Friday, 17 May 2013

"MENGASIHI MUSUH DAN BERBUAT BAIK BAGINYA"



Oleh: Sugiman

Tetapi kamu, kasihilah musuhmu dan berbuatlah baik kepada mereka dan pinjamkan dengan tidak mengharapkan balasan, maka upahmu akan besar dan kamu akan menjadi anak-anak Allah Yang Mahatinggi, sebab Ia baik terhadap orang-orang yang tidak tahu berterima kasih dan terhadap orang-orang jahat.
Lukas 6:35

Jika ada yang lebih baik, maka sebenarnya baik saja tidaklah cukup. Mungkin itulah pesan yang tersirat dalam Lukas 6:27-36. Selain ciptaan Tuhan yang lain, dunia ini dihuni oleh tiga kelompok manusia, yakni: pertama, mereka yang hidup di bawah rata-rata; kedua, mereka hidup rata-rata, dan ketiga, adalah mereka yang hidup di atas rata-rata. Yang dimaksud dengan manusia yang hidup di bawah rata-rata, rata-rata dan di atas rata-rata di sini tidak berbicara soal IQ, EQ, tingkat kegeniusan, kepintaran atau pendidikan formal yang ditempuh seseorang. Melainkan soal kualitas karakter, hati nurani dan kemuliaan hidup seseorang. Sebenarnya hal itu merupakan salah satu keistimewaan yang diberikan Tuhan kepada setiap orang dari sejak ia masih dalam kandungan sebagai titik awal kemanusiaannya.

Kelompok pertama adalah manusia yang dengan setia menghiasi dan mengisi hidupnya dengan sikap-sikap yang pasif. Mereka mengetahui bahwa ada nilai-nilai kebaikan dan kebenaran yang di dalamnya kemuliaan Tuhan terpancar. Namun, mereka lebih memilih diam, atau pasif dan selalu menunda untuk melakukan nilai-nilai kebaikan dan kebenaran itu. Mereka kerap menyaksikan atau melihat secara langsung akan kehadiran nilai-nilai kebaikan dan kebenaran hadir di dalam dunia ini, hanya saja tidak ada respons dari tiap-tiap mereka.

Kelompok manusia yang kedua adalah mereka yang melakukan berdasarkan apa yang sesuai dengan harapan dan kepentingan pribadi mereka. Mereka hanya akan berbuat baik dan melakukan kebenaran jika orang lain sanggup  memberikan keuntungan yang lebih besar dari apa yang mereka telah lakukan. Jika tidak, maka mereka akan memilih diam dan membiarkan semuanya berjalan secara alami. Sifat alami yang dimaksud di sini adalah lebih menyangkut kepada keuntungan pribadi. Maksudnya adalah mereka hanya akan memberikan pertolongan jika yang ditolong memenuhi kapasitas atau kriteria untuk melakukan hal lebih dari yang mereka perbuat. Misalnya, mengharapkan imbalan saat memberikan pertolongan, atau memberi supaya juga diberi secara lebih.

Kelompok manusia yang ketiga adalah mereka yang selalu setia melakukan nilai-nilai kebaikan dan kebenaran dalam sepanjang hidupnya berdasarkan kasih karunia yang telah Tuhan titipkan ke dalam hidup mereka. Mereka melihat bahwa melakukan semuanya itu adalah sebagai ekspresi dan bukti imannya kepada Tuhan. Hidup di dalam dunia ini hanya akan berlangsung sesaat, sementara dan sekali saja. Semuanya itu adalah kesempatan untuk berkarya, melakukan apa yang pantas dan dapat dilakukan olehnya. Karena jika tidak dimanfaatkan dengan baik, maka waktu ini akan berlalu secara sia-sia, dan ia tidak akan pernah kembali saat semuanya telah berlalu. Inilah konsep yang mereka tanamkan dalam hidup mereka. Mereka memahami bahwa hidup ini tidaklah lebih dari anugerah-Nya semata. Tetapi serentak dengan itu, mereka merasakan bahwa anugerah itu bisa hilang dan pergi saat ia diabaikan atau diterlantarkan. Itulah sebabnya mereka sadar bahwa jika ada yang lebih baik, maka baik saja tidaklah cukup. Atau, jika ada musuh, maka mengasihi orang yang telah mengasihi kita saja tidaklah cukup.

