Oleh: Sugiman
“Ya Bapa ke dalam
tangan-Mu Kuserahkan nyawa-Ku” (Lukas 23:46), begitulah bunyi sabda keenam yang
diucapkan Yesus di atas kayu salib menjelang detik-detik kematian-Nya. Meskipun
kata-kata itu telah diungkapkan dua ribu tahun yang lalu, namun gaung atau
gemanya masih terngiang-ngiang di telinga kita sebagai umat-Nya. Kalimat di
atas adalah suatu uangkapan penyerahan total Yesus Kristus kepada otoritas
Allah yang telah mengutus-Nya.
Sebutan “Bapa” di
atas secara eksplisit adalah mengacu kepada sebuah kedudukan yang Yesus pangku,
yaitu sebagai Anak Allah. Sebutan “Bapa” juga adalah untuk menggambarkan sebuah
relasi khusus antara “Bapa” dan “Anak”. Artinya,
kata “Bapa” di sini menunjuk kepada sebuah otoritas mutlak Allah sebagai
pencipta alam semesta dan segala isinya. Sedangkan kedudukan Yesus sebagai
“Anak” adalah untuk melaksanakan otoritas mutlak “Bapa”. Sebutan “Anak” tidaklah
dipahami sebagai anak hasil biologis antara seorang laki-laki dan wanita,
melainkan murni menunjuk kepada kemanusiaan Yesus.
Penulis surat
Filipi membuka sedikit rahasia kemanusiaan Yesus dengan ungkapan bahwa kehadiran
Yesus ke dalam dunia sebagai bukti Ia telah mengosongkan diri-Nya (meninggalkan
keilahian-Nya) dan mengambil rupa seorang hamba, serta menjadikan diri-Nya sama
dengan manusia (Filipi 2:5-7). Artinya, kehadiran Yesus sebagai utusan Allah ke
dalam dunia saat itu adalah murni sebagai manusia biasa 100%. Tujuan-Nya hanya
satu, yaitu untuk menjalankan otoritas, amanat/perintah Bapa-Nya. Itulah
sebabnya Yesus bisa merasakan haus, lapar, lelah, ngantuk, menangis sebagai
mana layaknya manusia. Karena Yesus sama dengan manusia lainnya, kecuali satu yang
membedakan-Nya dengan manusia lainnya, yaitu Yesus tidak berdosa.
Ketidakberdosaan
Yesus itulah yang membuat diri-Nya disebut sebagai Putra Tunggal Bapa. Artinya,
hanya Yesus yang kudus, yang tidak hidup di dalam dosa seperti manusia lainnya.
Ketidakberdosaan Yesus juga menjadikan diri-Nya sebagai manusia satu-satunya
yang layak dan berkenan menjadi tebusan atas hidup manusia yang telah berdosa.
Dosa telah membuat manusia meninggalkan Allah, dan akibatnya manusia
ditinggalkan oleh Allah. Dosa juga membuat relasi manusia dengan Allah rusak, putus,
terhalang dan jauh. Karena dosanyalah manusia kehilangan persekutuan dengan
Allah.
Kerinduan Allah
untuk bersekutu kembali dengan manusia ciptaan-Nya menuntut sebuah pengorbanan
yang besar, yang tak dapat dilakukan oleh manusia yang berdosa. Karena mustahil
manusia yang berdosa dapat membebaskan sesamanya dari belenggu dosa. Itulah
sebabnya dibutuhkan seorang manusia yang kudus, suci dan tidak berdosa. Namun,
karena semua manusia telah berdosa dan kehilangan kemuliaan Allah, maka mau
tidak mau Allah harus turun ke dalam dunia, meninggalkan keilahian-Nya, dan
mengambil rupa seorang hamba, dan menjadikan diri-Nya sama dengan manusia
(Filipi 2:5-7). Semua itu dilakukan-Nya dengan satu alasan mutlak, yaitu karena
Ia mengasihi manusia.
