Oleh: Sugiman
“Tetapi kamu, kasihilah musuhmu
dan berbuatlah baik kepada mereka dan pinjamkan dengan tidak mengharapkan
balasan, maka upahmu akan besar dan kamu akan menjadi anak-anak Allah Yang
Mahatinggi, sebab Ia baik terhadap orang-orang yang tidak tahu berterima kasih
dan terhadap orang-orang jahat.”
Lukas 6:35
Jika ada yang
lebih baik, maka sebenarnya baik saja tidaklah cukup. Mungkin itulah pesan yang
tersirat dalam Lukas 6:27-36. Selain ciptaan Tuhan yang lain, dunia ini
dihuni oleh tiga kelompok manusia, yakni: pertama,
mereka yang hidup di bawah rata-rata;
kedua, mereka hidup rata-rata, dan ketiga,
adalah mereka yang hidup di atas
rata-rata. Yang dimaksud dengan manusia yang hidup di bawah rata-rata, rata-rata
dan di atas rata-rata di sini
tidak berbicara soal IQ, EQ, tingkat kegeniusan, kepintaran atau pendidikan
formal yang ditempuh seseorang. Melainkan soal kualitas karakter, hati nurani
dan kemuliaan hidup seseorang. Sebenarnya hal itu merupakan salah satu keistimewaan yang diberikan Tuhan
kepada setiap orang dari sejak ia masih
dalam kandungan sebagai titik awal kemanusiaannya.
Kelompok pertama adalah manusia yang dengan setia menghiasi
dan mengisi hidupnya dengan sikap-sikap yang pasif. Mereka mengetahui bahwa ada
nilai-nilai kebaikan dan kebenaran yang di dalamnya kemuliaan Tuhan terpancar.
Namun, mereka lebih memilih diam, atau pasif dan selalu menunda untuk melakukan
nilai-nilai kebaikan dan kebenaran itu. Mereka kerap menyaksikan atau melihat
secara langsung akan kehadiran nilai-nilai kebaikan dan kebenaran hadir di
dalam dunia ini, hanya saja tidak ada respons dari tiap-tiap mereka.
Kelompok manusia yang kedua adalah mereka yang melakukan
berdasarkan apa yang sesuai dengan harapan dan kepentingan pribadi mereka. Mereka
hanya akan berbuat baik dan melakukan kebenaran jika orang lain sanggup memberikan keuntungan yang lebih besar dari
apa yang mereka telah lakukan. Jika tidak, maka mereka akan memilih diam dan
membiarkan semuanya berjalan secara alami. Sifat alami yang dimaksud di sini
adalah lebih menyangkut kepada keuntungan pribadi. Maksudnya adalah mereka
hanya akan memberikan pertolongan jika yang ditolong memenuhi kapasitas atau kriteria
untuk melakukan hal lebih dari yang mereka perbuat. Misalnya, mengharapkan
imbalan saat memberikan pertolongan, atau memberi supaya juga diberi secara
lebih.
Kelompok manusia yang ketiga adalah mereka yang selalu setia
melakukan nilai-nilai kebaikan dan kebenaran dalam sepanjang hidupnya
berdasarkan kasih karunia yang telah Tuhan titipkan ke dalam hidup mereka.
Mereka melihat bahwa melakukan semuanya itu adalah sebagai ekspresi dan bukti
imannya kepada Tuhan. Hidup di dalam dunia ini hanya akan berlangsung sesaat,
sementara dan sekali saja. Semuanya itu adalah kesempatan untuk berkarya,
melakukan apa yang pantas dan dapat dilakukan olehnya. Karena jika tidak
dimanfaatkan dengan baik, maka waktu ini akan berlalu secara sia-sia, dan ia
tidak akan pernah kembali saat semuanya telah berlalu. Inilah konsep yang mereka
tanamkan dalam hidup mereka. Mereka memahami bahwa hidup ini tidaklah lebih
dari anugerah-Nya semata. Tetapi serentak dengan itu, mereka merasakan bahwa
anugerah itu bisa hilang dan pergi saat ia diabaikan atau diterlantarkan. Itulah
sebabnya mereka sadar bahwa jika ada yang lebih baik, maka baik saja tidaklah
cukup. Atau, jika ada musuh, maka mengasihi orang yang telah mengasihi kita
saja tidaklah cukup.
