Oleh: Sugiman
Kemudian tibalah Yesus dan murid-murid-Nya di Kapernaum. Ketika Yesus sudah
di rumah, Ia bertanya kepada murid-murid-Nya: "Apa yang kamu perbincangkan
tadi di tengah jalan?"
Tetapi mereka diam, sebab di tengah jalan tadi mereka mempertengkarkan
siapa yang terbesar di antara mereka.
(Markus 9:33-34)
Sejarah kehidupan
manusia membuktikan, bahwa untuk menjadi “yang terbesar” dari yang lain, seseorang
rela melakukan tindakan apa pun dalam hidupnya. Mulai dari cara yang lembut
hingga kepada yang kasar, dari yang sportif hingga kepada yang curang, dan dari
yang bersih hingga kepada cara yang paling kotor. Tindakan-tindakan dan
motivasi yang ganjil dan janggal sering menghiasi proses pencapaiannya.
Keinginan Adam
dan Hawa untuk menjadi sama seperti Allah tak dapat dilepaskan dari permasalahan
untuk menjadi “siapa yang terbesar”. Begitu pula dengan peristiwa Kain membunuh
adiknya, Habel. Peristiwa pembangunan menara Babel, perampasan hak kesulungan
Yakub oleh Esau, Yusuf dibenci dan hampir dibunuh oleh saudara-saudaranya,
tetapi dilarang Yehuda (salah satu saudara Yusuf), maka kemudian Yusuf dijual
ke Mesir. Selain itu, rencana licik Saul yang akan membunuh Daud tatkala Daud
dianggap sebagai saingannya untuk memimpin bangsa Israel, juga erat kaitannya
dengan ambisi untuk menjadi “yang terbesar” dari pribadi yang lain.
Ternyata hal
serupa juga yang diperdebatkan dan diperbincangkan oleh murid-murid Yesus saat
dalam perjalanan menuju Kapernaum. Diskusi itu begitu hangat dan sengit, bahkan
hingga menyebabkan pertengkar serta perselisihan di antara mereka. Betapa
tidak, ternyata mereka membutuhkan sebuah pengakuan secara status atas jabatan,
posisi atau kedudukan yang akan mereka peroleh sebagai pengikut Yesus. Bahkan mungkin
kalau perlu Yesus sendiri yang harus menentukan posisi mereka berdasarkan
segala kemampuan, kekuatan, keberanian, kerajinan, skill atau kesetiaan yang
mereka miliki. Mungkin paham itu juga yang diharapkan para murid Yesus saat
itu.
Dalam
tanggapan-Nya, Yesus memposisikan diri-Nya sebagai orang yang lugu, polos dan
seakan-akan tidak tahu apa-apa mengenai hal yang diperbincangkan dan
diperdebatkan oleh para murid-Nya dalam perjalanan ke Kapernaum. Dengan polos Yesus
bertanya kepada murid-murid-Nya demikian: "Apa yang kamu perbincangkan tadi di tengah
jalan?". Tetapi sebenarnya jika kita perhatikan
baik-baik kalimat tanya di atas, ternyata Yesus ingin memberikan penjelasan dan
pemahaman yang benar atas persoalan yang diperbincangkan dan diperdebatkan oleh
para murid-Nya itu. Hanya saja mereka merasa enggan dan takut untuk mengatakan
masalah yang sebenarnya kepada Yesus. Sehingga mereka lebih memilih diam.
Latar belakang
penyebab perdebatan sengit dan panas di antara para murid-Nya adalah tidak lain
dan tidak bukan karena karakter seorang raja dan kemesiasan yang diperlihatkan
Yesus melalui berbagai keajaiban, gaya hidup, perkataan dan karya/
perbuatan-Nya. Hanya saja pemahaman para murid Yesus selama mengikuti-Nya
disamaartikan dengan konsep pemahaman umat Israel kuno tentang peranan seorang
mesias dalam dunia politik dan peperangan. Umat Israel memahami, bahwa jabatan
kemesiasan atau raja sejati adalah harus berani dan memegang pedang untuk
melawan musuh. Selanjutnya ia pasti memberikan kedudukan yang pantas bagi orang-orang
dekatnya atau kepercayaannya.
Dengan kata lain,
perdebatan tentang “siapa yang terbesar” sebenarnya adalah masalah utama yang
teragis dalam sejarah hidup manusia. Berbagai cara telah dilakukan hanya untuk
sebuah pengakuan tentang “siapa yang terbesar”. Bahkan yang lebih ekstrim
adalah telah dicoba untuk diselesaikan dengan pedang. Mulai dari senjata
tradisional hingga pada senjata modren dan yang paling canggih. Persaingan,
perdebatan, pertengkaran, kekerasan fisik dan hingga pada kematian pun tak
terhindarkan. Kawan bisa jadi lawan, saudara bisa jadi orang asing, yang tidak ada
diadakan, begitu pula sebaliknya, yakni yang ada ditiadakan.