Melalui
pengorbanan Kristus di atas kayu salib sebagai Putra Tunggal-Nya, Allah
mengulurkan tangan-Nya untuk menyalurkan kasih-Nya dan menganugerahkan
keselamatan kepada manusia. Namun demikian, tidak jarang uluran tangan-Nya
dipandang sebelah mata dan bahkan diabaikan oleh manusia. Kecenderungan manusia
menolak uluran tangan Allah, yang menyelamatkan itu begitu kuat menguasai hidup
manusia. Manusia seolah telah merasa nyaman hidup di dalam dosanya, sehingga seolah-olah
ia tidak membutuhkan Tuhan lagi. Karena itulah manusia cenderung mengabaikan
kasih-Nya yang besar, yang dimateraikan-Nya di dalam pengorbanan Yesus Kristus
di atas kayu Salib di Golgota. Melalui sikap, sifat, tingkah laku, perkataan dan
perbuatannya yang jahat manusia seolah memberi isyarat bahwa dia menolak kasih
Allah yang disalurkan di dalam Kristus Yesus. Meskipun demikian, Allah tetap
setia menunggu dan terus menunggu hingga manusia bersedia mengulurkan tangannya
untuk menyambut tangan Kristus yang telah lama terulur.
Refleksi
Mungkin bagi
sebagaian orang hari Paskah telah berakhir, cerita pengorbanan, kematian dan
kebangkitan Kristus telah berakhir dan tamat. Keselamatan telah diterima secara
cuma-cuma. Kehidupan sehari-hari dimulai seperti biasanya, toh tahun depan
Paskah diperingati kembali seperti yang telah lalu. Itulah pemahaman yang tak
terelakan dalam serangkaian perjalanan hidup sebagian besar manusia yang
percaya kepada Kristus di dalam dunia. Jika hal itu juga yang terjadi dalam
kehidupan kita sebagai umat-Nya, maka sebenarnya kita telah mengabaikan
ketulusan kasih Allah atas kehidupan kita.
Paskah tidak
hanya sebatas perayaan atas kebangkitan Kristus dari maut, atau hanya sekadar peringatan
kemenangan-Nya atas kuasa dosa manusia yang ditanggungkan kepada-Nya. Tetapi
Paskah berbicara soal pengampunan Allah kepada manusia yang harus menjadi ciri
khas umat-Nya untuk mengampuni sesamanya.
Paskah tidak
hanya sebatas cerita ketulusan kasih Allah kepada manusia, melainkan harus
menjadi bukti kehidupan umat Kristiani untuk selalu mengasihi sesamanya dengan
kasih yang tulus pula. Kasih yang tulus tidak melihat kelayakan seseorang untuk
menerimanya, melainkan karena ia manusia yang utuh, yang diciptakan serupa
dengan gambar Allah. Ekspresi kasih yang tulus harus senantiasa dinyatakan
dalam kehidupan kita sehari. Kasih berarti memberi diri sebagai mana Kristus
telah memberikan diri-Nya untuk dikorbankan dan menjadi tebusan bagi semua
orang berdosa.
Paskah bukan berbicara
kekerasan, bukan kematian, bukan kejahatan, bukan permusuhan, bukan balas
dendam, bukan diskriminasi, dan bukan penindasan. Tetapi soal kehidupan. Karena
itulah setiap umat-Nya seharusnya tidak lagi hidup untuk dirinya sendiri,
tetapi juga untuk sesamanya dan terlebih untuk kemuliaan Tuhan. Itulah
kehidupan yang menghidupi.
Paskah berarti
berbicara kedamaian, keharmonisan, kenyamanan, keamanan dan ketentraman. Karena
itulah Kristus selalu menuntut umat-Nya untuk hidup damai dengan sesamanya.
Melalui mengorbanan-Nya di atas kayu salib Yesus menyerukan pendamaian antara
Allah dan manusia, manusia dengan sesamanya, dan manusia dengan alam ciptaan-Nya.
Keharmonisan, kenyamanan, keamanan dan ketentraman harus selalu dijunjung dalam
kehidupan di dalam dunia ini. Sehingga Paskah tidak berlalu dengan sia-sia
dalam kehidupan kita, tetapi hidup di dalam kehidupan kita. Karena Kristus
selalu hidup di dalam pribadi dan hati nurani umat-Nya yang sungguh-sungguh
percaya kepada-Nya.
No comments:
Post a Comment