Oleh sebab itu, dalam teks Lukas 6:27-36 Yesus menegaskan bahwa setiap orang yang ingin mengikut dan percaya kepada-Nya harus menjadi manusia yang hidup di atas rata-rata. Karena jika hidup kita sama dengan kelompok manusia yang pertama dan kedua seperti yang disebutkan di atas, maka sebenarnya hidup kita tidak akan pernah terasa bagi atau memberi rasa apapun kepada dunia ini. Artinya, kehidupan orang yang demikian tidak akan bisa mempengaruhi dunia. Bahkan mereka akan diabaikan oleh dunia karena tidak ada sesuatu yang istimewa di dalam diri mereka. Dengan kata lain, jika ada yang luar biasa, maka hidup yang biasa saja sebenarnya tidaklah cukup. Jika ada yang lebih baik, maka baik saja pun tidak cukup.

Menjadi manusia yang hidup di atas rata-rata berarti menjadi manusia yang sanggup menerapkan hukum kasih yang melampaui batas. Bahkan orang-orang yang sebenarnya tidak pantas untuk dikasihi pun mereka kasihi. Salah satunya adalah mengasihi musuh. Secara manusia, jika diakui secara jujur, maka orang yang memusuhi dan menjadi musuh kita adalah sebenarnya orang-orang yang tidak pantas untuk dikasihi dan mendapat belas kasihan dari siapapun. Tetapi Yesus justru mengajarkan dan melakukan hal yang sangat bertolak belakang dari pemahaman kita sebagai manusia. Dikatakan, Kasihilah musuhmu, berbuatlah baik kepada orang yang membenci kamu; mintalah berkat kepada orang yang mengutuk kamu; berdoalah bagi mereka yang membenci kamu” (Luk. 6:27-28).

Dari kalimat Yesus di atas kita melihat ada empat kata kerja aktif bentuk imperatif/perintah yang digunakan, yaitu: (1). “agapate = kasihilah”, (2). “poieite = lakukanlah/ berbuatlah”, (3). “eulogeite = LAI menterjemahkan mintalah berkat. Lebih tepatnya kata eulogeite seharusnya diterjemahkan berkatilah”, dan (4). “proseukheste = berdoalah”. Keempat kata kerja aktif bentuk imperatif di atas memperlihatkan secara tegas kepada kita, bahwa kasih yang sesungguhnya bukanlah soal kata atau berapa banyak kata kasih yang kita uangkapkan, melainkan soal berapa banyak perbuatan kasih yang nyata itu kita lakukan untuk orang-orang yang memusuhi kita.

Di sisi yang lain, keempat kata kerja aktif bentuk imperatif di atas memperlihatkan bahwa setiap orang pasti memiliki musuh. Maksud frasa “memiliki musuh” di sini adalah bukan karena ia memusuhi, melainkan karena ia dimusuhi. Karena itulah Yesus menegaskan, meskipun orang lain memusuhi dan membenci kita, tetapi kita harus tetap mengasihi mereka, melakukan banyak hal penting yang mendatangkan kebaikan bagi mereka, dan memberkati mereka lewat doa-doa yang kita panjatkan kepada Tuhan.

Itulah sebabnya perintah kasih pada ayat 27-28 diulang kembali pada ayatnya yang ke-35 dengan makna yang lebih tegas dan mendasar, yakni: “Tetapi kamu, kasihilah musuhmu dan berbuatlah baik kepada mereka dan pinjamkan dengan tidak mengharapkan balasan, maka upahmu akan besar dan kamu akan menjadi anak-anak Allah Yang Mahatinggi, sebab Ia baik terhadap orang-orang yang tidak tahu berterima kasih dan terhadap orang-orang jahat. (Lukas 6:35). Satu hal yang penting untuk kita ingat, bahwa kebaikan Tuhan tidak terbatas pada orang-orang yang berbuat baik saja, tetapi juga kepada mereka tidak tahu berterima kasih dan jahat.

Namun demikian, mengasihi musuh bukan perkara mudah untuk dilakukan. Apalagi harus mengasihi mereka yang pernah menyakiti, melukai dan bahkan menghilangkan nyawa orang-orang yang sangat kita kasihi. Tetapi inilah konsekuensi hidup sebagai pengikut jalan Tuhan. Kemurnian kasih yang telah Tuhan berikan kepada setiap orang akan teruji kemurnian dan ketulusannya jika sanggup mengasihi musuh-musuhnya, dan itulah esensi dari kasih sejati.

SIAPAKAH YANG TERBESAR?