Lebih jauh dari
itu, tindakan sikut menyikut, saling menjelek jelekan, injak menginjak, jatuh menjatuhkan,
hina menghina, khianat mengkhianati, fitnah memfitnah pun tak terhindarkan. Nilai-nilai
kebenaran yang telah Tuhan tanamkan dalam hati setiap orang pun terpaksa
dihianati, diperjualbelikan, dikotori, dan direndahkan hanya untuk menjadi yang
terbesar menurut ukuran manusia.
Bukankah
persoalan serupa juga telah dan sering terjadi dalam kehidupan kita. Apalagi
kita hidup di zaman yang kompetitif, yang sedikit banyak telah mempengaruhi dan
meracuni hati nurani serta pikiran sehat manusia. Siapa yang terkuat dialah
yang berhak hidup. Itulah hukum rimba. Siapa yang dapat membayar lebih, dialah
yang mendapatkan posisi yang utama, terhebat, tertinggi dan terhormat. Itulah
hukum jual beli. Bahkan yang lebih tragis lagi adalah mengorbankan hak-hak
dasar dan nilai-nilai kebenaran hanya untuk mendapatkan sebuah jabatan dan
pengakuan tentang “siapa yang terbesar” dalam hidup ini.
Kebutuhan pribadi
manusia akan pengakuan tentang siapa yang terbesar dari pribadi manusia yang
lain seolah-olah hanya dapat diperoleh dengan cara-cara yang licik dan kotor. Seolah-oleh
jika dirinya tidak mendapatkan posisi itu di hadapan manusia lainnya di dunia
ini ia tak bisa menikmati kebahagiaan hidupnya. Adalah sangat kasihan melihat
jika masih ada orang yang memiliki pemahaman yang keliru itu. Karena kekeliruan
itulah yang kerap menjadikannya seorang penjahat dan penghianat atas nilai-nilai
kebaikan yang Tuhan telah tanamkan di dalam hati nuraninya.
Pemahaman yang
keliru untuk menjadi yang terbesar tidak hanya terjadi di kalangan para pejabat
negara, tetapi juga menimpa para pejabat gereja Tuhan. Karena itulah para
pelayan Tuhan di Gereja sering tidak dapat menjadi berkat bagi kehidupan jemaat
Gereja itu sendiri. para Pendeta saling bersaing untuk mendapatkan posisi
tertinggi dan terbesar dalam Gereja. Sementara Pendeta yang lain lagi sibuk
mencari cara untuk menjatuhkan, mempermalukan, dan merendahkan Pendeta yang
lain. Jemaat yang dipimpinnya pun ikut-ikutan membuat blok blok antara pengikut
Pendeta si A dan pengikut Pendeta si B.
Begitu pula
di kalangan para Majelis atau Pengurus Gereja, semuanya terlihat kaku dan
tegang. Karena Majelis/ Penatua yang satu rajin memberi persepuluhan atau
persembahan khusus kepada Gereja atau Pendetanya supaya diakui dan ditempatkan
untuk menduduki posisi tertentu dalam Gereja. Begitu pula sebaliknya, yakni
Pendeta yang satu rajin berkunjung ke rumah jemaat-jemaatnya yang kaya,
dihormati, diperhitungkan dan berpengaruh bagi anggota jemaat yang lain dengan
maksud supaya diangkat menjadi ketua Resort maupun ketua Sinode untuk
menggantikan posisi si A.
Jika hal demikian
masih melekat di dalam kepribadian kita, maka yakinlah bahwa segala sesuatu
yang kita lakukan di dalam dunia ini tidak akan menjadi berkat. Sebaliknya,
mungkin kita menjadi seteru bagi Tuhan dan batu sandungan bagi banyak orang.
Sebaliknya Yesus mengatakan, bahwa siapa yang ingin menjadi yang terbesar, maka
hendaklah ia menjadi seorang pelayan sejati. Menjadi seorang pelayan sejati
berarti harus berani memberi diri bagi orang lain. Dan memberi diri bagi orang
lain berarti siap membayar harga sebuah kebenaran bagi Tuhan, yang belum tentu
benar dan baik bagi manusia. Artinya, harga yang harus dibayar seorang pelayan
Tuhan adalah sangat beragam bentuknya, yaitu bisa dibenci, disakiti secara
fisik, dicaci-maki, dicemooh, dianiaya dan bahkan nyawanya menjadi taruhannya
karena kebenaran yang diberitakannya, dan itulah konsep seorang pelayan yang
Yesus maksudkan. Maka dari itu, yang terbesar adalah mereka yang dengan rela
dengan penuh ketulusan hatinya untuk melayani Tuhan sepenuhnya dalam sepanjang kehidupannya.
No comments:
Post a Comment