Friday 17 May 2013

SIAPAKAH YANG TERBESAR?



Oleh: Sugiman

Kemudian tibalah Yesus dan murid-murid-Nya di Kapernaum. Ketika Yesus sudah di rumah, Ia bertanya kepada murid-murid-Nya: "Apa yang kamu perbincangkan tadi di tengah jalan?"
Tetapi mereka diam, sebab di tengah jalan tadi mereka mempertengkarkan siapa yang terbesar di antara mereka.
(Markus 9:33-34)

Sejarah kehidupan manusia membuktikan, bahwa untuk menjadi “yang terbesar” dari yang lain, seseorang rela melakukan tindakan apa pun dalam hidupnya. Mulai dari cara yang lembut hingga kepada yang kasar, dari yang sportif hingga kepada yang curang, dan dari yang bersih hingga kepada cara yang paling kotor. Tindakan-tindakan dan motivasi yang ganjil dan janggal sering menghiasi proses pencapaiannya.

Keinginan Adam dan Hawa untuk menjadi sama seperti Allah tak dapat dilepaskan dari permasalahan untuk menjadi “siapa yang terbesar”.  Begitu pula dengan peristiwa Kain membunuh adiknya, Habel. Peristiwa pembangunan menara Babel, perampasan hak kesulungan Yakub oleh Esau, Yusuf dibenci dan hampir dibunuh oleh saudara-saudaranya, tetapi dilarang Yehuda (salah satu saudara Yusuf), maka kemudian Yusuf dijual ke Mesir. Selain itu, rencana licik Saul yang akan membunuh Daud tatkala Daud dianggap sebagai saingannya untuk memimpin bangsa Israel, juga erat kaitannya dengan ambisi untuk menjadi “yang terbesar” dari pribadi yang lain.

Ternyata hal serupa juga yang diperdebatkan dan diperbincangkan oleh murid-murid Yesus saat dalam perjalanan menuju Kapernaum. Diskusi itu begitu hangat dan sengit, bahkan hingga menyebabkan pertengkar serta perselisihan di antara mereka. Betapa tidak, ternyata mereka membutuhkan sebuah pengakuan secara status atas jabatan, posisi atau kedudukan yang akan mereka peroleh sebagai pengikut Yesus. Bahkan mungkin kalau perlu Yesus sendiri yang harus menentukan posisi mereka berdasarkan segala kemampuan, kekuatan, keberanian, kerajinan, skill atau kesetiaan yang mereka miliki. Mungkin paham itu juga yang diharapkan para murid Yesus saat itu.

Dalam tanggapan-Nya, Yesus memposisikan diri-Nya sebagai orang yang lugu, polos dan seakan-akan tidak tahu apa-apa mengenai hal yang diperbincangkan dan diperdebatkan oleh para murid-Nya dalam perjalanan ke Kapernaum. Dengan polos Yesus bertanya kepada murid-murid-Nya demikian: "Apa yang kamu perbincangkan tadi di tengah jalan?". Tetapi sebenarnya jika kita perhatikan baik-baik kalimat tanya di atas, ternyata Yesus ingin memberikan penjelasan dan pemahaman yang benar atas persoalan yang diperbincangkan dan diperdebatkan oleh para murid-Nya itu. Hanya saja mereka merasa enggan dan takut untuk mengatakan masalah yang sebenarnya kepada Yesus. Sehingga mereka lebih memilih diam.

Latar belakang penyebab perdebatan sengit dan panas di antara para murid-Nya adalah tidak lain dan tidak bukan karena karakter seorang raja dan kemesiasan yang diperlihatkan Yesus melalui berbagai keajaiban, gaya hidup, perkataan dan karya/ perbuatan-Nya. Hanya saja pemahaman para murid Yesus selama mengikuti-Nya disamaartikan dengan konsep pemahaman umat Israel kuno tentang peranan seorang mesias dalam dunia politik dan peperangan. Umat Israel memahami, bahwa jabatan kemesiasan atau raja sejati adalah harus berani dan memegang pedang untuk melawan musuh. Selanjutnya ia pasti memberikan kedudukan yang pantas bagi orang-orang dekatnya atau kepercayaannya.

Dengan kata lain, perdebatan tentang “siapa yang terbesar” sebenarnya adalah masalah utama yang teragis dalam sejarah hidup manusia. Berbagai cara telah dilakukan hanya untuk sebuah pengakuan tentang “siapa yang terbesar”. Bahkan yang lebih ekstrim adalah telah dicoba untuk diselesaikan dengan pedang. Mulai dari senjata tradisional hingga pada senjata modren dan yang paling canggih. Persaingan, perdebatan, pertengkaran, kekerasan fisik dan hingga pada kematian pun tak terhindarkan. Kawan bisa jadi lawan, saudara bisa jadi orang asing, yang tidak ada diadakan, begitu pula sebaliknya, yakni yang ada ditiadakan.

