaikan kasih-Nya yang besar, yang dimateraikan-Nya di dalam pengorbanan Yesus Kristus di atas kayu Salib di Golgota. Melalui sikap, sifat, tingkah laku, perkataan dan perbuatannya yang jahat manusia seolah memberi isyarat bahwa dia menolak kasih Allah yang disalurkan di dalam Kristus Yesus. Meskipun demikian, Allah tetap setia menunggu dan terus menunggu hingga manusia bersedia mengulurkan tangannya untuk menyambut tangan Kristus yang telah lama terulur.

Refleksi

Mungkin bagi sebagaian orang hari Paskah telah berakhir, cerita pengorbanan, kematian dan kebangkitan Kristus telah berakhir dan tamat. Keselamatan telah diterima secara cuma-cuma. Kehidupan sehari-hari dimulai seperti biasanya, toh tahun depan Paskah diperingati kembali seperti yang telah lalu. Itulah pemahaman yang tak terelakan dalam serangkaian perjalanan hidup sebagian besar manusia yang percaya kepada Kristus di dalam dunia. Jika hal itu juga yang terjadi dalam kehidupan kita sebagai umat-Nya, maka sebenarnya kita telah mengabaikan ketulusan kasih Allah atas kehidupan kita.

Paskah tidak hanya sebatas perayaan atas kebangkitan Kristus dari maut, atau hanya sekadar peringatan kemenangan-Nya atas kuasa dosa manusia yang ditanggungkan kepada-Nya. Tetapi Paskah berbicara soal pengampunan Allah kepada manusia yang harus menjadi ciri khas umat-Nya untuk mengampuni sesamanya.

Paskah tidak hanya sebatas cerita ketulusan kasih Allah kepada manusia, melainkan harus menjadi bukti kehidupan umat Kristiani untuk selalu mengasihi sesamanya dengan kasih yang tulus pula. Kasih yang tulus tidak melihat kelayakan seseorang untuk menerimanya, melainkan karena ia manusia yang utuh, yang diciptakan serupa dengan gambar Allah. Ekspresi kasih yang tulus harus senantiasa dinyatakan dalam kehidupan kita sehari. Kasih berarti memberi diri sebagai mana Kristus telah memberikan diri-Nya untuk dikorbankan dan menjadi tebusan bagi semua orang berdosa.

Paskah bukan berbicara kekerasan, bukan kematian, bukan kejahatan, bukan permusuhan, bukan balas dendam, bukan diskriminasi, dan bukan penindasan. Tetapi soal kehidupan. Karena itulah setiap umat-Nya seharusnya tidak lagi hidup untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk sesamanya dan terlebih untuk kemuliaan Tuhan. Itulah kehidupan yang menghidupi.

Paskah berarti berbicara kedamaian, keharmonisan, kenyamanan, keamanan dan ketentraman. Karena itulah Kristus selalu menuntut umat-Nya untuk hidup damai dengan sesamanya. Melalui mengorbanan-Nya di atas kayu salib Yesus menyerukan pendamaian antara Allah dan manusia, manusia dengan sesamanya, dan manusia dengan alam ciptaan-Nya. Keharmonisan, kenyamanan, keamanan dan ketentraman harus selalu dijunjung dalam kehidupan di dalam dunia ini. Sehingga Paskah tidak berlalu dengan sia-sia dalam kehidupan kita, tetapi hidup di dalam kehidupan kita. Karena Kristus selalu hidup di dalam pribadi dan hati nurani umat-Nya yang sungguh-sungguh percaya kepada-Nya.