Oleh: Sugiman
Secara umum para ahli tafsir Perjanjian Baru mengatakan, bahwa
Injil Matius ditulis sekitar tahun 80-an M (abad pertama) di Antiokhia-Siria.
Artinya sesudah Bait Allah di Yerusalem dihancurkan oleh tentara Romawi pada
tahun 70 M. Saat itu banyak orang Yahudi yang meninggal akibat peperangan pada
masa itu.
Hancurnya Bait Allah di Yerusalem berarti hancurnya pusat
kehidupan religius, sosial, politik dan ekonomi orang Yahudi. Jika tahun 80-an,
berarti jemaat Kristen telah berdiri sekitar 50 tahun setelah kematian Yesus
dan sekitar 10/15 tahun setelah Yerusalem dihancurkan. Berkuasanya kerajaan
Yunani-Romawi, menjadikan hidup orang Kristen-Yahudi menderita. Hare dalam
bukunya “Jewish Presecution Of Christian” mengatakan bahwa orang Kristen saat
itu mengalami penganiayaan dari bangsa-bangsa lain. Mungkin inilah yang
menyebabkan penulis Matius mengutip pernyataan Yesus ketika mengecam beberapa
kota (lht. 11:20-24).
Kehidupan orang Kristen-Yahudi saat itu membentuk
kelompok-kelompok untuk bisa bertahan hidup. Dalam konteks itulah penulis Injil
Matius mengutip ungkapan Yesus yang berbunyi, “marilah kepada-Ku semua yang
letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu” (11:28).
Ungkapan ini memperlihatkan betapa menderitanya orang-orang Kristen saat itu. Namun,
serentak dengan itu penulis Injil Matius juga memperlihatkan kepedulian, empati,
keprihatinan dan belaskasihan Yesus kepada semua orang.
Selanjutnya, masalah lain yang dihadapi orang Kristen-Yahudi
saat itu adalah mengenai penganiayan yang tersebar luas dengan memanfaatkan
kesempatan ini. Kelompok orang-orang Yahudi yang masih hidup, terutama para
pemimpin agama yang berhasil meloloskan diri, seperti ahli-ahli Taurat, yang
mulai membedakan secara tajam aliran yang benar dan yang sesat dan termasuk di
antaranya adalah orang Farisi atau yang biasa disebut kelompok “Law Observant”.
Inilah yang melatarbelakangi penulis Injil Matius mengangkat masalah
pertentangan antara Yesus dan orang Farisi atau penolakan orang Farisi terhadap
kehadiran Yesus.
Akan tetapi, di sisi yang lebih khusus penulis Injil Matius
ingin memperlihatkan bahwa Yesus adalah pelaku kasih yang radikal, yaitu kasih
yang melebihi batas status, yang menghancurkan tempok pemisah, yang
mempersatukan mereka yang hidup musuh-memusuhi, yang menyembuhkan luka-luka
batin orang yang terpinggirkan, yang ditolak, kasih yang memperbaiki
kekeliruan, tidak mencari-cari kesalahan dan memberi pengharapan untuk dunia
yang kelam dan suram. Hal itu terbukti ketika kita memperhatikan ungkapan
berbahagia dalam khotbah di bukit, muzijat-muzijat yang dilakukan Yesus,
pengutusan para murid, kecaman atas beberapa kota, ajakan kepada mereka yang
letih lesu dan berbeban berat serta perkataan-Nya bahwa “Manusia jauh lebih
berharga dari pada domba” (12:12). Semua itu dituliskan oleh penulis Injil
Matius supaya pembacanya memahami dan mengenal bahwa Yesus adalah kasih yang
abadi bagi semua orang percaya.
Semoga tulisan ini bermanfaat….
No comments:
Post a Comment