Oleh sebab itu, dalam teks Lukas 6:27-36 Yesus menegaskan
bahwa setiap orang yang ingin mengikut dan percaya kepada-Nya harus menjadi
manusia yang hidup di atas rata-rata. Karena jika hidup kita sama dengan
kelompok manusia yang pertama dan kedua seperti yang disebutkan di atas, maka
sebenarnya hidup kita tidak akan pernah terasa bagi atau memberi rasa apapun kepada dunia ini. Artinya,
kehidupan orang yang demikian tidak
akan bisa mempengaruhi dunia.
Bahkan mereka akan diabaikan oleh dunia karena tidak ada sesuatu yang istimewa
di dalam diri mereka. Dengan kata lain, jika ada yang luar biasa, maka
hidup yang biasa saja sebenarnya tidaklah cukup. Jika ada yang lebih baik, maka
baik saja pun tidak cukup.
Menjadi manusia yang hidup di atas rata-rata berarti menjadi
manusia yang sanggup menerapkan hukum kasih yang melampaui batas. Bahkan
orang-orang yang sebenarnya tidak pantas untuk dikasihi pun mereka kasihi.
Salah satunya adalah mengasihi musuh. Secara manusia, jika diakui secara jujur,
maka orang yang memusuhi dan menjadi musuh kita adalah sebenarnya orang-orang
yang tidak pantas untuk dikasihi dan mendapat belas kasihan dari siapapun.
Tetapi Yesus justru mengajarkan dan melakukan hal yang sangat bertolak belakang
dari pemahaman kita sebagai manusia. Dikatakan, “Kasihilah
musuhmu, berbuatlah baik kepada orang yang membenci kamu; mintalah berkat
kepada orang yang mengutuk kamu; berdoalah bagi mereka yang membenci kamu”
(Luk. 6:27-28).
Dari kalimat
Yesus di atas kita melihat ada empat kata kerja aktif bentuk imperatif/perintah
yang digunakan, yaitu: (1). “agapate
= kasihilah”, (2). “poieite = lakukanlah/ berbuatlah”, (3). “eulogeite
= LAI menterjemahkan mintalah berkat. Lebih tepatnya kata eulogeite seharusnya diterjemahkan berkatilah”, dan (4). “proseukheste = berdoalah”. Keempat kata kerja aktif bentuk imperatif di atas
memperlihatkan secara tegas kepada kita, bahwa kasih yang sesungguhnya bukanlah
soal kata atau berapa banyak kata kasih yang kita uangkapkan, melainkan soal
berapa banyak perbuatan kasih yang nyata itu kita lakukan untuk orang-orang
yang memusuhi kita.
Di sisi yang
lain, keempat kata kerja aktif bentuk imperatif di atas memperlihatkan bahwa
setiap orang pasti memiliki musuh. Maksud frasa “memiliki musuh” di sini adalah
bukan karena ia memusuhi, melainkan karena ia dimusuhi. Karena itulah Yesus
menegaskan, meskipun orang lain memusuhi dan membenci kita, tetapi kita harus
tetap mengasihi mereka, melakukan banyak hal penting yang mendatangkan kebaikan
bagi mereka, dan memberkati mereka lewat doa-doa yang kita panjatkan kepada
Tuhan.
Itulah sebabnya perintah
kasih pada ayat 27-28 diulang
kembali pada ayatnya yang
ke-35 dengan makna yang lebih tegas
dan mendasar, yakni: “Tetapi kamu, kasihilah musuhmu dan berbuatlah baik kepada mereka dan
pinjamkan dengan tidak mengharapkan balasan, maka upahmu akan besar dan kamu
akan menjadi anak-anak Allah Yang Mahatinggi, sebab Ia baik terhadap
orang-orang yang tidak tahu berterima kasih dan terhadap orang-orang jahat.” (Lukas 6:35). Satu hal yang penting untuk kita ingat, bahwa
kebaikan Tuhan tidak terbatas pada orang-orang yang berbuat baik saja, tetapi
juga kepada mereka tidak tahu berterima kasih dan jahat.
Namun demikian, mengasihi
musuh bukan perkara mudah untuk dilakukan. Apalagi harus mengasihi mereka yang pernah menyakiti, melukai dan bahkan
menghilangkan nyawa orang-orang yang sangat kita kasihi. Tetapi inilah konsekuensi hidup sebagai
pengikut jalan Tuhan.
Kemurnian kasih yang telah Tuhan berikan kepada setiap orang akan teruji
kemurnian dan ketulusannya jika sanggup mengasihi musuh-musuhnya, dan itulah
esensi dari kasih sejati.