Monday, 1 April 2013

KASIH YANG TERABAIKAN



Oleh: Sugiman

“Ya Bapa ke dalam tangan-Mu Kuserahkan nyawa-Ku” (Lukas 23:46), begitulah bunyi sabda keenam yang diucapkan Yesus di atas kayu salib menjelang detik-detik kematian-Nya. Meskipun kata-kata itu telah diungkapkan dua ribu tahun yang lalu, namun gaung atau gemanya masih terngiang-ngiang di telinga kita sebagai umat-Nya. Kalimat di atas adalah suatu uangkapan penyerahan total Yesus Kristus kepada otoritas Allah yang telah mengutus-Nya.

Sebutan “Bapa” di atas secara eksplisit adalah mengacu kepada sebuah kedudukan yang Yesus pangku, yaitu sebagai Anak Allah. Sebutan “Bapa” juga adalah untuk menggambarkan sebuah relasi khusus antara “Bapa” dan “Anak”.  Artinya, kata “Bapa” di sini menunjuk kepada sebuah otoritas mutlak Allah sebagai pencipta alam semesta dan segala isinya. Sedangkan kedudukan Yesus sebagai “Anak” adalah untuk melaksanakan otoritas mutlak “Bapa”. Sebutan “Anak” tidaklah dipahami sebagai anak hasil biologis antara seorang laki-laki dan wanita, melainkan murni menunjuk kepada kemanusiaan Yesus.

Penulis surat Filipi membuka sedikit rahasia kemanusiaan Yesus dengan ungkapan bahwa kehadiran Yesus ke dalam dunia sebagai bukti Ia telah mengosongkan diri-Nya (meninggalkan keilahian-Nya) dan mengambil rupa seorang hamba, serta menjadikan diri-Nya sama dengan manusia (Filipi 2:5-7). Artinya, kehadiran Yesus sebagai utusan Allah ke dalam dunia saat itu adalah murni sebagai manusia biasa 100%. Tujuan-Nya hanya satu, yaitu untuk menjalankan otoritas, amanat/perintah Bapa-Nya. Itulah sebabnya Yesus bisa merasakan haus, lapar, lelah, ngantuk, menangis sebagai mana layaknya manusia. Karena Yesus sama dengan manusia lainnya, kecuali satu yang membedakan-Nya dengan manusia lainnya, yaitu Yesus tidak berdosa.

Ketidakberdosaan Yesus itulah yang membuat diri-Nya disebut sebagai Putra Tunggal Bapa. Artinya, hanya Yesus yang kudus, yang tidak hidup di dalam dosa seperti manusia lainnya. Ketidakberdosaan Yesus juga menjadikan diri-Nya sebagai manusia satu-satunya yang layak dan berkenan menjadi tebusan atas hidup manusia yang telah berdosa. Dosa telah membuat manusia meninggalkan Allah, dan akibatnya manusia ditinggalkan oleh Allah. Dosa juga membuat relasi manusia dengan Allah rusak, putus, terhalang dan jauh. Karena dosanyalah manusia kehilangan persekutuan dengan Allah.

Kerinduan Allah untuk bersekutu kembali dengan manusia ciptaan-Nya menuntut sebuah pengorbanan yang besar, yang tak dapat dilakukan oleh manusia yang berdosa. Karena mustahil manusia yang berdosa dapat membebaskan sesamanya dari belenggu dosa. Itulah sebabnya dibutuhkan seorang manusia yang kudus, suci dan tidak berdosa. Namun, karena semua manusia telah berdosa dan kehilangan kemuliaan Allah, maka mau tidak mau Allah harus turun ke dalam dunia, meninggalkan keilahian-Nya, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadikan diri-Nya sama dengan manusia (Filipi 2:5-7). Semua itu dilakukan-Nya dengan satu alasan mutlak, yaitu karena Ia mengasihi manusia.