Lebih jauh dari itu, tindakan sikut menyikut, saling menjelek jelekan, injak menginjak, jatuh menjatuhkan, hina menghina, khianat mengkhianati, fitnah memfitnah pun tak terhindarkan. Nilai-nilai kebenaran yang telah Tuhan tanamkan dalam hati setiap orang pun terpaksa dihianati, diperjualbelikan, dikotori, dan direndahkan hanya untuk menjadi yang terbesar menurut ukuran manusia.

Bukankah persoalan serupa juga telah dan sering terjadi dalam kehidupan kita. Apalagi kita hidup di zaman yang kompetitif, yang sedikit banyak telah mempengaruhi dan meracuni hati nurani serta pikiran sehat manusia. Siapa yang terkuat dialah yang berhak hidup. Itulah hukum rimba. Siapa yang dapat membayar lebih, dialah yang mendapatkan posisi yang utama, terhebat, tertinggi dan terhormat. Itulah hukum jual beli. Bahkan yang lebih tragis lagi adalah mengorbankan hak-hak dasar dan nilai-nilai kebenaran hanya untuk mendapatkan sebuah jabatan dan pengakuan tentang “siapa yang terbesar” dalam hidup ini.

Kebutuhan pribadi manusia akan pengakuan tentang siapa yang terbesar dari pribadi manusia yang lain seolah-olah hanya dapat diperoleh dengan cara-cara yang licik dan kotor. Seolah-oleh jika dirinya tidak mendapatkan posisi itu di hadapan manusia lainnya di dunia ini ia tak bisa menikmati kebahagiaan hidupnya. Adalah sangat kasihan melihat jika masih ada orang yang memiliki pemahaman yang keliru itu. Karena kekeliruan itulah yang kerap menjadikannya seorang penjahat dan penghianat atas nilai-nilai kebaikan yang Tuhan telah tanamkan di dalam hati nuraninya.

Pemahaman yang keliru untuk menjadi yang terbesar tidak hanya terjadi di kalangan para pejabat negara, tetapi juga menimpa para pejabat gereja Tuhan. Karena itulah para pelayan Tuhan di Gereja sering tidak dapat menjadi berkat bagi kehidupan jemaat Gereja itu sendiri. para Pendeta saling bersaing untuk mendapatkan posisi tertinggi dan terbesar dalam Gereja. Sementara Pendeta yang lain lagi sibuk mencari cara untuk menjatuhkan, mempermalukan, dan merendahkan Pendeta yang lain. Jemaat yang dipimpinnya pun ikut-ikutan membuat blok blok antara pengikut Pendeta si A dan pengikut Pendeta si B.

Begitu pula di kalangan para Majelis atau Pengurus Gereja, semuanya terlihat kaku dan tegang. Karena Majelis/ Penatua yang satu rajin memberi persepuluhan atau persembahan khusus kepada Gereja atau Pendetanya supaya diakui dan ditempatkan untuk menduduki posisi tertentu dalam Gereja. Begitu pula sebaliknya, yakni Pendeta yang satu rajin berkunjung ke rumah jemaat-jemaatnya yang kaya, dihormati, diperhitungkan dan berpengaruh bagi anggota jemaat yang lain dengan maksud supaya diangkat menjadi ketua Resort maupun ketua Sinode untuk menggantikan posisi si A.

Jika hal demikian masih melekat di dalam kepribadian kita, maka yakinlah bahwa segala sesuatu yang kita lakukan di dalam dunia ini tidak akan menjadi berkat. Sebaliknya, mungkin kita menjadi seteru bagi Tuhan dan batu sandungan bagi banyak orang. Sebaliknya Yesus mengatakan, bahwa siapa yang ingin menjadi yang terbesar, maka hendaklah ia menjadi seorang pelayan sejati. Menjadi seorang pelayan sejati berarti harus berani memberi diri bagi orang lain. Dan memberi diri bagi orang lain berarti siap membayar harga sebuah kebenaran bagi Tuhan, yang belum tentu benar dan baik bagi manusia. Artinya, harga yang harus dibayar seorang pelayan Tuhan adalah sangat beragam bentuknya, yaitu bisa dibenci, disakiti secara fisik, dicaci-maki, dicemooh, dianiaya dan bahkan nyawanya menjadi taruhannya karena kebenaran yang diberitakannya, dan itulah konsep seorang pelayan yang Yesus maksudkan. Maka dari itu, yang terbesar adalah mereka yang dengan rela dengan penuh ketulusan hatinya untuk melayani Tuhan sepenuhnya dalam sepanjang kehidupannya.

No comments:

Post a Comment