Oleh: Sugiman

Kemudian tibalah Yesus dan murid-murid-Nya di Kapernaum. Ketika Yesus sudah di rumah, Ia bertanya kepada murid-murid-Nya: "Apa yang kamu perbincangkan tadi di tengah jalan?"
Tetapi mereka diam, sebab di tengah jalan tadi mereka mempertengkarkan siapa yang terbesar di antara mereka.
(Markus 9:33-34)

Sejarah kehidupan manusia membuktikan, bahwa untuk menjadi “yang terbesar” dari yang lain, seseorang rela melakukan tindakan apa pun dalam hidupnya. Mulai dari cara yang lembut hingga kepada yang kasar, dari yang sportif hingga kepada yang curang, dan dari yang bersih hingga kepada cara yang paling kotor. Tindakan-tindakan dan motivasi yang ganjil dan janggal sering menghiasi proses pencapaiannya.

Keinginan Adam dan Hawa untuk menjadi sama seperti Allah tak dapat dilepaskan dari permasalahan untuk menjadi “siapa yang terbesar”.  Begitu pula dengan peristiwa Kain membunuh adiknya, Habel. Peristiwa pembangunan menara Babel, perampasan hak kesulungan Yakub oleh Esau, Yusuf dibenci dan hampir dibunuh oleh saudara-saudaranya, tetapi dilarang Yehuda (salah satu saudara Yusuf), maka kemudian Yusuf dijual ke Mesir. Selain itu, rencana licik Saul yang akan membunuh Daud tatkala Daud dianggap sebagai saingannya untuk memimpin bangsa Israel, juga erat kaitannya dengan ambisi untuk menjadi “yang terbesar” dari pribadi yang lain.

Ternyata hal serupa juga yang diperdebatkan dan diperbincangkan oleh murid-murid Yesus saat dalam perjalanan menuju Kapernaum. Diskusi itu begitu hangat dan sengit, bahkan hingga menyebabkan pertengkar serta perselisihan di antara mereka. Betapa tidak, ternyata mereka membutuhkan sebuah pengakuan secara status atas jabatan, posisi atau kedudukan yang akan mereka peroleh sebagai pengikut Yesus. Bahkan mungkin kalau perlu Yesus sendiri yang harus menentukan posisi mereka berdasarkan segala kemampuan, kekuatan, keberanian, kerajinan, skill atau kesetiaan yang mereka miliki. Mungkin paham itu juga yang diharapkan para murid Yesus saat itu.

Dalam tanggapan-Nya, Yesus memposisikan diri-Nya sebagai orang yang lugu, polos dan seakan-akan tidak tahu apa-apa mengenai hal yang diperbincangkan dan diperdebatkan oleh para murid-Nya dalam perjalanan ke Kapernaum. Dengan polos Yesus bertanya kepada murid-murid-Nya demikian: "Apa yang kamu perbincangkan tadi di tengah jalan?". Tetapi sebenarnya jika kita perhatikan baik-baik kalimat tanya di atas, ternyata Yesus ingin memberikan penjelasan dan pemahaman yang benar atas persoalan yang diperbincangkan dan diperdebatkan oleh para murid-Nya itu. Hanya saja mereka merasa enggan dan takut untuk mengatakan masalah yang sebenarnya kepada Yesus. Sehingga mereka lebih memilih diam.

Latar belakang penyebab perdebatan sengit dan panas di antara para murid-Nya adalah tidak lain dan tidak bukan karena karakter seorang raja dan kemesiasan yang diperlihatkan Yesus melalui berbagai keajaiban, gaya hidup, perkataan dan karya/ perbuatan-Nya. Hanya saja pemahaman para murid Yesus selama mengikuti-Nya disamaartikan dengan konsep pemahaman umat Israel kuno tentang peranan seorang mesias dalam dunia politik dan peperangan. Umat Israel memahami, bahwa jabatan kemesiasan atau raja sejati adalah harus berani dan memegang pedang untuk melawan musuh. Selanjutnya ia pasti memberikan kedudukan yang pantas bagi orang-orang dekatnya atau kepercayaannya.

Dengan kata lain, perdebatan tentang “siapa yang terbesar” sebenarnya adalah masalah utama yang teragis dalam sejarah hidup manusia. Berbagai cara telah dilakukan hanya untuk sebuah pengakuan tentang “siapa yang terbesar”. Bahkan yang lebih ekstrim adalah telah dicoba untuk diselesaikan dengan pedang. Mulai dari senjata tradisional hingga pada senjata modren dan yang paling canggih. Persaingan, perdebatan, pertengkaran, kekerasan fisik dan hingga pada kematian pun tak terhindarkan. Kawan bisa jadi lawan, saudara bisa jadi orang asing, yang tidak ada diadakan, begitu pula sebaliknya, yakni yang ada ditiadakan.