Melalui pengorbanan Kristus di atas kayu salib sebagai Putra Tunggal-Nya, Allah mengulurkan tangan-Nya untuk menyalurkan kasih-Nya dan menganugerahkan keselamatan kepada manusia. Namun demikian, tidak jarang uluran tangan-Nya dipandang sebelah mata dan bahkan diabaikan oleh manusia. Kecenderungan manusia menolak uluran tangan Allah, yang menyelamatkan itu begitu kuat menguasai hidup manusia. Manusia seolah telah merasa nyaman hidup di dalam dosanya, sehingga seolah-olah ia tidak membutuhkan Tuhan lagi. Karena itulah manusia cenderung mengabaikan kasih-Nya yang besar, yang dimateraikan-Nya di dalam pengorbanan Yesus Kristus di atas kayu Salib di Golgota. Melalui sikap, sifat, tingkah laku, perkataan dan perbuatannya yang jahat manusia seolah memberi isyarat bahwa dia menolak kasih Allah yang disalurkan di dalam Kristus Yesus. Meskipun demikian, Allah tetap setia menunggu dan terus menunggu hingga manusia bersedia mengulurkan tangannya untuk menyambut tangan Kristus yang telah lama terulur.

Refleksi

Mungkin bagi sebagaian orang hari Paskah telah berakhir, cerita pengorbanan, kematian dan kebangkitan Kristus telah berakhir dan tamat. Keselamatan telah diterima secara cuma-cuma. Kehidupan sehari-hari dimulai seperti biasanya, toh tahun depan Paskah diperingati kembali seperti yang telah lalu. Itulah pemahaman yang tak terelakan dalam serangkaian perjalanan hidup sebagian besar manusia yang percaya kepada Kristus di dalam dunia. Jika hal itu juga yang terjadi dalam kehidupan kita sebagai umat-Nya, maka sebenarnya kita telah mengabaikan ketulusan kasih Allah atas kehidupan kita.

Paskah tidak hanya sebatas perayaan atas kebangkitan Kristus dari maut, atau hanya sekadar peringatan kemenangan-Nya atas kuasa dosa manusia yang ditanggungkan kepada-Nya. Tetapi Paskah berbicara soal pengampunan Allah kepada manusia yang harus menjadi ciri khas umat-Nya untuk mengampuni sesamanya.

Paskah tidak hanya sebatas cerita ketulusan kasih Allah kepada manusia, melainkan harus menjadi bukti kehidupan umat Kristiani untuk selalu mengasihi sesamanya dengan kasih yang tulus pula. Kasih yang tulus tidak melihat kelayakan seseorang untuk menerimanya, melainkan karena ia manusia yang utuh, yang diciptakan serupa dengan gambar Allah. Ekspresi kasih yang tulus harus senantiasa dinyatakan dalam kehidupan kita sehari. Kasih berarti memberi diri sebagai mana Kristus telah memberikan diri-Nya untuk dikorbankan dan menjadi tebusan bagi semua orang berdosa.

Paskah bukan berbicara kekerasan, bukan kematian, bukan kejahatan, bukan permusuhan, bukan balas dendam, bukan diskriminasi, dan bukan penindasan. Tetapi soal kehidupan. Karena itulah setiap umat-Nya seharusnya tidak lagi hidup untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk sesamanya dan terlebih untuk kemuliaan Tuhan. Itulah kehidupan yang menghidupi.

Paskah berarti berbicara kedamaian, keharmonisan, kenyamanan, keamanan dan ketentraman. Karena itulah Kristus selalu menuntut umat-Nya untuk hidup damai dengan sesamanya. Melalui mengorbanan-Nya di atas kayu salib Yesus menyerukan pendamaian antara Allah dan manusia, manusia dengan sesamanya, dan manusia dengan alam ciptaan-Nya. Keharmonisan, kenyamanan, keamanan dan ketentraman harus selalu dijunjung dalam kehidupan di dalam dunia ini. Sehingga Paskah tidak berlalu dengan sia-sia dalam kehidupan kita, tetapi hidup di dalam kehidupan kita. Karena Kristus selalu hidup di dalam pribadi dan hati nurani umat-Nya yang sungguh-sungguh percaya kepada-Nya.


No comments:

Post a Comment