Oleh: Sugiman
“Melihat orang banyak itu, tergeraklah hati Yesus
oleh belas kasihan kepada mereka, karena mereka lelah dan terlantar seperti
domba yang tidak bergembala.” (Matius
9:35)
Dari
sekian banyak mata manusia yang melihat dan menyaksikan orang lain yang sedang tertimpa
musibah, hanya sedikit orang saja yang hatinya tergerak oleh belas kasihan
untuk memberikan pertolongan. Mengapa demikian? Karena mereka tidak mengerti
makna kehidupan. Dengan kata lain mereka telah kehilangnya makna kehidupan. Hal
ini jugalah yang terjadi pada masa Yesus saat itu. Sebelum Yesus menyembuhkan
orang yang menderita buta dan orang bisu yang kerasukan setan, kehidupan mereka
dipandang seperti sampah dan tak masuk hitungan sebagai manusia.
Selain
itu, mereka yang dikatakan lelah dan terlantar seperti domba yang tidak
bergembala dalam teks di atas sebenarnya bukan karena mereka kelelahan dan
terlantar mengikut Yesus semata. Tetapi sebagian besar dari mereka adalah
buruh-buruh kasar yang tidak memiliki masa depan hidup, karena upah rendah dan
bahkan tidak digaji oleh majikannya. Karena itu, ketika mereka bertemu dengan
Yesus, dan berharap Yesus dapat mengubah jalan hidup mereka. Hak-hak mereka
yang selama ini diabaikan, nasib yang terlantar dan harapan yang hampir sirna
seolah dihidupkan kembali oleh sosok Yesus yang tampil sebagai pemimpin baru
yang diharapkan.
Tidak
hanya itu, bahkan mereka sangat berharap supaya Yesus menjadi pemimpin tunggal atau
gembala yang dapat menuntun dan membimbing mereka menuju masa depan yang lebih
baik dan cerah. Perhatian, pengakuan dan belas kasihan dari pihak lain sangat
mereka harapkan dan butuhkan. Karena selama ini mereka sudah jemu, lelah, letih
dan lesu setelah diabaikan dan tidak diperhitungkan atau tidak diakui oleh para
pemimpin politik, negara dan agama saat itu. Entah dari pihak Yahudi maupun
dari pihak Romawi, dan itulah hal yang membuat hati Yesus tergerak oleh belas
kasihan ketika melihat mereka semua.
Bukankah
hal serupa pada masa Yesus juga telah terjadi dan sedang kita alami saat ini?
Tidak sedikit dari kita yang merasa engan, malu, menganggap rendah, memandang
sebelah mata mereka yang miskin secara harta benda, terlantar, melarat dan
terabaikan. Betapa sering kita menutup mata terhadap penderitaan dan kesusahan
yang dialami oleh orang lain. Bahkan kerap kita menutup telinga terhadap
teriakan dan rintihan minta tolong mereka. Jika hal itu yang kita lakukan saat
ini terhadap mereka yang menderita, maka kita adalah salah satu dari mereka
yang kehilangan makna hidup ini.
Di dunia
ini, ada banyak orang pandai, orang genius dan orang kaya, tetapi mereka sering
tidak mengerti makna kepandaian, kegeniusan dan kekayaan yang dimiliki. Yang
lebih teragis lagi adalah seringnya mereka menganggap, bahwa kalau mereka kaya,
punya kedudukan atau jabatan dan ketenaran baru ia merasa hidupnya bermakna.
Padahal, kata makna menyiratkan suatu makna yang sangat mendasar dan sangat dalam
pada kehidupan seseorang. Hidup yang bermakna atau yang memberi makna bagi sesama
untuk kemuliaan Tuhan. Selanjutnya, hidup
yang memberi makna juga berarti kita telah mengisi hidup kita dan mengisi
kehidupan sesama kita melalui hal-hal penting yang telah kita lakukan dan
berikan bagi mereka.
Dalam
sejarah kehidupan manusia dan realita memperlihatkan, bahwa betapa seringnya
kita mengalami kehilangan makna hidup ini. Mengapa demikian? Karena memang kita
tidak mengerti dan memahami mengapa kita dipertemukan Tuhan untuk hidup
berdampingan bersama banyak manusia lainnya di dunia ini. Mungkin banyak orang
berpikir bahwa dengan harta benda dan kekayaan yang dimilikinya, mereka dapat
membeli banyak hal yang menyangkut kebutuhan jasmaninya. Tetapi ingat, bahwa
ada banyak hal penting juga yang tidak dapat dibeli dan dihargai dengan harta
benda dan kekayaan! Kedamaian, ketentraman, kenyamanan, keamanan dan
kebahagiaan adalah hal-hal yang tak dapat dibeli. Semuanya itu hanya dapat
dirasakan oleh orang-orang yang merasa bahwa hidup ini adalah anugerah terbesar
dari Tuhan yang harus dijalani dengan penuh kasih dan ucapan syukur.
Alfred
Adler pernah mengatakan demikian, “Makna
tidak ditentukan oleh situasi, namun kita menetapkan diri kita sendiri dengan
makna yang kita berikan kepada situasi itu”. Kosong dan berisinya makna
hidup kita sangat tergantung pada titik pandang seseorang atas kehidupannya.
Kehilangan makna dapat terjadi bila kita cepat merasa puas dengan apa yang kita
peroleh atau dapatkan untuk kepentingan diri sendiri. Sedangkan hidup yang
penuh makna adalah di mana kita merasa puas kalau hidup kita sungguh-sungguh
berguna, mengisi kebutuhan diri sendiri, orang yang ada di sekitar kita dan
untuk kemuliaan Tuhan. Artinya, tiga pribadi penting itu (diri sendiri, orang
lain dan Tuhan) tak dapat dipisahkan dalam hidup yang penuh makna.
Maka dari
itu, milikilah kasih terhadap diri kita sendiri, terhadap sesama dan terlebih
terhadap Tuhan sebagai sumber napas kehidupan setiap makhluk ciptaan-Nya. Jika
kita memiliki kasih, itu berarti kita telah memberi rasa terhadap kehidupan
yang hambar dan tawar itu. Karena kasih adalah suatu kualitas hidup terbaik
yang telah Tuhan tanamkan di dalam hati nurani setiap orang, tanpa terkecuali.
Hanya saja tidak semua dari mereka menyadarinya. Berikanlah rasa kasih itu
kepada banyak orang, karena kasih adalah keabadian dan pemberian tertinggi dari
Tuhan untuk manusia.
Peter
Elbow mengatakan, bahwa “Makna hidup
bukanlah dengan apa Anda mulai, tetapi apa yang Anda akhiri.” Kalimat
tersebut menyiratkan makna, bahwa tidak selamanya kita hidup bersama-sama
dengan orang-orang yang Tuhan tempatkan di sekeliling kita, tetapi ada saatnya
di mana setiap orang akan kehilangan kesempatan untuk memberikan kasih itu
kepada mereka. Karena itu, selagi ada waktu atau kesempatan, berikanlah itu dan
lakukanlah banyak hal penting untuk mereka dengan kasih yang tulus seperti
Tuhan telah mengasihi kita selama hidup ini. Mari kita belajar melembutkan hati
kita yang selama ini dikeraskan oleh keegoisan dan keserakahan kita. Dengan
demikian hati kita benar-benar dapat digerakan oleh belas kasihan yang tulus,
murni dan tanpa syarat.