Lebih jauh dari itu, tindakan sikut menyikut, saling menjelek jelekan, injak menginjak, jatuh menjatuhkan, hina menghina, khianat mengkhianati, fitnah memfitnah pun tak terhindarkan. Nilai-nilai kebenaran yang telah Tuhan tanamkan dalam hati setiap orang pun terpaksa dihianati, diperjualbelikan, dikotori, dan direndahkan hanya untuk menjadi yang terbesar menurut ukuran manusia.

Bukankah persoalan serupa juga telah dan sering terjadi dalam kehidupan kita. Apalagi kita hidup di zaman yang kompetitif, yang sedikit banyak telah mempengaruhi dan meracuni hati nurani serta pikiran sehat manusia. Siapa yang terkuat dialah yang berhak hidup. Itulah hukum rimba. Siapa yang dapat membayar lebih, dialah yang mendapatkan posisi yang utama, terhebat, tertinggi dan terhormat. Itulah hukum jual beli. Bahkan yang lebih tragis lagi adalah mengorbankan hak-hak dasar dan nilai-nilai kebenaran hanya untuk mendapatkan sebuah jabatan dan pengakuan tentang “siapa yang terbesar” dalam hidup ini.

Kebutuhan pribadi manusia akan pengakuan tentang siapa yang terbesar dari pribadi manusia yang lain seolah-olah hanya dapat diperoleh dengan cara-cara yang licik dan kotor. Seolah-oleh jika dirinya tidak mendapatkan posisi itu di hadapan manusia lainnya di dunia ini ia tak bisa menikmati kebahagiaan hidupnya. Adalah sangat kasihan melihat jika masih ada orang yang memiliki pemahaman yang keliru itu. Karena kekeliruan itulah yang kerap menjadikannya seorang penjahat dan penghianat atas nilai-nilai kebaikan yang Tuhan telah tanamkan di dalam hati nuraninya.

Pemahaman yang keliru untuk menjadi yang terbesar tidak hanya terjadi di kalangan para pejabat negara, tetapi juga menimpa para pejabat gereja Tuhan. Karena itulah para pelayan Tuhan di Gereja sering tidak dapat menjadi berkat bagi kehidupan jemaat Gereja itu sendiri. para Pendeta saling bersaing untuk mendapatkan posisi tertinggi dan terbesar dalam Gereja. Sementara Pendeta yang lain lagi sibuk mencari cara untuk menjatuhkan, mempermalukan, dan merendahkan Pendeta yang lain. Jemaat yang dipimpinnya pun ikut-ikutan membuat blok blok antara pengikut Pendeta si A dan pengikut Pendeta si B.

Begitu pula di kalangan para Majelis atau Pengurus Gereja, semuanya terlihat kaku dan tegang. Karena Majelis/ Penatua yang satu rajin memberi persepuluhan atau persembahan khusus kepada Gereja atau Pendetanya supaya diakui dan ditempatkan untuk menduduki posisi tertentu dalam Gereja. Begitu pula sebaliknya, yakni Pendeta yang satu rajin berkunjung ke rumah jemaat-jemaatnya yang kaya, dihormati, diperhitungkan dan berpengaruh bagi anggota jemaat yang lain dengan maksud supaya diangkat menjadi ketua Resort maupun ketua Sinode untuk menggantikan posisi si A.

Jika hal demikian masih melekat di dalam kepribadian kita, maka yakinlah bahwa segala sesuatu yang kita lakukan di dalam dunia ini tidak akan menjadi berkat. Sebaliknya, mungkin kita menjadi seteru bagi Tuhan dan batu sandungan bagi banyak orang. Sebaliknya Yesus mengatakan, bahwa siapa yang ingin menjadi yang terbesar, maka hendaklah ia menjadi seorang pelayan sejati. Menjadi seorang pelayan sejati berarti harus berani memberi diri bagi orang lain. Dan memberi diri bagi orang lain berarti siap membayar harga sebuah kebenaran bagi Tuhan, yang belum tentu benar dan baik bagi manusia. Artinya, harga yang harus dibayar seorang pelayan Tuhan adalah sangat beragam bentuknya, yaitu bisa dibenci, disakiti secara fisik, dicaci-maki, dicemooh, dianiaya dan bahkan nyawanya menjadi taruhannya karena kebenaran yang diberitakannya, dan itulah konsep seorang pelayan yang Yesus maksudkan. Maka dari itu, yang terbesar adalah mereka yang dengan rela dengan penuh ketulusan hatinya untuk melayani Tuhan sepenuhnya dalam sepanjang kehidupannya.