Oleh:
Sugiman
Dalam sebuah film yang berjudul, “Hachiko: A Dog’s Story” menceritakan tentang seekor anjing yang
tidak hanya taat pada tuan atau majikannya, tetapi juga setia pada sang
majikannya. Ternyata pembuatan film ini terinspirasi dari kisah nyata seekor
anjing bernama Hachiko yang hidup dalam rentang waktu tahun 1923-1935 di
Jepang.
Kisah ini berawal ketika Profesor Parker Wilson
(Richard Gere) bertemu dengan seekor anak anjing praremaja di Stasiun Kereta
Api Bedridge, Wonsocked, Amerika Serikat, tempat dimana ia biasa pergi dan
pulang dari bekerja. Karena merasa kasihan, maka seekor anak anjing itu
diajaknya pulang ke rumahnya dan diberi nama Hachiko.
Parker beserta istrinya Cate (Joan Allen) memelihara
dan merawatnya hingga Hachiko bertumbuh dewasa, besar dan tiada hari yang
dilewatkan Parker tanpa bermain bersama Hachiko.
Pada suatu hari, Hachiko secara diam-diam dan tanpa
disangka oleh Parker bahwa Hachiko mengikutinya dari belakang hingga ke stasiun
saat Parker berangkat kerja. Secara tidak sengaja Parker menoleh ke belakangnya
setelah ia masuk ke gerbong kereta dan melihat Hachiko sedang duduk akan
menyaksikan keberangkatannya. Namun, Parker terpaksa keluar dari kereta untuk
memulangkan Hachico ke rumah.
Ketika pulang dari bekerja dan keluar dari gerbong
kereta, ternyata Hachico menjemputnya di stasiun pada pukul 17.00. Maka sejak
saat itulah Parker membiarkan atau mengizinkan Hachico mengantar-jemputnya di
stasiun.
Setiap hari Hachiko mengantar-jemput tuannya (Parker)
ke stasiun. Para pedagang yang ada di sekitar stasiun, serta para penumpang
lainnya yang berjalan kaki terkagum-kagum serta tercengang menyaksikan apa yang
kelakuan Hachiko, itulah yang membedakannya berbeda dengan anjing pada umumnya.
Semua orang yang tinggal di sekitar Stasiun Bedridge
menyayangi Hachiko dan selalu menyapanya dengan ramah dan senyuman hangat
seperti layaknya sapaan kepada manusia. Dengan wajah ceria Hachiko menatap
setiap orang yang menyapanya dan sambil menggoyangkan ekornya sebagai tanda
keceriaannya.
Hari berganti hari dan sampai pada satu ketika,
Hachiko tak menemukan kedatangan tuannya di stasiun pada pukul 17.00. Namun
begitu, ia tetap menunggu sang tuannya pulang dari pekerjaannya.
Terdengar kabar, ternyata tuannya, Parker Wilson
meninggal dunia karena serangan jantung ketika ia sedang mengajar. Sementara Hachiko
sepertinya tidak pernah mengetahui dan mengerti bahwa tuannya yang selalu
diantar jemputnya telah tiada.
Tidak lama setelah kematian Parker, Cate (istrinya)
menjual rumah mereka dan pindah meninggalkan Bedridge. Sementara Hachiko
dipelihara oleh anak perempuan Parker, Andy Wilson (Sarah Roemer).
Ketidakmengertian Hachiko atas kematian tuannya
membuatnya terus berharap dan menantikan akan kepulangan tuannya. Berulang kali
Hachiko kabur dari rumah Andy untuk pergi ke stasiun dengan harapan ia akan
menemukan tuannya kembali.
Andy sangat menyayangi Hachiko, karena itu ia selalu
menjemput Hachiko di stasiun, dan hingga pada akhirnya Andy merelakan Hachiko
pergi. Selama itu juga Hachiko tinggal di stasiun menunggu waktu hingga
pukul 17.00. Ia terus menunggu dan duduk di bundaran di depan stasiun Kereta
Api, menantikan kedatangan tuannya.
Melihat keunikan tingkah laku Hachiko ternyata menarik
perhatian banyak orang yang ada di sekitar stasiun, dan bahkan tulisan
mengenainya juga dimuat dan disiarkan di berbagai media, seperti televisi dan di
koran-koran sehingga kisahnya benar-benar menjadi legenda. Bahkan orang-orang
memberinya makan Hachiko secara bergantian.
Kesetiaan Hachiko bertahan hingga
tahun kesepuluh meninggalnya Parker, tuannya. Sampai akhirnya musim dingin tiba
di tahun ke sepuluh, Hachiko meninggal di bundaran stasiun pada tengah malam
yang sunyi dan dingin.
Kisah yang disajikan dalam film Hachiko: A Dog’s Story persis sama dengan kisah
aslinya. Di Jepang, sebuah monumen berupa patung seekor anjing untuk mengenang
kesetiaan Hachiko. Patung itu tepat didirikan di depan Stasiun Kereta Api Shibuya.
Sungguh kesetiaan Hachiko melebihi
batasan kesetiaan anjing pada umumnya.
Refleksi
Para
pembaca yang budiman, kisah nyata mengenai seekor anjing bernama Hachiko di
atas mengajarkan kepada kita, bahwa kesetiaan adalah dilahirkan dari kasih
tulus. Kesetiaan Hachiko dibentuk, yaitu ketika Profesor Parker memberikan
kasih yang tulus padanya. Artinya, di dalam kasih yang tulus (sesungguhnya)
tidak ada nilai kepura-puraan atau kepalsuan. Karena sesungguhnya, di dalam
kepura-puraan hanya ada penghianatan.
Jika
sesekor anjing saja sanggup setia sampai mati pada tuannya, bukankah manusia
diciptakan Tuhan jauh melebihi kesetiaan seekor anjing? Bukankah manusia diberikan
akal budi atau kecerdasan oleh Tuhan supaya dapat membedakan bahwa dirinya
tidak sama dengan binatang? Tetapi sayang, realita kehidupan memperlihatkan,
bahwa terkadang manusia lebih senang memelihara sikap, tindakan dan kasih yang
penuh dengan kepura-puraan. Itulah sebabnya, di dalam dirinya benih-benih kebencian,
dendam, iri hati, dengki dan penghianatan pada sesamanya dan terlebih pada
Tuhan tumbuh dengan subur.
Sebagai
akibatnya, kekerasan, ketidakadilan, dendam, kebenciaan dan pembunuhan atas sesamanya
menjadi kecenderungan yang sangat sulit dihapuskan. Karena di dalam hatinya
sudah tidak ada lagi tempat atau lahan untuk menumbuhkan benih-benih kehidupan seperti
yang dikehendaki oleh Tuhan dari manusia.
Tuhan
telah menciptakan manusia sedemikian rupa supaya mereka dapat hidup saling
mengasihi seorang akan yang lainnya. Itulah sebabnya Tuhan sangat peduli
terhadap orang-orang yang dengan setia mengasihi sesamanya dengan sepenuh hati,
dan bukan dengan setengah hati atau kepura-puraan. Karena sesungguhnya,
kesetiaan kita terhadap sesama, kasih kita terhadap sesama seharusnya menjadi
bukti nyata kasih dan kesetiaan kita kepada Tuhan. Maka, adalah tidak mungkin
seseorang mengatakan bahwa dia sangat mengasihi Tuhan dengan sepenuh hati sementara
ia tidak mengasihi sesamanya dengan sepenuh hati.
No comments:
Post a Comment